Halusin Nasi
Aku hanya seorang rakyat jelata yang merangkap sebagai pelajar, anak dari orang tua, juga calon penerus bangsa. Aku tidak begitu pintar dan rajin, malah sangat malas untuk sekadar mengerjakan tugas yang diberikan guru—dan mengandalkan contekan teman, juga pepatah The power of kepepet di pagi hari, beberapa jam menjelang pelajaran dimulai. Tak ada hal yang menarik dariku. Penampilan bisa disebut minus karena memiliki postur tubuh layaknya bola—gemuk dan pendek—juga wajah abstrak yang dihiasi kacamata lensa cekung dengan ketebalan yang memprihatinkan—sangat tebal, mengingat miopi yang kuderita sudah menyentuh angka 8,5. Aku juga tidak bisa olahraga, lari saja tak mampu, apalagi lompat jauh? Yang ada lapangan sekolahku akan hancur karena gajah baru saja melompat di sana.
Aku payah sekali ‘kan?
Kendati demikian, aku tetap bersyukur atas segala hal yang telah diberikan Tuhan dalam hidupku. Keluarga yang utuh, banyak teman yang bisa menerimaku apa adanya, juga mimpi dan harapan yang harus kucapai—semua itu membuatku terus semangat menjalani hari demi hari yang rasanya semakin sulit dilalui.
Oh, iya. Soal bakat, aku punya, sih. Tapi rasanya tidak bisa dibanggakan sama sekali dan malah sering ditertawai orang-orang. Aku seorang K-Popers atau pecinta segala hal yang berbau Korea, terutama industri hiburannya, seperti drama dan permusikan. Oleh karena itu, keseharianku lebih banyak kuhabiskan dengan berselancar media sosial, menjadi stalker para idola, menghabiskan kuota internet, juga mengkhayal yang terlampau tinggi mengenai idolaku.
Jadi, bakatku apa?
Bakatku adalah menghabiskan kuota dan berkhayal, atau yang kini tenar dengan istilah Halu. Halu sendiri berasal dari kata Halusinasi, yang mana secara gampangnya mengartikan sebuah ketidaknyataan atau khayalan dan imajinasi belaka. Mengkhayal atau berhalusinasi yang terlampau tinggi adalah bakatku. Membayangkan berbagai hal indah dan manis seperti di drama-drama bersama idolaku yang sudah jelas-jelas tidak akan bisa terwujud, misalnya menjadi saudara kandung, sahabat, kekasih, bahkan istrinya. Sungguh pas dengan pepatah Bagai punguk merindukan bulan. Aku selalu mengharapkan hal-hal yang mustahil itu terjadi padaku suatu saat nanti.
Sangat bodoh, bukan?
Yah, aku memang bodoh. Membuang banyak waktu berharga untuk mengkhayal yang tidak-tidak. Sia-sia dan tidak bermakna ‘kan? Makanya, seringkali orang Indonesia diminta untuk menerapkan kebiasaan barat, yakni waktu adalah uang.
Aku mengkhayal tak kenal waktu dan tempat. Kapan saja dan di mana saja. Bahkan ketika ujian sekali pun, ketika aku pusing menghadapi soal yang sulit, bukannya berpikir untuk mendapat jawaban, aku malah memilih untuk tidur di atas meja sambil membayangkan hidup bahagia bersama idolaku. Alhasil, aku bisa saja lantas tertidur atau kehilangan banyak waktu yang berharga. Jangan tanya bagaimana nilaiku pada akhirnya. Meski tidak pernah mendapat nilai sempurna, di atas kriteria saja aku sudah sujud syukur. Namun, ada kalanya ngehalu ketika ujian membuatku menjadi relaks dan mudah berpikir tentang jawaban yang kuanggap sulit itu.
Pfft. Dasar, generasi menunduk.
Seiring berjalannya waktu, cara berpikir pun turut berubah. Aku tidak lagi berhalusinasi tentang hal-hal pisican seperti dulu. Kali ini lebih masuk akal dan kemungkinan terwujudnya juga besar. Ada juga khayalanku menjadi kenyataan—meski tidak sepenuhnya sesuai dengan khayalanku, tapi aku mendapatkan bagian terbaiknya.
Biar kuceritakan sedikit tentang khayalanku yang jadi nyata. Dulu, saat kelas tujuh, aku mengikuti sebuah kompetisi matematika bersama teman-teman sekelas yang memang juga terpilih. Ketika itu, ada seorang anak dari sekolah lain yang cukup menarik perhatianku. Namanya Christian, kerap disapa Tian, salah satu siswa dari sekolah swasta yang isinya golongan kelas atas. Bukan karena tampangnya yang putih, sipit, juga sedikit manis, atau postur tubuhnya yang tinggi, melainkan kemampuan otaknya yang—menurut temanku yang pernah berlomba bersamanya—jenius. Dia disegani oleh banyak orang, termasuk teman-temanku yang dulunya pernah berkompetisi bersama Tian. Dan hal itu benar-benar terbukti, dia meraih posisi puncak dalam kompetisi tersebut dan maju ke final yang diselenggarakan di luar daerah.
Sejak saat itu, berhubung sikapnya yang kurasa tidak begitu bersahabat dan terkesan sombong, aku bertekad untuk bisa mengalahkannya. Aku harus bisa lebih hebat darinya. Pasti banyak kesempatan yang akan ada, salah satunya yaitu olimpiade. Aku mulai membayangkan bagaimana kami—aku dan Tian—bersaing dalam olimpiade tersebut, aku menang dan dia kalah, lalu kami menjadi teman baik setelahnya. Maka dari itu, aku mendaftarkan diri dalam bimbingan matematika untuk olimpiade, berpacaran dengan buku, juga tak lupa berdoa. Orang tuaku pun antusias dan memberi dorongan penuh, mereka bahkan membelikan banyak buku yang berhubungan dengan matematika tanpa kuminta sekalipun.
Namun, Tuhan berkata lain. Aku tidak lolos dalam tes yang diberikan oleh guru pembimbing olimpiade yang juga merupakan guru matematika di sekolahku. Aku tidak bisa ikut olimpiade matematika, tidak bisa mengalahkan Tian. Disana aku sempat kecewa pada diriku sendiri yang tidak mampu. Tapi, semua itu tidak berlangsung lama. Karena sekolahku tidak memiliki perwakilan untuk mata pelajaaran Ilmu Pengetahuan Sosial, maka aku pun dipilih langsung tanpa tes oleh wakil kepala sekolah, yang juga merupakan guru IPS yang mengajar di kelasku. Kampretnya, aku diberitahu akan hal ini ketika tinggal H-3 seleksi tingkat kota.
Inginku berkata kasar.
Setelah kupikirkan lagi, bila aku memang tidak bisa maju dalam bidang matematika, bukan berarti aku tidak bisa maju pada bidang yang lain ‘kan? Aku pun bersedia menjadi perwakilan bidang IPS untuk sekolahku. Belajar sekenanya mengingat waktu yang sudah mepet, entah memang ini jalanku atau hanya sebuah keberuntungan, aku lolos tingkat kota. Tian juga lolos mewakili bidang matematika. Kami maju ke tingkat provinsi. Saat itu kami masih belum ada komunikasi sama sekali, bertegur sapa saja tidak.
Sebulan menunggu pengumuman, ternyata aku lolos ke tingkat nasional. Dapat dibayangkan bagaimana bahagianya aku saat tahu kabar itu. Kerja kerasku untuk belajar tidak sia-sia. Bukan hanya aku yang lolos, ada dua orang mewakili IPA, dua mewakili matematika—termasuk Tian, dan satu lagi temanku dalam bidang IPS.
Di olimpiade tingkat nasional inilah kami, para perwakilan daerah saling mengenal dan mulai berteman. Di sana juga aku baru tahu, kalau Tian itu sebenarnya sama saja dengan teman-temanku yang lain. Dia enak diajak bicara, bisa melawak walau ujung-ujungnya garing, serta bisa bertindak gila dan bobrok. Aku dan Jessica—temanku yang mewakili IPA—cukup shock tatkala melihat Tian berlarian sambil berteriak seperti Tarzan—melebihi hebohnya seorang fangirl kala melihat roti sobek biasnya—naik ke atas panggung saat acara gelar budaya, lalu menari dengan semangat bersama peserta yang lain.
Ketika pengumuman pemenang, nama kami tidak disebutkan sama sekali. Anak itu terlihat sedih walau dengan hebatnya dia bersikap biasa guna menyembunyikan kekecewaannya. Jujur, aku juga merasakan hal yang sama. Bagaimana rasanya saat kau sudah berusaha keras untuk menggapai sesuatu namun tak terwujud? Begitulah yang kami rasakan. Tapi, aku yakin Tuhan punya rencana yang lebih indah kedepannya. Aku selalu percaya bahwa tidak ada yang sia-sia, dan itu memang benar. Meski aku tak membawa pulang mendali kemenangan, setidaknya aku punya ilmu yang lebih banyak daripada teman-teman lain, mendapatkan pengalaman baru, juga banyak teman baru dari berbagai daerah.
Termasuk hal yang sejak dulu aku halusinasikan, yaitu bersaing bersama Tian dan berteman dengannya. Walaupun aku tidak dapat mengalahkannya dalam bidang matematika, tidak apa. Berarti itu bukan jalanku. Yah, walau kami beda sekolah, komunikasi kami cukup baik. Kadang aku menanyakan soal-soal yang kuanggap sulit dan ia dengan cepat memberi bantuan. Begitu pula dengan teman-temanku yang berasal dari daerah lain. Bahkan, saat ini kami sedang mempersiapkan diri lebih awal agar bisa bertemu kembali di olimpiade tingkat nasional kedepannya.
Ya, itu janji kami sebelum berpisah.
Berteman dengan orang pintar memang banyak manfaatnya. Selain sebagai teman, dia juga bisa menjadi penyelamat, juga motivasi kita untuk maju. Aku bilang begini bukan berarti kita tidak perlu berteman dengan orang yang kurang pintar. Bertemanlah dengan siapa saja, asalkan dia memang bisa diajak berteman, mengakuimu sebagai teman, memenuhi fungisnya sebagai teman, dan menyayangimu. Tapi, ada baiknya kita lebih bijak dalam bersikap, mengambil tindakan, dan sedikit memilih orang yang diajak berteman agar kita tidak terjerumus ke dalam hal-hal negatif.
Kembali ke topik awal curhatanku.
Saat ini, aku sedang menyukai sebuah boy grup bernama NCT. Dua orang membernya baru-baru ini datang ke Indonesia sebagai relawan salah satu badan sosial di Korea. Selain itu, agensi yang menaungi mereka juga sudah membuka cabang di sini. Entah mengapa, rasanya sangat senang sekaligus sedih mengetahui hal itu. Senang, karena jarak antara idola dan fans sudah sedikit lebih dekat. Sedihnya, karena mereka tetaplah seorang idol yang tak bisa digapai. Terlebih, aku cukup jauh dari daerah pusat ibu kota negara, jadi cukup susah rasanya walau hanya untuk menonton konser ataupun melihat mereka dari kejauhan.
Oleh karena itu, aku yang notabene seorang penulis fanfiction pun membuat cerita mengenai mereka. Bisa dibilang, fanfiction yang kubuat merupakan bentuk nyata dari segala khayalanku, meski belum semuanya dapat kutuangkan dalam bentuk tulisan. Aku membuat fanfiction tentang para anggota NCT, terutama dua orang yang kemarin baru ke Indonesia.
Aku kembali berhalu, bukan tentang alur cerita yang akan kubuat, melainkan tentang bagaimana cerita yang kubuat itu dapat mempertemukan aku dengan mereka—NCT. Jadi, aku membayangkan bagaimana fanfiction karanganku dibaca banyak orang, tiap bagiannya mendapat ribuan komentar yang berkesan, mendapat peringkat satu di semua tag, juga ternotice oleh agensi yang menaungi NCT, kemudian dijadikan sebuah drama—meski agensi tersebut tidak membuat drama, mereka bisa bekerja sama dengan stasiun televisi atau label film untuk membuat drama.
Iya, sekali lagi aku memang orang bodoh.
Silakan hujat aku di sini.
Aku membayangkan suatu saat aku akan dipanggil menuju kantor cabang agensi itu, ditawari kontrak resmi, kemudian diajak bertemu dengan anggota NCT yang akan membintangi drama dari karyaku itu. Argh! Aku senyum-senyum sendiri ketika mengetik ini, astaga. Kami pun berbincang, dengan bahasa Korea tentunya—yah, aku membayangkan saat itu aku sudah lancar berbahasa Korea. Lalu, pada akhirnya aku bisa berteman dengan para anggota NCT, dan kupanggil mereka Hyung, karena mereka lebih tua dariku dan aku sedikit geli untuk memanggil Oppa.
Kenapa hanya berteman? Jawabanku adalah, karena aku ini sadar akan diriku sendiri yang tidak pernah pantas bersanding dengan mereka. Tahu diri saja jadi orang.
Konyol sekali, bukan?
Iya, aku memang sinting dan terlalu banyak berhalusinasi. Hujat aku sepuasnya, tak apa. Aku hanya mencoba jujur. Persetan dengan orang yang menyebutku bodoh karena membongkar kejelekan diri sendiri. Inilah diriku, terbuka namun tidak buka-bukaan—mohon pahami sendiri, aku malas menjelaskan.
Banyak orang menyepelekan imajinasi orang lain. Beranggapan bahwa tidak ada manfaatnya memikirkan berbagai hal yang tidak penting. Padahal mereka tidak tahu bahwa bagi sebagian orang, berhalu membawa efek yang cukup baik bagi diri sendiri. Kalau aku, secara pribadi, mengkhayal bisa membuatku sedikit lupa akan segala permasalahan yang ada di kehidupan nyata. Berhalusinasi seperti ini juga membuatku lebih relaks dan bisa mengurangi stres, ada euforia tertentu yang kurasakan. Selain itu, aku juga dapat menuangkan khayalanku itu dalam karya nyata sebagai sebuah cerita, doakan saja kelak aku bisa menerbitkan buku atau novel, lalu dibaca banyak orang, meraih bestseller, dijadikan film box office, dan—oke, cukup ngehalu-nya. Setidaknya, dengan ngehalu, aku tidak akan berpikiran untuk melakukan berbagai hal negatif saat aku sedang dalam masa sulit, seperti self harm atau yang terburuk adalah berpikir untuk mengakhiri hidup.
Aku, seorang remaja labil yang masih butuh pengarahan dan bimbingan, seorang K-popers modal kuota yang tak mampu memenuhi segala macam kebutuhan fangirling, seorang anak yang memilki banyak mimpi dan tengah berusaha untuk meraihnya, dengan ini menyatakan bahwa aku memiliki sebuah bakat yang dipandang sebelah mata dan tidak bisa dibanggakan.
Kata seorang gadis imut bernama Cute Girl, bakat itu disebut dengan—
—Halusin nasi.
Tamat
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top