Nawa Hamkke, Nae Eomeoni

"Jangan main sama dia, dia itu pengaruh buruk buat kamu!" Kesi menatap geram ke arah gadis kecil yang kebingungan dengan apa yang ia lihat.

"Gak mau, aku sukanya main sama dia, Ma!" Paska protes tidak terima.

"Siapa yang ngajarin kamu bantah orang tua?" emosinya tak terkontrol, menghadapi anak SD memang melelahkan baginya, apalagi sudah terpengaruh pergaulan buruk.

"Paska mau main!" Paska bersikukuh, tak mau kalah dari mamanya.

"Sekarang masuk!" Kesi menarik paksa anaknya ke dalam rumah, meninggalkan gadis kecil itu dengan sejuta kebingungan di benaknya.

Karena tak tahu harus berbuat apa, gadis kecil itu pun membalikkan badannya dan mulai melangkahkan kakinya, perlahan sambil terus memikirkan apa yang harus dia rasakan saat ini.

***

"Liza pulang," gadis kecil itu membuka pintu dan masuk ke rumahnya. Rumah tua berukuran besar dengan cat berwarna putih itu terlihat sedikit mencekam dengan minimnya cahaya.

Sepi, tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Gadis itu menatap sekitar berusaha menemukan sosok yang selalu ia harapkan kehadirannya. Setidaknya, saat dia bangun tidur atau pulang sekolah saja, waktu itu saja, Liza ingin disambut hangat seperti teman-temannya di rumah mereka.

"Kayaknya Mama belum pulang," Liza menatap pasrah lalu berjalan dan masuk ke kamarnya untuk mengganti seragam lusuhnya dengan pakaian yang lebih nyaman.

***

"Ayo masuk Nak, udah makan?"

"Emmh, Mama?" Liza mengerjap-ngerjapkan matanya. Dirinya terbangun dan melihat jam dinding di kamarnya, jam menunjukkan pukul sembilan malam.

Setelah mengumpulkan nyawanya yang masih tersangkut di mimpinya, gadis kecil itu segera bangkit dan keluar menuju arah suara tadi.

"Mama?" tanya Liza sambil mengucek matanya, dia berjalan gontai menuju mamanya.

"Bangun tidur?" tanya wanita paruh baya itu singkat, dia melihat sekilas ke arah Liza lalu kembali lagi menatap sosok di depannya yang sedang tersenyum menatap Liza.

Liza mengikuti pandangan mamanya dan menemukan sosok kakaknya yang tengah duduk di hadapan mamanya.

"Kakak!" Liza menjerit kecil sambil berlari menuju kakaknya, dia memeluk erat kakaknya itu.

"Hey dek, apa kabar?" laki-laki itu tersenyum manis sambil mengusap lembut surai adiknya.

"Rumayan baik Kak, tapi kayaknya badan Lija panas," racaunya pada sang kakak.

"Panas?" laki-laki itu memegang dahi Liza yang memang sedikit panas.

Gadis itu melepaskan pelukannya dan berjalan ke arah sang mama. Sambil menahan pusing dia tersenyum ke arah mamanya yang sedang sibuk menyesap tehnya.

"Ma, Lija demam," ucap gadis kecil itu polos sambil mendongak ke arah mamanya.

"Kamu habis ujan-ujanan ya? Udah dibilang gak boleh, rasain sendiri'kan?" Yuni menatap jengah anak bungsunya itu yang selalu merengek padanya.

Liza terdiam, menatap mamanya tanpa arti. Tubuhnya terlalu lemas untuk menjelaskan kesalah pahaman mamanya.

"Udahlah Ma, namanya juga anak kecil. Dikompres dulu coba, Ma," anak laki-laki itu menengahi.

Yuni menghela napasnya kasar. Menatap gadis kecilnya geram, dia bangkit dan menggandeng Liza masuk ke kamarnya.

Sambil mengompres anaknya menggunakan handuk hangat, Yuni menatap gadis kecilnya itu, ada sedikit kekesalan di dalam hatinya, kenapa tidak ada yang beres di hidupnya?

"Ma, tadi Lija dimarahin sama mamanya Paska...." ucap Liza lirih.

"Kamu nakal lagi?"

"Bukan, Ma-" Liza mencoba menjelaskan masalahnya.

"Sudahlah! Kamu masih kecil tapi selalu buat Mama emosi, Mama capek!" bentak Yuni, emosinya meluap, merasakan kekesalan yang memuncak membuat dirinya tak terkontrol. Dengan kesal Yuni keluar meninggalkan anaknya sendirian.

Gadis kecil itu mengedipkan matanya beberapa kali, mencoba mencerna apa yang sedang terjadi. Lagi-lagi dirinya bingung harus merasakan apa.

Denyutan di kepalanya semakin buruk, kepalanya pusing, dunia di sekitarnya seperti berputar-putar tak beraturan.

"Ma, Mama!" ucapnya setengah berteriak, berharap mamanya akan datang dan mengobati kepalanya yang terus berputar.

Tidak ada jawaban, sebagai gantinya terdengar suara televisi yang menyala dengan dua orang yang sedang tertawa menonton acara televisi tersebut.

Liza tak kuat, dunia terus berputar di kepalanya. Dia berusaha memejamkan matanya dan berharap rasa sakitnya mereda.

***

"Dek, bangun. Mau sekolah gak?" suara lembut itu membangunkan Liza yang tengah tertidur lelap.

"Nanti, lima menit lagi," ucapnya parau.

Sang kakak menggelengkan kepalanya, "ini udah ketiga kalinya Kakak bangunin kamu, berarti udah sepuluh menit kamu bilang lima menit. Ayo bangun," ocehnya pagi ini.

"Tambah sepuluh menit lagi biar pas dua puluh menit ya," tawar Liza sambil menggeliat malas.

"Biarin aja Dan, mau sekolah sana, enggak juga gak papa, gak usah diurusin!" Yuni berdiri di ambang pindu kamar Liza memasang wajah geram pada anak bungsunya itu.

"Pastinya dia harus sekolah, Ma!" Daniel memprotes Mamanya tidak setuju.

Gadis kecil yang sedang diperdebatkan itu sontak membuka matanya dan menatap sosok mamanya dengan mata berbinar.

Liza beranjak dari ranjangnya.

"Ma? Mama belum berangkat kerja? Masih di rumah?" Liza mendongak menatap wajah Mamanya sambil memeluk erat tubuh Yuni.

Daniel menggeleng heran dengan tingkah adiknya itu.

Yuni melepas paksa pelukan Liza, "jadi anak jangan malas, bangun aja harus dibangunin. Sekarang cepet siap-siap sekolah," titah Yuni yang hanya dianggukan paham oleh Liza.

"Ayo Dan, kita sarapan dulu."

"Eh, tunggu Ma, sarapannya tunggu Lija selesai mandi aja."

"Keenakan kamu, ye ...." Daniel menoyor dahi adiknya.

"Ah Kakak-" Liza hendak protes sebelum kakaknya berlari meninggalkan kamarnya.

Gadis kecil itu pun bergegas menuju kamar mandi, ia ingin segera menyusul kakak dan mamanya.

Sambil terus tersenyum, Liza mandi secepat kilat dan buru-buru memakai seragam dan memeriksa buku-buku dalam tasnya.

Setelah dia rasa semuanya lengkap, dia pun pergi ke ruang makan. Di lihatnya ruang makan telah kosong. Apa sudah selesai? Ke mana mama dan kakaknya pergi?

Gadis kecil itu mengerucutkan bibirnya, lalu duduk dan mulai menyantap sarapannya.

Setelah selesai makan, dibawanya piring bekas makannya ke tempat cuci piring dan mencucinya. Lalu buru-buru dia menggendong tasnya karena jam sudah menunjukkan pukul 07.15 WIB yang artinya lima belas menit lagi pelajaran di sekolahnya akan dimulai.

***

Bel sekolah pun berbunyi, anak-anak yang sudah tak sabar ingin pulang berhamburan keluar kelas mereka sambil tertawa riang. Guru-guru berteriak agar mereka hati-hati dan jangan sampai terjatuh, tapi tidak didengarkan oleh mereka.

Beberapa anak berhasil keluar duluan dari dalam kelas yang pengap, beberapa pula ada yang terjebak di ambang pintu karena terimpit anak-anak lain, ada pula yang menangis karena terdorong temannya. Rutinitas pulang sekolah yang sangat melelahkan.

Liza menggeleng heran melihat kelakuan teman-temannya yang kekanak-kanakkan. Mereka sudah kelas tiga, tapi kelakuannya seperti anak TK.

Melihat Liza yang sedang bengong menunggu kelasnya sepi, dari sudut kelas, Paska memperhatikannya dan dengan takut berjalan menghampiri Liza.

Liza menatap Paska heran, dari tadi pagi tingkahnya aneh. "Kenapa?" tanyanya penasaran.

"Aku, aku udah gak boleh main sama kamu!" tegas Paska, matanya berkaca-kaca.

Liza bergeming, menatap temannya itu datar. "Enggak papa," Liza menyunggingkan senyumnya, menampilkan gigi geripisnya yang berderet rapi.

Paska hampir saja menangis, karena malu dia pun berlari meninggalkan kelasnya yang sudah sepi.

Liza menatap sosok temannya yang menghilang di ambang pintu, dia pun mengambil tasnya dan beranjak dari kursinya dan pulang.

***

Sambil bersenandung ria Liza menatap matahari yang tepat berada di atas kepalanya, udara panas yang menyengat itu terasa begitu menyenangkam baginya. Gadis kecil itu menyapa ramah apapun yang dia lihat, mulai dari rumput, bunga, pohon, kucing liar, hingga kendaraan yang melewatinya pun ia sapa dengan riangnya.

Terlihat mobil hitam terparkir rapi di depan rumahnya, Liza yang merasa asing dengan mobil itu pun berlari menuju rumahnya.

"Kak, itu, itu mobil siapa?" tanyanya sambil menunjuk benda asing itu.

"Napas dulu Dek, ngapain lari-lari?"

"Itu mobil siapa?" ulangnya menuntut jawaban.

"Mama mau kerja jauh, kamu nurut sama tante-tante ya, jangan nakal," ucap Yuni yang baru saja keluar sambil menyeret koper besarnya.

Liza mengernyit heran, menatap wajah mamanya dalam-dalam.

"Mama pergi, baik-baik ya Dan sekolahnya. Mbak aku pergi dulu, titip anak-anak ya," Yuni berpamitan, lalu masuk ke dalam mobil dan melambaikkan tangannya.

Liza menghembuskan napasnya kasar, lagi-lagi mamanya hanya berbicara singkat kepadanya.  Tanpa sempat bertanya ataupun mengucapkan selamat tinggal, Liza menatap hampa ke arah mobil yang membawa mamanya pergi entah ke mana. Kapan mamanya kembali? Mau pergi ke mana dia? Sampai kapan Liza harus menunggu lagi? Nanti malam? Besok pagi? Atau tidak lagi? Rasanya ingin menangis saja, tapi anak cengeng tidak disukai siapapun. Akhirnya Liza hanya menatap pasrah kepergian mobil hitam yang membawa mamanya menjauh darinya.

"Ayo kita masuk, kamu belum makan'kan?" Daniel mengusap kepala adiknya.

"Iya, Lija laper!" serunya antusias, cacing di perutnya tidak bisa menahan lapar lagi.

Mereka pun masuk ke rumah.

"Besok Liza ikut tante ya, pindah ke rumah tante," ucap wanita berusia empat puluh tahunan itu pada Liza.

"Pindah? Sekolah Lija gimana?" tanyanya.

"Tante udah bilang ke sekolah Liza, mulai besok Liza pindah sekolah," jawabnya.

Liza hanya mengangguk paham pada tantenya.

***

Sore itu, kala senja muncul, terang matahari akan segera digantikan oleh cahaya redup bulan dan bintang-bintang yang tak mampu menerangi gelapnya malam, Liza dengan memakai seragam SMP-nya menatap kosong jalan setapak yang mulai sepi di depannya.

Semilir angin menggerak-gerakkan rambut hitam panjangnya yang terurai bebas, membuat wajahnya yang datar terlihat sedikit muram.

Sudah hampir enam tahun dia merindukan sosok mamanya.  Hanya helaan napas panjang yang mampu mengekspresikan perasaannya saat itu.

Tatapannya beralih pada benda asing yang sedang bergerak ke arahnya, terlihat dua orang tengah mengendarai sepeda motor, sebelumnya tak pernah ia lihat motor asing itu. Liza mengernyit heran saat motor itu berhenti tepat di depannya.

"Liza?" seorang wanita turun dari motor itu dan tersenyum ke arahnya.

"Sia- Mama!" pekik Liza kaget.

"Iya, ini Mama. Liza apa kabar?"

"Bentar-bentar, Ma, Liza panggil tante dulu," Liza salah tingkah, keadaan membingungkan yang tiba-tiba ini membuat dirinya terkejut sekaligus senang.

Liza berlari, masuk ke rumah memanggil tantennya.

Tak lama kemudian, Liza dan tantenya keluar menghampiri Yuni dan sosok asing di sebelahnya.

"Mbak Asih, aku datang mau jemput Li-"

Plak!

Semua orang terdiam, Liza menatap tante dan mamanya bergantian, mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Muka Asih memerah, sorot matanya tajam menatap ke arah Yuni dan sosok asing di sampingnya.

"Mau apa lagi kamu ke sini? Punya nyali kamu! Apa? Mau jembut Liza? Kamu pikir kamu siapa, pamit kerja malah nikah sama laki-laki enggak waras macam dia! Enggak inget kamu sendiri yang ninggalin anak-anakmu, hah? Pergi sekarang juga!" hardik Asih penuh emosi.

Wajah Yuni memerah, matanya berkaca-kaca menahan tangis.

"Mbak, Yuni enggak salah, yang salah saya," laki-laki asing itu mencoba berbicara baik-baik kepada Asih.

"Kamu siapa berani ngomong sama saya! Enggak tau diri kalian, pergi sekarang!" sudah tidak ada toleransi lagi bagi kedua orang itu di mata Asih. Kakak Ipar yang dia percayai telah mengkhianati kepercayaannya dan almarhum kakaknya juga anak-anaknya.

Yuni menelan salivanya, memberanikan diri untuk berbicara pada adik iparnya itu.

"Enggak usah ngomong apa-apa lagi, kalian mau gila berdua terserah, jangan bawa-bawa anakmu yang enggak tau apa-apa! Pergi sekarang juga!" Asih tidak memberikan kesempatan bagi dua orang itu untuk berbicara.

Laki-laki asing itu menarik tangan Yuni, mengajaknya pergi dari tempat itu. Ia tahu bahwa pergi adalah pilihan yang tepat, sebelum ramai kerumunan tetangga yang asik menonton perdebatan itu.

Yuni menuruti ajakkan suaminya dan pergi meninggalkan Liza yang hanya terdiam menonton kejadian itu.

Asih menghembuskan napasnya kasar, pandangannya beralih pada gadis remaja di sampingnya, dia pun tersenyum dan mengajak Liza masuk ke rumah.

Desas-desus tetangga tak dihiraukannya.

"Mulai sekarang Liza jadi anak tante, Liza mau'kan?" tanyanya pada Liza yang hanya dijawab dengan senyuman dan anggukan oleh Liza.

***

"Liza!" suara Asih bergema di dalam ruangan itu.

Tubuhnya gemetar melihat pemandangan buruk di depannya. Seminggu setelah kejadian itu Liza, keponakan yang akan diadopsinya itu terlihat biasa seperti sebelum-sebelumnya. Memang pendiam, tetapi murah senyum anaknya.

"Liza, kamu ngapain? Bangun!" Asih menjerit melihat tubuh Liza yang sudah tak berdaya. Tergeletak di atas lantai yang dingin dengan darah menggenang di sekitarnya.

Asih panik, mencoba berteriak meminta tolong, direngkuhnya tubuh kotor Liza ke pangkuannya. Air mata tak lagi terbendung. Tangisannya menjadi-jadi menangisi gadis malang di pelukannya.

Asih melihat secarik kertas bertuliskan,

'Tante sakit, Liza sakit. Liza gak kuat, maaf.'

Asih mengeratkan pelukannya pada tubuh Liza, berharap ada keajaiban Tuhan yang mampu mengubah nasib malang gadis ini.

Tamat

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top