Bab 6
Kericuhan terjadi di ruangan Neil saat paman dan bibinya datang bersama anak mereka, Edwin. Tidak jelas apa yang mereka inginkan, selain datang ingin merecoki Neil. Menuntut jabatan yang lebih tinggi untuk Edwin dan banyak lagi. Neil hanya mendengarkan ocehan mereka sambil lalu, sibuk dengna dokumen yang harus ditanda tangani.
"Edwin sudah bantu kamu dua tahun, masa masih jadi staf admin. Paling nggak, kamu angkat dia jadi asistenmu." Yesy berujar sambil berdecak tidak puas, menatap Neil yang masih menunduk. "Kalian ini saudara loh, sepupuan Neil! Seharusnya sebagai kakak yang baik, kamu membimbing adikmu. Bukan malah melemparkan masalah pada orang lain. Lihat, apa jadinya Edwin sekarang? Sudah dua tahun belum juga naik gaji!"
Edwin menaikkan kacamata dan mendesah. Duduk dengan tidak nyaman di sofa. Menatap Neil yang menunduk dengan takut-takut. "Maaa, jangan gitu. Edwin kerja, Ma."
Yesy melambaikan tangan, meminta anaknya untuk diam. "Mama tahu kamu bekerja, nggak ada yang bilang kamu nganggur. Justru mama sedang mengusahakan kesejahteraan untukmu. Sepupumu ini harus adil!"
Suara Yesy meninggi memenuhi ruangan, tapi Neil masih bersikap sama, tidak bergerak dari kursinya. Seolah Yesy hanya bicara sendiri tanpa perlu didengarnya.
"Mamaa, Kak Neil sedang sibuk. Kita di sini ganggu dia. Ayo, Maa, pulang!"
Edwin merengek, Yesy mengabaikan anaknya. Selama belum ada tanggapan dari Neil, ia akan terus merengek. Keponakannya terlalu meremehkannya, menganggap seolah dirinya tidak berharga dan keluarganya tidak layak diperhatikan. Saat Edwin masuk ke perusahaan, ia berharap anaknya menduduki jabatan manajer, tapi ternyata hanya staf admin dengan gaju UMR.
Ia sempat mengamuk waktu itu, memprotes tindakan semena-mena dari Neil tapi suami dan anaknya berusaha menenangkannya dengan mengatakan kalau Edwin sedang dilatih. Meski marah ia masih bisa menerima alasan itu, tapi ternyata sudah dua tahun berlalu dan masih sama. Edwin tidak ada kenaikan jabatan, hanya kenaikan tunjangan kerja. Memberi gaji UMR pada anaknya, sama saja seperti merendahkannya.
"Neil, apa kamu tuli! Sedari tadi kamu diam!"
Bentakan Yesy akhirnya membuat Neil mendongak. Ia menatap Frans yang sedari tadi merokok dan tidak peduli dengan oceham istrinya. Yang masih bersikap waras hanya Edwin. Sepupunya itu sepertinyua masih cukup tahu diri dengan kemampuannya bekerja. Dibandingkan dengan sang mama, Edwin lebih mengerti keadaan. Neil mendesah, meletakkan pulpen.
"Kalau Bibi merasa Edwin terlalu pintar untuk jabatan sekarang, pindahkan saja."
Yesy terperangah, menatap Neil penuh harap. "Hah, Edwin bener bisa pindah?"
Neil mengangguk. "Bisa, ke perusahaan lain. Anak cabag daerah misalnya, bagaimana?"
"Kurang ajar!" desis Yesy. "Kamu merendahkan kami."
"Nggak ada yang merendahkan siapa pun, aku direktur di perusahaan ini. Mengerti benar mana yang cocok atau nggak untuk pegawaiku. Bibi datang dan mengatur-aturku. Ini adalah perusahaanku, semua mengikuti aturanku."
"Anak setan! Kalau bukan kami, nggak ada lagi keluargmu yang tersisa. Kamu masih nggak sadar, hah!"
Bayangan Niki melintas dan Neil tertawa lirih. "Bibi, sebaiknya kalian keluar, aku sibuk."
"Berani-beraninya kamuu!"
Edwin buru-buru bangkit dari sofa, meraih lengan sang mama dan membawanya keluar. Berusaha menenangkan sang mama yang berteriak dan mengamuk. Tersisa hanya Frans yang duduk tenang dengan rokok di tangan. Setelah istri dan anaknya menghilang di balik pintu, ia mematikan rokok dan melangkah ke meja Neil.
"Kamu ternyata nggak berubah, dari dulu masih kurang ajar. Bahkan sekarang makin menjadi."
Teguran Frans ditanggapi dingin oleh Neil. "Paman juga nggak berubah, hanya bisa berlindung di balik punggung bibiku."
Frans menyipit, segala sumpah serapah tertahan di bibir. Menegakkan tubuh ia berlalu tanpa kata dari ruangan. Semenjak orang tuanya meninggal, Neil menduduki jabatan tertinggi. Tidak mempertimbangkan dirinya sama sekali, dan terus membuat kebijakan-kebijakan baru. Beberapa memang berhasil tapi ada juga yang gagal. Merasa di atas angin, Neil sama sekali tidak pernah mengajaknya bertukar pendapat, seolah kehadirannya di perusahaan ini tidak berarti. Tidak cukup hanya itu, anaknya pun hanya diberi jabatan stfar admin. Frans merasa kalau Neil makin arogan dan sombong.
**
Niki sibuk seharian di rumah gara-gara si kembar ingin datang ke pesta ulang tahun. Acara dimulai pukul tujuh malam tapi si kembar sudah sibuk berdandan dari sore. Meminta Niki membantu lulur tubuh, mencatok rambut, dan masker wajah. Niki bahkan tidak sempat istrirahat untuk makan karena ulah keduanya.
"Lo nggak boleh ke pesta, awas aja kalau nongol!" ancam Lopika.
"Gue dapat undangan," jawab Niki.
"Tetap nggak boleh datang!" sela Lalita keras. Meraih bagian belakang rambut Niki dan menariknya. "Kalau sampai gue lihat lo muncul, awas aja!"
Niki mengibaskan rambut, melepaskan cengkeraman Lalita. "Nggak niat datang gue. Ada kerjaan juga."
"Halah, sok sibuk. Paling juga jadi cuci piring." Lopika berujar dengan nada menghina, bertukar pandang dengan Lalita lalu tertawa bersamaan. "Jadi tukang cuci piring aja bangga."
"Iyalah, paling nggak gue nggak jadi benalu kayak kalian!"
Niki menghindar dengan cepat saat Lalita yang marah melemparkan gelas berisi air minum. Gelas membentur dinding dan pecah, isinya berserak membasahi lantai. Niki mengeluh dalam hati karena ada kerjaan baru untuknya. Padahal, ia sedang diburu waktu karena si kembar semua acara dan rencananya berantakan. Ia berusaha sabar, menghadapi si kembar yang sikap dan tingkahnya seperti balita. Padahal keduanya berumur sama dengannya. Mereka tidak pernah menyentuh pekerjaan rumah tangga dan keseharian hanya sibuk bertengkar. Memperebutkan apa yang tidak perlu diributkan. Seperti pakaian, aksesoris, ataupun cowok. Niki salut dengan cara kreatif mereka untuk bertikai satu sama lain.
"Jangan mentang-mentang kamu merasa cantik, semua cowok bakalan naksir lo!" teriak Lalita.
Niki mengabaikannya.
"Lo cuma orang miskin, Niki. Miskiin! Kalau nggak karena kita, lo bakalan kelaparan di jalan!" Kali ini Lopika yang menimpali.
Terlalu biasa Niki menerima penghinaan itu dan memilih untuk bungkam. Erica sering kali memprotes tentang diam dan sabarnya dalam menghadapi keluarga bibinya. Ia hanya menjelaskan apa yang bisa dijelaskan tanpa semua orang mengerti keinginannya.
Pukul tujuh, Lopika dan Lalita sudah rapi dan bersiap untuk ke pesta. Niki menahan diri untuk tidak bicara saat melihat apa yang dipakai keduanya. Lopika dengan tubuh gemuknya, memakai gaun biru pas tubuh dengan rumbai di lengan dan bagian bawah. Rambutnya yang pendek diberi bando, yang sepertinya baru dibeli. Lalita berusaha merebahkan rambut keritingnya dengan memakai gel rambut yang dioles terlalu banyak hingga membuat rambutnya mengkilat. Memakai gaun biru yang sama persis dengan Lopika, hanya saja rumbainya warna putih bukan hitam seperti saudaranya. Niki melihat keduanya berpenampilan seperti anak SD dari pada remaja.
"Aduh, anak-anakku cantik semua," seru Mirah dengan bangga. "Di pesta nanti, kalian pasti menjadi bintangnya."
Lopika tertawa. "Ah, Mama, aku jadi malu."
Lalita terbahak. "Dengan tubuh langsingku, tentu saja aku akan jadi bintangnya."
"Aldo suka cewek gemoy."
"Dih, sok tahu!"
Mirah bertepuk tangan. "Cukuup! Jangan bertengkar lagi, kalian akan datang ke pesta anak lurah yang terhormat. Sudah semestinya bersikap seperti perempuan anggun pada umumnya. Ingat, jangan mempermalukan kita semua."
Lopika dan Lalita saling lirik, lalu melangkah bersamaan dan berebut untuk siapa yang akan lebih dulu. Niki menghela napas panjang melihat keduanya pergi diiringi Mirah. Ia bergegas ke atas, berganti pakaian dengan cepat dan setengah berlari menuju ujung gang. Mirah berpesan agar ia di rumah, mana bisa, sedangkan malam Minggu justru banyak pekerjaan menunggu. Menggunakan ojek online ia menuju tempat yang diberikan Erica, sesampainya di sana sahabatnya sudah dimake up cantik dan sedang menunggu kedatangannya.
"Lama amat lo?" sembur Erica.
"Sorry, ada urusan!" Niki menghenyakkan tubuh ke kursi, dan bersiap untuk make up.
"Urusan apaan?"
"Biasa, si kembar riweh. Pingin ke pesta anak lurah. Dari sore bikin gue kesal setengah mati."
"Ugh, sabar amat lo. Kalau sama gue, dah gue bikin jadi peyek, tuh, berdua."
"Yee, Lalita, sih, bisa. Lopika mana mungkin? Gendut gitu."
"Iya, juga. Yang ada gue malah dibanting."
Keduanya bertukar pandang lalu tertawa bersamaan. Hari ini ada party di sebuah gedung, dan mereka disewa untuk menjadi pramusaji eksklusif. Memakai kostum tinker bell yang lucu, dengan topeng menutupi wajah. Ada sekitar 10 pramusaji memakai kostum yang sama, hanya beda di warna. Semua pramusaji freelance masih muda, dengan tubuh langsing dan semampai. Pukul sepuluh, mereka semua sudah siap. Digiring masuk ke ballroom dan EO acara menberi briefing singkat.
"Kalian pramusaji minuman dan cemilan, jaga diri kalian. Jangan biarkan para tamu menjamah tubuh kalian atau bersikap kurang ajar. Kalau sampai ada yang bertindak keterlaluan, panggil aja penjaga. Jangan menangani sendiri, paham?"
"Siap, Kak!" Niki dan yang lain memberikan jawaban serempak.
Pintu dibuka, mereka diberi nampan satu-satu dan para tamu mulai berdatangan. Niki berpisah dengan Erica, mulai menjalankan rugasnya. Menawarkan minuman pada para tamu yang semuanya memakai kostum, dari mulai Batman, Superman, sampai kostum anime yang luar biasa kreatif.
Niki tersenyum dari balik topeng, menyelinap di antara para tamu dan menyapa mereka dengan sopan. Musik menggelegar dengan percakapan yang mulai bergulir. Semua orang bertepuk tangan saat seorang laki-laki naik ke atas panggung dan memukul permukaan gelas dengan sendok. Musik seketika terhentidan semua pandangan tertuju pada laki-laki yang memakai kostum vampire. Berjas serba hitam dengan jubah merah dan taring palsu, laki-laki itu menyeringai. Meski begitu ada tetesan merah di sekitar mulut, tidak mengurangi ketampanannya.
"Selamat malam semua, selamat datang di acara ulang tahunku. Selamat menikmati party malam ini. Aku Jared, adalah tuan rumah malam ini. Enjoy!"
Tepuk tangan bergemuruh di seluruh penjuru ruangan. Orang-orang berteriak, borlam-lomba mengucapkan selama ulang tahun. Musik kembali terdengar dan pesta benar-benar dimulai. Niki bekerja dengan senyum terpasang di wajah. Untuk pesta malam ini, ia dibayar cukup lumayan. Jam kerja dari jam sepuluh sampai pesta berakhir kurang lebih jam dua pagi. Tidak masalah kalau pulang nanti Mirah akan mengamuk, yang terpenting ia membawa uang. Biasanya kemarahan Mirah akan mereda kalau diberi uang.
Si tuan rumah membaur bersama tamu-tamu yang lain, ada seorang gadis amat cantik dengan gaun merah di sampingnya. Di tengah ruangan, gadis bergaun merah menuju ke pintu dan membiarkanJared membaur. Tuan rumah dengan cepat menjadi mabuk dan tubuhnya yang oleng nyaris menabrak Niki yang sedang menawarkan minuman.
"Ups, sorry!"
Niki menggeleng, menyangga nampan dengan cepat dan ada satu gelas berisi minuman tumpah. Untungnya, tidak membasaih tubuhnya maupun tubuh Jared.
"Kamu nggak apa-apa?"
Sekali lagi Niki hanya menggeleng.
"Aku mabuk kayaknya, sampai mau jatuh."
"Nggak apa-apa, Kak."
Jared menyipit ke arah Niki, lalu tertawa lirih. "Aduh, Tinker Bell yang satu ini. Siapa namamu?"
"Sorry, Kak. Dilarang untuk berbasa-basi dan membuka identitas asli dengan para tamu."
Penolakan Niki membuat Jared tercengang. "Heh, aku ini tuan rumah. Bukan para tamu."
"Ah, tetap aja nggak boleh."
"Ckckck, padahal aku yang punya acara. Tetap sulit juga untuk kenalan."
Niki berdiri salah tingkah karena Jared sedikit memaksa. Ia tetap ingat perjanjian dengan EO, untuk tidak sembarangan membuka identitasnya. Ia di sini untuk bekerja dan bukan mencari kenalan. Beberapa tamu datang menghampiri, mengajak Jared bersalaman dan mengambil minuman dari nampan Niki. Mereka adalah tiga laki-laki muda yang sepertinya teman akrab Jared.
"Mana ada tuan rumah bukannya berkeliling malah godain pelayan."
Jared menggeleng. "Dia bukan pelayan."
"Tetap aja di sini mau hidangkan minuman. Kalau bukan pelayan lalu apa?"
Mereka menertawakannya dan Niki tetap tersenyum. Tidak perlu marah atau emosi, anak-anak orang kaya sudah biasa bersikap arogan seperti itu.
"Kalian bicara apa, sih? Nggak sopan!" sergah Jared.
"Wew, ada yang naksir Tinker Bell, nih?"
Salah seorang dengan berani mengulurkan tangan untuk mengusap bahu Niki tapi berhasil dielakan. "Jangan pegang-pegang!" bentak Niki.
"Jiah, pelayan aja banyak lagak!"
Jared merasa kesal dengan teman-temannya. Berpindah tempat dan kini berada di depan Niki. "Sudahlah, biarkan dia sendiri. Kalian ini kenapa, sih?"
"Kamu yang kenapa?"
"Naksir, kok, pelayan pesta."
"Jared, ada apa?" Gadis bergaun merah muncul, di belakangnya ada sepasang laki-laki dan perempuan. "Kalian bertengkar?"
Niki terbelalak saat melihat tamu yang baru datang. Neil memakai jas hitam menggandeng seorang perempuan cantik berkostum Cleopatra dengan gaun putih dan tiara emas. Keduanya menatap Niki dan Jared bergantian.
"Niki, sedang apa kamu di sini?"
Niki mengeluh dalam hati karena Neil mengenalinya, padahal sudah susah payah menyembunyikan wajah dalam balutan topeng. Entah apa yang membuat identitasnya terbongkar. Memutuskan untuk mengaku dari pada Neil mengamuk.
"Om, sedang apa di sini?" tanyanya pelan.
Neil tidak menjawab, mengamati Niki dalam balutan kostum tinker bell dan berada di tengah perdebatan pada laki-laki. Ia mendesah kesal karena Niki tidak menyadari betapa sexy kostum yang dipakainya.
"Menurutmu? Sedang apa aku di sini?"
**
Extra
Terjadi kericuhan di pesta anak lurah bernama Aldo. Ternyata undangan yang datang untuk tiga orang, Lopika, Lalita, dan Niki. Saat Aldo tahu kalau Niki tidak datang, sepanjang acara mukanya masam dan mengusir lebih cepat orang-orang yang datang ke pesta. Membuat Lopika dan Lalita marah.
Lopika: Niki sialan! Dia lagi masalahnya!
Lalita: Kenapa semua orang ingin Niki. Kenapaa?
Mirah: Anak-anakku dipermalukan malam ini. Tidak akan aku biarkan.
Niki: Kenapa di mana-mana aku bertemu Om?
Jared: Nama Tinker Bell ini Niki? Manis sekali.
Almaira: Aku baru tahu Neil punya keponakan.
Neil terdiam, meraih lengan Niki dan membawanya ke sudut. Lalu mengomeli Niki habis-habisan tentang jam kerja malam dan kostum yang terlampau sexy menurutnya.
.
.
.
Di Karyakarsa update bab 15-16.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top