Bab 4
Duduk berhadapan di restoran privat yang menyajikan makanan khas Perancis, Neil menggoyang anggur di dalam gelas. Menatap pada perempuan cantik dan anggun yang duduk di hadapannya. Namanya Almaira, dan mereka sudah menjalin kedekatan selama dua tahun ini. Almaira bukan hanya seorang aktris tapi juga pebisnis. Design gaun, tas, dan sepatunya banyak dipakai oleh para pesohor. Berumur lebih muda satu tahun dari Neil, kedekatan mereka bukan hanya seperti kekasih tapi juga bagaikan sahabat.
Neil merasa cocok dengan Almaira dibandingkan dua kekasih sebelumnya, karena dianggap lebih tenang, dan tidak mudah cemburu. Ia tidak siap menghadapi rengekan setiap hari dari perempuan yang mengharapkannya kehadiran dan perhatiannya. Kesibukannya membuatnya melupakan hal-hal romantis dan ia dengan senang hati kalau pasangannya yang mengingatkan. Seperti hari ini, saat ulang tahunnya justru Almaira yang berinisiatif mengajaknya makan malam.
Apakah kedekatan ini akan membawa mereka ke jenjang pernikahan? Pertanyaan ini justru banyak keluar dari bibir keluarga Almaira yang secara kebetulan dikenalnya. Sepupu Almaira adalah teman sekaligus rival bisnisnya. Mereka berada di lingkungan usaha yang sama yaitu kertas sekaligus percetakan. Sering kali berebut proyek yang sama dari tender pemerintah. Hubungan benci dan cinta dari dua pebisnis muda, yang terkadang saling membutuhkan lain kali akan bersaing untuk menjatuhkan. Keluarga Amaira banyak bergelut di bidang perkainan.
"Bagaimana dagingnya? Cukup empuk?"
Neil mengangguk, setuju dengan perkataan kekasihnya. "Juicy."
"Kita requestnya bener, kematangan 80 persen. Daging nggak alot dan saos truffelnya lumayan juga. Lain kali boleh datang lagi?"
"Oke."
Mereka bersulang, pramusaji mengangkat piring steak dan menggantikan dengan makanan penutup berupa cake matcha yang berukuran kecil tapi sangat lezat. Santai setelah kenyang, Neil melihat dengan takjub pada kekasihnya yang malam ini makan dengan lahap.
"Tumben, lagi nggak diet?"
Almaira tertawa lirih. "Lagi haid, bawaanya pingin makan manis dan kenyang."
"Oh, bagus. Senang lihat kamu makan dengan lahap."
Neil tidak berbohong, memang suka dengan cara makan Almaira yang tidak menghitung kalori dengan ketat. Saat salad tersaji di atas meja, pikirannya justru tertuju pada Niki. Bertahun-tahun tidak bertemu dan yang dimakan gadis itu adalah salad, itu pun tidak dihabiskan. Padahal tubuh gadis itu terhitung sangat kurus dengan wajah tirus. Kemana perginya wajah bulat menggemaskan dengan mata belo? Kenapa Niki yang sekarang seolah tumbuh menjadi gadis yang kekurangan makan? Apakah dirinya yang terlalu kuno, menganggap tubuh kurus itu jelek? Neil membuat catatan dalam hati, akan memaksa Niki makan lebih banyak kalau nanti mereka bertemu lagi? Tapi kapan?
"Neil, ngelamunin apaan?"
Pertanyaan Almaira membuat Neil tersadar, meneguk anggurnya sampai tuntas. "Hanya sesuatu yang mendadak terlintas di kepala. Bukan hal penting."
"Oh, kupikir ada sesuatu yang serius terjadi. Wajahmu muram soalnya."
"Benarkah? Maaf, tapi aku beneran suka makan di sini."
Senyum merekah di bibir Almaira. "Samaa, aku juga suka. Janji, kapan-kapan kita kemari lagi."
"Okee."
Selesai makan, mereka memutuskan untuk pergi ke klub terdekat. Sudah ada beberapa teman mereka yang menunggu di sana. Beberapa pengunjung restoran yang kebetulan bertemu mereka di lobi, meminta ijin untuk foto bersama Almaira dan Neil menyetujui dengan senang hati.
"Wah, di mana-mana Almaira memang terkenal," puji Neil.
"Ternyata kamu baru tahu kalau pacarmu famous?"
Keduanya tergelak bersamaan lalu masuk ke mobil. Tiba di klub setengah jam kemudian. Sambutan diberikan untuk Neil yang sedang berulang tahun, dari sampanye sampai anggur semua dikeluarkan. Teriakan untuk mengucapkan selamat terdengar di seluruh penjuru ruangan, Neil bersulang dengan semua orang dan malam itu berakhir dengan dirinya mabuk.
"Sayang selamat ulang tahun," bisik Almaira dalam pelukan Neil. Bibirnya membuka untuk melumat lembut bibir kekasihnya. Neil membalas dengan lembut. Keduanya bermesraan untuk sesaat.
Neil mengerjap saat seorang gadis memakai wig pirang muncul di pintu. Ia menyingkirkan tubuh Almaira dan berteriak. "Nikii!" Lalu ambruk di sofa dan tertidur.
**
Niki mengendap-endap di ruang tamu yang sudah gelap. Mencoba sebisa mungkin untuk tidak bersuara. Sekarang pukul dua belas malam, harusnya semua penghuni sudah terlelap. Ia akan sangat bersyukur kalau tidak bisa bertemu mereka. Bisa menikmati istirahatnya dengan tenang. Hari ini sangat lelah, mandi lalu tidur akan sangat menyenangkan. Tadi Erica menawari menginap, tentu saja ia akan menyambut dengan gembira kalau tidak ingat bagaimana bibinya. Tinggal di luar, bebas dari orang-orang di rumah ini yang semua bersikap kurang ajar padanya, akan sangat-sangat menyenangkan. Sayangnya, ia tidak bebas memilih itu. Ada beberapa alasan yang membuatnya tetap bertahan di rumah ini.
Lampu mendadak menyala membuat ruang tamu yang kecil menjadi terang benderang. Mirah berdiri di dekat pintu dengan rambut dirol. Daster abu-abu membungkus tubuhnya yang bulat dan besar. Mirah berkacak pinggang dan melotot ke arah Niki.
"KENAPA BARU PULANG? JAM BERAPA INI?"
Teriakannya seakan bisa meruntuhkan langit-langit rumah. Niki memejam dan menghela napas panjang.
"Restoran baru tutup, Tante."
"Heh, lo pikir gue nggak pernah makan di restoran? Sampai nggak tahu jam tutup."
"Tapi, restoran Italia memang tutup sampai jam dua pagi, makanya cari waitresnya yang tahan begadang."
"Halah, alasan aja lo!"
Mirah maju, meraih kepala Niki dan hendak menjambaknya. Tapi Niki berkelit dan membuat tubuh Mirah mendadak oleng hingga nyaris terjerembab ke sofa. Niki menahan tawa melihat Mirah mengumpat. Tidak masalah kalau selalu diomeli tapi tidak kalau harus menerima kekerasa fisik. Tubuhnya sangat berharga untuk mencari uang.
"Anak sialan! Hampir aja bikin gue jatuh. Lo sengaja mau matiin gue?"
Niki menggeleng dengan wajah memelas padahal dalam hati menahan tawa. "Ih, Tante suka nuduh sembarang. Dosa loh!"
Mirah menggeram, kedua tangannya terangkat dan terkulai lagi ke sisi tubuh saat Niki mengeluarkan dua lembar ratusan ribu dan menunjukkan ke depan wajah.
"Tante, tips malam ini. Lumayan'kan?"
Mirah menyambar uang sambil mengomel. "Dari tadi, kek! Ngapaian diumpetin dulu? Sengaja lo?"
Menghela napas panjang, Niki serba salah menghadapi sikap bibinya. Mirah yang pemarah dan rakus akan uang, tidak pernah benar-benar menganggapnya keponakan dan hanya mesin pencari uang. Untung saja Mirah tidak tahu profesi aslinya sebagai selebgram dan model. Hanya tahu kalau dirinya bekerja di restoran Italia sepulang kuliah. Tidak perlu tahu secara detail tentang pekerjaannya atau hidupnya akan berantakan. Mirah dan kedua anaknya adalah tipe keluarga yang bukan hanya penuntut tapi juga kurang ajar.
"Tante, aku ngantuk."
Mirah tidak mendengar pamitan Niki, sibuk menaruh uang dalam saku daster. Saat Niki sudah di atas dan menutup pintu kamar, ia tersadar.
"Nikiii! Jangan tidur dulu, piring belum dicucii!"
Niki bisa mendengar teriakan Mirah dan mengabaikannya. Terlalu lelah untuk melakukan pekerjaan rumah. Hari ini pekerjaan menyita tenaga dan pikirannya. Merebahkan kepala tangannya menyentuh sesuatu yang lembut. Selimut motif anak ayam pemberian Neil. Ia meletakkan selimut untuk menutupi wajah tersenyum memikirkan hari ini. Neil sedari dulu memang tampan, ternyata seiring bertambahnya umur justru terlihat makin tampan. Usia, kemapanan dan juga kekayaan membuat laki-laki itu terlihat berwibawa dan jauh dari jangkauan.
Niki meraih ponsel, mencari nomor Neil dan menatapnya sesaat. Ingin sekali berkirim pesan tapi tersadar, sekarang sudah nyaris dini hari, Neil pasti sudah tidur. Niki meletakkan kembali ponsel ke samping kepala dan berniat untuk terlelap.
"Om, keadaan nggak lagi sama kayak dulu," gumam Niki sebelum jatuh dalam tidur yang dalam.
Rasanya baru lima menit terlelap, Niki mendengar gedoran di kamar yang bagaikan ledakan bom. Disusul suara jeritan bersahutan. Niki mengusap telinga lalu matanya.
"Nikii! Bangun loo!"
"Jangan tidur terus kayak keboo!"
Niki mau tidak mau bangkit dari ranjang, untuk berjaga-jaga sebelum pintu kamarnya jebol. Tersaaruk menuju pintu dan membukanya. Mengerjap saat sesuatu yang silau berada di depannya. Apa-apaan ini? Pikirnya jengel. Di depannya Lopika yang bertubuh gemuk seperti sang mama memakai gaun perak elektrik yang terlalu kecil untuk tubuhnya. Gaun itu tersangkut di leher dan tidak bisa dilepaskan.
"Bantuin gue lepas gaun ini!" ucap Lopika terengah.
"Gue jugaaa!" Kepala Lalita tersangkut di sebuah aksesoris warna perak. Entah bagaimana awal mulanya, aksesoris itu membuat rambut keritingnya berdiri dan tertancap begitu saja. Membuat Niki harus menaha tawa.
"Malah bengong! Buruaan!" bentak Lopika.
Niki bergegas membantu Lopika, bergumam tidak mengerti bagaiman gaun sekecil ini bisa masuk ke tubuh sepupunya tapi tidak bisa dikeluarkan.
"Awas robeek! Hati-hati, jangan sampai gaun gue robek!"
"Mana bisa nggak robek?" ucap Niki dengan terengah, berusaha meloloskan gaun dari bahu Lopika yang gempal.
"Makanya hati-hati, bego amat lo!"
Makian Lopika membuat Niki tergoda untuk membiarkannya saja, tapi setelah berjuang sekian menit dengan napas ngos-ngosan dan keringat bercucuran, aakhirnya gaun itu terlepas tanpa robek sedikitpun. Niki menghela napas panjang, kali ini ganti membantu Lalita. Tidak habis pikir bagaiman si kembar secara bersamaan melakukan hal yang bodoh.
"Ini lo pakai apaan, sih?" tanya Niki mencabut berbagai macam pernak-pernik dari rambut keriting Lalita.
"Tiaraa! Mata lo buta? Nggak bisa lihat gue pakai tiara?"
Niki menahan dengkusan, tidak berniat untuk mencari perkara dan mengatakan pada sepupunya kalau tiara murahan yang sekarang ada di kepalanya, salah dalam pemasangan. Drama pagi yang sdangat tidak menyenangkan, setelah gaun dan tiara terlepas, si kembar memaksa Niki untuk membuat sarapan. Mereka meminta dimasakan mi rebus dengan telur dan irisan ayam. Masalahnya tidak ada ayam di kulkas.
"Dari mana gue dapat ayam?"
"Belii! Emangnya lo nggak ada duit!" salak si Lopika.
"Sanaa, ke warung!" Lalita menuntut.
Niki mengepalkan tangan. "Duit habis buat mama kalian." Jika tidak teringat tentang hukuman berat yang akan diterimanya, ia ingin sekali menyiramkan mi panas berkuah ke wajah si kembar.
"Dasar kere!"
"Dih, makanan gini, mah, gue juga bisa masak!"
Meskipun mengomel, keduanya tetap makan dengan lahap, membuat Niki punya waktu untuk ke kamar mandi. Selalu ada drama di rumah ini, tentang Mirah dan dua anak kembarnya. Mereka adalah makluk hidup yang terlahir ke dunia hanya untuk membuat Niki repot.
**
Beberapa hari berlalu setelah pertemuan di lobi dan Niki sama sekali belum menghubungi lagi. Tidak juga mengirim pesan, membuat Neil bertanya-tanya apa yang terjadi. Ia punya kebiasaan baru mengecek Instagram Niki dan terbelalak saat beberapa jam lalu ada postingan baru. Niki memakai topeng sedang berpose dengan gaun hitam di depan cermin. Membuat Neil terbelalak lalu membentak.
"Gaun model apa itu?"
Laras yang kebetulan sedang merapika berkas berjengit kaget. "Ada apa, Pak?"
"Nggak ada apa-apa." Ia menunjukkan Instagramnya pada Laras. "Lihat ini, berarti Niki belum follow aku'kan?"
Laras tersenyum. "Belum, Pak."
"Gadis resek memang."
Merasakan kejengkelan, Neil memutuskan untuk menelepon Niki. Panggilannya diangkat setelah dering kelima.
"Om, ada apa, sih? Lagi ada kelas."
Suara Niki yang terdengar jengkel membuat Neil makan geram. "Jam berapa kamu pulang kuliah?"
"Satu jam lagi, kenapa?"
"Di mana alamat kampusmu?"
"Buat apa?"
"Nikii, aku tanya sekali lama. Mana alamatmu! Aku akan jemput, jangan kemana-mana."
Sore ini harusnya ada rapat dan Neil membatalkannya. Ia ingin bertemu Niki dan mengomeli gadis itu. Menyetir sendiri ke kampus yang alamatnya dikirim Niki lewat pesan, ia sangat terkesan. Kampus swasta ini terhitung bagus dan bonafid. Kalau begitu, Niki tidak semiskin yang dipikirkannya?
Ia menatap melalui kaca seorang gadis dengan celana hitam dan kemeja garis-garis biru. Ia membuka jendela saat Niki melongok.
"Masuk!"
Niki membuka pintu, duduk di kursi dan memasang seatbelt. "Om merusak nama baikku."
"Apa maksudnya?"
"Teman-teman pasti bertanya, siapa laki-laki tua yang menjemput Niki? Waah, pasti sugar daddynya. Rusak, deh, citra polosku."
Neil mencengkeram kemudi dan menggeram marah. "Nikii, aku baru tiga puluh. Nggak pantas buat jadi sugar daddymu."
"Laaah, mana tahu pikiran teman-teman. Tapi, nggak apa-apa. Bagus juga punya sugar daddy."
"Niki, jangan kurang ajar!"
"Iya, Om, iyaaa!"
**
Extra
Lopika dan Lalita menunduk di depan ponsel, ada postingan terbaru dari selebgram favorit mereka.
Lopika: Mamaaa! Aku mau gaun hitam ini!
Lalita: Lopika nggak cocok, Mama. Aku sajaa!
Teriakan mereka berakhir dengan saling gulat, memperebutkan siapa yang pantas memakai gaun hitam seperti Niki Ciara.
Niki mengernyit ke arah ponsel yang disodorkan Neil : Aada apa, Om?
Neil mengangkat bahu : Follback akunku.
Niki menggeleng: Nggak mau! Follback itu mahal.
Neil: Aku bayar! Buruan follback!
Niki: Idih tukang nuntut.
Neil tersenyum puas saat melihat Niki memfollow akunnya. Dengan begini, ia bisa memantau keponakanya dengan lebih baik. Instagram Neil sendiri tidak ada postingan apa pun, dan satu-satunya yang difollow hanya Niki. Meski begitu, dengan foto profil asli, Niki mendapatkan ribuan pengikut dalam waktu seminggu, tanpa dimintanya. .
.
.
Di Karyakarsa update bab 11-12.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top