Akulah Antagonisnya!

“Fear is only in your mind;
But its taking over all the time.”

-Evanescence-

---

11.35 PM

Sesaat yang lalu, motorku melaju dalam kecepatan tinggi. Aku terlalu banyak membuang waktu, tanpa pernah kusadari bahwa waktu telah jauh menelantarkan kewajibannya atasku. Aku sedang memikirkan bagaimana caranya agar aku bisa bicara di depan dosenku tanpa tergagap, tatkala tiga ekor kucing—benar-benar tiga ekor!—berlarian melintas di depanku. Kutarik pedal rem di kedua tanganku, dengan jantung menderu.

Sungguh, aku akan berterima kasih pada tiga ekor kucing itu jika kehadiran mereka mampu membuat nyawaku hilang malam ini juga. Hanya saja, aku khawatir jika justru merekalah yang akan mati karena ulahku. Itu hanya akan menambah masalah hidup yang tak kunjung usai.

Masalah-masalah sepele itu menggerogoti isi kepalaku sampai habis. Menjajah setiap ruang kosong dan melarangku menarik napas lega. Setiap orang berusaha mengatasi masalah mereka sendiri. Setiap orang dengan ego mereka sendiri. Lalu aku? Berlari, mengulur waktu, tertelan buai duniawi, terseret arus pelupaan, tersesat dalam kepalaku sendiri. Mengeluh. Mengeluh. Lalu yang kutemukan hanyalah jalanan buntu.

Oh, jangan hiraukan racauanku malam ini. Isi kepalaku terlalu kacau untuk bisa dipahami oleh jiwa-jiwa dengan sekelumit pikiran rumit. Kesederhanaanku hanya terbatas pada kenikmatan mengeluhkan masalah. Kubiarkan bibirku bicara terbata tanpa irama dan bermakna kacau, hingga berakhir dengan penolakan. Ah, hidup. Bukankah lebih mudah mati? Pikiran kelam ini menyesakkan. Aku menghirup oksigen, tapi hatiku sesak oleh jelaga tak kasat mata. Kepalaku yang tanpa isi ini terasa penuh, memuakkan. Aku sudah menangis pada waktu-waktu yang kusesali, tak ada efeknya.

Manusia berlalu lalang di sekitarku, tapi kondisiku tak pernah berubah. Kadang kala, terasa menyenangkan bisa membuat semua orang tertawa. Terasa membahagiakan tatkala semua orang terdiam ketika mendengarkanku bercerita, menyimak. Tapi barangkali tak ada yang tahu bahwa sunyi mencengkeramku erat bagai karat dipeluk lautan, hilang. Tak satupun dari mereka yang tetap tinggal sewaktu tanganku menggapai-gapai meminta diselamatkan. Ah, aku tak lagi punya kaki untuk melintasi dunia. Langkahku bukan sesuatu yang mampu membuat bunga seketika mekar.

Jalanan menawarkan sisi lain tatkala deru dan polusi melengang di tengah malam. Kekosongan itu penuh kebebasan, sekaligus memacu adrenalin—karena kau bisa saja dicadang hantu atau manusia. Maut mengintai—sesuatu yang tak kunjung datang menjemput ruhku. Ah, maut, andai cintaku padamu terbalaskan, niscaya dadaku takkan terasa sesesak ini. Andai mautku sedekat maut tiga ekor makhluk bernyawa sembilan yang melintas di hadapanku beberapa waktu lalu, pastilah semuanya takkan terasa sekacau ini.

Bagaimana caraku menyampaikan sebuah cerita kehidupan yang tak segera diakhiri oleh pemilik skenarionya? Padahal sosok itu terlalu figuran untuk tetap hidup. Segalanya antiklimaks, tak pernah berakhir, seperti sinetron ribuan episode yang menemaniku tumbuh dewasa. Aku muak, pada diriku sendiri yang tak bisa mengendalikan raga.

Aku butuh kebebasan abadi, tak peduli segelap malam yang ditinggalkan, sebab cahaya sama sekali tak membebaskanku. Aku butuh berlari tanpa pernah pulang, agar aku cukup letih sehingga tak lagi mengeluh masalah uang cicilan yang bertumpuk-tumpuk, dosen pembimbing yang memburu judul skripsiku yang tak kunjung rampung, manusia-manusia yang datang hanya saat butuh bantuanku. Wah, aku ingin menuntut surga untuk itu. Tapi aku mungkin tak cukup bernyali untuk menuntut Tuhan, sebab aku telah mengutuki diri seumur hidupku.

Mungkin kau sudah muak menunggu akhir dari sampah yang kutebar-tebar di halaman ini. Aku tak akan menyampaikan dialog, kecuali saat ini aku tengah bercerita padamu. Iya, kamu. Aku tahu hanya kamu yang benar-benar peduli saja yang akan sampai pada baris bertele-tele ini. Jadi, terimakasih masih bertahan. Karena aku masih akan menarasikan getir yang menguasai kepalaku bertahun-tahun.

Pernah menjadi korban bully? Jika tidak, selamat. Karena aku acapkali mengalami itu dan mungkin, karenanya aku menjadi bertambah muak dengan kehidupan. Pernah merasa tertekan seakan dunia tak pernah berpihak padamu? Aku sedang, dan sering merasakan ini. Pernah merasa tak ada satupun orang yang bersyukur tentang kehadiranmu? Tidak? baiklah, mungkin memang takdirku untuk tetap sendirian. Atau mungkin dunia tak pernah salah, manusia tak pernah salah, kamu pun tak pernah salah. Akulah antagonisnya!

Akulah yang memandang dunia dengan picik. Sesuatu di dalam kepalaku menghasut dengan rayuan keji agar aku benci. Sesuatu dalam sudut nurani membentak hingga aku bersedih. Luka ini menganga karena ulahku sendiri. Aku yang tak mampu mengatasinya. Aku yang tersesat dan terlantar. Aku yang meninggalkan dunia untuk tenggelam dalam fantasi. Aku yang ingin lari dan mengisolasi diri. Aku yang membuang diri. Lalu apa mauku?

Sederhana. Aku sudah mengulang-ulang inginku sejak aku memutuskan untuk benar-benar memuntahkan isi kepalaku di sini. Mati. Atau pergi. Aku muak menyeret-nyeret rantai kekang di kaki acapkali aku berjalan. Aku benci ketidakberdayaanku, aku benci kepalaku memicu pemberontakan-pemberontakan samar. Aku benci menjadi kasar. Aku benci menjadi binatang liar yang tersesat di taman safari. Surga itu bukan untukku, terlalu semu. Cahaya itu bukan untukku, terlalu menyilaukan. Bahagia itu bukan nama tengahku, terlalu hedon! Ah, satu-satunya kunci untuk melarikan diri ada di tangan dosenku. Butuh setengah tahun lagi untuk menanggalkan satu kekang, tapi aku tak yakin bisa bertahan selama itu. Aku memendam ini terlalu lama, sebab takada telinga untuk mendengarkan sumpah serapahku. Jika kusampaikan, bibirku hanyalah mata pisau yang akan melukai hati orang lain. Tak ada raga yang bisa kupeluk untuk melepaskan semua dahaga akan kasih sayang, sebab tanganku terlalu kasar untuk mendekap kelembutan. Ha, aku benci setiap aspek yang melekat pada hal-hal duniawi.

Suatu waktu, aku pernah berdiri di lantai lima sebuah pusat perbelanjaan. Sendiri, depresi, menahan napas, menulikan telinga sehingga ramai menjadi sunyi. Betapa nikmatnya menyaksikan kepalaku menghantam lantai dingin di bawah sana, pecah berhamburan, leher patah, mata nyalang, lalu mati sia-sia. Alangkah indah imaji membenturkan hasratku untuk mati. Walau agak memalukan jika sampai masuk koran yang akan berakhir sebagai bungkus cabai. Namun nyaliku tak pernah sebesar itu. Akulah pengecut yang menghakimi waktu. Akulah pengecut yang menuntut semesta untuk memaklumiku. Tuhan, apa susahnya memerintahkan salah satu malaikat mautmu untuk mengambilku secara sukarela? Aku tidak meminta surga, memang tak pantas bagi pemilik kepala jalang sepertiku.

Di waktu lain aku berhenti paling depan di sebuah perempatan lampu merah. Sebuah tronton melenggang menyeberangi jalanan, kutarik gas motorku hingga sensasi terancam kematian menjadi begitu menggebu, tapi tangan kiriku pengecut. Dicengkeramnya erat rem sehingga konflik itu menjadi begitu memusingkan. Bayangan tubuh hancur terlindas truk adalah sebuah oase yang menjadi tumpu dari harapan-harapanku atas kesulitan hidup. Begitu mudahnya menjadi tidak bersyukur.

Lalu aku dengar orang-orang mencemooh korban-korban bunuh diri. Hei, jangan jadi hakim dadakan. Perlu ada lisensi untuk itu. Kamu syukuri saja hidupmu agar jadi berkah. Dan biarkan orang lain memilih jalannya sendiri. Karena tak seorangpun bisa memahami isi kepalamu kecuali dirimu sendiri. Tak ada yang pernah mengerti beban sepele ini benar-benar menguras emosi. Sekali lagi, akan kukatakan ini sampai kau juga muak mendengarnya: aku muak!

Lalu kuingat kembali fase-fase di mana aku tersenyum sepanjang hari, merasa segar selamanya, makan berpiring-piring nasi, menumpahkan bersendok-sendok cabai pedas dalam kudapan tanpa menderita maag. Sudah lama sekali! Aku tahu bagaimanapun caranya aku akan kembali ke fase itu. Namun, karenanya aku juga tahu, aku akan kembali digerogoti pikiran jahat dalam kepalaku. Aku akan kembali ke sini, fase mengerikan dalam hidup. Terpuruk, dan merasa tak berarti. Aku rindu hari-hariku yang normal, tapi aku sudah terlalu picik untuk kembali normal.

Tidak ada pesan moral apa pun dalam tulisan ini. Sampah ini akan tetap menjadi sampah. Terlalu keruh untuk bisa dijernihkan kembali, terlalu kusut untuk diurai kembali. Jangan tanya apa masalahku. Akui saja, kamu hanya penasaran, bukan? Tentang siapa aku, apa masalahku, setelahnya, kamu melenggang keluar dari hidupku.  Jadi, jika kamu ingin berhenti membaca sekarang, lakukan saja. Kabari aku, iklan apa yang menghambatmu untuk menggulir bagian selanjutnya.

Malam ini adalah hari yang panjang. Hari ini adalah hari yang melelahkan. Jika menumpahkan segalanya di sini bisa membuang emosi negatifku, niscaya akan kulakukan seumur hidup. Tapi, berbahaya jika semua orang tahu tentangmu lebih banyak daripada dirimu sendiri ‘kan? Jadi, aku memutuskan untuk pulang. Merebah, mencoba lupa, menutup mata. Andai menarik napas membuat kekosonganku terisi. Andai membuang napas turut membuang sesak di dada, pastilah hidup akan menjadi lebih mudah. Andai menangis membuat kepalaku jadi lebih ringan, tetapi aku sudah menangis berhari-hari. Keadaan malah menjadi bertambah pelik, bertambah buruk, bertambah mengerikan!

Aku butuh teman bicara untuk menjagaku tetap waras, tapi bicara dengan manusia membuatku semakin merasa teralienasi. Aku bukan bagian dari mereka, atau dari siapa pun juga. Tak ada yang bisa kugenggam erat untuk mengatasi ketakutanku. Mereka menjilat semua yang mampu kuberikan pada mereka. Menjilat, lalu lupa. Sudah kubilang! Tak ada yang akan menarik tanganku sewaktu aku mengais-ngais minta diselamatkan. Tapi mereka akan menarikku ke jurang bersama mereka, agar mereka tetap selamat. Sekali lagi, bukan mereka yang salah. Mereka adalah bagian dari semesta dan semesta tak pernah salah. Aku, akulah antagonisnya!

Ah, ternyata kamu masih membaca ceritaku sampai habis, ya? Aku ternyata menyedihkan, bukan? Tapi aku bersumpah, tidak ada yang akan menyaksikanku memungut kepingan mozaik hidupku yang pecah sambil menangis. Tidak kamu, tidak juga semesta. Akan kubiarkan semuanya tetap berantakan. Akan kubiarkan semuanya tetap bertahan pada tempatnya. Karena aku sudah tak cukup waras untuk memperbaiki segalanya. Duka panjang tak tertahankan ini memicu iblis dalam jiwaku untuk muncul ke permukaan. Akulah iblis culas yang tengah mengumpat padamu sekarang! Pergilah! Akulah antagonisnya! Biar kusebar satir keji untuk membuatnya lebih mudah. Dan jika besok kamu dengar kabar tentang kematianku, tolong jangan datang. Jangan juga memenuhi media sosialku dengan ucapan belasungkawa palsu. Jangan pula mengadakan buka bersama dengan kedok melayat dan mengirimiku bacaan yaasiin. Namun, jika besok aku masih hidup, aku tetaplah aku dengan segenap ketakutan dan kekalutanku. Hanya aku saja yang tidak akan berubah.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top