Filosofi Dengarkan dan Rasakan

Di sebuah rumah kayu berukuran sedang, di teras depan. Duduk seorang gadis yang sedang mengetik sebuah fiksi penggemar dongeng filsafat langit yang sedang populer di Gang Tarena Family, akhir-akhir ini.

Katya merealisasikan idenya tentang Bintang yang seorang pemikir ulung tentang makrokosmos (alam semesta). Katya menyukai segala benda langit, tapi bulan dan bintang adalah favoritnya. Berikut ini cerita pendek yang diciptakan olehnya:

Aku berada di balkon rumah, dengan rak buku mini, dan teleskop mini. Menatap bintang-gemintang memiliki kenikmatan tersendiri untukku. Aku mulai menyukai alam semesta semenjak mengenal filosofi  dari Bapak Socrates. Namun, aku lebih fokus pada filosofi di balik alam semesta. Supaya aku lebih memahaminya, maka aku mengamati daerahku sendiri melalui balkon rumahku. 

Mari kita dengarkan suara-suara di bawah balkonku, beragam bunyinya dari para masyarakat Kota Ilami'ah. Percakapan tentang acara yang harus dihadiri pada Festival AstroSeh bulan ini, kaki-kaki yang berjalan menuju tujuannya masing-masing, dan teriakan menggema dari anak-anak kecil dari taman dekat rumahku.

Beberapa pertanyaan datang bergerumul dalam kepalaku: darimana asal-usul Festival AstroSeh berasal? Kenapa ada bunyi kaki-kaki yang berjalan? Lalu, apa yang membuat anak-anak histeris dari taman? Untuk menjawab semuanya, ayo kita wawancara dengan beberapa orang. 

Aku memasuki rumahku, dan menutup pintu balkonnya. Karena sudah malam harinya, besok saja melakukannya. Untuk rencana wawancara kepada beberapa orang nantinya, aku akan membuat jawabanku sendiri. Perbandingan antara jawaban orang lain dan jawaban pemikiranku.

Inilah jawaban pertamaku: 

[Festival AstroSeh dinamai oleh perempuan berseragam militer, yang sedang berperang membela negaranya sendiri di waktu malam hari dengan kemunculan rasi bintang Taurus. Momen penembakan beserta penglihatan sekilas pada rasi bintang banteng tersebut membuahkan pemikiran aneh dari perempuan ini.

"Ada sebuah lukisan dinding gua (Lascaux di Perancis Selatan) yang memiliki dugaan kuat merupakan gambaran Taurus, dikarenakan adanya titik-titik hitam di atas punggung (Pleiades) dan di wajah (Hyades). Sebuah peninggalan budaya sekitar 17.300 tahun lalu (Rappenglück 1996). Jadi, jika ada sejarah mitologi Yunani dalam astronomi, kenapa di masa depan, diadakan sebuah Festival AstroSeh dalam satu kota?" Pemikiran ini dituliskan dalam sebuah kertas kecil dengan bulu burung bertinta hitam. 

Saat perempuan ini mati dalam perang, sahabatnya menemukan kertas itu dari tangannya yang tergenggam erat. Karena, salah satu orangtua sahabatnya merupakan seorang Anggota Filsuf, di sanalah pemikiran dirisetkan melalui beberapa sumber terklarifikasi, dan diajarkan melalui potongan cerita yang diserbarkan oleh Anggota Filsuf. Isi potongan cerita itu adalah buah pemikiran perempuan berseragam militer yang diketahui namanya Yunaka Wanagiri. 

Tersebar ke daerah tertentu yang ditandai dengan debu-debu warna-warni tertentu, yang merupakan warna kesukaan setiap daerah. Jika, salah satu dapat menemukan potongan-potongan cerita menjadi utuh, namamu akan diukir di papan pantung Yunaka Wanagiri. Karena, permainan ini disukai semua orang, berkembanglah menjadi sebuah Festival AstroSeh].

Jawaban keduaku:

[Karena, gesekan-gesekan yang dihasilkan dari sepatu dan sendal yang dipakai oleh masyarakat. Namun, kupikirkan lagi. Jika, tidak ada gesekan-gesekan itu, maka apa yang akan dipakai oleh masyarakat? Sepeda? Tidak, karena roda juga perlu gesekan untuk menjalankannya. Kaki yang ditanjakkan juga diperlukan untuk menggerakkannya, ’kan? Mobil ataupun motor? Tidak, karena diperlukan juga gesekan.

Kembali lagi pada tapak kaki, bila ada manusia yang membenci gesekan, apa yang perlu ia lakukan jika ingin berjalan? Tidak ada, ia hanya perlu diam. Diam, tidak ada gesekan. Namun, kita harus berjalan. Berjalan untuk membuka pintu, jalan-jalan,  berdaki, dan lain-lain. Berjalan untuk kesehatan seluruh tubuh di bawah sinar matahari. Jadi, manusia sudah diatur sedemikian rupa untuk berjalan dengan bunyi-bunyi ketuk dari gesekan yang dihasilkannya].

Perasaan kantuk mendera kepalaku, aku berjalan ke kasur. Memakaikan selimut, lalu menutup mataku.

Keesokan harinya, aku pergi menuju rumah kawan karibku. Rencana akan kuubah, dari 'beberapa orang' menjadi 'satu orang'. Kuketuk pintu rumahnya dan memanggilnya.

"Pur!!" teriakku menggedor-gedor pintu secara kencang. Tak peduli pada orang-orang sekitar.

"Iya, iya, bentar atuh." Seorang lelaki, yang tubuhnya lebih tinggi dariku, kulit putih, rambut hitam, dan mata hijaunya tampak menatap tajam padaku. "Oh, Bin. Silakan masuk."

Purnama membuka pintu rumahnya lebar-lebar, berjalan masuk ke dalam untuk menyiapkan kudapan untuk tamunya. Segera, aku berbaring di sofa panjang ungunya yang sangat lembut ketika ditepuk. Nyaman sekali, apalagi ditambah udara segar dari AC.

"Rumah Pur, terbaik." Aku mengangkat jempol sendiri, lalu duduk kembali.

Purnama datang membawa nampan kue untuk (kue khas dari Banjar) dan jus jeruk dingin ke meja bundar yang berada di depanku. "Silakan dimakan, Bin. Langsung saja, mau apa Bintang ke sini?"

Aku memakan untuk, memberikan kertas kecil berisi pertanyaan dan jawabanku tadi malam kepada Purnama. Sementara cowok jangkung itu membaca, aku mengambil dua untuk, karena rasanya yang manis membuatku serakah.

"Kapan pemikiran itu muncul di otak acak-acakkanmu, Bintang?" tanyanya melempar kertasku di hadapanku. Tampak, wajahnya tidak senang dan rahangnya mengeras.

Ekspresi Purnama melambangkan ada kegusaran sebelum aku datang ke sini. Aku berinisiatif menanyakan, "Pur, keadaanmu baik-baik saja, 'kan?"

Cowok jangkung itu menggeleng, menghindari tatapan gusarnya dariku. Aku berjalan ke arahnya, memegang pipinya, lalu mengelusnya secara lembut. "Apa yang terjadi, Pur? Jangan ada rahasia-rahasiaan di sini, kita sudah berjanji, 'kan?"

Aku tersenyum lebar, ingin membuat suasana antara kami berdua langsung cair. Namun, aku tau, Purnama tidak akan mau memberitahuku. Karena, takut beban berat dari pundaknya berpindah ke bahuku yang dari luarnya tampak rapuh. Aku pun membawanya dalam pelukan.

"Pur, tak apa berbagi cerita. Setidaknya, beban beratmu sedikit terangkat. Begini saja, kamu bercerita, maka aku akan menceritakan satu rahasiaku. Gimana?"

Purnama mengetahui satu rahasiaku itu. Aku tahu, momen ini terus berulang-ulang beberapa bulan terakhir. Ini harus dihentikan, jika tidak, waktu di Kota Ilami'ah akan terganggu. Sekali saja itu terjadi, diperlukan seseorang yang mengerti hakikat waktu sejati yang dapat menghentikannya.

"Tadi ibuku datang ke sini, ingin bertemu sejenak padaku. Karena ... aku tidak mau bertemu dengannya semenjak kejadian itu, ibuku malah memaksaku bertemu. Terpaksa, aku mengusirnya dengan nada tinggi. Betapa sakitnya hatiku, melihat ibuku dengan wajah memelas dan sakitnya?" Purnama mengeratkan pelukannya pada pinggangku. Menenggelamkan wajahnya di punggungku.

Aku mengelus kepalanya pelan-pelan. Memberikan kehangatan yang diperlukan padanya. Purnama, lelaki yang tidak senang dalam segala hal.  Bahkan, berbagi masalahnya terasa berat baginya. Pandangannya pun terhadap kehidupan sangat terasa kelam.

"Purnama, terima kasih untuk sedikit ceritamu." Hanya itu yang kukatakan. Untuk penyelesaian masalahnya, kawan karibku harus menemukannya sendiri. Aku hanya perlu mendengarkannya.

"Ayo, kita lanjutkan." Purnama melepaskan pelukannya, lalu membawaku ke sofa ungu. Tektur lembutnya sangat menenangkan.

Purnama mengambil kertasku, lalu mengamatinya lekat-lekat. "Bin, jawaban dari pertanyaan pertamamu ... menurutku, terlalu liar untuk imajinasi dalam kepalamu. Jawabannya sederhana, para pendiri Kota Ilami'ah yang menciptakan festival ini.

Permainannya juga berbeda. Dalam lima tantangan di tempat-tempat berbeda, ada beberapa surat yang berisi tentang astronomi dan sejarah. Ini untuk menguji para hadirin mengenai pengetahuan mereka dalam bidang astrologi dan sejarah."

Aku cengar-cengir, "Masa, sih, pasti alasan di balik para pemimpin menciptakannya. Contohnya, karena ingin membagikan cara rahasia menuju ke Bumi masa lalu. Kamu, tahu, 'kan, kehidupan di sana sangat nyaman dan sederhana?" Terlihat, aku sangat menginginkannya.

Purnama menepuk dahinya, "Bintang Kusuma, mesin waktu itu nggak ada. Tolong, jangan melihat Bumi masa lalu. Kata bapak-bapak di warung kopi seberang sana, pemandangannya di sana tidak mengenakkan. Para penduduknya, tidak memiliki kebaikan-kebaikan di hatinya, berhati-hatilah." Seakan-akan, menganggapku tidak bisa menjaga diri.

Dasar, protektif! Aku sudah berumur delapan belas tahun. Ya, walau beda dua tahun sama Purnama. Agar membuatnya diam, aku berencana menyudutkannya, "Purnama Nur Azzahra. Pertama, aku bisa menjaga diriku sendiri. Kedua, jangan sok tahu tentang penduduk Bumi. Dari buku ensiklopedia Bumi Masa Lalu, penduduk di sana baik-baik, kok. Ketiga, imajinasi memang sangat liar, jangan ‘liar’ saja, Pur. Terakhir, jangan hina jawabanku bila tidak mau memberikan jawaban filsafat ini!”

Purnama menggeleng, tetap berpegang teguh pada keyakinannya. “Tetap, kuanggap mereka jahat. Masa, kamu lebih memercayai bacaan buku yang tidak dipercaya daripada ucapan bapak-bapak?” Cowok jangkung itu mengangkat sebelah alisnya.

Aku melipat tanganku, mendengkus tak acuh. “Ck, kita sambung ke pertanyaan berikutnya.” Aku menyampirkan poniku ke arah kiri, “Menurutmu gimana?”

Purnama sekali lagi melihat, dan menggeleng kepalanya. Pertanda kecewa. “Ada satu kalimat sebelum akhir jawabanmu yang tidak ada hubungannya sama sekali. Memang, manusia akan sehat ketika berjalan. Namun, balik lagi pada pertanyaannya, kenapa ada bunyi ketika kaki berjalan? Aku bisa jawab, tuh, jawabannya.” Memasang wajah sombongnya. 

Aku berdiri, mengentak kaki ke lantai kuat-kuat. Memasang wajah segarang mungkin, saking kesalnya pada nada bicaranya yang santai. “Heh! Apa ada masalah dengan jawabanku? Oke, kuakui. Namun, ikut aku keluar, Pur. Ada yang ingin kutunjukkan.”

“Oke,” jawabnya singkat. Purnama berdiri, lalu mengikutiku keluar rumahnya.

Aku mengambil sepeda motor Purnama, dan menyuruhnya naik. Sesudah memakai helm, aku memutar kunci untuk menghidupkannya. Kemudian, sepeda motor yang bercat biru itu melayang, mulai berjalan ke jalanan raya yang terhubung ke pusat kota.

Udara sekitar tampak nyaman. Dari pohon-pohon yang ditanam dengan pin matahari yang dibuat oleh para ilmuwan terkemuka Kota Ilamia'h.

Namun, aku lebih mengharapkan pohon yang alami. Pohon yang diciptakan oleh Allah.

Dalam perjalanan, terdengar teriakan nyaring anak-anak kecil yang bolak-balik ke Pusat Monokrom, tempat di mana para anak-anak berbakat menampilkan keterampilan membuat barang-barang zaman sekarang.

Di tempat lainnya, ada lagi teriakan samar-samar dari anak kecil lainnya. Mungkin, mendapatkan sesuatu yang tidak terduga. Aku tidak mengetahuinya, hanya mendengar gema teriakan itu.  

Sesampainya di pusat kota, kami memarkirkan motor melayang di Lapangan Minor-Minor, acara Hari Kanak-Kanak Musik sedang berlangsung. Di sinilah tempat Raja Komet berpidato tema “Dengarkan dan Rasakan.”

Segera, aku dan Purnama memasuki Lapangan Minor-Minor dengan membeli tiket masuk. Lalu, mencari tempat duduk antara tenda-tenda yang berdiri. Di salah satu Tenda Monokrom, aku menarik tangan Purnama ke kursi terdepan, yang kosong melompong.

“Bentar lagi acara dimulai, harap kamu mendengarkan, Pur. Nanti, aku akan menjelaskan sesuatu sesudah pidato Raja Komet,” jelasku melihat ponsel berbentuk kupu-kupu milikku.

Purnama mendengkus, lalu mengangguk diam. Aku tertawa kecil, dan fokus ke depan. Raja Komet sudah di tengah-tengah panggung berkarpet merah muda, dengan microphone di tangannya. Kumpulan bunga sepatu menurun ke lantai panggung.

“Test. 1 2 3, cek. Bom, cis! Halo para hadirin semua! Saya, Raja Komet akan berpidato, asik-asik cus!!” seru membuat acara seru dan ramai.

Para hadirin, termasuk aku tertawa kecil. Harus sabar menghadapi pemimpin yang ingin tampil konyol.

Suasana berganti serius, hadirin mulai memasang seringai lebar. ‘Semuanya’.

“Dengarkan dan Rasakan, hadirin. Waktu sudah kacau, karena dua anak ini. Bintang dan Purnama, giliran kalian untuk menerima permainan ini.” Raja Komet berpindah ke tempat kami, lalu memegang bahu kami.

Kembali ke panggung, diubah dengan teknologi menjadi panggung merah mawar. Bunga mawar dengan api kecil turun secepat kilat ke lantai. Rasakan apinya yang panas di bawah kaki kami.  

“Filosofi kalian terhadap tiga pertanyaan tadi, benar-benar sesuai tema. Aku akan menjawab Jawaban Ketiga. Anak-anak berteriak, karena melihat kalian memainkan permainan favorit mereka. Dengarkan dan Rasakan. Dimulai!!” Raja Komet merentangkan kedua tangannya ke atas, menghilang dengan tawa besar.

Seluruh hadirin, berteriak mencercaki pendengaranku dan Purnama. Kami sama sekali tidak takut, karena sudah mengetahuinya dari awal. Ini bukanlah permainan, tapi hukuman yang harus ditanggung seumur hidup. Di bawah kota kecil yang penuh rahasia, Gang Secret’s Family.

Tamat

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top