Part 67
"Jasmine!"
Jasmine menghentikanlangkah kakinya saat ia mendegar ada seseorang yang memanggil namanya.
"Jasmine. Ah maksud saya Bu Jasmine, dari tadi saya memanggil Anda." Ucap Leo saat ia sudah berdiri di hadapan Jasmine. Merasa banyak mata yang melihat ke arahnya dan Jasmine membuat ia tersadar jika ia harus memanggil nama Jasmine dengan semestinya.
Jasmine mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya. Seperti biasanya, ia paling tak suka ada orang yang nantinya akan menggunjingkan dirinya, apalagi menggunjingkannya karena terlihat dekat dengan Leo, sang pemilik yayasan.
"Ada apa, Pak Leo?"
"Saya ingin bicara sebentar dengan Anda," ucap Leo.
"Selamat pagi, Pak." Beberapa guru dan murid silih berganti melewati Leo seraya menyapa. Dan tentu saja Leo membalas salam mereka dengan senyuman.
"Bicara soal apa? Bukannya mobilnya sudah diurus sama Adrian?"
"Iya, ini bukan masalah mobil. Aku cuma mau tahu keadaan kamu soalnya kamu kemarin kan pingsan dan aku nggak sempat lihat keadaan kamu karena pria yang mengaku calon suami kamu itu dengan posesifnya melarang aku." Leo sudah merubah cara berbicaranya karena sudah tak ada lagi guru ataupun murid yang lewat.
"Ohh itu, aku baik-baik aja kok. Kamu nggak perlu khawatir karena kemarin aku hanya syok. Soalnya ini yang kedua kalinya aku nabrak orang pakai mobil," ucap Jasmine.
"Syukurlah kalau begitu. Lain kali kamu hati-hati ya."
"Iya, terima kasih. Aku permisi ke kelas dulu."
"Tunggu, Jasmine!" Leo mencekal pergelangan tangan Jasmine, dan hal itu tentu saja membuat Jasmine membelalakan matanya. Dengan perlahan Jasmine memundurkan dirinya untuk menghindari kontak fisik dengan Leo.
"Maaf." Leo menarik tangannya. "Apa benar pria itu adalah calon suami kamu?"
"Aku rasa hal itu nggak perlu dibahas lagi. Aku nggak akan jawab apa-apa lagi dan kamu juga nggak perlu tanya lagi."
"Tapi aku ingin tahu. Sampai detik ini pun aku masih mengharapkan balasan cinta dari kamu. Kamu pergi begitu saja di saat awal kencan kita, bahkan kita juga belum sempat mengawali hubungan yang lebih serius lagi." Leo menatap Jasmine tajam. Sorot matanya seakan menegaskan bahwa ia tak terima dengan keputusan Jasmine yang tak memberikannya lagi kesempatan.
"Sorry, Leo. Tapi aku benar-benar nggak bisa. Yang kamu temui kemarin memang calon suami aku."
"Kenapa begitu mendadak? Hanya selang beberapa bulan dan kamu sudah mendapatkan calon suami. Apa kamu dijodohkan?! Kalau kamu dijodohkandan kamu nggak ada rasa apapun sama pria itu, aku bisa bantu kamu dengan bicara sama orangtua kamu."
"Leo, aku rasa pembahasan ini sudah sangat pribadi. Intinya aku nggak bisa lagi ngasih kesempatan kamu ataupun laki-laki lain. Permisi." Jasmine langsung meninggalkan Leo yang masih terus saja menatapnya.
Karena harus meladeni pembicaraan Leo, Jasmine sampai terlambat memasuki kelasnya.
"Selamat pagi, Bu Jasmine." Sapa anak muridnya serempak.
"Selamat pagi semuanya. Tugas yang Ibu berikan minggu lalu segera dikumpulkan ya." Ucap Jasmine seraya mendudukan dirinya di kursinya yang sudah disediakan.
Beberapa murid mulai berjalan untuk meletakan buku tugas mereka di atas meja. Melihat lalu lalang beberapa muridnya membuat pandangannya menjadi berputar.
"Berhenti. Kalian kembali duduk, biar ketua kelas saja yang mengumpulkan tugas kalian." Jasmine memegang kepalanya yang mulai berdenyut. Rasa mual tiba-tiba ikut menyerangnya.
"Ka-kalian tetap tenang. Kerjakan ... kerjakan tugas di buku paket halaman sembilan puluh dua. Ibu akan keluar sebentar." Jasmine mencoba menahan diri untuk tetap kuat. Dengan perlahan dan mengunakan dinding sebagai tumpuannya, ia berjalan menuju UKS.
"Bu Jasmine? Anda kenapa?" tanya Penjaga UKS.
"Nggak apa-apa, Bu. Saya mungkin masuk angin."
"Kalau begitu berbaring dulu, akan saya belikan teh hangat di kantin." Penjaga UKS membantu Jasmine berbaring di ranjang. Setelah itu ia pergi menuju kantin.
"Terima kasih." Jasmine memejamkan matanya, berharap rasa pusing dan mualnya segera hilang.
Tak lama kemudian penjaga UKS datang dengan membawa segelas teh hangat. "Bu Jasmine, diminum dulu teh hangatnya."
Jasmine mencoba mendudukan tubuhnya dan meminum tehnya. "Terima kasih, Bu."
"Nggak masalah, Bu Jasmine. Sepertinya keadaan Anda parah, lebih baik Anda izin pulang saja."
"Tapi kemarin saya sudah izin dua hari karena kecelakaan. Saya nggak enak kalau hari ini saya harus mintz izin lagi," ucap Jasmine.
"Ya kalau masih sakit kan nggak apa-apa, Bu."
"Iya, nanti saya coba bicara sama kepala sekolah," ucap Jasmine. Ia kembali menyeruput teh hangatnya karena badannya merasa lebih baik setelah meminum teh hangat.
"Bu, terima kasih teh hangatnya. Saya permisi ke kantor kepala sekolah dulu." Perlahan Jasmine turun dari ranjang.
"Perlu saya antar?"
"Nggak perlu. Terima kasih." Perlahan Jasmine berjalan menuju ruang kepala sekolah. Sebelum membuka pintu, ia mengetuk pintunya terlebih dahulu.
"Masuk!"
Jasmine membuka pintu. "Selamat pagi, Pak Tirta."
"Iya, Bu Jasmine silakan duduk. Ada perlu apa?"
"Maaf, Pak Tirta. Hari ini saya ingin kembali meminta izin. Saya merasa tidak enak badan. Kalau Anda perbolehkan, saya ingin minta izin pulang, Pak."
"Tapi Anda sudah dua hari tidak masuk mengajar, Bu Jasmine."
"Iya, Pak, saya tahu," sahut Jasmine tak enak hati.
"Melihat wajah pucat Anda, kali ini saya mengizinkan Anda pulang."
Jasmine mengulas sedikit senyumannya. "Terima kasih, Pak Tirta. Saya permisi."
"Semoga lekas sembuh."
Jasmine keluar dari ruang kepala sekolah menuju ruang guru untuk mengambil tasnya.
"Loh Bu Jasmine, Anda mau ke mana?" tanya salah seorang guru.
"Saya mau pulang, Bu. Saya merasa kurang enak badan," sahut Jasmine.
"Loh kan kemarin Anda sudah dua hari nggak masuk ngajar."
"Bu Jasmine ya, mentang-mentang sekarang dekat sama Pak Leo sekarang bisa izin sesuka hati ya," celetuk salah seorang guru yang lain.
Jasmine terkejut mendengar ucapan rekan kerjanya itu.
"Loh emangnya Bu Jasmine lagi dekat sama Pak Leo?!" seru guru yang lain.
"Iya, saya pernah beberapa kali nggak sengaja lihat Bu Jasmine sama Pak Leo ngobrol di area sekolah. Dan saya juga pernah melihat Bu Jasmine dan Pak Leo makan di restoran setelah ujung jalan sekolah."
"Benar itu, Bu Jasmine?!"
"Enggak, Bu. Itu ... saya hanya." Jasmine tak bisa lagi menjawab tuduhan yang keluar dari mulut teman-temannya.
"Bu Jasmine malu-malu, padahal dalam hatinya senang banget kan tuh, bisa mepet Pak Leo. Padahal Pak Leo itukan inceran satu sekolahan tapi beruntung ya Bu Jamine bisa mendapatkan hatinya Pak Leo."
"Iya, berarti sebentar lagi Bu Jasmine resmi jadi pemilik yayasan ini dong."
"Iya, makanya itu dampaknya sekarang Bu Jasmine bisa pulang sesuka hatinya padahal bel masuk baru saja bunyi." Ucap salah seorang teman Jasmine seraya tertawa.
Jasmine menundukkan kepalanya dan mulai meneteskan air matanya. Tuduhan dari teman-temannya ini membuat dirinya sakit hati.
"Ada apa ini? Apa yang kalian semua katakan? Tuduhan yang kalian alamatkan pada Bu Jasmine itu nggak benar." Semua yang ada di sana langsung terbelalak saat mendapati Leo berdiri di ambang pintu dan mendengarkan cercaan yang mereka alamatkan untuk Jasmine.
"Maaf, Pak Leo."
"Kenapa Anda malah meminta maaf sama saya? Seharusnya Anda meminta maaf pada Bu Jasmine atas tuduhan Anda itu," ucap Leo.
Sebelum semua teman-temannya mengucapkan maaf padanya, Jasmine langsung berjalan cepat meninggalkan ruang guru.
Inilah yang tak ingin Jasmine alami. Sedikit suara saja sudah bisa menengelamkannya ke dalam rasa sakit hati. Selama ini dirinya sealu dikenal baik oleh teman-temannya dan paraaak didiknya namun kedekatannya bersama Leo beberapa waktu lalu ternyata sekarang ini membuatnya terpojok.
Jasmine segera menghentikan taksi yang kebetulan lewat di depan sekolah. Ia meminta supir taksi mengantarkannya ke rumah Jagat. Entah kenapa saat ini yang ada di pikirannya hanya Jagat. Saat ini tempat perlindungannya hanya Jagat.
Jasmine mengambil ponselnya untuk menghubungi Jagat dan meminta kekasihnya itu agar segera pulang ke rumah.
"Jagat."
"Sayang, kamu kenapa? Kamu nangis?!" seru Jagat saat mendengar isak tangis Jasmine dari telepon.
"Kamu pulang sekarang. Ini aku lagi naik taksi mau pulang ke rumah kamu." Ucap Jasmine seraya terisak.
"I-iya, aku pulang sekarang." Jagat langsung berlari keluar setelah ia mematikan sambungan telponnya.
"Joana, minta supir tunggu saya di depan. Cepat!" seru Jagat pada Joana saat dirinya sampai di depan meja sekertarisnya itu.
"Ba-baik, Pak."
"Jagat, kamu mau ke mana?" tanya Monica saat tak sengaja ia tertabrak tubuh Jagat.
"Maaf, Ma. Aku nggak lihat ada Mama di sini. Aku buru-buru."
"Ada apa?"
"Jasmine nangis minta aku pulang."
"Iya cepat kamu pulang, jangan sampai Jasmine dan calon cucu Mama kenapa-kenapa," ucap Monica.
"Iya." Jagat kembali meneruskan langkah kakinya meninggalkan gedung kantornya.
Jagat meminta supir untuk menambah kecepatan laju mobil setelah baru saja ia memasuki mobilnya.
Jagat merasa sangat cemas memikirkan kemungkinan buruk yang terjadi pada Jasmine mengingat Jasmine sedikit ceroboh.
Jagat sampai di rumah bertepatan dengan Jasmine yang juga baru saja turun dari taksi.
"Sayang." Jagat langsung berjalan menghampiri Jasmine. Begitu juga dengan Jasmine yang langsung berhambur memeluk Jagat.
"Jasmine, kamu kenapa, Sayang?" tanya Jagat panik. Ia semakin panik setelah melihat Jasmine masih saja terisak tanpa menceritakan apapun.
"Ayo kita masuk." Jagat menuntun tubuh Jasmine memasuki rumah.
"Buatkan teh madu untuk Nyonya Jasmine," ucap Jagat pada salah seorang pelayannya.
"Baik, Tuan."
Jagat membawa tubuh Jasmine masuk ke kamar mereka. Ia membawa Jasmine duduk di tepi ranjang. Jagat tak bisa bergerak leluasa karena sampai saat ini Jasmine masih terisak dalam pelukannya.
"Kamu kenapa? Ada yang sakit? Ngomong sama aku dong, Sayang, jangan nangis terus." Lirih Jagat membujuk Jasmine.
"Aku nggak mau kembali lagi ke sana. Mereka terang-terangan ngomongin aku sama Leo."
"Apa? Bicara yang jelas."
Jasmine mulai menceritakan awal mula ia merasa pusing sampai ia dipojokkan dengan tuduhan beberapa teman mengajarnya di sekolah.
"Kurang ajar! Aku mau buat perhitungan sama mereka!" seru Jagat.
"Kamu mau ngapain?"
"Aku mau ke sana sekarang dan mengatakan sama mereka kalau kamu itu adalah calon istri aku dan sebentar lagi kita akan menikah."
"Percuma. Tadi Leo juga sempat belain aku di depan mereka tapi aku yakin setelah ini mereka akan tambah parah menuduh aku."
"Kalau begitu mulai sekarang kamu nggak perlu lagi kembali ke sekolah itu. Kamu resign aja." Jagat membingkai wajah Jasmine dengan tangannya.
"Aku nggak bisa resign gitu aja. Aku bisa jadi pengangguran," rengek Jasmine.
"Tanpa kamu harus kerja pun aku udah punya banyak uang buat membiayai kamu. Bahkan jika kamu mau berfoya-foya pun aku juga masih bisa biayain itu semua. Yang penting kamu nggak usah kembali lagi ke tempat itu. Aku nggak mau kalau kamu sampai semakin sakit hati atau kamu sampai kenapa-kenapa di sana. Apalagi kamu kan lagi hamil, Sayang."
"Ya udah aku pikir-pikir dulu. Tapi kayaknya kalau aku resign aku terlalu berlebihan deh. Tadi aku sakit hati banget mungkin karena aku terlalu sensitif kali ya? Soalnya akhir-akhir ini aku sering gampang marah dan tersinggung."
"Oke, itu dibahas nanti lagi aja. Sekarang kamu istirahat ya, tadi katanya pusing?!"
Jasmine menganggukan kepalanya, setelah itu ia membaringkan tubuhnya di atas ranjang.
***
Bersambung
Semarang, 9 Desember 2021
Silvia Dhaka
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top