Bab 19

Neil meneguk perlahan minuman di dalam gelas, sementara wajah orang-orang di sekitarnya terlihat bingung. Sama sepertinya, Niki yang berada di tempat ini memang membuatnya sedikit shock. Meskipun sebelumnya gadis itu sudah ijin untuk kerja paruh waktu.

"Niki kerja di sini? Dari kapan?" tanya Almaira penuh selidik. "Kamu nggak tahu?"

"Dia ijin, tapi aku nggak tahu kalau di sini."

"Kenapa nggak kerja hal lain? Misalnya di kantor atau apa gitu, kenapa jadi waitress?"

"Maunya begitu, aku disuruh gimana? Lagian, nggak mau juga aku terlalu mengekang. Biarin aja dia lakukan hal yang bikin dia seneng."

Percakapan Neil dan Almaira tentang gadis berambut pirang yang ternyata adalah keponakan Neil membuat Jayde dan Jared bertukar pandang. Perbedaan pendapat antar kekasih yang membuat keduanya tidak ingin menganggu.

"Tunggu di rumah nanti, aku akan bicara padanya."

Almaira mengernyit. "Tunggu di rumah? Rumah siapa?"

"Rumahku tentu saja, Niki tinggal bersamaku sekarang."

"Wow, berarti aku bisa sering-sering main ke rumahmu," teriak Jared. "Tapi, tunggu. Bukannya dia model, ya? Kenapa masih kerja jadi waitress?"

"Model kecil-kecilan alias paruh waktu, tapi aku nggak kasih ijin dia terjun ke model terutama kalau pakai baju sexy, nggak boleh pokoknya!"

Jared tercengang lalu tergelak. "Ya ampun, Neil. Posesif benar jadi om. Niki memang cantik, tapi kamu terlalu protektif."

Neil tidak peduli apa kata orang lain tentangnya. Bertahun-tahun ia kehilangan kendali atas hidup Niki dan terlihat bagaimaa hasilnya. Niki berada du bawah pengawasan Mirah yang brutal dan kurang ajar. Ia bukan sanggup menjadi posesif serta protektf om, dan tidak peduli apa pandangan orang-orang karena yang terpenting Niki baik-baik saja. Lebih baik menjadi waitress dari pada model pakaian terbuka, itu menurutnya.

"Aku nggak tahu kalau kamu punya ponakan sebesar itu." Jayde bertanya pada Neil dengan nada sedikit heran bercampur geli. "Nggak tahu juga kalau kamu punya kakak. Seingatku Jared bilang kamu anak tunggal."

Neil menatap Jayde. "Ponakan dari pernikahan. Papa dulu menikah dengan mama sambung yang punya anak namanya Kak Ana. Niki itu anaknya Kak Ana."

"Kamu yang merawatnya?"

"Awalnya, tapi aku kalah rebutan hak asuh. Niki dirawat oleh adik sepupu Kak Ana, dan baru ketemu lagi sama aku beberapa bulan lalu. Kami tinggal serumah lagi setelah banyak drama dan kejadian."

"Tapi, Niki hebat. Dia kerja apa saja nggak malu. Padahal punya om kaya raya yang bahkan sanggup buka restoran untuk dia." Jared menyela.

Pembicaraan ketiga laki-laki itu terdengar serius tapi santai, membahas Niki. Tanpa menyadari air muka Almaira yang perlahan berubah. Ia baru tahu kalau ternyata Niki ada di rumah Neil. Hubungan mereka memang om dan ponakan tapi kedekatan keduanya tidak membuatnya nyaman.

Almaira bukannya tidak menyukai Niki. Gadis berambut pirang itu sangat lucu dan sopan. Tapi juga cantik serta sexy. Ia yakin kalau Niki masuk total ke industry hiburan maka akan banyak tawaran untuknya dan bisa menjadi idola. Terbukti dari caranya memakai Instagram untuk menjadi model kelas tiga. Memang tidak sehebat dan seglamour dirinya tapi jumlah follower dan brand yang mengendorsnya cukup beragam. Tidak disangkal lagi kalau Niki punya daya tarik besar di masa depan, kalau benar-benar diperhatikan.

Makanan penutup dihidangkan dan kali ini waitress yang muncul bukan Niki tapi Erica. Gadis itu tersenyum manis pada semua orang terutama Jared.

"Hei, Erica. Kamu di sini juga?" sapa Jared dengan suara rendah.

"Jared, aku dan Niki itu sepaket. Nggak bisa dipisah, ada aku harus ada dia," jawab Erica dengan wajah berseri-seri. Tidak menyangka bisa bertemu laki-laki pujaannya di sini. Ia mengedarkan makanan pembuka, berujar ramah pada setiap orang. "Pak Neil, harus coba yang ini. Kata Niki enak."

Neil menatap cake yang diberikan Erica untuknya dan mencicipi dengan sendok kecil. "Ehm, enak memang."

Almaira tertawa. "Mulai kapan kamu suka cake?"

"Iseng aja."

Erica beralih pada Jared dan Jayde. Sedikit gugup saat pandangan matanya bertemu Jayde. Laki-laki itu bersikap sangat angkuh dan sombong. Erica meletakkan cake di depan Jayde, mengangguk kecil dan buru-buru pergi. Baginya Jayde terkesan menakutkan.

"Erica, ini enak sekali. Apa Niki yang merekomendasikan?" tanya Jared dengan penuh harap. Tidak memperhatikan binar mata Erica yang meredup saat nama Niki disebut.

Gadis berkulit sawo matang itu tersenyum dan meneggakan tubuh. "Iya, Niki yang merekomendasikan semua."

Jared tidak perlu tahu kalau Erica memilih semuanya dengan cermat, karena selama ini sudah memperhatikan apa yang disukai dan tidak disukai oleh laki-laki itu. Erica dengan sepenuh hati mempelajari tentang laki-laki yang ditaksirnya, tapi hatinya harus menahan kecewa karean ternyata Jared menyukai Niki. Menyimpan senyum duka, Erica mundur ke dapur.

"Sungguh dunia yang aneh," gumam Almaira. "Ada Niki dan temannya bekerja di sini. Anak-anak gadis itu sungguh pekerja keras. Model, waitress, pelayan di pesta, apalagi?"

Jared menyahut cepat. "Lady escort."

Neil terbatuk, lalu tersedak. Almaira mengulurkan air dan ia menolak. Memilih untuk menepuk dadanya perlahan sampai batuknya mereda lalu melotot bingung pada Jared.

"Siapa yang bilang?"

"Erica, tapi bukan lady escort untuk klub atau karaoke, melainkan menemani tamu dari luar negeri dan biasanya hanya untuk acara makan siang, atau pun saat berjalan-jalan. Menemani mengobrol dam hanya sebatas itu. Kalau para tamu menginginkan lebih, mereka tidak mau. Kadang-kadang juga jadi SPG pameran. Pokoknya Erica dan Niki itu semua pekerjaan diambil."

Jared menerangkan tanpa rasa bersalah, tidak menyadari wajah Neil yang semakin kelam. Makan dengan Jared juga tidak memperhatikan kalau kakaknya melemparkan tatapan memperingatkan sedangkan Almaira terlihat kesal. Mereka menandaskan sisa makanan dalam diam dan berpisah di lobi.

Di dalam mobil yang membawa Neil ke rumah Almaira, pikirannya terus menerus tertuju pada Niki. Bagaimana bisa gadis itu melakukan banyak pekerjaan yang berbahaya? Apakah Niki tidak tahu konsekuensinya? Ada banyak sekali kasus kekerasan seksual di luar sana saat bekerja dengan orang-orang asing. Neil mengingatkan diri sendiri untuk bicara dengan Niki dari hati ke hati. Terlalu fokus dengan Niki membuat Neil melupakan kekasihnya. Almaira beberapa kali mengajaknya bicara dan ia hanya menjawab sambil lalu.

Sampai akhirnya Almaira yang kehilangan sabar,m berujar dengan sedikit membentak. "Neil, kenapa, sih, kamu? Dari tadi diajak bicara nggak fokus!"

"Apa? Kamu bukannya bicara tentang project film barumu?" Neil menoleh dengan bingung.

Alamira berdecak keras. "Aku ngomong itu dari kita baru keluar, sekarang sudah setengah jalan dan sudah ganti tiga kali topik. Astagaa, ada apa kamu ini? Mikirin Niki?"

Tanpa diduga Neil menyahut cepat. "Benar, aku mikir Niki. Sorry."

"Buat apa minta maaf? Kalau memang pikiranmu tertuju pada gadis lain." Almaira melengos dengan wajah memerah kesal. Sepanjang jalan dan hanya berdua saja, Neil justru memikirkan Niki dan tidak terpikir sama sekali kalau ia akan marah. Apa-apaan Neil ini? Kenapa jadi begini?

Neil menatap kekasihnya dengan heran. Nada cemburu dari Almaira membuatnya kebingungan. Apa yang salah dari perkataannya? Padahal ia jujur dengan isi hati dan pikirannya.

"Almaira, gadis lain itu adalah Niki. Kamu tahu bukan bagaimana hubungan kami?"

"Hubunagan kalian hanya kerabat jauh dan sama sekali nggak ada keturunan maupun darah. Dia bukan keponakan kandungmu, dia sudah dewasa, dan kalau kalian menikah pun legal hukumnya. Niki tinggal di rumahmu sudah berapa lama? Dua bulan lalu? Kenapa aku baru tahu? Kenapa dari awal kamu nggak ada minta pendapat soal ini?"

"Wow-wow, Almaira, apa-apaan ini? Kenapa aku harus meminta ijinmu atas Niki?"

"Karena aku kekasihmu!"

"Memang, tidak lantas semua masalah pribadiku harus melapor padamu. Alamira, kita hanya kekasih, bukan suami istri. Pahami itu dulu."

Kemarahan Neil memuncak hingga tanpa sadar berucap dengan nada tinggi. Almaira untuk sesaat terkejut sampai tidak bisa bicara. Bagaimana mungkin hanya karena Niki keduanya bertengkar, padahal selama ini Neil bisa dibilang sangat lembut dan jarang sekali marah. Neil selalu bisa mengontrol emosinya. Mereka jarang berdebat kecuali soal penting, dan sangat kecil kemungkinan itu terjadi. Dua orang dewasa, menjalani hubungan pun secara dewasa. Mendadak perilaku dan perangai kekasihanya berubah hanya karena kehadiran gadis itu.

Niki memang cantik, tapi Almaira merasa dirinya tidak kalah cantik. Ia bahkan dijuluki sebagai artis sexy untuk tahun ini. Jauh lebih popular dari pada Niki yang baru kemarin masuk dunia artis. Lalu kenapa kedudukannya dalam hidup Neil tergeser begitu saja tanpa disadarinya. Apakah dirinya terlalu sibuk sampai-sampai tidak sadar ada hal yang sudah berubah? Almaira menghela napas panjang, menolak untuk menyalahkan diri sendiri. Semua yang terjadi tidak bukan kesalahannya tapi Neil yang tidak bisa menghargainya sebagai kekasih.

"Kamu berubah, Neil," gumam Alamira dengan nada rendah.

Menggeleng perlahan, Neil menjawab dengan tidak kalah pelan. "Aku nggak berubah, Almaira. Hanya meminta kamu lebih mengerti."

Entah pengerti seperti apa yang diinginkan Neil darinya, Almaira sama sekali tidak tahu. Ia mengungkapkan rasa kesal dan cemburunya, namun alih-alih mendapatkan penghiburan justru pertengkaran. Almaira sangat kesal tapi memikirkan tentang betapa panjang perjalanan yang sudah mereka lewati, setelah waktu yang berlalu, tidak boleh menyerah sekarang. Justru harus berjuang lebih keras karena saingannya bukan lagi perempuan di luar sana melainkan ada di dalam rumah dan hati Neil sendiri. Almaira akan mencari cara untuk menjauhkan Niki dari kekasihnya, sebelum terlambat dan ia menyesali semua.

Mereka berpisah tanpa kata-kata mesra, hanya saling berpamitan dengan kaku. Almaira menatap mobil Neil yang menjauh dengan tangan terkepal. Baru kali ini Neil mengantarnya pulang tanpa menyapa orang tuanya lebih dulu. Padahal dulunya selalu mampir meskipun hanya sepuluh menit, untuk berbasa-basi sebelum pergi. Hari ini pertama kalinya mereka berpisah dalam keadaan marah dan semua terjadi karena Niki. Almaira tidak akan membiarkan gadis itu merusak hubungannya.

**

Restoran tutup pukul 12 malam, semua waitress merapikan dan membersihkan restoran sebelum pulang. Besok Niki dan Erica akan datang sekali lagi. Si manajer tampak puas dengan kerja keduanya dan tanpa sungkan bertanya apakah mereka ingin menjadi pegawai tetap dan Erica yang menjawab.

"Maaf, Pak. Harus menolak bukan karena nggak suka tapi Niki harus kuliah. Jadi nggak bisa kalau kerja seharian."

Si manajer terlihat tidak suka karena merasa tawarannya terlalu bagus untuk ditolak. "Kamu sendiri gimana Erica? Apa alasanmu?"

"Oh, saya juga sedang belajar, Pak. Bukan pendidikan formal tapi mengharuskan untuk datang setiap siang. Maaf sekali lagi."

Tidak terima dengan penolakan. si manajer melambaikan tangan dan meminta keduanya untuk pergi. Niki dan Erica bertukar pandang sambil mengangkat bahu. Lobi hotel sudah sepi saat keduanya beriringan keluar dari restoran. Merasa sangat lelah tapi bersemangat karena mendapatkan gaji yang lumayan.

"Orang tadi kesel," bisik Niki saat mereka sudah menjauh dari restoran.

Erica mengangguk. "Emang. Padahal kita nolak juga baik-baik kali."

"Capek banget, mana waitress yang merasa senior pada belagu. Malas gue kerja sama orang-orang kayak gitu."

"Sok senior!"

"Eh, lo tadi lihat Jared'kan?" tanya Niki antusias. "Gimana? Senang ketemu gebetan?"

"Apaan, ada siapa itu kakaknya? Seram wajahnya. Trus, kayaknya Om kamu lagi sedikit berdebat sama pacarnya."

"Hah, seriusan? Soal apaa?"

"Nggak gitu paham gue. Cuma kelihatan aja bedanya. Niki, lo naik apaan pulang?"

Pertanyaan Erica terjawab saat di teras hotel ada Neli yang berdiri sambil merokok. Wajahnya terlihat kelam dalam malam temaram, bersandar pada pilar dan terlihat muram. Perasaan Niki campur aduk saat melihat Neil. Senang karena dijemput tapi juga kuatir. Ia baru saja tahu kalau Neil sedang bertengkar dengan Almaira. Apakah karena itu wajahnya terlihat murung? Niki memutuskan untuk berpura-pura tidak tahu dan menghampiri dengan senyum lebar.

"Om, nungguin siapa?"

Neil mematikan rokok. "Nunggu kamulah, siapa lagi?"

"Eh, gue pesan ojek dulu." Erica berujar pada mereka.

Yang menjawab adalah Neil. "Nggak usah, aku antar sekalian. Udah malam, bahaya kalau pulang sendiri. Ayo, naik!"

Erica dengan senang hati duduk di jok belakang, sementara Niki berada di samping Neil. Terlalu lelah, kedua gadis itu duduk dalam diam dan Erica bahkan nyaris terlelap. Saat tiba di area rumahnya, gadis itu menguap panjang, mengucapkan terima kasih pada Neil dan melangkah sedikit gontai masuk ke dalam gang. Pemukiman Erica mengingatkan Neil akan rumah yang dihuni Mirah.

"Erica itu, kedua orang tuanya masih ada? Kenapa dia kerja keras sekali?"

"Ada Om, tapi papanya belum mendapatkan pekerjaan yang layak. Kantor papanya bangkrut dan sampai sekarang hanya kerja serabutan. Mama kandung Erica entah ada di mana, dan ada mama sambung dengan dua adik yang masih sekolah. Jadinya, semua biaya Erica yang menanggungnya."

"Kasihan sekali, pantas saja dia kerja terus-menerus."

Niki menghela napas panjang, merasa prihatin dengan sahabatnya itu. Erica yang cantik dan pekerja keras, punya kelurga utuh tapi ekonominya morat-marit. Gadis semuda dia harus menanggung banyak beban. "Besok dia harus bangun pagi karena jam delapan karena ada kelas kecantikan. Cita-citanya ingin jadi MUA professional. Lanjut kerja di pameran sampai jam empat terus malam jadi waitress lagi."

"Gilaa! Padat sekali jadwal Erica, melebihi direktur."

Kata-kata Neil membuat Niki terkikik geli. Memang benar kalau dipikir, Erica sangat sibuk sampai-sampai waktu istirahatnya sangat terbatas.

"Kamu lapar nggak?" tanya Neil.

Menggeleng perlahan, Niki mendesah. "Nggak lapar, Om."

"Kenapa? Udah makan di restoran?"

"Mana ada? Cuma sekarang udah nyaris pagi. Nggak bagus kalau aku makan, bisa melar. Mending langsung tidur."

"Kamu kerja besok siang? Ikut Erica?"

"Nggak, capek. Pingin tidur sampai siang."

Neil bahkan belum sempat mengomel saat Niki merebahkan kepala dan memejam. Semua kekesalan dan pertanyaan yang ingin keluar dari bibir, tertahan karena melihat betapa lelahnya Niki. Neil mendesah, merasa dirinya sungguh aneh. Untuk sesaat merasa sangat marah dengan Niki tapi juga tidak tega untuk mengamuk. Akhirnya ia memilih untuk menyimpan kemarahannya hingga esok.

**

Extra

Erica: Lelah dan patah hati karena Jared.

Jared: Suka sama Niki berarti harus bikin Neil gembira.

Jayde: Tidak memikirkan apa pun yang tidak berguna selain bisnis.

Almaira: Niki dan semua masalah yang dibawanya, harus dimusnahkan.

Niki: Senangnya punya om yang pengertian.

Neil: Aku nggak perngertian, hanya sedang menahan diri.
.
.
.
Tersedia di google playbook.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top