Bab 9

Niki menatap laki-laki yang terbaring lemah di atas ranjang. Wajah tampan yang pucat dengan mata tertutup. Ia meraba jari, dahi, dan pip Neil, merasa lega karena tidak lagi terasa dingin. Dokter mengatakan Neil terkena usus buntu dan harus dioperasi. Selama proses operasi, hanya dirinya yang menemani. Neil menolak bantuan siapa pun, termasuk paman dan bibinya. Niki tidak masalah, selama bisa membuat Neil tenang, ia akan menemani.

Selama dua hari berada di rumah sakit, ia mengirim pesan pada Mirah. Mengatakan sedang ada urusan penting, jadi tidak pulang. Mirah mengamuk tentu saja dan sekali lagi uang menjadi penolongnya.

"Tante akan mendapatkan uang 100 ribu, selama aku lembur dua hari ini."

"Hanya 200 ribu?"

"Tante nggak mau?"

"Dasar pelit!"

Uang 200 ribu bagi Niki itu sangat banyak. Bisa untuk biaya makan dan transportasi selama beberapa hari. Tapi, ia rela memberikan pada Mirah yang mata duitan, asalkan bisa menemani Neil. Untuk pakaian ganti, ia meminta bantuan pada Erica yang mengantar langsung ke rumah sakit. Ukuran pakaian mereka sama, jadi tidak perlu repot membeli.

"Ada kerjaan besok malam, lo ambil nggak?" tanya Erica saat datang.

Niki menggeleng. "Nggak bisa, mungkin selama beberapa hari gue absen dulu."

"Kuliah lo?"

"Lagi senggang dua hari ini. Lusa harus masuk, sih. Semoga Om udah sehat."

Erica mengangguk dengan wajah prihatin. "Orang kaya ternyata bisa kena usus buntut juga."

"Heh, lo pikir tubuh orang kaya dari batu apa? Jelas aja dia bisa sakit."

"Ya, kirain. Karena kaya ada perawatan atau apa kek. Biasanya mereka sering chek up gitu. Biar tahu kalau ada penyakit. Iya, nggak, sih?"

"Entahlah, gue nggak paham. Kayaknya Om emang terlalu capek kerja jadi sakit pun nggak dirasa."

"Buat apa uang banyak kalau penyakitan."

Tidak ada yang bisa menyangkal perkataan Erica karena pada kenyataannya memnag begitu. Terlalu sibuk bekerja hingga melupakan kesehatannya, Niki berpikir hal yang sama. Bisa jadi karena Neil hidup sendiri, yang ada di benaknya hanya mencari uang atau pun menjaga perusahaan agar tetap bertahan.

Mencabut beberapa tisu, Niki mengusap dahi Neil yang berkeringat. Seharusnya sebentar lagi Neil akan sadar. Dari kemarin Laras bolak-balik dari kantor ke rumah sakit untuk memastikan keadaan Neil baik-baik saja. Sejauh ini memang tidak ada masalah, tetap saja membuat kuatir. Apakah perlu terus bekerja sampai lupa kesehatan sendiri? Apakah Neil memang tidak punya kegiatan yang harus dilakukan selain bekerja? Bukankah punya pacar? Pacaran atau bermesraan dengan kekasih bukankah sesuatu yang menyenangkan? Niki bergidik, membayangkan dua manusia saling mencium dan berpelukan. Merasa otaknya terlalu mesum.

Neil bergerak dari tidurnya, Niki mendekat. "Om, sudah sadar?"

Membuka mata, yang pertama dilihat Neil adalah wajah Niki. Ia mengernyit, meraba perutnya. "Berapa lama aku nggak sadar?"

"Cukup lama. Kalau Om sudah siuman, aku akan mengajakmu jalan-jalan."

"Untuk apa?"

"Biar bisa kentut. Tunggu Om benar-benar sadar, biar nggak pusing pas jalan."

Neil menatap Niki lekat-lekat, mengingat bagaimana sepanjang dirawat hanya Niki yang menemani. Ia memang membuat larangan bagi siapapun untuk menjenguk, dengan begitu menimimalisir orang-orang yang akan berdatangan ke kamarnya. Ia sedang enggan bicara dengan paman dan bibinya, terlebih dengan Edwin. Belum lagi para eksekutif kantor yang sudah pasti ingin menjenguk. Buntut dari larangannya adalah buket bunga yang berjajar memenuhi ruangan, ia lupa memberitahu Laras soal ini. Untungnya tidak ada bingkisin atau parsel, mereka mengerti kalau ia tidak suka menerima hadiah.

"Niki ...."

"Ya, Om. Sudah siap jalan-jalan?"

Neil menganggauk dan tidak menolak saat Niki merangkul bahu dan membantunya duduk di ranjang. Gadis itu memegang tiang penyangga infus dan mengiringi langkahnya. Ruang VIP tempat Neil dirawat tidak banyak pasien, melewati lorong yang sepi keduanya melangkah sambil bercakap-cakap dengan suara lirih.

"Om, nggak ngasih tahu pacar buat datang?"

"Almaira?"

"Iya, kenapa belum datang?"

"Dia di luar kota."

"Oh, pantas aja belum datang. Biasanya kalau pacar sakit, cewek, tuh, gercep banget datang."

Neil melirik Niki dengan senyum terkulum. "Kita bukan pacar tapi kamu gercep datang juga pas aku bilang lagi lapar."

Niki tergelak lalu menutup mulut buru-buru saat tersadar sedang di rumah sakit. "Iya, juga. Tapi, tetap aja beda."

"Apanya?"

"Pacar sama ponakan."

"Sama aja. Kamu sama Almaira juga sama-sama cewek."

Tidak ada penyangkalan tentang gender, tapi Niki tak urung merasa heran. Sebagai laki-laki yang sudah punya kekasih, biasanya akan sangat senang dirawat atau dijaga oleh orang yang disukai. Neil dengan pemikiran anehnya membuat Niki tidak habis pikir.

"Sepertinya Om memang terlalu capek kerja."

"Kamu pasti dengar dari dokter."

"Nggak perlu dengar omongan dokter juga bisa tahu. Om, hidup itu nggak melulu kerja. Sesekali pacaran, jalan-jalan, dan healing gitu."

"Kalau begitu kamu harus sering-sering datang mengajakku main."

"Kok akuu!" Niki protes dengan heran. "Punya pacar malah ngajak aku. Gimana ceritanya?"

Neil mengangkat bahu. "Almaira sibuk, kalau waktumu'kan lebih fleksibel."

"Oh, dengan kata lain aku nganggur, ya?"

"Dih, siapa yang bilang gitu? Sensi amat kamu!"

Neil menarik Niki mendekat saat dua suster mendorong ranjang pasien. Berdiri berdekatan di dekat dinding, aroma Niki yang lembut menggelitik hidung Neil. Wajah tanpa riasan dengan rambut pirangnya dikuncir ekor kuda, Niki terlihat polos dan imut. Persis seperti anak remaja pada umumnya. Pakaian Niki hanya berupa kaos dan celana denim hitam. Entah kenapa ia justru suka Niki yang seperti ini dari pada berpenampilan sexy dan terbuka, meskipun demi pekerjaan.

Tanpa sadar Neil tersenyum, melihat Niki cemberut. Ia selalu menganggap Niki tak ubahnya gadis kecil, dan sekarang tersadar kalau sudah dewasa. Tubuh yang berlekuk dan wajah yang rupawan. Seorang perawat laki-laki bahkan dengan penuh semangat menatap Niki saat kemarin sedang menanganinya. Neil terheran dengan diri sendiri karena memperhatikan hal detil begitu.

"Berapa gajimu jadi model freelance?"

"Lumayan."

"Lumayan juga ada nominalnya."

Niki menyebutkan sejumlah angka dan Neil mengangguk. Memikirkan tentang sesuatu.

"Nggak banyak Om, kalau brand kecil. Tapi, membantu buat nambah biaya kuliah."

"Kenapa kamu harus nambah? Memangnya nggak cukup apa yang aku kasih?"

Langkah Niki terhenti, menatap Neil dengan bingung. "Om ngasih apa?" tanyanya.

Mata Neil melebar bingung. "Ngasih uang jatah kamu. Buat biaya hidup dan sekolah."

"Ke siapa?"

"Tantemu tentu saja. Siapa lagi?"

Niki menghela napas panjang, berusaha untuk tetap tenang mendengar kabar mengejutkan. "Berapa jumlahnya dan mulai kapan, Om?"

Meski kebingungan dengan pertanyaan Niki tapi Neil menjawab lugas. "Dimulai saat bulan kedua kamu diasuh tantemu."

"Berapa Om kasih ke Tante?"

Neil terdiam sesaat, menggeleng pelan dan tersentak saat Niki memegang lengannya. "Sepuluh juta perbulan saat kamu SMP dan kamu naik ke SMA jadi dua belas juta. Saat kamu kuliah menjadi lima belas juta."

"Whaaat? Kenapa Om nggak bilang sama aku?" Tanpa sadar Niki berteriak dan terdiam saat melihat Neil mengangkat tangan.

"Aku sudah kentut, ayo, balik ke kamar."

Niki menurut, mengikuti Neil kembali ke kamar, meski begitu hatinya masih belum tenang. Bagaimana bisa ia baru tahu kalau Neil selama ini membiayai hidupnya. Membayar uang sekolah dan banyak lagi. Dengan uang yang diberikan, ia harusnya hidup jauh lebih nyaman dari sekarang. Kalau begitu, kemana uangnya pergi?

Saat mengawasi Neil yang sedang diperiksa dokter, pikiran Niki mengembara pada Mirah dan keluarganya. Pantas saja selama ini suaminya Mirah hanya ongkang-ongkang kaki tidak pernah bekerja. Mirah yang selalu punya uang untuk membiayai kebutuhan si kembar, ternyata mendapatkan sokongan uang dari Neil. Uang yang seharusnya menjadi miliknya. Niki merasakan sesal karena telat tahu masalah ini. Harusnya ia tahu lebih awal dan bisa menggunakan uang untuk pendidikan serta kehidupan yang lebih baik.

Duduk di sofa dengan pikiran mengembara, hati Niki dipenuhi penyesalan. Ia sedikit kesal karena Neil baru jujur sekarang. Padahal uang yang diberikan sangat-sangat banyak. Bisa dibilang ia menghidupi keluarga Mirah, tapi justru diperas seperti pembantu. Banting tulang membersihkan rumah, memasak dan masih harus bekerja. Sedangkan si kembar enak saja menikmati hidup. Niki merasa dendam dan marah pada Mirah dan keluarganya.

"Mikir apa kamu? Kenapa mukamu seram begitu?"

Teguran Neil membuat Niki mendesah. Tim dokter sudah pergi dan kini berdua. Sekali lagi Niki merasa kesal dengan Neil. Kali ini berhubungan dengan uang yang dikeluarkan laki-laki itu. "Lagi meyayangkan sesuatu," jawabnya ketus.

Neil memperbaiki posisi tidurnya dan kini setengah duduk dengan bantal sebagai alas punggung. "Sayang sama siapa? Aku?"

Niki meleletkan lidah. "Sayang sama uang, Om. Kenapa, sih, baru bilang kalau ngasih uang banyak sama Tante?"

"Loh, buat kamu, kok."

"Iya, niatnya memang gitu. Kalau benar uangnya buat aku, sekarang aku nggak perlu repot cari kerja sana sinilah!"

Ledakan kekesalan Niki membuat Neil terdiam. Mengamati bagaimana gadis di depannya terlihat marah, ia mencoba menelaah dan mengerti duduk masalahnya.

"Mereka nggak memperlakukanmu dengan baik?" tanyanya.

Niki memejam lalu menggeleng. "Aku nggak tahu, perlakuan baik itu kayak gimana? Mereka ngasih aku makan dan juga bayar sekolah, tapi hanya itu. Untuk keperluan lain macam baju atau sepatu, aku harus beli sendiri. Om tahu mulai kapan aku jadi model di internet?" Niki menatap Neil lekat-lekat. "Dari SMP. Hanya brand lokal dan nggak perlu kelihatan muka. Dapat uang sedikit buat jajan, karena aku iri setiap teman punya jajan sedangkan aku nggak. Aku iri teman-teman bisa punya seragam baru sedangkan aku hanya bekasan Lopika!" Tangisan Niki pecah dan mulai terisak dengan wajah menunduk di antara lutut.

Neil menghela napas panjang, mulai menyadari kesalahannya. Semua yang terjadi memang karena kelalaiannya yang tidak pernah memeriksa keadaan Niki secara langsung. Percaya sepenuhnya pada perkataan Mirah, dan ternyata semuanya bohong. Sekarang ia duduk di ranjang rumah sakit dan melihat bagaimana Niki menangisi kehidupannya yang sulit. Neil memaki dan mengumpat diri sendiri dalam hati.

"Niki, sini!" panggil Neil pelan.

Niki tetap terisak. Neil mencoba lebih keras.

"Aduh, sakiit. Nikii!"

Niki mendongak, tanpa mengelap air mata bergegas bangkit dan mendatangi ranjang. "Om, mana yang sakit?"

Neil meraih lengan Niki dan menariknya dalam pelukan. Gadis itu meronta pelan dan ia mendesiskan protes.

"Bekas operasi masih sakit. Jangan sampai kena senggol tanganmu."

Akhirnya Niki terdiam, membiarkan Neil memeluknya. Ia meletakkan kepala di bahu Neil yang kokoh dan mencoba untuk menahan isakan. Jemari Neil mengusap rambutnya dengan lembut.

"Aku minta maaf, Niki. Sudah lalai padamu. Terlalu sibuk sampai lupa sama kamu. Jadinya seperti sekarang, kamu tinggal bersama orang-orang itu. Wajar kalau kamu marah dan kesal."

Nike menggeleng pelan. "Aku nggak marah sama Om, tapi—"

"Tapi, apa?"

"Entahlah. Mungkin aku yang serakah karena ngarepin uang dari Om."

"Uang dari aku memang buat kamu, Niki. Bukan buat tantemu dan keluarganya. Aku nggak peduli dengan mereka jujur aja. Tapi, selama ini nggak pernah nolak kalau tantemu minta uang. Kadang kala dia minta tambahan dan biasanya aku suruh kirim bill untuk apa. Pasti tertulis biaya ini dan itu untuk Niki."

"Biaya apa? Seragam aja aku beli sendiri dan biasanya aku bilang dikasih teman. Kalau dia tahu aku punya uang, pasti ngambil semua."

"Perempuan kejam."

"Dia memang kejam padaku. Sampai-sampai aku mikir sebenarnya punya salah apa dengan mereka."

Neil mendesah, makin banyak yang diceritakan Niki, makin kesal dan marah dirinya. Ia berjanji akan membuat perhitungan dengan Mirah, begitu keluar dari rumah sakit. Perempuan itu sudah membohonginya, mengambil kesempatan darinya atas nama Niki dan tidak bisa dibiarkan. Tidak masalah kalau ia mengeluarkan uang asalkan untuk Niki, ternyata apa yang selama ini dipikirkannya salah semua. Neil merasa sangat geram.

Jemarinya bergerak menyapu rambut yang selembut sutera. Dengan warna pirang terang, anehnya sangat cocok dengan wajah Niki. Terpisah bertahun-tahun, Neil merasa sudah membiarkan waktu terbuang. Harusnya waktu itu ia menolak untuk melepaskan Niki, dengan begitu mereka akan bersama sampai sekarang. Niki tidak perlu kerja banting tulang. Sekarang nasi sudah menjadi bubur, dari pada menyesali yang terjadi lebih baik menambah lauk agar bubur bisa dimakan dan tidak terbuang.

"Niki, ambil barang-barangmu. Tinggal bersamaku."

Niki terdiam, menggeliat pelan untuk lepas dari pelukan Neil tapi tidak diijinkan. Tubuhnya tetap didekap dengan dagu Neil berada di puncak kepalanya. Ia merasa sedikit aneh dengan pulakan kjasih sayang seperti ini. Setelah mamanya meninggal, tidak ada lagi orang yang memperlakukannya dengan lembut. Neil memang baik, tapi tidak pernah benar-benar menyukainya. Sekarang setelah mereka bertemu saat dewasa, ada yang berubah dari dari Neil.

"Om, nggak semudah itu," gumam Niki.

"Apa alasannya? Jangan bilang kamu takut dengan bibimu?"

"Nggak takut, tapi ada sesuatu yang sedang aku usahakan. Kalau memang terpaksa pindah dari sana, berarti apa yang aku usahakan harus diselesaikan lebih dulu."

"Memangnya apa yang kamu mau?"

"Itu, Om. Aku—"

Terdengar ketukan di pintu, saat membuka muncul Almaira. Perempuan itu tertegunmelihat Neil dan Niki berpelukan. Mengamati bagaimana lengan Neil melingkari bahu Niki dengan posesif. Sejuta tanya berbinar di matanya.

Niki menggeliat, dan Neil melepaskan pelukannya perlahan dengan pandangan tertuju pada kekasihnya.

"Almaira? Kenapa kamu di sini?"

Almaira melangkah perlahan. "Aku nggak boleh di sini? Kekasihku sedang dirawat dan operasi, sedangkan aku nggak tahu apa-apa?"

Sadar akan ada perang dan pertengkaran, Niki mengambil tas di sofa. Tersenyum kecil pada Almaira. "Maaf, aku pulang dulu."

Neil menggeleng. "Nggak! Niki, kamu tetap di sini!"

"Nanti balik lagi, Om. Daah!"

Niki melesat ke arah pintu dan menghilang di baliknya. Membuat Neil mendesah frustrasi. Tidak menyadari wajah kekasihnya yang muram.

"Neil, ada apa sama kamu?"

Neil menatap Almaira. "Kenapa sama aku?"

"Aku kekasihmu tapi malah bocah itu yang ada di sini. Apa-apaan ini?"

Neil merebahkan diri di ranjang, menatap Almaira yang sedang marah. Sebenarnya ia sedang enggan memberi penjelasan tapi sepertinya ada kesalahpahaman di sini. Mau tidak mau harus dijernihkan kalau tidak ingin ada kecurigaan.

Extra

Mirah: Bocah tengik itu nggak pulang berhari-hari, awas aja kalau nggak bawa uang ntar!

Lopika: Kalau Mama ada uang, aku mau makan cake.

Lalita: Makan terus menerus cuma buat cewek lemah. Lebih baik kalau beli make-up.

Laras: Semoga Pak Neil nggak marah karena kekasihnya datang tanpa telepon lebih dulu.

Almaira: Aku pacar Neil, tapi merasa seperti orang lain dan tersingkirkan.

Erica: Menyenangkan kalau punya om yang kaya dan hot seperti Pak Neil (Teringat Jared dan senyumnya terkembang)

Niki: Aku nggak ikut-ikutan.

Neil: Ada nggak kamus untuk memahami isi hati para cewek?
.
.
.
.
Di Karyakarsa bab 25-26.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top