Insecure

Aku tidak gemar menyesap aroma sore ditemani sekaleng kopi saat pulang kuliah. Namun, hari ini adalah pengecualian. Aku duduk di atas bumper mobil jip milikku yang hangat seraya menatap kota Seattle dari dataran tinggi. Naomi masih tertawa renyah di sebelahku, menanggapi kebodohan teman satu kamarnya yang salah memasukkan garam ke dalam kopi tadi pagi. Aku tidak menganggap itu sesuatu yang harus ditertawakan, tetapi hanya berbasa-basi sekadar menjaga konversasi.

“Kok, kamu diam saja?”

Hampir tiga puluh menit sudah, gadis itu berusaha meleburkanku dalam obrolan. Topiknya tidak begitu menyenangkan dibandingkan menikmati bir kaleng sambil menonton TV.

“Tidak apa-apa.” Aku menandaskan kopiku dan melemparnya ke dalam tong sampah.

“Omong-omong, besok adalah harinya. Kamu mau mengantarku, tidak?”

Satu Mei, tentu saja. Agak mustahil untuk melupakannya karena Naomi kerap menyelipkannya di tengah obrolan.

Band-ku ada latihan, maaf.”

Hm, begitu, ya.”

Aku meliriknya yang terlihat kecewa, tetapi detik berikutnya dia menyunggingkan senyuman begitu lebar. “Baiklah, tidak apa-apa. Aku bisa minta Keira menemaniku, kok.”

“Ayo, pulang. Sebentar lagi malam.”

Aku lagi-lagi mengulum segala tanya dan buru-buru melangkah masuk ke dalam mobil, menyisakan gadis itu tanpa pilihan selain mengikuti ajakanku. Aku mengamati Naomi yang berjalan lesu dengan wajah sedikit menunduk. Sejujurnya, aku sangat menyesal. Baru kali ini, Daniel Walker─yang mana adalah aku sendiri─membuat sedih gadis yang dicintainya. Kedengarannya menjijikkan, tetapi bagi laki-laki sejati hal seperti itu pantang dilakukan.

“Dan, apa kamu masih marah?” tanya Naomi yang menghentikanku memutar kunci untuk menyalakan mesin mobil.

Aku menggeleng dan tersenyum sebagai jawaban, kontras dengan rasa gundah yang bergulung-gulung di hatiku.

“Kalau begitu, kamu sudah setuju?”

Aku ingin mengelupas isi hatiku tanpa sisa detik itu juga. Rasa-rasanya, ususku melilit memendam perasaan sendirian.

“Naomi, apa dengan adanya aku masih kurang cukup?”

Menatapnya dalam jarak sedekat ini, aku bisa melihat dengan jelas bola matanya yang kecokelatan, mengingatkanku pada karakter utama Puss in Boots. Hidungnya memang tidak mancung, tapi selaras dengan kedua pipinya yang berisi. Segaris bibir tipis yang selalu dipoles dengan lipgloss. Naomi benar-benar menggemaskan. Aku akan merindukan Naomiku yang seperti ini.

“Aku bersyukur bisa dicintai pria sepertimu, tapi hidup bukan hanya ada aku dan kamu saja.” Naomi lalu membuang muka, menatap ke luar jendela di sisi kirinya. Dia memaku pandangan pada orang-orang di sana. “Aku... juga butuh teman.”

Aku terdiam sesaat, tiba-tiba memori di masa lalu berkelebatan di dalam kepalaku. Naomi sering menangis karena diejek teman-teman sekolahnya. Tidak ada yang ingin berteman dekat, padahal Naomi memiliki pribadi yang menyenangkan. Nilainya pun cukup baik, dia juga tidak pelit ilmu. Olok-olokan mengenai parasnya, seolah kiamat untuk hidup Naomi.

“Maaf, Dan.”

Aku menggenggam tangan kanannya yang semula meremas ujung kaus. “Aku menghargai keputusanmu.”

Aku segera menyalakan mesin mobil dan melaju, membelah jalanan di hari yang mulai malam.

***

Aku tidak jauh berbeda dengan laki-laki seumuranku yang biasanya mengeluh saat menjadi mahasiswa dengan setumpuk tugas. Lucunya, satu minggu setelah penerimaan mahasiswa baru selesai, aku malah bersyukur disibukkan dengan hal semacam itu. Sekali pun ada waktu luang, aku memilih untuk menyibukkan diri bersama teman grup band-ku.

Aku hanya menghubungi Naomi lewat telepon dan pesan singkat. Dia berbagi pengalamannya menjadi mahasiswi baru dan memiliki banyak teman. Suaranya yang terdengar gembira, membuatku tersenyum di seberang telepon. Naomi mendapat yang diinginkannya, tentu saja aku turut bahagia. Namun, rasanya tetap pahit untukku menerima kenyataan.

Besok, kamu harus datang.

Sebaris pesan singkat itu terus berputar-putar di dalam kepalaku, nyaris membuatku terjaga hingga subuh. Naomi mengadakan pesta ulang tahun di rumahnya, akan terdengar konyol jika aku tidak hadir di acara spesialnya itu. Aku memantapkan hati dan turun dari mobil dengan sebuket mawar.

“Daniel!”

Kedua mataku masih bergerak mencari sumber suara hingga seseorang melambaikan tangannya tinggi-tinggi. Aku membalas lambaian tangannya, kemudian perlahan berjalan mendekat ke arah seorang gadis dengan blouse berwarna putih yang dipadu rok denim pendek. Senyumnya semakin lebar seiring jarak kami yang semakin terkikis.

Naomi terlihat sangat berbeda, juga asing bagiku. Sekarang kelopak matanya terangkat tak lagi terlihat sipit, hidungnya jauh lebih mancung, pipinya menjadi sangat tirus, dan dagunya runcing. Hanya suaranya yang terdengar sama. Dua minggu lalu Naomi mewujudkan keinginannya, juga selama itulah kami tidak bertemu.

“Selamat ulang tahun,” bisikku halus, lalu mengecup pipinya dan memberikan buket mawar dalam genggamanku.

“I miss you so bad, Dan.”

Aku membawa tubuh rampingnya ke dalam pelukanku. “Me too.” Kedua mataku terpejam lantaran mulai memanas setelahnya.

“Kupikir, kamu tidak akan datang.”

Aku mengeratkan pelukan sebagai tanda jika aku tidak setuju dengan ucapannya.

“Kita jangan berjauhan lagi, please.”

Aku bisa mendengar dengan jelas suaranya yang bergetar. Naomi memang mudah menangis jika dihadapkan dengan suasana sentimental seperti ini. Saat membuka mata, aku baru menyadari kami menjadi pusat perhatian. Dengan segera aku melepaskan pelukan dan tersenyum. Hanya itu karena aku tak tahu harus memberikan ekspresi yang bagaimana lagi.

“Naomi!”

Sekelompok wanita pun menghambur ke arah Naomi dengan gembira. Aku memisahkan diri dari kerumunan, memberikan sinyal padanya jika akan mencari minum. Aku menyadari kepayahanku yang masih tak bernyali untuk berlama-lama menatap wajahnya. Aku mengangkat sebuah gelas dari atas meja dan meneguk isinya hingga tandas.

“Lihat hidungnya!”

“Maaf, aku terlalu sibuk memerhatikan dagunya.

Aku mendengar bisik riuh yang mendadak membuat amarahku terbakar. Aku seketika berbalik, menatap tajam ke arah dua wanita yang sedang tertawa itu. Mereka seketika berhenti tertawa dan segera pergi dari sana. Sesuatu yang kutakutkan terjadi, aku belum siap menerima pendapat orang-orang tentang perubahan Naomi. Aku termenung sejenak, teringat ucapan kekasihku itu beberapa bulan lalu yang mulai menciptakan jarak dalam hubungan kami.

Dan, aku akan menjalani operasi plastik.

Ucapan Naomi sekonyong-konyong menghentikan segala jenis satuan waktu yang berjalan kala itu. Aku tak berhenti menyuarakan pertanyaan, “Kenapa?”

Naomi selalu menjawab dengan kalimat yang sama. “Aku ingin punya teman.”

“Daniel.”

Sebuah suara membangunkan aku dari lamunan singkat. Aku mendapati Naomi sudah berdiri di hadapanku.

Hi, Birthday girl.”

Naomi segera berdiri di sisiku seraya bergelayut manja di lenganku.

“Kamu terlambat. Kamu melewatkan acara tiup lilin dan potongan kue pertama.”

Angin musim semi menampar wajahku. Naomi seolah mengetahui kesengajaanku yang datang lebih dari jam yang yang ditentukan.

“Maaf.”

Naomi lagi-lagi tersenyum, kemudian mengajakku sedikit menjauh dari keramaian pesta. Dia membawaku ke beranda rumahnya.

“Aku bersungguh-sungguh dengan ucapanku tadi.”

Aku langsung mengernyit, tidak mengerti maksud di balik kalimat itu. Lebih tepatnya, tidak tahu ucapannya yang mana. Aku benar-benar tidak bisa fokus malam ini.

“Kita tidak boleh berjauhan lama-lama.”

“Oh. Aku sedang banyak tugas─”

“Kamu masih marah. Ya, kan?” potong Naomi seraya menatap kedua mataku, tetapi aku segera mengalihkan pandangan ke sembarang arah. “Kamu masih belum bisa menerima keputusanku─”

“Naomi, Sayang.” Gadis itu langsung bungkam. “Sudah kubilang, aku menghargai keputusanmu. Jangan bahas ini lagi, ok?”

“Kamu menyukai perubahanku?

Untuk beberapa detik, aku masih tetap diam hingga Naomi kembali bicara. “Baru kali ini, aku memiliki kesempatan untuk merayakan pesta ulang tahun yang dihadiri teman-temanku. Dulu, aku tidak punya teman. Kamu adalah pacar dan satu-satunya teman yang kumiliki, Dan.”

Aku benar-benar terdiam, mulai kehabisan kata-kata untuk menyanggah dan beragumen lebih lanjut.

“Maaf, Dan. Aku jadi sedikit kasar. Mungkin karena aku sangat merindukanmu.” Setelah itu dua lajur air mata menuruni pipinya.

Aku segera memeluknya erat-erat, sebelum isak gadis itu keluar.

“Jangan menangis di hari bahagiamu. Maaf, aku jadi perusak pesta.” Naomi menggeleng cepat sebagai respons, lantas aku melepas pelukan dan mencium keningnya. “Kembalilah ke dalam, aku akan pulang.”

Naomi menarik lenganku seolah berteriak memintaku untuk tidak pergi. Namun, aku tidak mau memperburuk keadaan. Mengabaikan eskpresi memohonnya dan segera berlalu dari sana.

***

Kebersamaan kami dua minggu selanjutnya, masih melalui pesan singkat dan telepon di jam malam. Terkadang Naomi mengajakku untuk video call, tetapi lagi-lagi aku melakukannya tidak lebih dari lima menit dengan alasan mom atau dad memanggilku. Malam ini Naomi masih berada di rumah temannya untuk mengerjakan tugas kelompok, sementara aku berbaring di atas ranjang sambil menatap langit-langit kamar. Berharap seorang teman mengajakku pergi ke luar untuk membunuh bosan. Tak lama ponselku berdenting pendek, menandakan sebuah pesan masuk.

Hattie’s hat. Paul traktir bir!

Agaknya semesta sedang berkomplot dengan dewi fortuna melalui Adam, teman satu grup band-ku. Selain menawarkan burger dengan double patties yang enak dan berharga murah, di sana aku bisa memesan bir berikut kentang goreng gratis. Teman yang pas untuk mengisi kehampaan di Sabtu malam. Tanpa pikir panjang, aku segera mengganti pakaian dan meluncur dengan jipku, setelah membalas pesan Adam.

Aku seketika menghentikan langkah tepat di beranda sebuah gedung yang bersebelahan dengan restoran dan bar tujuanku.

“Naomi.”

Aku mengepalkan tangan ketika menyaksikan kekasihku dirangkul seorang pria.

Naomi menghentikan tawanya bersama si pria asing yang memakai jaket denim itu.  “Daniel.”

“Singkirkan tanganmu dari pacarku!”

“Dan, ini tidak seperti yang kamu lihat! Biar kujelaskan─”

“Tidak perlu, semua sudah jelas. Kamu ingin membalasku dengan cara seperti ini, huh?”

“Apa?”

Aku tak menyangka jika ketakutanku yang lain menjadi kenyataan. Sekarang, siapa pun mulai melakukan apa yang semula hanya dilakukan olehku.

Habis sudah kesabaranku. Aku berjalan mendekat ke arah pria di sebelah Naomi. Rambutnya yang melewati telinga dibiarkan acak-acakan, tak jauh berbeda dengan bulu-bulu halus di bagian dagunya. Aku tak habis pikir, Naomi mengkhianatiku demi pria seperti itu. Aku sangsi dia bisa memberi perhatian pada Naomi, bahkan pria itu tidak peduli pada penampilannya sendiri.

“Tanganmu, Bung. Sekarang!”

“Berhenti, Dan!” Naomi mendorong tubuhku. “Gunakan akal sehatmu. Mike teman satu kelompokku, dia mengantarku dulu membeli sesuatu sebelum pulang.”

“Alasan! Penjahat mana yang mau mengakui kejahatannya.”

Detik itu juga tangan Naomi melayang menampar wajahku. Amarah yang semula meluap mencapai ubun-ubun mendadak hilang, kesadaranku seperti ditarik paksa untuk kembali.

“Kita akhiri saja hubungan ini. Aku lelah menjalani hubungan dengan pria yang tidak bisa berbagi isi hatinya padaku. Kamu tidak bisa seenaknya terus-terusan menghindariku, Daniel!”

Sebelum aku sempat buka suara, sosok Naomi sudah jauh dari pandangan kemudian disusul Mike yang mengekorinya.

***

Semua terproses seperti hari-hari sebelumnya, aku membersihkan diri dan berpenampilan rapi, berpretensi menjadi bagian dari dunia yang baik-baik saja. Hingga lima menit setelah menyelesaikan sarapan, sebuah pesan singkat masuk ke dalam ponselku.

Hai, Dan. Apa kamu punya waktu luang? Aku ingin bertemu.

Aku terkejut menyadari Naomi mengirimiku sebuah pesan. Setelah nyaris tiga bulan lamanya, gadis itu yang pertama menghubungiku.

Setiap kali terbangun di pagi hari lantas membuang bermenit-menit lamanya duduk di tepi ranjang menatap ponsel, egoku berharap gadis itu yang lebih dulu menghubungiku. Namun, setelah menjadi kenyataan, hal itu mengambrukkan harga diriku sebagai laki-laki. Aku benar-benar pecundang.

Hai. Mau bertemu di mana?

Jantungku mendadak berdetak lebih cepat seraya menunggu balasan. Aku beranjak menuju pintu depan karena mendengar suara bel pintu berdenting. Kupikir mom dan dad sudah pulang dari Portland, tetapi yang terjadi selanjutnya malah membuat paru-paruku terasa kosong.

“Hai, Dan.”

Aku ingin sekali menampar wajahku sendiri untuk memastikan yang kualami bukanlah sebuah mimpi.

“Ha─hai.”

Naomi berdeham. “Aku boleh masuk?”

“Ayo, masuk.” Naomi duduk di sofa tunggal, sedangkan aku duduk di sofa panjang bersebelahan dengannya. “Ada perlu apa kemari?”

Ada helaan napas sebelum Naomi berkata, “Aku mau minta maaf.”

Tatapan kami bertemu, tiba-tiba rasa rindu itu menjelma menjadi pedang yang menghunus jantungku. Berlebihan memang, tetapi sebesar itulah aku merindukan Naomi.

“Kau benar, Dan. Mencari teman tidak perlu menjadi cantik, tidak perlu seluruh dunia menyukaimu. Obsesiku malah membuatku kehilanganmu. Aku benar-benar menyesal, maafkan aku, Dan.”

Dua kali harga diriku berceceran di lantai, kali ini Naomi yang pertama meminta maaf. Daniel Walker, mati saja sana!

“Aku juga. Seharusnya aku bisa lebih terbuka padamu, maaf.”

Naomi terlihat membagi senyum manisnya, membuatku semakin merasa bersalah karena sudah menjadi penyebab keretakan hubungan kami sedari awal.

“Aku paham ini akan terdengar terburu-buru dan konyol, tapi jika kamu─”

“Aku mencintaimu, Dan.”

Aku merasakan isi perutku berputar-putar. Seharusnya Naomi tidak membuat anak band super keren sepertiku terlihat payah. Dia semestinya diam saja, membiarkanku yang menyatakannya lebih dulu.

“Selama ini aku selalu ingin mengatakan itu padamu, tapi aku urungkan.”

“Kenapa?”

“Aku tahu kamu belum bisa menerima aku yang sekarang.”

Pada momen itu, untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir hatiku kembali menghangat. Aku segera membawa Naomi ke dalam pelukanku.

“Aku yang bodoh. Aku merasa takut dengan ketakutan yang kubuat sendiri.” Aku mencium kening Naomi cukup lama sebelum berujar, “Kamu tetap Naomi yang kukenal dulu. Aku akan tetap mencintaimu apa adanya, tidak akan ada yang bisa mengubah hal tersebut.”

Tamat

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top