DELAPAN-MY DAUGHTER
Delapan
Setelah melakukan aksi bantah - bantahan, akhirnya Fauzan mengalah. Bukan karena kalah dari Chandra, tetapi tidak tega melihat Risha yang terus-terusan menangis.
Meskipun hatinya tidak rela jika Risha bersama dengan Juna, tetapi untuk kali ini Fauzan akan mengalah demi kebahagiaan putrinya. Tidak untuk lain kali.
"Kamu kenapa bonyok gini, Mas?" tanya Ara ketika melihat suaminya datang dengan tubuh penuh luka dan tatapan tanpa minat. Istri dari eksekutif muda itu panik melihat kondisi suaminya.
"Sini, duduk dulu," ucap Ara sambil menarik tangan Fauzan menuju sofa. Kemudian Ara ke dapur untuk mengambil kompresan.
"Kenapa bisa gini, Mas?" tanya Ara sambil mengobati luka Fauzan dengan telaten.
"Kamu berantem sama Juna?"
"Hm." Ara merasa ada yang tidak beres dengan suaminya, apa dirinya melakukan kesalahan?
"Mas?"
"Andai kamu nggak bawa Risha pergi dari aku, Risha akan tetap bersama aku," ucap Fauzan dengan sinis kemudian menjauhkan tubuhnya dari Ara.
Ara menegang mendengar itu, kenapa suaminya kembali mengungkit itu.
"Mas, Risha anak aku. Aku berhak bawa Risha pergi," balas Ara.
"Ya, tapi Risha juga anak aku. Sekarang apa? Risha lebih milih Juna daripada aku. Dia nggak pernah nganggap aku, padahal aku papa kandungnya," balas Juna dengan sengit. Dia sudah tidak tahan melihat putrinya yang lebih sayang sama orang lain.
"Itu juga bukan keinginan aku, Mas. Takdir yang membuat kita jadi begini." Ara sadar bahwa Fauzan sedih, semenjak Risha berada di kandungan Ara, Fauzan menjadi orang yang sangat bahagia, dia selalu melakukan apapun demi kenyamanan Ara dan calon buah hatinya. Tetapi, setelah Risha lahir justru Fauzan di pisahkan dengan anak yang selalu dia impikan.
Fauzan langsung masuk ke kamar tamu, dia tidak ingin menyakiti Ara dengan sikap ataupun perkataannya. Akan lebih baik jika mereka tidak bertemu dulu.
Ara menatap kepergian suaminya dengan pandangan nanar, Ara sadar ini salahnya, andai saja Ara lebih bersikap tegas maka keluarganya akan menjadi keluarga yang bahagia. Bukan penuh masalah seperti ini.
🐇🐇🐇
"Papa," panggil Risha dengan lirih, dia tidak tahan melihat wajah papanya yang penuh luka seperti itu. Risha juga takut pada Fauzan, karena di depan Risha, Fauzan memukuli Juna sampai terkapar. Risha takut dipukuli seperti itu.
"Sayang," panggil Juna dengan suara yang agak serak. Dia mencoba untuk mengelus kepala Risha, tetapi tidak jadi karena denyutan di kepalanya sangat mengganggu. Juna seketika meringis.
"Papa," panggil Risha dengan panik, air matanya langsung turun melihat papanya meringis. Sadar akan keberadaan Risha, Juna mencoba menetralkan wajahnya, seolah dirinya baik-baik saja.
"Papa nggak kenapa-kenapa." Juna tersenyum, hatinya lega karena Risha kini berada di sampingnya, dalam jangkauannya. Semangatnya telah kembali.
"Risha kangen," ucap Risha dengan suara serak, dia sudah berhenti menangis, tetapi isikannya masih terdengar sekali-kali.
"Sini peluk, papa juga kangen." Juna melebarkan kedua tangannya agar bisa memeluk Risha, dengan cepat Risha langsung masuk ke dalam pelukan Juna.
Hati Juna menghangat, senyum terbit pada wajah Juna yang belakangan selalu datar.
"Risha mau sama Papa," ucap Risha sambil memainkan kancing baju pasien yang dikenakan Juna. Saat ini Risha merasa senang tetapi ada yang kurang.
"Iya, sayang." Juna merapikan rambut Risha yang kini berbaring di sebelahnya. Sudah lama Juna tidak memanjakan Risha, dan itu menyiksanya.
"Tidur gih, Papa jagain," suruh Juna, sebenarnya dia masih ingin bercerita bersama putrinya, mendengar ucapan polos dari putrinya yang membuat dirinya semakin semangat. Tetapi Juna lebih tidak tega melihat wajah Risha yang menahan kantuk.
"Papa jangan pergi, ya?" ucap Risha, matanya sudah setengah tertutup.
"Iya, Papa jagain."
'Lo akan dibenci sama Risha, Fauzan. Lo harus ngerasain rasa sakitnya karena sudah mencoba memisahkan gue sama Risha' batin Juna.
🐇🐇🐇
Ara daritadi khawatir karena suaminya belum keluar dari kamar tamu, tidak biasanya Fauzan lebih memilih menyendiri seperti ini. Ara merasa bersalah, tetapi tidak bisa melakukan apapun.
"Ara." Ara menoleh ke arah mertuanya yang sedang berjalan ke arahnya.
"Iya, Pa," jawab Ara seadanya. Wildan duduk di sofa, menatap menantunya yang sedang gelisah. Wildan sadar, Ara juga khawatir pada suami dan anaknya. Rasa bersalah itu kembali muncul di hati Wildan. Andai saja ....
"Mama, lapal," rengek Sima yang baru keluar dari kamarnya, daritadi dia diabaikan dan tidak diberi makan.
"Iya, tunggu Mama ambilkan," jawab Ara kemudian beranjak menuju dapur diikuti Sima yang masih memeluk boneka lumba-lumbanya.
"Papa dimana, Ma?" tanya Sima setelah berhasil duduk di kursi, anak dengan iris mata bewarna coklat terang itu masih terus memperhatikan mamanya.
"Di kamar sayang, kenapa?" tanya Ara.
"Ini," lanjut Ara setelah meletakkan makanan di depan Sima. Kemudian duduk di samping Sima.
"Mau main sama Papa," jawab Sima. Ara hanya tersenyum tipis mendengar itu, Sima merindukan papanya, apalagi setelah Risha hilang, Fauzan tidak pernah memanjakan Sima lagi, dia sibuk mencari Risha.
"Jangan sekarang ya, Papa capek, istirahat dulu," ujar Ara mencoba menenangkan Sima.
"Ya, Mama," balas Sima, Ara selalu menjawab pertanyaan Sima dan selalu berakhir dengan dirinya yang tidak boleh bermain dengan papanya.
Ara yang sadar jika Sima bersedih langsung merasa bersalah. Lagi-lagi Sima harus kehilangan momen bersama Fauzan.
"Kalau main sama Mama, mau nggak?" tanya Ara mencoba menghibur.
"Mau, Ma," jawab Sima dengan semangat. Dalam sekejap, Sima melupakan rasa sedihnya dan berganti dengan bahagia.
"Yaudah, cepat habiskan makanannya, setelah itu ganti baju, ya. Mama ke kamar dulu," ucap Ara.
"Oke, Ma." Sima langsung menghabiskan makanannya dengan cepat.
"Ara, Papa mau bicara," ucap Wildan ketika Ara melewatinya.
"Kenapa, Pa?" Ara berjalan ke arah mertuanya kemudian duduk di tempatnya tadi. Menunggu mertuanya melanjutkan omongannya.
"Papa minta maaf, karena Papa keluarga kalian jadi banyak masalah," ucap Wildan sungguh-sungguh, Ara tersenyum.
"Nggak Papa, Pa. Ini juga bukan kesalahan Papa sepenuhnya, orang tua Ara juga ikut andil kan, Pa," jawab Ara, sebenarnya hati Ara sakit, karena keluarganya yang menjadi akar permasalahan sehingga menyakiti anak-anaknya.
"Kalau aja kami nggak egois, kalian nggak akan menghadapi ini," sesal Wildan.
"Udahlah Pa, biarin aja yang dulu. Toh udah nggak bisa dirubah lagi, yang penting cara memperbaiki nya untuk sekarang ini," jawab Ara, dia tidak ingin mengingat hari-hari dimana dirinya tersiksa karena terpisah dari orang yang dicintainya. Itu sangat menyakitkan.
"Sekarang kalian yang memutuskan apa yang kalian inginkan, Papa nggak akan seperti dulu, Papa sadar kalau Papa egois." Air mata Wildan nyaris turun, mengingat semua kesalahan yang dia lakukan pada putranya.
"Udah, Pa," jawab Ara, dia tidak tau lagi harus bicara apa, hubungan mereka tidak sebaik itu untuk saling bicara.
"Mama, ayo," ajak Sima yang sudah berganti pakaian.
"Pa, Ara mau ngajak Sima main," izin Ara, setidaknya dia menjadi menantu yang sopan.
"Iya, Hati-hati."
🐇🐇🐇
Hai guys
My daughter update lagi 😍😍
Gimana dengan part ini?
Jangan lupa voment juga ya
Ily💞
Selasa, 18 Agustus 2020
Revisi: Jum'at, 14 Juli 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top