Arti Persahabatan

Hariku dipenuhi dengan rasa jenuh. Mungkin aku berbeda dengan mereka. Aku menyukai kesendirian. Di tengah kesendirianku, musiklah menjadi temanku. Aku tak peduli perkataan orang tentang diriku. Untuk apa mereka mengomentari hidupku, kalau mereka sendiri saja belum tentu benar? Aku selalu malas jika harus bertemu banyak orang.

Hari-hariku terus saja begitu. Hingga aku sangat jenuh sekarang. Saat seperti ini, aku mencoba melakukan hal lain seperti membaca sebuah hobi yang kuminati yakni astronomi.

Sepertinya aku harus keluar, di taman kota adalah tempat favoritku ditemani buku bacaan. Biar aku dibilang sok pintar, aku tak peduli. Yang penting aku bahagia.

Saat itu pula, ada seseorang yang memperhatikanku. Aku merasa dia memandangiku. Aku sedikit melirik ke arahnya. Wajahnya terlihat tak asing. Namun, bisa saja aku salah orang. Aku bersikap biasa saja, seolah tak apa-apa.

Ia mendekat ke arahku. Kami duduk menjaga jarak. Dia sepertinya ingin berbicara denganku, namun ia tak berani. Hanya suara riuh yang menemani kami. Sudah sepersekian menit ia di sebelahku. Jari-jemarinya mengetuk kursi panjang. Kakinya ia hentakkan. Aku masih cuek saja dengannya.

Kuputuskan untuk menutup buku bacaanku sejenak. Aku menghela napas ringan, menikmati udara pagi ini. Hingga tak sadar, mata kami saling bertemu. Ia tersenyum hangat. Aku merasa nyaman dengan gadis ini. Seperti aku pernah melihat senyuman ini. Namun, aku tak ingin ambil pusing, aku kemari untuk membuat hatiku senang, bukan untuk memikirkan hal ini.

"Oh, sendiri saja." Ia membuka suara, sepertinya ia mencoba untuk santai saat berbicara denganku.

Karena dari luar aku terlihat cuek, sehingga orang yang akan berbicara denganku akan terasa tak nyaman. Jangan heran, itulah aku yang sebenarnya. Bahkan tatapanku pada orang yang tak kukenal seperti tatapan elang. Bahkan, untuk mencoba tersenyum saja, aku terpaksa.

Aku menjawab singkat, "Ya. Kamu?"

"Aku juga sendiri menikmati semua ini tanpa temanku." Dia menatapku dengan tatapan hangat.

"Oh begitu, sesekali sendiri gak masalah." Aku memberikan pernyataan itu spontan.

Dia menatapku heran. Aku hanya cuek saja. Ia juga memperhatikan penampilanku. Aku merasa risi sekarang.

"Ada apa? Ada yang salah dengan diriku?" tanyaku terbuka.

"Kamu Amelia 'kan teman SMA ku?" Ia menunjukku.

"Ha? Kok kamu tahu? Eh tapi sepertinya aku mengenalmu. Ini akibat lama tak bertemu denganmu." Aku tersipu malu dan mencoba menerkanya.

"Ninda!" Aku berucap antusias.

"Nah itu inget, kamu tetep aja, Mel. Gak berubah aja cuma penampilanmu agak mendingan. Sekarang kamu agak kurusan." Ninda terkekeh padaku.

"Bagiku kurang kurus ini. Aku menjalani diet kan lama." Aku mencebilkan bibirku.

"Pasti kamu makan pantangan juga, gorengan kan?" Ninda menepuk pundakku.

"Ya gitu deh, Nin," ucapku santai.

"Sekarang, kamu gimana Mel. Pasti banyak perubahan ya?" Ninda tiba-tiba berucap seperti itu.

Aku heran kenapa dia bertanya seperti itu. Jika tak ingin berteman denganku ya sudah!

"Ya, gitu deh. Masih kayak dulu. Emangnya ada apa?" Aku berusaha santai walau sebenarnya tersingggung.

"Kamu harus berubah, Mel. Udah seharusnya kamu itu mencintai diri sendiri." Ia menatapku hangat. Lagi, tatapannya ini membuatku terharu. Padahal dia dulu cuek denganku.

"Maksudmu?"

"Aku pengen kamu itu bisa bergaul, Mel." Dari ucapannya sudah pasti dia itu tak menyukaiku.

"Eh ya deh," dalihku.

"Aku tahu kamu pasti bisa, hanya saja kamu itu pemalu. Ayolah, aku senang bertemu denganmu. Entah kenapa nyaman gitu." Ucapannya lembut.

Aku pun jadi tak tega jika meninggalkannya. Biarkan saja seperti ini. Aku tak tahu sampai kapan ia bertahan berteman denganku. Aku orangnya monoton.

Aku bersandiwara saja terhadapnya.

"Oh ya, Minggu aku akan mengajakmu jalan. Kita memilah baju." Dia berucap antusias.

Ini hal yang aku benci dari seorang gadis. Belanja lagi. Aku paling tidak suka jika yang dibicarakan adalah belanjaan. Bukan berarti aku tak butuh berbelanja. Tapi, aku yakin ia mempunyai baju yang bagus. Jika aku jujur, dia pasti kecewa.

"Ya, santai aja." Aku tersenyum palsu.

"Nah, gitu dong." Ia membuka ponselnya.

Aku memperhatikannya, dia berbeda denganku. Lebih anggun daripada aku. Pasti banyak orang yang mengaguminya. Tapi, aku tak suka menjadi orang lain. Walau terlihat cuek biarkan saja, tapi aku harus berbohong padanya agar ia tak sakit hati.

Hari-hariku diisi dengan percakapanku dengannya di WhatsApp, bahkan ia juga kadang menghampiriku dan mengajakku pergi, ia mengenalkanku tentang kehidupan. Saat itulah, aku malu pada diriku sendiri. Dari caranya, ia berteman denganku apa adanya. Aku berubah sedikit, mencoba membuka diri.

Aku mulai bisa tersenyum, menyapa orang, berbicara pada orang yang tak kukenal seakan aku bermasyarakat. Namun, yang sulit adalah rasa percaya diriku ini yang masih rendah. Kenapa aku tak bisa yakin.

Hari ini, kami mengunjungi taman kota setelah menemaninya berbelanja. Ia memberikanku makanan, hal ini membuatku malu. Saat dia asyik menikmati bakso, aku membuka suara, "Kamu yakin mau temenan denganku? Aku orangnya kayak gini lo." Aku mulai terbuka padanya.

Dia menghentikan aktifitas makannya. "Aku sama siapa pun berteman kok, mau dia itu kayak gimana juga aku temeni kok."

"Aku tuh orangnya gak suka sama kebanyakan orang. Mereka semua pasti milih temen. Makanya aku cuek aja seakan aku tak peduli pada orang lain. Tapi, semenjak ketemu kamu, aku merasa lebih baik lo." Aku hanya menatap bakso, masih tak percaya mempunyai teman sepertinya.

"Kok gak dimakan, Mel?" tanyanya heran.

"Gak apa sih, terharu saja aku," ucapku sembari menatapnya dengan ragu.

Aku malu sekarang. Merasa tak pantas mempunyai teman sepertinya. Namun, aku senang bisa bertemu dengannya. Aku mengerti teman yang baik adalah seperti ini. Terkadang ia juga berucap tajam, namun dia sebenarnya mengajakku baik. Aku orang yang tak bisa menerima diri awalnya. Setelah bertemu dengannya, aku mencoba biasa dalam menghadapi ucapan yang menyakitkan karena itu motivasi sebenarnya.

"Eh, ya kamu gak bosen temenan sama aku?" Aku bertanya padanya sebelum ia kecewa. Karena teman Ninda sangat banyak, berbeda sekali denganku.

"Kenapa ngomongin itu. Aku malah nyaman, Mel." Ninda menatapku heran.

"Ya kan temanmu banyak daripada aku."

"Oh ya, Mel. Kamu mau aku kenalkan ke temanku. Dia juga baik kok." Ninda berucap antusias.

"Aku gak masalah kok. Malah suka sebenernya." Aku tersenyum senang. Senyuman yang tak kubuat.

"Bagus deh kalau gitu. Kapan-kapan ya." Ninda menyengir padaku.

Datanglah hari dimana aku dan Ani saling mengenal, namun aku masih saja canggung. Tak mudah diriku menjadi seperti orang lain yang mudah akrab. Tentu ini menyebalkan.

Aku mencoba untuk mengimbangi dengan sikap Ani yang terlihat hangat. Ani dan Ninda hampor,sama menurutku, bedanya Ani lebih sedikit diam daripada Ninda. Dari sana aku lihat cara dia berbicara, menarik sekali. Aku baru mengenalnya saja sudah merasa nyaman. Pun Ani dan Ninda mengenalkanku tentang pentingnya bersosialisasi.

Aku sangat malu pada diriku yang berbeda. Namun, percuma saja jika aku malu, yang kulakukan adalah aku mencoba untuk bisa bersosialisasi. Ternyata mempunyai cukup teman adalah hal yang menyenangkan. Yang lebih kusuka adalah berteman yang mengajarkan arti kebaikan.

Lama-kelamaan aku dan Ninda menjadi orang yang suka bergurau. Awalnya aku benci dengan guraannya. Namun, jika itu membuatku lebih maju aku justru senang. Aku tak bisa membalas budi yang Ninda berikan. Ani terkadang juga menanyakan aku ketika tak ada aku, melalui Ninda.

Yang pasti dalam berteman itu aku harus imbang antara Ninda dan Ani. Semua yang baik kuterima. Dunia ini tak selamanya jahat, karena karakter orang berbeda semua. Terkadang, Ninda tak cocok dengan orang lain dan merasa nyaman denganku.

"Mbak, kapan-kapan aku ajak ya ke taman baca di alun-alun." Ani tersenyum padaku seusai mengatakan hal tersebut.

"Aduh, gimana ya mbak. Aku itu kayaknya gak bisa." Aku menjawab asal.

"Kenapa mbak? Mbak sibuk?" tanya Ani dengan dahi berkerut.

"Ya mbak, kayaknya aku banyak acara." Aku tersenyum padanya.

Setidaknya dengan mengatakan hal tersebut tidak menyakiti perasaannya. Orang sepertiku gampang jenuh. Jadi aku membuat alasan tersebut agar dia tak mengajakku.

"Mbak, kalo gak bisa gak apa. Aku gak maksa. Sesempatnya saja." Ucapan Ani terdengar lembut.

Aku tak enak padanya. Aku masih tak bisa terbuka walaupun merasa nyaman. Takut jika dia mengetahui sikapku ini, ia akan menjauh.

"Makasih ya mbak." Aku menepuk punggung tangannya halus.

"Santai aja."

Hari-hariku kulalui karena menghindar dari mereka. Itu kulakukan karena aku malas setiap Minggu aku diajak pergi. Sementara selain hari itu aku bekerja. Kami pun seperti dulu. Ada rasa rindu saat tak bersama mereka. Mereka yang bisa membuatku mengerti arti hidup. Aku memandangi foto kami. Foto dimana aku bisa tersenyum riang. Tanpa sadar, air mataku menetes. Kubiarkan air mataku menetes, mengingat mereka. Bukan karena sedih, namun aku terharu bisa memiliki teman seperti mereka. Mulai hari ini, aku akan mencintai diriku sendiri. Akan kujaga semua ini.

Aku mengambil ponsel di tasku, hendak menghubungi Ninda.

"Halo, Nin, kamu sibuk gak?"

"Kamu sombong ya sekarang." Ninda berucap seperti sedang meledek.

"Kayak gak tahu aku aja. Aku kadang juga WA kalo penting. "Aku terkekeh mendengar pernyataanku sendiri.

"Masa?" Ninda pun bertanya dengan nada tinggi. Lalu, ia terkekeh.

"Aku bercanda, Mel. Santai aja." Ninda berbicara dengan santainya.

Jadi tadi itu bercanda. Aku saja yang terlalu terbawa perasaan. Mungkin karena aku kurang bergaul jadinya aku mudah terbawa perasaan.

"Jadi, aku mau ngajak ketemuan di taman kota," ajakku.

"Eh. Sama Ani ya?" Ninda menyela.

"Boleh." Aku kira Ani sibuk, ternyat tidak.

"Kapan?" tanyanya.

"Sore ya jam 15.00."

"Siap." Aku berucap mantap.

Beberapa jam kemudian, aku sudah berada di taman kota sendiri menunggu mereka. Aku hanya mengamati jalanan yang ramai dan rindangnya tempat ini. Tak lama, Ani dan Ninda datang dari arah belakang.

'Siapa?' Aku terkejut.

Persahabatan kami walaupun kami berbeda karakter namun kami tetap saling memahami.

Tamat

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top