SEMBILAN-MY DAUGHTER
Sembilan
5 tahun yang lalu
Fauzan baru pulang dari kantornya, banyaknya pekerjaan membuatnya sangat lelah. Apalagi masalah yang diciptakan oleh mertua dan orang tuanya, yang membuat Fauzan kehilangan waktu istirahatnya.
Fauzan masuk ke dalam rumahnya, memgedarkan pandangan di sekeliling ruang tamu. Sepi. Kemudian berjalan menuju kamarnya.
Fauzan membuka pintu kamar dengan pelan, takut Ara terusik dengan kehadirannya. Tetapi Fauzan tidak menemukan keberadaan Ara di sekitar kamar.
"Ara," panggil Fauzan agak keras, melihat pintu balkon yang terbuka menarik Fauzan menuju balkon.
"Kamu ngapain disini? Dingin Ra, masuk yuk, kasian baby nya kalau kedinginan," ajak Fauzan, tetapi Ara hanya diam. Kemudian memeluk Fauzan dengan erat.
"Kenapa?" Fauzan membalas pelukan Ara tak kalah erat. Kemudian mengecup pucuk kepala Ara.
"Aku takut," jawab Ara pelan, kemudian Fauzan merasa dadanya yang terbalut kameja dan jas basah, sudah dipastikan Ara menangis.
"Aku akan berusaha ngelindungin kamu dan anak kita," ucap Fauzan pelan, meskipun dia ragu pada dirinya sendiri.
"Gimana ... sama orang tua kita?" tanya Ara lirih, dia sangat takut kalau orang tua mereka ikut campur dan memisahkan mereka. Ara tidak mau. Fauzan tidak bisa menjawab pertanyaan Ara, ini juga pertanyaan yang ada pada dirinya.
"Jangan dipikirkan, ya. Kasian baby nya kalau kamu banyak pikiran." Fauzan merasa Ara mengangguk dan semakin mengeratkan pelukannya.
"Ayo masuk."
"Pekerjaan kamu banyak banget," lirih Ara, dia sangat menginginkan keberadaan Fauzan di sampingnya, tetapi pekerjaan Fauzan yang sangat banyak menghalangi keinginannya.
"Maaf, aku jarang ada untuk kamu," sesal Fauzan, dia sebenarnya juga ingin mendampingi Ara, tetapi perkerjaan dan 'masalah' yang dihadapinya terlalu mengekang dirinya.
"Tapi kamu harus perhatian sama anak kita," ucap Ara. Fauzan tersenyum kemudian mengangguk.
"Pasti," jawab Fauzan yakin.
"Aku senang banget karena anak kita perempuan." Fauzan tidak bisa menghilangkan binar bahagia dari kedua matanya.
"Kalau laki-laki, kamu nggak suka?" Fauzan menatap Ara dengan pandangan geli, mana mungkin Fauzan tidak suka jika anak mereka laki-laki.
"Suka dong."
"Nanti, aku pulang ke rumah, ada anak kecil yang nyambut aku sambil lari. Ada yang merengek minta dibeliin mainan, dia akan menjadi sumber semangat aku. Makasih sayang," ucap Fauzan dengan tulus.
Hatinya menghangat membayangkan itu semua, tidak sabar menunggu kelahiran putrinya.
Ara yang mendengar ucapan suaminya ikut tersenyum, dirinya juga tidak sabar menyambut kelahiran putrinya. Ara berharap, semoga dengan kelahiran putrinya maka orang tua dan mertuanya tidak akan kembali berulah dan menghancurkan keluarga kecil mereka.
Ya, semoga saja.
🐇🐇🐇
Fauzan tersenyum mengingat kenangan dulu, dimana Ara masih mengandung Risha, buah hati mereka. Saat-saat dimana Fauzan berusaha keras menyelesaikan semua masalahnya, saat-saat Fauzan begitu mengimpikan kelahiran anaknya.
Fauzan menghela nafas pelan.
Anak yang diimpikannya, sekarang menjadi anak orang lain. Seharusnya Fauzan yang dipanggil 'Papa' bukan Juna.
Fauzan tersenyum miris mengingat tangisan Risha karena Juna terluka, apa Risha tidak merasakan ikatan mereka?
Fauzan tidak ingin menyalahkan Risha, karena bukan putrinya yang salah di sini. Risha hanyalah korban. Lalu siapa yang harus disalahkan? Orang tua dan mertuanya? Mereka sudah menyadari kesalahannya dan menyesal sehingga Fauzan merasa tidak punya hak untuk menyalahkan mereka.
Tetapi, rasa sakit ini hanya Fauzan yang menanggungnya. Sumber kebahagiaan Fauzan kini berubah menjadi sumber kesedihannya. Fauzan ingin egois dan membawa Risha secara paksa, tetapi Fauzan tetap memikirkan kondisi Risha setelah itu. Risha tidak dapat dipastikan akan bahagia.
Apa Fauzan harus kembali merelakan putrinya?
Setetes air mata Fauzan terjatuh, dia kembali di titik terendah dalam hidupnya. Dia tidak becus mempertahankan putrinya.
Cklek
"Mas," panggil Ara pelan. Ara berjalan menuju ke arah suaminya yang terduduk di lantai.
"Jangan gini, Mas." Ara mengusap punggung Fauzan, ingin memberi kekuatan untuk suaminya.
"Apa aku biarin aja Risha tinggal sama Juna?" tanya Fauzan dengan lirih, hatinya sakit mengucapkan itu. Dadanya terasa sesak dan membuat matanya kembali memanas.
Ara sontak menggeleng mendengar itu.
"Nggak, Mas. Jangan," cegah Ara, Ara tidak ingin putrinya tinggal bersama Juna dan membuat suaminya semakin terluka. Cukup 5 tahun kurang Fauzan dipisahkan dari Risha, jangan lagi.
"Risha nggak bahagia sama aku." Ara dapat merasakan kesedihan yang dirasakan Fauzan, suara lirih dan muka kacaunya sudah menjelaskan semua itu.
"Nggak, Mas. Risha bahagia sama kamu, dia masih kecil jadi nggak akan ngerti, kalau Risha dijauhkan dari Juna maka cepat atau lambat, Risha pasti ngelupain Juna." Fauzan menggeleng mendengar ucapan istrinya. Pengusaha muda itu sudah merasa tidak pantas untuk menjadi papanya Risha.
"MAASS."
"Kamu nggak tau rasanya jadi aku, Ra. Nggak masalah kalau kamu mikir aku kekanak-kanakan, karena pada dasarnya aku nggak mau kalau Risha sedih, mending aku yang terluka ... daripada Risha." Ara menatap suaminya dengan pandangan kecewa, secepat ini Fauzan menyerah?
"Mendingan kamu keluar, sebelum aku nyakitin kamu karena mengingat ... kalau kamu yang udah misahin aku dengan Risha." Ara langsung bangkit dan keluar dari kamar yang ditempati Fauzan. Ara kecewa, meskipun yang dikatakan Fauzan benar adanya.
Ara menyeka air matanya dengan kasar.
"Ara." Ara menoleh, kemudian berjalan ke arah mamanya.
"Ya, Ma."
"Gimana Fauzan?" tanya Disha—Mamanya Ara. Ara mencoba tersenyum, melupakan rasa sedihnya.
"Nggak kenapa-napa, Ma," jawab Ara seadanya. Disha menatap Ara yang seperti memendam masalah yang berat, Disha paham tetapi dia juga khawatir pada putrinya.
"Jangan terlalu dipikirkan, nanti kamu sakit." Disha memeluk putri bungsunya, mencoba memberi kekuatan. Mata Ara memanas, dia tidak bisa menyembunyikan kesedihannya dari mamanya.
Disha yang merasa tubuh Ara bergetar, sontak semakin mengeratkan pelukannya.
"Nangis aja sayang, sampai kamu lega." Tanpa pikir dua kali, Ara langsung terisak. Menumpahkan beban yang ditanggungnya pada pelukan mamanya, pelukan yang selalu ada untuk Ara.
"Keluarin aja semuanya, Nak," suruh Disha, dadanya seperti diremas melihat kerapuhan putrinya. Kenapa Ara harus merasakan semua ini?
Cukup lama Ara menangis, Disha membiarkan saja, yang penting Ara sedikit lega.
"Minum dulu," ucap Disha sambil Menyerahkan segelas air kepada Ara.
"Makasih, Ma," jawab Ara dengan suara serak, menerima gelas yang disodorkan Disha dan menghabiskan semua isinya.
"Iya, sayang."
"Mau cerita?" tawar Disha ketika melihat putrinya sudah lumayan tenang.
"Ara cuma takut Fauzan nyerah, Ma. Sekarang Risha ada sama Juna, Ara nggak mau kehilangan Risha, Ma. Risha anak Ara, Ma." Mendengar ucapan putrinya, membuat Disha kembali merasa bersalah. Karena tidak seharusnya Ara menghadapi semua ini.
"Ara takut, Ma."
🐇🐇🐇
Hay guys
My daughter update lagi 😍💃
Ada yang nungguin nggak?
Gimana part ini?
Jangan lupa voment ya
Ily💞
Rabu, 19 Agustus 2020
Revisi: Jum'at, 14 Juli 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top