Bab 3
Niki melompat turun dari gendongan Neil. Tersenyum manis masih dengan lengan menggelendoti Neil. Rasanya tidak percaya kalau bisa bertemu dengan om yang selama beberapa tahun ini tidak pernah dijumpainya. Ia berbisik sambil tersenyum jahil.
"Makin cakep, Om. Apa rahasianya? Pasti duit!"
Neil tercengang sampai tidak bisa bicara. Kehilangan kendali menatap gadis berambut pirang pendek di depannya. Beberapa tahun tidak bertemu dan ia dibuat terkejut bukan kepalang. Gadis kecil yang pendiam dan cengeng, kini berubah menjadi perempuan muda yang cantik, sexy, dan seorang model. Berapa lama waktu berlalu? Kenapa banyak hal berubah tanpa ia tahu? Ia bahkan belum terlalu tua untuk melupakan waktu dan peristiwa. Ia menatap terbelalak pada gaun model pelaut pendek dengan rok biru dengan bagian atas putih? Memangnya ada yang memakai gaun seperti itu?
"Om, diam aja? Gimana kabarnya?"
Neil menyipit. "Kamu siapa?"
Niki terbelalak. Berdiri di depan Neil dan berjinjit lalu menepuk lembut pipinya. "Setaaan! Tolong, pergilaah! Jangan buat Omku jadi bingung dan linglung."
Neil mendengkus, tingkah Niki membuatnya sadar kalau tidak salah melihat orang. "Niki, berapa tahun nggak ketemu?"
"Naaah, akhirnya sadar juga. Om punya keponakan cantik gini tapi dilupain. Gimana coba?"
"Kenapa rambutmu pirang?"
Niki meraba rambutnya yang pirang sebahu. "Oh, demi penampilan. Rata-rata selebgram harus tampil glamour. Masa Om nggak tahu?"
Mengabaikan wajah Neil yang terperangah, Niki menjabat tangan dan mengguncangnya keras-keras.
"Om, aku mengajukan diri untuk ditraktir. Demi merayakan pertemuan kita."
"Siapa yang mau traktir kamu?"
"Ya Omlah, masa tetangga sebelah? Tapi nggak sekarang, karena aku harus kerja dulu. Banting tulang demi sebongkah berlian, kalu bisa sekalian mobilnya."
Niki mengedip lalu menunjuk beberapa staf pemotretan dan seorang model berkulit kecoklatan yang sudah menunggunya.
"Daah, Om. Tunggu, yaa?"
Neil terdiam, menatap gadis berambut pirang yang berlari menjauh. Terpukau sampai tidak sanggup bicara. Ia menggeleng, berusaha memfokuskan pikiran. Bagaimana bisa Niki ada di sini? Dengan penampilan seperti itu? Bukankah roknya terlalu pendek dan potongan dadanya sangat rendah? Sebagian kulitnya terlihat jelas bahkan secuil kain itu tidak bisa dikatakan pakaian.
"Pak, kita lanjutkan perjalanan?"
Teguran Laras membuat Neil tersadar. Ia mengangguk, menoleh dan mengamati orang-orang yang sekarang berdiri salah tingkah di belakangnya? Apa yang terjadi? Memangnya tidak boleh kalau ia bertemu keponakan yang sudah lama menghilang? Tidak bisa dikatakan menghilang, hanya dirinya yang terlanjur menjauh. Kesibukan membuatnya melupakan banyak hal bahkan soal Niki. Ia mengutuk diri sebagai seorang om yang tidak perhatian. Mereka memang tidak ada ikatan darah tapi secara hukum harusnya Niki itu keponakannya. Seharusnya. Kalau benar ia bersikap dan berlaku layaknya om yang sebenarnya, bukan malah meninggalkannya pada asuhan orang lain dan sekarang Niki tumbuh menjadi gadis yang tidak dikenalinya.
Tidak masalah Niki mau menjadi model sekalipun, tapi teringata terakhir bertemu ia melihar nilai rapo yang begitu bagus dan memang dengan nilai seperti itu tergolong pintar. Bukankah Niki harusnya kuliah? Paling tidak menjajaki karir lain dari pada menjadi model? Neil tidak antipati denga model, ia sendiri punya pacar juga seorang aktris, tapi Niki? Neil menghela napas panjang.
Melewati area pemotretan, langkah Neil terhenti. Melihat bagaimana Niki memakai topeng cantik yang menutupi sebagian wajah. Wajah tertutup tapi tidak dengan tubuh, pakaian model apa sebenarnya itu? Neil menggeleng, menunjuk toko terdekat yang menjual beragam cokelat. Mendengarkan pemaparan manajer toko. Dilanjutkan ke kafe kopi, toko buku, dan beberapa toko lain.
Ada banyak pendapat dan keluhan yang ditampungnya, meminta Laras untuk mencatat dan memerintahkan pada staf yang mengikutinya. Ia sudah mewarisi gedung ini sekian lama dari sang papa. Semula hanya fokus pada penyewaan untuk kantor, tapi tiga tahun belakangan ia mengijinkan beberapa toko beroperasi di lobi dan itu terbukti menjadi daya tarik tersendiri. Tidak jarang para pengunjung datang hanya untuk menikmati kopi atau pun membeli roti. Gedungnya bukan sekedar area perkantoran saja tapi bangunan serba guna.
Selesai meninjau semua tempat yang diperkirakan membutuhkan perhatian, mereka kembali ke lobi. Pemotretan sudah selesai. Yang membuat Neil kesal adalah gaun mini Niki yang kini berubah menjadi pink gemerlap dengan riasan mencolok dan sepatu hak tinggi warna senada. Saat melihat kemunculannya, gadis itu melambai lalu menyeret model lain yang memakai gaun biru elektrik.
"Om, kenalin, nih, temanku Erica. Katanya mau kenala sama Om."
Erica mengulurkan tangan malu-malu. "Apa ka-kabar, Pak. Saya Erica."
Neil mengangguk, menyambut uluran tangannya. "Halo."
Erica salah tingkah, lalu pamit pada Niki. "Gue balik dulu. Lo mau ngobrol'kan?"
"Okee, ntar malam aja teleponan."
"Yee, kalau Nenek Sihir lo nggak marah."
Niki tergelak, mencubit lembut pipi temannya. Setelah Erica berlalu ia kembali menatap Neil. "Gimana, Om? Kita mau makan di mana? Aku lapar sekali."
Neil menoleh, menggeleng tidak percaya pada stafnya yang melongo ke arah Niki. Ia sadar kalau pakaian yang melekat di tubuh Niki terlalu minim dan menggoda. Berdehem lalu membuka jas dan membeberkan depan Niki.
"Pakai ini."
Niki melongo. "Kenapa?"
"Kamu pakai ini atau ganti pakaian dengan yang normal."
Niki menatap tubuhnya sendiri. "Memang apa yang nggak normal dari gaun ini." Mendongak ke arah Laras, ia memutar tubuh. "Kakak, memangnya gaunku jelek?"
Laras menggeleng. "Nggak, cantik kok."
"Nah'kan, kenapa harus ganti coba?"
"Niki, jangan membantahku."
Niki mencebik, tidak suka dengan gaya bicara Neil. "Dasar tukang perintah." Ia mengangkat kedua lengan dan membiarkan Neil membantunya memakai jas. Memang tidak bisa menutupi bagian bawah tubuhnya tapi paling tidak menutupi dada. Neil mengangguk puas, memberi perintah pada Laras.
"Kalian kembali ke kantor dulu, nanti aku menyusul."
Laras membungkuk kecil, berbalik dengan staf yang lain menuju lift, meninggalkan Neil bersama Niki. Keheranan melanda para staf dan mereka berkasak-kusuk tentang gadis muda dan cantik yang mengaku sebagai keponakan Neil.
"Aku baru tahu kalau Pak Direktur punya ponakan."
"Hooh, mana sudah besar pula."
"Lah iyaa, keponakanku aja masih bocil."
"Duh, ponakan seperti itu bentukannya apa Pak Direktur nggak kuatir, ya? Cantik, sexy, dan—"
Laras terbatuk kecil, menaikkan kacamata dan menatap laki-laki di sekitarnya. Tidak ada lagi yang bicara. Laras memang tidak mengatakan apa apa, tapi semua orang tahu kedekatannya dengan direktur. Semua ucapan mereka bisa menjadi boomerang kalau diadukan oleh Laras. Mereka terpekur menatap lantai dan memilih untuk menutup mulut.
Neil mengajak Niki makan di kafe yang menyediakan pasta. Ia memesan kopi, sedangkan Niki memilih salad dan es kopi. Neil mengernyit heran.
"Kenapa hanya salad? Di sini ada burger dan kentang."
Niki menggeleng. "Nggak boleh makan banyak. Harus diet."
"Apanya yang harus didietin, tubuhmu kurus kering begitu."
Kata-kata Neil membuat Niki tertawa lirih, mengibaskan rambut pirangnya., Jas yang dipakainya terasa berat di tubuhnya. Tapi, ia tidak berani mencopot karena takut dengan Neil. Sebenarnya bukan takut karena akan dipukul atau dimarahi, tapi lebih menghormati saja. Ia tidak ingin merusak pertemuan mereka setelah sekian lama tidak bertemu dengan kemarahan yang tidak perlu.
"Kapan kalian pindah ke kota ini?" Neil melettakkan ponsel ke atas meja.
"Dari tahun lalu."
"Kenapa aku nggak dikasih tahu?"
"Gimana, ya? Kita sudah punya hidup masing-masing, Om."
"Nikii! Kamu pasti belum lupa, aku siapa kamu bukan?"
Keketusan yang terlontar dari bibir Neil membuat Niki terdiam. Ia menekuri meja, menatap ponsel milik Neil. Tersadar itu adalah keluaran terbaru dari merek ternama. Semua yang melekat di tubuh omnya adalah barang mahal dan mewah, sangat berbeda dengan dirinya. Lalu, apa yang diharapkan Neil sebenarnya? Kabar seperti apa yang ingin didengar Neil tentangnya.
"Om, aku sudah besar. Tahun ini umurku 20 tahun, kalau pun menikah sudah legal. Om nggak perlu lagi merasa bertanggung jawab sama aku."
Neil menghela napas panjang, tusukan rasa bersalah menghentak sanubarinya. Niki memang sudah dewasa, yang dikatakannya memang benar soal tanggung jawab maupun usia pernikahan lalu apa salahnya yang ia memprotes karena tidak tahu apa pun?
"Ini bukan soal kamu sudah besar atau belum, ini soal adab dan sopan santun. Bukankah semestinya ada satu pesan masuk di ponselku? Kalau kamu pindah kemari? Dengan begitu aku bisa mencarimu?"
Niki tertawa lirih, pesanan mereka datang. Pramusaji perempuan dengan seragam hitam membawa baki dan menyajikan di depan mereka. Pramusaji muda itu menatap pada Niki dengan takjub lalu pada Neil dengan malu-malu. Tidak menyalahkannya, sepasang laki-laki dan perempua yang sangat rupawan ada di depannya,. siapapun akan kehilangan kendali dan terpukau tanpa sadar.
Kafe tidak banyak pengunjung, hanya beberapa meja terisi. Musik mengalun lirih menjadi pengiring obrolan. Pramusaji bersiap di dekat pintu, meja, maupun berdiri bergerombol di dekat bar. Menunggu para pengunjung memanggil mereka.
Mengaduk salad dengan malas, Niki mencicipi lalu berdecak. "Cukup enak, aku suka."
Neil menyesap kopinya. Jenis yang terlalu ringan untuknya tapi lumayan untuk menemani bicara dengan gadis keras kepala di depannya. Mereka belum mengobrol terlalu jauh tapi ia sudah tahu kalau Niki sangat keras kepala? Apakah sifat itu sudah ada dari dulu, atau hanya dirinya yang baru sadar?
"Kamu belum menjawab pertanyaanku. Kenapa pindah tanpa memberitahu? Jangan bilang kamu nggak tahu nomor hapeku."
"Aku tahu nomor hape, Om. Emang belum nemu waktu yang cocok buat bilang. Kalau jodoh nggak akan kemana sebenarnya. Ini, kita ketemu."
Dengan sedikit berani dan kurang ajar, Niki mengedipkan sebelah mata. Kembali mengaduk salad dan makan dengan sikap enggan. Neil tidak tahu apakah karena diet atau memang saladnya yang tidak enak, reaksi Niki yang tidak antusias dengan makanan yang disantapnya membuat berbagai pertanyaan bergulung di kepalanya. Apakah setiap perempuan terobsesi dengan tubuh bagus dan diet? Niki bukan satu-satunya yang diketahuinya hanya makan salad, kekasihnya pun sama. Jarang sekali bersantap makanan besar dengannya. Tapi, ia merindukan sosok gadis kecil yang lahap menyantap burger dan kentang. Apakah dirinya salah memilih tempat makan? Kalau begitu, lain kali harus membawa anak ayam ini ke restoran fast food.
"Di mana rumah kalian?"
"Daerah Pasar Lama, area Timur."
Neil mengernyit. "Itu daerah padat penduduk."
"Ya memang."
"Kenapa tinggal di sana? Kenapa ngggak di tempat yang lebih layak. Maksudku bukan tempat itu nggak layak, tapi ada tempat lain."
Niki tersenyum. "Om, kami mampunya membeli rumah begitu. Mau gimana lagi?"
"Nggak mungkin!"
"Apanya yang nggak mungkin? Nggak semua orang sekaya Om."
Neil membuka mulut, ingin membantah perkataan Niki tapi akhirnya diurungkan. Mereka bertemu setelah sekian lama berpisah dan yang dilakukan adalah sibuk berdebat. Neil bahkan tidak mengerti dengan dirinya sendiri karena terpengaruh oleh ucapan Niki. Sedari dulu memang gadis itu punya kemampuan untuk membuat orang kuatir.
"Kamu nggak kuliah?"
Niki menggeleng. "Kuliah kok, kampus swasta di kota ini."
"Kenapa? Bukannya aku pernah berpesan sama kamu, selesai lulus SMU cari aku dan kamu kuliah di negeri?"
"Oh, emangnya ada jaminan Om nggak akan lupa sama janji itu?"
"Apaa?"
Niki menyingkirkan saladnya yang tinggal setengah, menatap Neil lurus-lurus dan tersenyum kecil. Meski begitu kesedihan terlihat jelas di wajahnya. Kemurungan yang bahkan tidak bisa ditutupi oleh make-up tebal. Siapa yang sedang berusaha dikelabuhi Niki? Apakah si om yang memang tidak peka, atau dirinya sendiri?
"Berapa tahu Om nggak datang ketemu aku. Terakhir saat aku SMP."
"Bukannya terakhir saat kamu mau masuk SMU?"
Niki mengangkat bahu. "Entahlah, aku sudah lupa. Yang pasti lama sekali kita nggak ketemu. Aku malah nggak tahu Om masih ingat aku atau nggak."
"Masih tentu saja. Kamu keluargaku!"
"Keluarga? Oh ya? Siapa Om? Keponakan yang terlupakan?" ucap Niki sengit. Saat melihat wajah Neil yang mengeras, ia menghela napas panjang. Berusaha untuk menurunkan kembali suaranya. "Maaf, aku sedikit emosi. Aku tahu Om sibuk, jadi, aku minta maaf karena udah bersikap nggak tahu diri."
Permintaan maaf yang begitu cepat dari Niki justru membuat Neil semakin merasa bersalah. Memang benar dirinya yang lalai, dalam beberapa tahun belakangan tidak pernah lagi datang menjenguk. Tidak heran kalai Niki merasa diabaikan karena memang begitu kenyataannya.
Neil menatap gadis cantik yang menunduk, ingin rasanya mengusap rambut pirang itu dan mengatakan kalau semuanya baik-baik saja. Rasanya mustahil. Penghiburan seperti apa pun tidak bisa menghapus kesalahannya yang sudah abai.
"Ini mungkin terdengar sebagai pembelaan. Tapi kamu benar, aku memang sudah lalai denganmu. Maafkan aku."
Niki tersenyum, kali ini benar-benar tulus. Suara Neil yang berat terdengar tidak enak hati. Sebagian kekesalan sirna di hati Niki. Ponselnya berdering, ada nama manajernya. Ia merih ponsel dan menjawabnya.
"Iya, aku pergi sekarang."
Mengakhiri panggilan bahkan sebelum si manajer bicara, Niki bangkit dari kursi. Melepas jas yang dipakainya dan menyerahkan pada Neil.
"Aku harus pergi, Om. Terima kasih sebelumnya sudah mentraktirku. Kapan-kapan aku mampir setelah tahu Om kerja di gedung ini."
Neil tersadar kalau tidak pernah memberitahu Niki kalau gedung ini miliknya.
"Kamu mau kemana?"
"Ada kerjaan lain. Setelah itu pulang."
"Tunggu!" Neil menyodorkan ponselnya. "Masukkan nomor hapemu."
Niki patuh, memasukkan serangkaian nomor ke ponsel Neil.
"Kalau aku manggil kamu, tidak boleh ada bantahan. Kamu harus datang." Neil melanjutkan perkataannya dan membuat Niki menggeleng.
"Permintaan aneh. Gimana kalau aku kerja? Yang benar aja, Om! Dasar tukang perintah!"
"Kamu ini!"
Terakhir kali, Niki masuk ke dalam pelukan Neil dan berucap lirih. "Selamat ulang tahun, Om. Selamat menjadi tua."
"Kamu ingat?" tanya Neil kaget.
Niki melepaskan pelukannya lalu meleletkan lidah. "Kado menyusul!" Meraih tas bergegas meninggalkan kafe.
Neil mengikuti langkahnya menyusuri lobi. Di dekat pintu putar, Niki berbalik. Melontarkan ciuman jarak jauh lalu meliukkan tubuhnya dengan tangan di pinggul, membuat Neil tercengan. Beegitu pula orang-orang yang melihat Niki. Gadis itu tidak peduli kalau menjadi pusat perhatian, menghjlang ke dalam taxi dan meninggalkan Neil tertegun di lobi.
**
Extra
Staf satu : Gilaa, emang cantik, tuh, cewek.
Staf dua : Pak Direktur butuh ponakan cowok nggak, ya?"
Staf tiga : Siapa namanya? Nikii? Oh, nama yang sexy.
Erica : Nggak mau tahu, harus kenalan lebih mendalam sama si om
Neil meminta Laras membantunya mengunduh Instagram. Tidak lupa untuk melihat akun sosial media Niki yang ternyata bernama Niki Caria. Neil berteriak berang saat melihat tubuh keponakannya terpapar bebas di Instagram : Apa-apaan ini, kenapa pakaian Niki minim-minim? Memang pakai topeng, tetap saja! Kirim pesan ke dia, bilang ini akun aku. Harus dijadiikan teman atau apalah artinya itu.
Laras enggan memberitahu Neil, kalau Niki sedang tidak aktif di Instagram dan bosnya itu bisa follow tanpa Niki follow balik.
.
.
.
Di Karyakarsa update bab 7-8.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top