Part 80
Jagat mengangkat Jasmine lalu membaringkannya di ranjang. Ia lalu menghubungi Dokter agar segera datang untuk memeriksa keadaan Jasmine. Ia juga meminta pelayan untuk membereskan semua kekacauan yang sudah ia lakukan.
Dokter datang memeriksa keadaan Jasmine saat masih ada beberapa pelayan yang membersihkan pecahan kaca perabotan yang tadi dipecah oleh Jagat.
"Bagaimana keadaan istri saya, Dokter? Tadi dia sempat terdorong dan punggungnya terbentur," ucap Jagat.
"Tidak ada masalah yang serius. Istri Anda pingsan karena syok, kelelahan dan juga setres. Jangan buat dia stres yang berlebih karena akan mempengaruhi janin yang dia kandung. Untuk sekarang mungkin punggungnya tidak apa-apa tapi nanti pasti memar. Ini saya resepkan salep saja untuk dioleskan di bagian yang memar."
"Baik, terima kasih."
"Kalau begitu saya permisi." Dokter keluar dengan diantar oleh salah seorang pelayan.
Jagat duduk di pinggiran ranjang. Ia memperhatikan wajah Jasmine yang masih terlihat pucat. Ia tahu jika tadi Jasmine menatapnya dengan mata yang ketakutan namun tadi ia memanglah tak bisa meredam amarahnya karena kelakuan wanita yang dicintainya ini.
Tangannya bergerak untuk mengelus permukaan perut Jasmine. Senyumnya mulai terbit saat ia merasakan ada pergerakan anaknya di dalam perut Jasmine.
Jasmine mulai mengerjapkan matanya, tangannya terangkat untuk memegang pelipisnya yang terasa sedikit berdenyut. Ia masih belum mengingat kejadian apa yang terjadi sebelum ia tak sadarkan diri. Setelah kedua matanya terbuka sepurna, ia melihat Jagat yang diam seraya memandang tanpa ekspresi ke arahnya.
Mata Jasmine langsung terbelalak ketika ia teringat kejadian sebelum ia tak sadarkan diri. "Jagat." Jasmine mencoba mendudukan dirinya namun di cegah oleh Jagat.
"Kamu berbaring saja dulu," ucap Jagat tanpa ekspresi.
Jasmine tetap bersikeras untuk duduk. Ia tak kuasa menahan air matanya saat ia melihat ekspresi Jagat. Ia pun kembali menangis tersedu-sedu, kedua tangannya bergerak untuk menyentuh tangan Jagat lalu naik untuk membingkai wajah pria yang sudah ia lukai hatinya itu, namun alangkah terkejutnya saat Jagat langsung menepis tangannya.
Jagat berdiri meninggalkan Jasmine yang masih terisak. Ia masih marah pada Jasmine tapi ia juga tak tega melihat wanitanya yang terus saja menangis. Ia berjalan menuju ke arah balkon kamarnya, ia butuh banyak oksigen dan angin segar untuk menenangkan hati dan pikirannya barang sejenak.
Untung saja Shagun sedang berada bersama Monica, Jagat tak bisa membayangkan bagaimana ia bisa meluapkan amarahnya jika ada putrinya di rumah. Sepertinya ia akan meminta mamanya untuk merawat Shagun selama beebrapa hari ke depan sampai amarahnya mereda dan sampai masalahnya dengan Jasmine sudah ia selesaikan.
"Maafkan Mami, Sayang. Selama ini Mami udah melukai kamu." Jasmine mengelus permukaan perutnya yang membuncit. Selama ini ia tahu jika apa yang sudah ia lakukan ini salah dan bisa berakibat fatal, namun ia malah tetap melakukannya hanya untuk mencari keamanannya sendiri agar ia bisa menutupi kehamilannya.
Jaagat berdecak saat ia mendengar ucapan Jasmine. Ia harus segera melakukan sesuatu. Ia melangkahkan kakinya keluar dari kamar.
"Jagat, kamu mau ke mana?" tanya Jasmine. Ia langsung turun dari tempat tidur dan berjalan menghampiri Jagat.
"Aku akan menyelesaikan ini semua. Aku akan mengatakan semuanya kepada orangtua kamu dan aku akan meminta mereka segera menikahkan kita."
"Jangan, aku mohon jangan, Jagat." Jasmine menangis memegang tangan Jagat.
"Aku akan tetap ke rumah orangtua kamu. Apapun resikonya aku akan tetap mengatakan ini semua. Ini demi hubungan kita dan anak kita." Jagat melepas belitan tangan Jasmine dari tangannya agar dirinya bisa segera pergi.
"Jagat, aku mohon jangan lakukan ini atau aku akan ... aku akan meninggalkanmu untuk selamanya! Aku akan kabur dari sini membawa anak ini! Jagat!" Jasmine meneriakan ancamannya agar Jagat mau mengurungkan niatnya. Namun nampaknya usahanya sia-sia karena Jagat tak kunjung menghentikan langkahnya dan berbalik kepadanya.
Jasmine berlari menghampiri Jagat. Ia kembali menggelayuti lengan Jagat agar Jagat menghentikan langkah kakinya. "Jagat, aku serius! Aku nggak main-main, Jagat! Orangtuaku akan sangat terluka jika mereka mengetahui kebenarannya dari mulut kamu. Aku ... aku janji akan mengatakannya sendiri kepada Mama dan Papaku. Aku akan mengatakannya sendiri, aku mohon, Jagat. Berikan aku satu kesempatan lagi." Jasmine terus menggelayut di tangan Jagat.
"Berhenti merengek, Jasmine. Ini sudah menjadi keputusanku." Jagat melepas belitan tangan Jasmine. Lalu kembali melangkahkan kakinya keluar rumah.
Jagat mengemudikan mobilnya sendiri karena tak ingin terlalu lama menunggu kedatangan supirnya yang sekarang ini sedang entah di mana.
"Jagat!" seru Jasmine saat Jagat sudah mengemudikan mobilnya.
Jasmine panik, ia masuk ke rumah untuk meminta pelayan memanggilkan supir.
"Nyonya, Pak Rosyid sedang mengantarkan membeli bahan makanan, sedangkan Pak Sodikin sedang izin untuk menghadiri rapat di sekolahan anaknya."
Jasmine mendesah lelah mendengar ucapan pelayan, dua supir di rumah ini sedang pergi. Masih ada mobil di sini tapi sudah sejak lama ia tak mengemudikan mobil. Ia tak berani mengambil resiko dengan mengemudikan mobil sendiri, apalagi saat ini pikirannya juga sedang kalut.
Jasmine memutuskan untuk berjalan ke luar pintu gerbang dengan langkah pelan karena ia lupa memakai sandal. Untung saja di sepanjang jalan keluar menuju pintu gerbang, banyak tertanam pohon yang cukup besar sehingga membuat jalan yang sedang ia pijak ini tak menjadi panas akibat sinar matahari yang sedari pagi hingga hari menjelang sore ini menyinari bumi.
"Aauuhh!" Seru Jasmine saat tak sengaja ia menginjak kerikil kecil.
"Ayo Jasmine, kamu harus kuat. Cepat sampai ke rumah sebelum Jagat mengacaukan semuanya," gumam Jasmine.
Meskipun pelan namun Jasmine tetap terus berjalan, ia harus segera menghentikan taksi dan pulang ke rumah. Di saat seperti ini ia baru menyadari bahwa memiliki rumah mewah dengan pintu gerbang yang jauh dari pintu utama sangatlah menyusahkan. Ia harus berjalan sepanjang berpuluh meter hanya agar ia bisa sampai mencapai pintu gerbang. Hatinya cemas, ia merasa kesal, hingga ia tak hentinya mengumpat di dalam hati.
"Nyonya, ada yang bisa saya bantu?" Tanya security saat melihat Jasmine berjalan tanpa alas kaki dan penampilan yang sedikit berantakan.
"Tolong carikan saya taksi, Pak."
"Baik." Security itu berlari membuka pintu gerbang lalu berdiri di depan jalan.
"Nyonya, sampai sekarang masih belum ada taksi yang lewat." Ucap Security setelah beberapa lama menunggu.
"Kalau begitu tolong carikan taksi lewat aplikasi saja. Saya nggak bawa HP," ucap Jasmine.
"Baik, Nyonya. Sebaiknya Anda duduk di sini terlebih dahulu." Security itu menyodorkan sebuah kursi plastik kepada Jasmine karena merasa kasihan. Setelah itu barulah ia menghubungi taksi.
Sepuluh menit berlalu, taksi pun datang. Jasmine langsung berlari memasuki taksi karena kakinya yang merasakan panas dan sakit.
Di dalam taksi Jasmine merasa tak sabar karena ia merasa supirnya mengemudikan taksinya dengan perlahan.
"Pak, bisa tolong lebih cepat?!"
"Iya, Mbak."
Di lain tempat, Jagat memasuki rumah Jamsine setelah seorang wanita paruh baya yang ia tahu bernama Bik Lastri itu mempersilakannya masuk dan duduk. Dalam pikirannya ia mencoba merangkai kata untuk mengatakan maksud kedatangannya ke rumah ini.
"Jagat?!"
Merasa namanya disebut, Jagat pun mengangkat kepalanya. Betapa terkejutnya saat ia melihat Benjamin, teman baik papanya ada di rumah ini dan sedang berdiri di hadapannya.
"Om Ben?!" gumam Jagat tak percaya. Jika Benjamin berada di rumah ini, jadi apakah Benjamin adalah papa dari Jasmine?!
Benjamain menghampiri Jagat untuk memeluk anak dari teman baiknya itu.
"Mama ... kenalkan, ini adalah anak teman lama Papa. Dia Jagat anakmya Barmal yang dulu perbah ketemu itu."
"Halo." Mardina mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Jagat.
"Kamu kenapa ke sini? Ohh Om tahu, kamu akhirnya mau mampir juga ke rumah Om ya. Tapi ngomong-ngomong dari mana kamu bisa tahu alamat rumah Om? Ohh ... pasti dari Papa kamu kan?! Ayo silakan duduk."
Jagat duduk dengan pikiran yang linglung. Fakta ini telah mengejutkannya.
"Sayangnya anak bungsu Om lagi nggak ada di rumah. Tadi pergi ke mall sama Mamanya, tapi malah pergi lagi," ucap Benjamin.
Ucapan Benjamin semakin meyakinkan Jagat bahwa Jasmine memanglah benar anak bungsu dari Benjamin.
"Apa ... apa anak bungsu yang Om Ben maksud adalah Jasmine?" tanya Jagat dengan nada hati-hati.
Benjamin melenyapkan senyumannya. Keningnya mengkerut menatap Jagat. Bagaimana bisa Jagat mengetahui nama dari putri bungsunya?
"Om Ben, sebelumnya saya ingin meminta maaf."
"Maaf?! Maaf untuk apa?" tanya Benjamin.
"Om tahu kan kalau saya sudah punya pacar? Waktu itu kita juga sudah membahasnya saat kita makan siang bersama Papa dan Rosaline."
Benjamin mulai bingung dengan arah pembicaraan Jagat. Ia memperhatikan wajah Jagat dengan sesekali melihat ke arah Mardina yang juga tengah bingung menatap ke arahnya.
"Dan tadi pagi kita juga sudah membicarakan hal itu. Papa juga sudah bercerita tentang pacar saya kepada Om Ben," lanjut Jagat.
"Iya, lalu?" tanya Benjamin penasaran.
"Om Ben tentu juga sudah mengetahui keadaan pacar saya kan?!"
"I-iya ... iya, Om tahu. Ada apa memangnya?" Tanya Benjamin yang wajahnya kini juga berubah tegang mengikuti wajah Jagat.
"Sebenarnya kekasih saya itu adalah Jasmine, putri bungsu Om Ben."
"Apa?" gumam Benjamin lirih. "Apa maksud kamu, Jagat?" tanya Benjamin yang masih belum paham. Ia masih sangat bingung dengan kalimat yang Jagat sampaikan kepadanya.
"Om, Tante, maafkan saya. Sudah dari dulu saya jatuh cinta sama Jasmine. Kami sudah menjalin hubungan diam-diam selama satu tahun. Sebenarnya sudah sejak dari pertama kali saya mengenal Jasmine, saya berniat untuk melamar Jasmine dan menjadikannya sebagai istri saya tapi Jasmine berkata kalau dia belum siap menikah. Niat saya baik, Om. Saya ingin menikahi Jasmine," ucap Jagat.
"Pa." Mardina sedikit tersenyum seraya menyentuh pundak Benjamin. Ia berpikir jarang sekali ia bisa menemukan pria bertanggung jawab yang tak ingin mempermainkan hati wanita. Pria muda yang duduk di hadapannya ini sudah memiliki nyali untuk melamar anak gadisnya. Meskipun nantinya ia masih akan melarang Jasmine menikah terlebih dulu sebelum Rosaline menikah, setidaknya ia senang karena putri bungsunya sudah memiliki calon suami. Itu berarti kini hanya tinggal mencarikan pasangan untuk Rosaline.
Benjamin menoleh sebentar ke arah Mardina sebelum ia kembali berpikir seraya menatap ke arah Jagat.
"Jagat, tapi tadi pagi Barmal bilang sama Om kalau pacar kamu udah hamil enam bulan kan?! Lalu bagaimana bisa kamu berpacaran sama Jasmine, sedangkan Jasmine putri bungsu Om saja nggak hamil?!" tanya Benjamin.
Benjamin tersenyum menatap Jagat. Ia mendekatkan dirinya kepada Jagat untuk menepuk pundak anak dari teman baiknya itu. "Mungkin kamu salah orang, Jagat. Mungkin Jasmine pacar kamu itu bukan putri Om. Iya memang benar putri Om namanya Jamsine, tapi dia nggak mungkin pacar kamu yang sudah kamu hamili itu," sambung Benjamin.
"Hamil?" gumam Mardina. Ia menatap Benjamin dengan sorot mata cemas dan penuh pertanyaan.
Benjamin menoleh ke arah Mardina dan menggelengkan kepalanya. Ia memberikan isyarat pada istrinya itu agar tetap tenang.
Jagat merogoh ponsel yang ada di dalam saku celananya. Ia mencari sesuatu dari layar ponselnya. "Om, lihat ini. Ini saya dan Jasmine." Jagat menyodorkan ponselnya kepada Benjamin.
"Ini Jasmine putri bungsu Om Ben, kan?!" tanya Jagat.
Di foto itu ia melihat Jagat dan seorang perempuan. Benjamin membelalakan matanya saat melihat foto perempuan yang ada di layar ponsel Jagat itu memanglah benar Jasmine putrinya.
"Pa." Mardina menggeser tubuhnya untuk ikut melihat layar ponsel milik Jagat. Ia juga ikut membelalakan matanya setelah melihat foto putrinya dengan Jagat yang sedang tersenyum di layar ponsel Jagat.
"Tapi ... tapi ini nggak mungkin. Kamu bilang pacar kamu itu sedang hamil eman bulan kan, sedangkan Jasmine putri Om saja nggak hamil!" seru Benjamin.
"Itulah masalahnya. Karena masalah itu akhirnya saya nekat datang ke sini, Om. Saya baru tahu tadi kalau ... kalau ternyata Jasmine memakai korset saat dia nggak bersama saya untuk menutupi kehamilannya itu dari semua orang, termasuk dari Om dan Tante. Perbuatannya itu tentu saja akan membahayakan anak kami, Om. Kami sudah menjalin hubungan selama satu tahun dan sekarang ini Jasmine sedang hamil enam bulan, Om, Tante. Saya mohon, tolong restui kami, nikahkan kami, Om, Tante. Saya sangat mencintai Jasmine. Tolong nikahkan kami. Restui pernikahan kami." Jagat berlutut di kaki Benjamin.
***
Bersambung
Akan segera tamat ya.
Semarang, 26 Desember 2021
Silvia Dhaka
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top