Bab 14
Mirah benar-benar jatuh ke lubang yang besar dan dalam bersama keluarganya. Tidak ada lagi jalan keluar untuk bisa bangkit setelah tidak ada Niki. Uang dihentikan oleh Neil, Beno tidak bekerja dan secara otomatis tidak ada pemasukan. Pemilik kontrakan menagih uang sewa dan mereka hanya mampu membayar untuk beberapa bulan, mengais sisa-sisa uang di rekening. Rumah berantakan karena ulah orang-orang Neil, kedua anaknya yang tidak becus bekerja ditambah dengan cibiran tetangga karena mengurung Niki. Lengkap sudah penderitaan mereka. Tidak ada lagi orang yang ingin dekat-dekat dengan mereka lagi. Termasuk pemilik warung yang selama ini selalu memberi utangan.
"Kalau nggak ada beras kami makan apa?" Mirah merengek pada perempuan bertubuh gempal yang merupakan istri dari pemilik warung depan gang.
Perempuan itu tersenyum sini dengan pandangan juling. "Eh, mana ada urusan sama kita kalian mau makan apa? Utangan bulan kemarin aja kalian belum bayar."
"Nanti kami bayar sekalian, Bu. Tolonglah."
"Nggak ada tolong-tolongan, ye. Kemarin gue kasih kalian utangan karena Niki yang bayar. Sekarang, Niki udah pergi. Siapa yang mau bayar, siapa?"
Tidak ada pembelaan dari Mirah, kalah oleh pendapat pemilik warung. Bagaimanapun mereka memang tidak ada uang, mau tidak mau membeli beberapa bungkus mi instan dan telur lalu mencampur dengan nasi. Tentu saja yang memprotes adalah kedua anak Mirah. Mereka terbiasa makan enak dan kini dipaksa untuk menghadapi kenyataan kalau orang tua mereka tidak ada uang.
"Makan mie doang kagak kenyang, Maa," rengek Lopika dengan wajah mencebik. Mendapat jatah satu mangkok mis instan rebus dan tidak membuatnya puas.
"Berisik lo, yang penting makan. Lo mau kelaperan? Hah!" Mirah membentak kesal.
Lalita mendesah. "Aku, sih, doyan, Ma. Tapi bosan, udah tiga hari makan ini terus."
Beno memperhatikan anak dan istrinya berdebat soal makanan dalam diam. Duduk di antara barang yang berserak, ada beberapa kantong berisi sampah yang tidak dibuang. Lalar berterbangan di sekitarnya dan membuatnya terganggung dengan suara mereka. Ia mendesah, merasakan perbedaan besar di rumah saat ada Niki dan tidak. Kamar mereka lebih mirih gudang, dapur dan ruang tamu tidak ubahnya tempat sampah dan kamar mandi sungguh tidak bisa dilihat. Meski begitu ia tidak berani memprotes pada istrinya karena takut Mirah akan menuntutnya mencari uang. Mereka jatuh miskin, setiap hari memutar otak untuk mencari makan.
Mirah menghampirinya, mengernyit lalu menghardik dengan suara keras. "Heh, jangan enak-enak lo jadi laki, ye. Noh, urusin dua anak lo, tuh. Ribut melulu minta makan, lo malah ngerokok aja! Cari kerja sana!"
Beno mendesah, baru saja berpikir bagaimana cara mencari aman dari istrinya, Mirah datang sambil membentak. Ia berusaha tetap tenang, menghabiskan rokoknya.
"Gue juga lagi nyari. Emang lo pikir cari kerjaan gampang. Apalagi di umur gue sekarang."
Memandang dengan tatapan masam ke arah suaminya, Mirah merasa sangat tidak puas. "Lo belum tua, masih bisa jadi tukang parkir atau kuli panggul di pasar!"
Beno tersentak dan rokoknya jatuh mengenai kaki dan membuatnya berteriak sambil memaki keras. Mengibaskan celana pendeknya yang terkena abu dan kulit kakinya yang lecet, ia merenggut marah.
"Lo bikin gue kaget!"
"Halah, cuma kena abu rokok aja lo manja. Gue nggak mau tahu, lo cari kerjaan. Kalau sampai gue sama anak-anak nggak makan layak. Gue bakal bawa mereka pergi!"
Beno tidak keberatan kalau istri dan anaknya pergi, buatnya mereka tidak lebih dari beban. Ia justru membayangkan segala kegembiraan dan kenyamanan kalau hanya sendiri tanpa istri dan anak-anaknya. Sialnya, ia melirik ke arah dapur dan dua anaknya menatap ke arahnya dengan pandangan memelas, membuatnya tidak berdaya. Ia keluar dari rumah, tidak memedulikan teriakan istrinya. Mencoba memikirkan bagaimana cara mendapatkan uang untuk kedua anak dan istrinya.
"Sialan! Nikiii! Kenapa lo mesti pergi, sih? Kalau gue kangen mesti gimana?"
Beno berujar ke udara dengan wajah menyedihkan dan senyum yang membuat orang bergidik.
**
Niki ingin menempati kamarnya yang dulu tapi Neil menolak. Menurut Neil, kamar itu terlalu sempit untuk seorang gadis. Ia bersikeras agar Niki menempati kamar tepat di samping kamarnya.
"Itu dulu bukannya kamar Kakek sama Nenek?"
Neil mengangguk. "Memang, dan sudah lama kosong. Barang-barang lama sudah dipindah dan diganti baru. Aku rasa kamu akan suka tinggal di situ, menghadap langsung ke taman."
Mendesah sambil menggeleng, Niki bersikukuh menolak. "Terlalu laus, Om. Ada nggak kamar yang lebih kecil."
"Nggak ada. Mau nggak mau kamu di sana."
"Tapi, gimana, ya?"
"Nggak pakai gimana-gimana juga. Kamu suka sekali membantahku, heran. Padahal udah enak punya kamar besar dan luas, masih aja cerewet."
Niki meleletkan lidah ke arah Neil. Ia bukannya cerewet, hanya merasa tidak layak menempati kamar luas ini. Seharusnya kamar ini menjadi milik Neil dan juga istrinya kelak, karena paling luas di antara kamar lain di rumah. Saat memasuki ruangan yang akan menjadi tempat tidurnya, Niki mengerjap. Kenangan masa lalu membanjiri ingatannya. Tentang si kakek yang suka sekali mendongeng padanya di atas ranjang, sementara neneknya menyulam atau menjahit. Sesekali terdengar perdebatan mesra di antara keduanya dan Niki akan tertidur tanpa sadar. Masa-masa indah saat kecil dulu, sungguh kenangan manis yang tidak akan pernah tergantikan. Menapaki lantai kamar yang mengkilat, pewangi ruangan yang menguar di setiap penjuru, dan juga gorden yang terbuka di jendela, membuat Niki menyadari kalau dulu pernah dicintai dan disayangi, sebelum akhirnya jatuh dalam penderitaan.
Mengusap permukaan sprei yang halus, Niki tergoda untuk merebahkan diri. Setelah dirawat secara intensif, luka-lukanya sudah membaik dan kini bergerak bebas. Mengayunkan kaki, Niki merebahkan kepala di atas bantal dengan pandangan menghadap televisi layar lebar yang berada di atas meja panjang.
"Seingatku, merek TV buat itu, Om," ujarnya menunjuk ke arah dinding.
Neil mengangguk. "Memang, aku menggantinya karena TV yang lama rusak."
Menepuk-nepuk sprei, Niki tidak bisa menahan tawa. "Aku ingat dulu, Kakek menonton berita sambil makan keripik sama aku. Setelah itu Nenek masuk dan kami berdua kena omel karena mengotori ranjang."
Tergoda untuk mengenang masa lalu, Neil ikut merebahkan diri di samping Niki dengan pintu kamar terbuka lebar.
"Kamu dulu suka banget di kamar ini."
"Ya, emang. Gimana nggak? Om sibuk belajar, Mama sibuk kerja, tinggal Nenek sama Kakek yang mau main sama aku."
"Mana ada aku sibuk belajar? Setiap beberapa menit sekali kamu nyelonong masuk ke kamar. Nggak ada sopan santun."
Gerutuan Neil membuat Niki tertawa keras. Ia mengingat dengan jelas, kelakukannya saat masih kecil dan sering membuat Neil mengamuk. Bagian terbaiknya adalah ia mendapat pembelaan utuh dari kakek yang setiap kali mendengar pengaduan Neil, akan mengatakan kalau anaknya berlebihan. Kenyataanya memang dirinya yang kelewat usil.
"Om ...."
"Ya."
"Ngerasa kesepian nggak tinggal sendiri di sini?"
Menghela napas panjang, Neil menatap langit-langit kamar dan tersenyum masam. "Sangat, makanya aku mau kamu tinggal di sini sekarang. Biar rumah nggak terlalu sepi."
Niki berdecak sambil menggeleng keras. "Ckckck, kasihan sekali kau anak muda. Kalau memang kesepian, napa nggak nikah aja terus lahirin banyak anak!"
"Ngaco!" Neil menyentil telinga Niki dan membuat gadis itu meringis. "Ganti baju, aku temani kamu ke mall mumpung lagi senggang."
Bangkit dari ranjang, Niki mengedip bingung. "Ke mall? Mau ngapaian?"
"Ngapaian lagi? Belanjalah. Pakaianmu hanya itu-itu saja, emangnya nggak pingin beli?"
"Om, aku ada endors pakaian Minggu depan. Kayaknya bagus-bagus dan lumayan dapat jumlahnya."
"Jangan malas! Ayo, sekalian makan siang!"
Sebenarnya bukan malas alasan utama Niki enggan ke mall. Bukan juga karena kakinya sakit karena memang sudah sembuh dan pulih. Ia hanya tidak ingin merepotkan Neil. Sayangnya laki-laki itu tidak mau tahu, memaksanya tetap pergi. Mau tidak mau ia menurut, dan mengancam dalam hati akan membuat Neil bangkrut. Untuk pelajaran agar lain kali Neil tidak lagi sembarangan mengajaknya belanja.
Kenyataannya sungguh berbeda, setelah sampai di mall ia justru tidak tahu ingin kemana. Melangkah ke departemen store, Neil justru menariknya ke butik dan Niki tidak bisa menolak. Pramuniaga butik menyambut mereka dengan gembira dan tidak dapat menahan kekaguman saat Niki mencoba semua pakaian yang disodorkan dan terlihat sangat anggun tidak peduli bagaimana modelnya. Membuat mereka dan juga Neil terkesan.
"Kakaknya hanya ganti baju dan memperlihatkan pada kami, tapi kenapa kelihatan kayak lagi catwalk, ya?" ujar mereka dengan pandangan kagum dan bibir penuh pujian.
Niki tidak menjawab, merasa tidak perlu memberikan jawaban apa pun. Neil membayar pakaian yang menurutnya cocok, tidak lupa tas, dan sepatu, lalu meminta sopir mengantar ke rumah lebih dulu. Mereka makan di restoran steak yang mempunya ruangan cozy dan nyaman.
"Kamu mau masuk kuliah kapan?" Neil mengiris steaknya dan mencocok dengan garpu.
"Senin masuk, kenapa?"
"Aku akan cari sopir buat kamu."
"Nggak perlu. Aku lebih nyaman naik ojek."
"Nikii, pernah nggak satu kali aja kamu nggak bantah!"
Mencebik sambil makan daging, Niki menggeleng pelan. "Padahal aku cuma nawarin solusi biar hemat. Lagian, selesai kuliah biasanya ada les, kerja part time. Pakai sopir kayak ribet. Serius, Om. Enak naik ojek aja."
"Nggak ada bantahan. Sopirnya sekalian jadi penjaga kamu. Nggak peduli kamu kemana, pulang jam berapa, dia harus ikut!"
Mendesah penuh sesal, Niki sulit membayangkan dirinya kerja di restoran sebagai pelayan sedangkan di halaman ada sopir yang menunggunya pulang. Entah restoran mana yang akan menerimanya nanti. Dalam hal ini ia bisa melihat yang senang justru Erica, kemana-mana diantar seperti orang kaya adalah impian sahabatnya.
"Satu lagi, negara mana yang menjadi tujuan untuk pertukaran mahasiswa, sebaiknya mulai sekarang kamu pikirkan. Tingkatkan lagi bahasa asingmu, soal tanda tangan wali dan sebagainya, biar aku yang urus."
"Iya, Om."
Merasa puas karena Niki tidak membantah, tanpa sadar Neil tersenyum. Menghadapi anak gadis yang suka sekali memberontak sesekali memang harus sedikit keras. Padahal yang ia lakukan adalah untuk kebaikan Niki, tapi sepertinya niat baiknya kurang dimengerti.
Neil menoleh ke aras ponselnya yang berdering. Ia mengambil dari meja dan berpamitan akan merokok di luar. Berdiri di dekat pot pohon palem, Neil menyalakan rokok sebelum mengangkat panggilan.
"Hallo."
"Sayang, kamu di mana?"
Suara kekasihnya terdengar lembut di telinganya. Neil menjawab singkat.
"Makan siang."
"Oh, di mana? Rumah?"
"Bukan di mall. Bagaimana pekerjaanmu? Sudah selesai syuting?"
"Sudah, Minggu depan aku pulang dan minta waktu istirahat beberapa bulan sebelum ambil proyek lain. Kita bisa sering ketemu dan makan bareng. Senang rasanya."
Neil tidak mengatakan apa-apa, mendengarkan celoteh Almaira yang terdengar sangat gembira. Menghisap rokonya kuat-kuat, pandangannya tertuju pada Niki melalui kaca. Gadis itu sedang makan salad dengan malas-malas, mungkin karena sudah kenyang. Terlihat bosan dengan jemari mempermainkan serbet. Ia teringat sesuatu kalau Niki belum punya ponsel baru.
"Neil, kamu dengar aku. Kenapa diam saja?"
Terbatuk kecil, Neil mematikan rokok. "Ya, aku dengar. Lagi ngerokok aja. Aku tunggu kamu pulang baru makan bareng."
"Bener'ya? Senangnya. Ngomong-ngomong, kapan aku boleh main ke rumahmu?"
Untuk pertanyaan terakhir dari kekasihnya, Neil sengaja mengalihkan percakapan. Membahas tentang proyek baru yang ditawarkan untuk Almaira. Menurut kabar angin adalah proyek seorang sutradara luar negeri. Almaira terkecoh, melupakan pertanyaannya soal rumah Neil dan mulai membahas proyek barunya dengan gembira.
Sepanjang percakapan di telepon, hati Neil diliputi rasa bersalah. Merasa seperti seorang kekasih yang sedang berselingkuh. Padahal ia sedang tidak melakukan itu. Entah kenapa ia tidak ingin Almaira tahu kalau sekarang Niki tinggal di rumahnya. Rahasia itu belum ingin ia bagikan pada orang lain terutama Almaira.
Selesai menelopon, Neil masuk kembali dan mengambil barang-barangnya.
"Ayo, kita ke toko hape. Kamu harus beli hape baru.,"
Niki terlonjak dari kursi dengan mata terbelalak gembira. "Wah, Om mau beliin aku hape baru?"
"Iyalah, memangnya kamu bisa hidup tanpa hape?"
"Nggak bisalah!"
Tanpa sadar menggandeng lengan Neil, Niki berjalan dengan gembira menyusuri lantai mall menuju area elektronik yang ada di lantai atas. Di siang hari, mall lebih ramai pengunjung dibanding pagi saat mereka tiba.
"Om ternyata kaya raya, ya?"
"Kamu baru tahu?"
"Memang, aku pikir hanya kaya aja, bukan kaya raya. Ternyata aku salah. Ckckck, tahu gini dari dulu aku balik ke rumah, Om!"
"Kamu pikir aku mau diganggu anak kecil?"
"Pasti mau, aku'kan cantik."
"Jangan terlalu percaya diri."
"Biarin, wew. Orang cantik, mah, bebas."
**
Extra
Di rumah kecil berlantai dua terjadi kehebohan karena makanan. Dari waktu ke waktu soal yang sama.
Lopika: Maaa, perkedelku ilang diambil Lalita.
Lalita: Maaa, Lopika makan jatah nasiku.
Mirah: Diaaam! Kalian berdua masih ribut makanan, mama pukul!
Beno: Pasar adalah tempat yang nyaman selain di rumah.
Niki: Selain hape mau minta apa, ya? Rasanya aku jadi serakah.
Neil: Minta aja semua Niki, jangan malu-malu. Asalkan bukan pesawat pribadi, semuanya mampu aku beli.Pesawat bukannya nggak mampu, tapi nggak kepakai.
Almaira: Aku merasa ada yang salah sama Neil, tapi apa, ya?
.
.
.Cerita ini sudah mendekati ending di Karyakarsa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top