Part 82
"Pak, Bu, ini janinnya sehat. Tidak perlu dikhawatirkan. Apa Anda ingin tahu jenis kelaminnya?"
"Nggak perlu, Dokter!" seru Jasmine langsung yang membuat terkejut Mardina dan Benjamin.
"Kenapa, Bu Jasmine? Selama ini Anda dan suami Anda tidak pernah ingin mengetahui jenis kelamin bayi Anda. Apa Anda ingin semuanya menjadi kejutan?"
Mardina dan Benjamin mengerutkan keningnya saat mendengar ucapan dokter. Dari perkataan tadi, itu berarti Jasmine sudah sering memeriksakan kandungannya di sini bersama Jagat karena mereka tadi mendengar kata suami. Tapi ada hal yang tak kalah membuat mereka terkejut, Jasmine menolak dengan sangat keras saat dokter menawarkannya mengetahui jenis kelamin bayinya.
"Bukan begitu, Dokter." Jasmine bergantian menatap wajah kedua orangtuanya dan dokter yang sedang memeriksanya itu.
"Ada apa, Sayang?" tanya Benjamin.
"Jagat nggak mau melihat jenis kelaminnya, Pa. Dia akan menerima anak kami apakah dia laki-laki ataupun perempuan. Di negara asalnya, mengetahui jenis kelamin bayi dari hasil USG adalah perbuatan ilegal."
"Tapi kita ini ada di Indonesia, Sayang. Dan itu nggak masalah. Kita semua nggak akan membedakan antara anak laki-laki dengan anak perempuan. Mama sama Papa juga akan menerima anak kamu entah itu laki-laki atau perempuan. Mama juga suka bayi perempuan, kamu dan Rosaline anak-anak perempuan yang paling Mama cintai," ucap Mardina.
Benjamin memegang pundak Mardina seraya mengulas senyumannya. "Ma, biarkan saja. Kita nggak perlu tahu jenis kelamin cucu kita. Kita tunggu saja sampai lahir."
"Iya, Pa."
"Dokter, keadaan cucu saya keseluruhan baik-baik saja kan?! Soalnya anak saya ini sering memakai korset saat bepergian," tanya Benjamin.
Jasmine menunduk mendengar pertanyaan papanya.
"Pakai korset?! Tapi untuk apa?"
Jasmine gelisah mendengar pertanyaan dari dokter. Tentu saja ia merasa malu jika dokter yang merupakan orang lain ini mengetahui permasalahan yang sedang dihadapinya.
"Saya juga baru tahu kalau ternyata Jasmine memakai korset, Dokter. Saya rasa dia memakai korset karena ingin merasa nyaman. Tapi bedanya dia memakai korset yang pas di perut sedangkan setahu saya korset untuk ibu hamil itukan yang korset penyangga yang dipakai di bawah perut," kilah Mardina. Ia juga tak akan mengumbar aib keluarganya sendiri di hadapan orang lain. Ia teringat jika dulu saat hamil Rosaline, ia pun memakai korset penyangga di sekitar bawah perutnya agar ia merasa nyaman. Karena dulu saat mengandung pertama kali ia merasa jika perutnya akan jatuh melorot. Karena sara takutnya yang berlebihan akhirnya ia disarankan dokter untuk memakai korset penyangga itu.
"Iya, Anda benar, Bu. Bu Jasmine ini harus tanya-tanya sama yang lebih berpengalaman kalau akan melakukan sesuatu. Salah-salah malah bisa membahayakan Anda dan bayi yang di kandungan Anda. Kalau ingin memakai korset pakai yang korset penyangga saja," ucap Dokter.
"Kalau begitu kami permisi, Dokter." Benjamin dan Mardina mengajak Jasmine keluar dari ruangan dokter.
Benjamin dan Mardina merasa lega setelah mendengarkan penjelasan dari dokter jika kandungan Jasmine tak bermasalah dan janin yang dikandungnyapun juga sehat. Mardina dan Benjamin menitihkan air mata melihat perkembangan calon cucu mereka yang tiga bulan lagi akan lahir ke dunia ini. Mereka tak menyangka jika beberapa bulan lagi mereka akan sudah menjadi seorang nenek dan kakek.
Setelah selesai pemeriksaan, mereka pun langsung pulang, masih banyak pertanyaan yang berputar di kepala mereka seputar Jasmine dan kehamilannya.
"Kita harus bicara, Jasmine. Ikut ke kamar Papa," ucap Benjamin. Ia mendahului Jasmine menuju ke kamarnya. Setelah itu dirinya diikuti oleh Mardina dan juga Jasmine.
Jasmine takut-takut berjalan menuju ke kamar orangtuanya. Melihat ketakutan di wajah Jasmine, membuat Mardina memeluk tubuh putri bungsunya itu. Jasmine dan Mardina ikut duduk di sofa panjang yang ada di kamar.
"Sebelum kamu resmi menikah dengan Jagat, Papa nggak membolehkan kamu bertemu sering-sering dengan Jagat." Benjamin mulai membuka suaranya.
"Iya, Pa."
"Kamu kenapa nggak bicara sama Mama dan Papa dari dulu kalau kamu sedang hamil? Kalau tahu begitu kan sudah dari dulu Papa nikahkan kamu sama Jagat. Jadi nggak sampai kandungan kamu membesar gini," lanjut Benjamin.
"Maaf, Pa, Ma."
"Terus selama ini kamu minum susu hamil nggak?" tanya Mardina.
"Minum kok, Ma. Tapi nggak pas lagi ada di rumah."
"Terus kalau kamu nyidam pengen sesutu gimana?"
"Aku minta Jagat nyediain nyidam aku. Selama ini dia telaten ngrawat aku."
"Ngrawat kamu?! Sesering apa kalian bertemu? Bukannya kamu selalu sibuk ke sekolah sama ke bimbel?" tanya Mardina lagi.
"Maafkan aku, Ma, Pa. Selama ini aku udah berbohong sama Mama dan Papa. Sejak tahu aku hamil Jagat melarang aku kerja. Tanpa persetujuan aku, Jagat mengirimkan surat pengunduran diri aku ke sekolah. Soalnya waktu itu aku aku juga lagi ada masalah sama teman-teman seprofesi sama pemilik yayasan."
"Ada masalah apa? Kenapa kamu nggak cerita sama Papa?" tanya Benjamin.
"Papa sama Mama ingatkan waktu aku kecelakaan nabrak orang dulu yang membuat aku sampai sekarang nggak nyetir mobil sendiri?"
"Iya. Waktu itu kamu nabrak pemilik sekolahan tempat kamu ngajar itu kan?!" tanya Benjamin.
"Jadi ceritanya waktu aku kenal sama Jagat, aku lagi dekat sama Leo, pemilik sekolahan aku itu. Tapi ternyata hati aku malah jatuhnya ke Jagat. Aku memutuskan untuk berpacaran dengan Jagat tapi Leo masih kejar aku terus. Hampir satu sekolahan tahu kalau aku lagi dekat sama Leo dan mereka semua pada nyerang aku pakai sindiran. Aku cerita sama Jagat, dia malah minta aku resign. Apalagi pas besok paginya nggak sengaja aku nabrak mobilnya Leo, aku pingsan dan dibawa ke rumah sakit. Saat itulah aku dan Jagat tahu kalau aku hamil. Besok paginya Jagat kirim surat resign aku ke sekolahan karena dia nggak mau aku di bully, dan dia nggak kuat nahan cemburu kalau Leo masih terang-terangan mendekati aku."
"Jadi itu artinya kamu udah nggak ngajar di sekolahan selama berbulan-bulan?" tanya Benjamin.
"Lalu selama ini kamu ke mana? Berangkat pagi, pulang malam?!" tanya Mardina.
"Aku di rumah Jagat, Pa. Kadang aku juga di kantor."
"Jadi kamu udah kenal sama oarngtuanya Jagat?"
"Iya, Pa."
"Ya Tuhan, Jasmine ... kamu ini keterlaluan ya! Kenapa kamu mempermalukan Papa kamu ini di hadapan teman Papa?! Kalau kamu nggak kerja, akmu kan bisa ada di rumah sama Mama kamu." Sentak Benjamin karena ia sudaj tak bisa lagi mengendalikan dirinya.
"Pa, sabar, Pa." Mardina memperingatkan suaminya itu untuk tetap tenag.
"Kenapa kamu nggak terus terang aja sama Papa dan Mama?" tanya Benjamin lagi.
"Kalau ... aku nggak bisa bilang terus terang sama Mama dan Papa, soalnya kalau aku ada di rumah setiap hari aku takut Mama sama Papa tahu kehamilanku. Soalnya waktu awal hamil, aku sering muntah-muntah sama nggak nafsu makan. Kalau aku terus ada di rumah, Mama bisa curiga sama aku."
"Astaga ... Jasmine!"
"Maafin aku, Ma, Pa. Aku udah buat Mama sama Papa malu dan kecewa."
"Udah, sekarang kamu sebaiknya istirahat. Ingat pesan Papa, jangan sering bertemu dengan Jagat."
"Iya, Pa."
"Ayo, kamu istirahat ke kamar," ucap Mardina.
Jasmine berjalan menuju kamarnya. Hari ini begitu menguras tenaga dan pikirannya. Saat sudah berbaring, ia baru merasakan kalau telapak kakinya sakit. Ia baru ingat jika tadi saat pulang dari rumah Jagat, ia tak memakai sandal. Ia juga tak membawa barang apapun dari rumah Jagat, termasuk juga tasnya yang berisi dompet dan juga ponsel.
Jasmine tersenyum membayangkan bagaimana gelisahnya Jagat saat tak bisa menghubungi dirinya. Dalam hatinya entah mengapa ia malah merasa puas bisa membuat Jagat kelimpungan karena kehilangan kabar darinya. Ia masih kesal karena Jagat tadi sore tak menghiraukannya dan malah langsung meninggalkannya begitu saja dan tak memperdulikan semua ancaman yang ia katakan untuk menghentikan niat Jagat memberitahu orangtuanya tentang kehamilannya ini hingga terpaksa ia menyusul tanpa menggunakan alas kaki dan tak membawa tasnya. Jika diingat, tadi ia seperti gelandangan. Bahkan ia nekat menaiki taksi dengan tidak membayarnya.
***
Bersambung
Semarang, 28 Desember 2021
Silvia Dhaka
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top