Bab 10
Saat Niki tiba di rumah, hanya ada Beno. Laki-laki kurus itu menyeringai saat melihatnya. Niki tidak pernah menyukai suami Mirah itu. Menurutnya sangat tidak sopan, dan mesum. Selalu mengometari hal-hal yang menyangkut wajah atau tubuhnya. Kalau dipikir lagi memang tidak ada yang benar dengan keluarga Mirah dan Niki terjebak di antara mereka. Memang sial hidupnya.
Orang-orang, terutama teman-teman Mirah mengatakan dirinya beruntung. Yatim piatu dan tanpa siapa-siapa, tapi ada orang yang mau merawatnya yaitu Mirah. Dengan begitu tidak perlu merasa terlantar serta sendirian. Niki hanya bisa mencibir perkataan mereka yang menurutnya sangat tidak relevan. Ia memang sendiri tapi tidak terlantar, kalau bukan karena hukum pasti Neil mau merawatnya. Terlebuh sekarang ia tahu kalau ada uang yang diberikan Neil untuknya.
Niki melirik sekilas pada Beno dan tanpa menyapa berniat untuk segera ke atas tapi laki-laki itu menegur dengan nada lembut.
"Nikii, baru pulang kamu? Kemana saja dua hari ini, hah?"
"Kerja," jawab Niki tanpa basa basi.
"Kerja apa sampai dua hari?"
Niki tidak menjawab, satu kaki menyentuh anak tangga.
"Mana uangnya? Pamanmu ini juba butuh uang, Niki. Kenapa hanya tantemu saja yang kamu beri?"
Menoleh dengan heran, Niki melihat Beno bangkit dari sofa. Ia mencengkeram tas, bersiap untuk melakukan perlawanan atau pembelaan kalau diperlukan. Anggap saja dirinya terlalu paranoid tapi tidak ada salahnya berjaga-jaga.
"Kenapa aku harus kasih Paman uang? Bukan tugasku."
Beno meringis, jawaban Niki membuatnya kesal. "Karena aku pamanmu, Cantik."
"Hanya paman dan bukan orang tua. Mendingan Paman minta sama Lopika atau Lalita, mereka itu anak-anakmu."
"Kamu juga anakku. Ckckck, Niki makin hari kamu makin cantik."
"Menjijikan. Nggak ada orang tua yang muji begitu sama anak sendiri."
"Loh, apa salahnyaa? Nikii, paman ini memujamu. Ayo, sini. Serangkan uangnya sama aku!"
Beno mendekat dan Niki berlari menaiki tangga. Tidak menghiraukan panggilan laki-laki itu. Perutnya terasa mual karena perkataan Beno.
"Nikiii! Mana uangnyaa! Paman butuh untuk makan!"
Mengunci pintu dan merebahkan diri di ranjang yang kecil, mata Niki nyalang menatap langit-langit. Merenungi nasib dan kisah hidup. Seharian ini pikirannya berkecamuk, antara Neil, Mirah, dan semua yang terjadi. Bayangan Almaira yang marah pun terlintas di benaknya. Perempuan mana yang tidak kesal saat kekasihnya terbaring di rumah sakit, justru menjadi orang terakhir yang dikabari. Ia sudah memperingatkan Neil untuk memberitahu kekasihnya dan perkataannya tidak diindahkan. Hati kecilnya berharap semoga tidak ada pertengkaran besar di antara mereka.
Niki terdiam, mendengarkan suara-suara Beno yang menghiba meminta uang. Laki-laki itu sepertinya naik ke lantai dua dan berada di persis di depan kamarnya. Niki memastikan pintu terkunci, meletakkan meja sebagai penghalang. Lebih baik menunggu Mirah dan dua anaknya pulang sebelum membuka pintu. Tidak ada yang tahu apa yang akan dilakukan Beno padanya.
"Nikiii, bukaaa pintunya. Kenapa takut sama paman?"
Pintu digedor dari luar dan Niki meringkuk di sudut kamar.
"Paman hanya mau uang. Ayo, serahkan sini, Setelah itu aku nggak ganggu kamu. Niki, masa, iya, dua hari kerja kamu nggak punya uang? Kamu pasti menghasilkan banyak uang dengan tubuh dan wajahmu. Aku mendengar selentingan Niki, tentang apa yang kamu lakukan di luar. Kenapa kamu bisa memberi semua barang-barang milikmu sedangkan tantemu nggak pernah ngasih uang. Pasti kamu melakukan sesuatu yang nakal'kan Nikii? Apa itu? Jual wajah dan tubuh. Hahahaha, pasti banyak uang kamu. Kenapa pelit kalau begitu? Beri aku uang dan aku akan jamin rahasiamu aman."
Niki terdiam dan tidak bergerak dari sudut kamar. Bernapas pun ia enggan lakukan dengan keras karena takut Beno akan mendengar dari balik pintu.
"Nikiii! Kurang ajar kamu. Berani-beraninya! Keluar atau aku dobrak!"
Niki melompat bangun, mengambil ganjalan pintu berupa batu yang memang sengaja disiapkan. Ia memegang di tangan, memasang kuda-kuda. Bernapas lega saat terdengar teriakan dari luar. Suara laki-laki memanggil Beno. Tak lama terdengar langkah kaki laki-laki itu menjauh. Suara-suara percakapan terdengar lirih dan tak lama menghilang. Niki berlari ke jendela kecil dan mengintipnya, Beno menjauh bersama temannya seketika ia bernapas lega dan kembali merebahkan diri. Kembali berbaring, Niki memikirkan tawaran Neil. Sepertinya meninggalkan rumah ini adalah ide bagus dan ia bersiap melakukannya.
**
Almaira duduk di tepi ranjang, meraih jemari Neil dan meremas perlahan. Hatinya memang sakit karena merasa tidak dibutuhkan tapi sekarang kekasihnya terbaring tidak berdaya. Tidak seharusnya bersikap semena-mena. Bisa jadi ia yang bersikap kekanak-kanakan tanpa menunggu penjelasan.
"Kenapa Niki bisa bersamamu?"
"Dia sedang di kantor saat aku pingsan."
"Niki yang menemanimu?"
Neil mengangguk letih. "Iya."
"Kenapa nggak telepon aku?"
"Almaira, kamu bukannya di luar kota?"
"Memang, tapi aku bisa datang cepat kalau memang kamu butuh aku."
Menatap kekasihnya lekat-lekat, Neil merasakan tusukan rasa bersalah. Entah kenapa hati kecilnya menginginkan Almaira tidak ada di sini selama dirinya bersama Niki. Ia ingin menghabiskan lebih banyak waktu berdua dengan Niki tanpa orang lain bahkan kekasihnya sendiri. Rasanya tidak ingin lagi membuang waktu untuk membagi waktu kebersamaan.
"Kamu pikir aku tipe laki-laki manja seperti itu? Aku mengerti betapa penting pekerjaanmu."
Almaira mendesah kecil. "Kamu jelas tahu aku seperti apa. Rela mengesampingkan semuanya demi kamu."
"Jangan begitu. Karir yang sudah kamu bangun bertahun-tahun bisa hancur hanya karena keegoisanku. Almaira, aku baik-baik saja, hanya usus buntu. Sudah operasi dan besok sudah bisa keluar dari rumah sakit. Kamu tahu bukan bidang kedokteran sekarang sangat canggih. Orang sakit jadi cepat recovery."
"Kalau begitu kamu berencana bungkam bahkan sampai pulang nanti? Begitu, Neil? Tidak ingin memberitahuku?"
"Almaira, mau sampai kapan kita berdebat begini?"
Neil memejam, mengusap perutnya. Lebih sulit menghadapi perempuan yang sedang marah dari pada klien yang sulit dan keras kepala. Tidak biasanya Almaira bersikap begitu cerewet dan menuntut perhatian. Sepertinya memang ada yang salah dengan dirinya. Tidak cukup baik untuk menjaga hati kekasihnya.
"Neil, kenapa kalian berpelukan? Niki bukan gadis kecil lagi, tidak seharusnya kamu melakukan itu."
Sebuah protes yang menurut Neil aneh, namun tetap membungkam mulutnya. Ia kebingungan bagaimana harus menjelaskan pada Almaira tentang apa yang sudah dilakukannya. Pelukan itu, apa artinya kalau begitu? Kenapa ia melakukan itu? Perasaan ingin melindungi dan mendekap Niki, bagaikan induk ayam yang ingin agar anak-anaknya selamat dan tidak mati kedinginan.
"Spontan, dia sedang sedih."
Mata Almaira melebar, jawaban Neil sungguh dirasa janggal. "Kamu bukan tipe orang yang suka bersentuhan. Setelah kita bersama sekian lama pun, kamu jarang sekarang memelukku."
"Almaira, dia keponakanku."
"Yang nggak ada hubungan darah denganmu. Niki bahkan sudah cukup umur untuk menikah!"
"Maksudmu apa Almaira?"
Almaira berdecak tidak sabar. "Masa kamu nggak paham? Kamu nggak boleh terlalu dekat dengan Niki. Hubungan kalian kalau terlalu dekat itu nggak wajar."
"Cuma kamu yang mikir gitu."
"Ini bukan prasangkaku saja, Neil."
Neil mengggeleng lalu mengangkat tangan saat ponselnya berdering. Terdengar suara Laras dan Neil mengijinkan sekretarisnya untuk masuk. Laras yang sedari tadi menunggu di balik pintu masuk dengan setumpuk dokumen di lengan. Almaira terperangah melihatnya.
"Laras, kamu nggak tahu kalau bossmu lagi sakit?"
"Biarkan saja, aku yang memintanya masuk. Banyak kerjaan yang harus dilakukan," sela Neil lugas.
"Neil, kamu sakit!"
"Sudah baikan Almaira. Kamu datang untuk menemaniku atau memberiku kuliah kesehatan?"
Almaira mendengkus dan menatap dengan kesal pada Laras yang menyodorkan tumpukan dokumen pada Neil. Setelah itu suasan menjadi hening kala Neil sibuk dengan pekerjaan dan Laras bergegas keluar. Almaira yang tersinggung karena perhatiannya disia-siakan, menatap memandang Neil dengan tidak beradaya. Ia tahu kalau kekasihnya orang yang sangat sibuk, dari awal menjalin hubungan sudah ditegaskan soal itu. Namun, tetap saja hatinya tidak bisa menerima sepenuhnya.
Memutuskan untuk pergi sebelum datang lagi nanti malam, Almaira berpamitan pada Neil. Sebelum itu ia bertanya apakah Neil ingin dibawakan sesuatu? Dan jawaban kekasihnya lagi-lagi di luar dugaan.
"Nggak usah repot-repot, kalau dokter mengijinkan aku akan pulang malam ini juga. Almaira, terima kasih sudah datang. Istirahatlah, aku di sini baik-baik saja."
"Kamu nggak mau aku temani?" tanya Almaira dengan kecewa.
"Bukannya nggak mau, hanya nggak mau membuatmu repot dan susah. Pulanglah, kita bertemu lagi nanti kalau aku sudah sehat."
Diusir dengan halus, Almaira tidak ada alasan untuk bertahan. Ia membungkuk untuk mengecup kening Neil, memeluk bahu kekasihnya sebelum berlalu tanpa kata. Meninggalkan kamar dalam kesunyian. Neil menatap kepergian kekasihnya dengan lega. Semua tanya dan cemburu dari Almaira membuatnya tertekan. Ia sedang ingin sendiri untuk menyelesaikan pekerjaannya.
**
Niki terbangun saat pintu kamarnya digedor diiringi dengan teriakan membahana. Ia bangkit perlahan, mengerjap karena lupa menyalakan lampu. Malam sudah datang, membuat kamarnya gelap gulita. Ia bangkit sambil meraba-raba saklar lampu dan menyalakannya. Setelah kamar terang benderang ia bergegas membuka pintu. Mirah bersama si kembar menunggunya. Tatapan mereka penuh tanda tanya dan selidik. Mirah maju, meraih rambut Niki dan menariknya dengan keras.
"Dari mana aja lo. Mana uangnya?"
Niki mencoba melepaskan diri. "Uang apa yang Tante minta?"
Mirah melotot. "Nyolot lagi lo. Pakai nanya-nanya, uang apa yang gue minta. Lo yang bilang sendiri kalau pulang bakalan bawa duit buat gue. Makanya lo mau nginap di luar dua hari. Napa sekarang lo lupa, hah!"
"Nggak lupa tapi emang nggak mau ngasih." Niki menyipit ke arah Mirah, semua amarah yang berakar dari tadi siang kini meluap saat berhadapan langsung. "Buat apa aku ngasih uang sama kalian? Emang kalian udah berjasa apa sama aku?"
Mirah ternganga, untuk sesaat tidak dapat bicara mendengar perkataan Niki yang dinilai sangat berani. Ia bertukar pandang bingung dengan kedua anaknya.
"Coba, katakan sekali lagi? Tadi kamu bilang apa?"
Niki mengangkat dagu. "Aku nggak mau ngasih lagi uang ke kalian. Aku mau pindah dari rumah ini!" Ia berbalik, mengambil koper di atas lemari dan membukanya di lantai. Mirah dan kedua anaknya menyerbu masuk.
"Maa, dia mau pergi," ucap Lalita.
"Mau kemana lo?" teriak Lopika. "Lo pikir bisa hidup sendirian di kota besar."
"Bisalah, gue kerja," jawab Niki sambil lalu. Membuka lemari dan mengambil pakaiannya. "Kerja gue cukup buat hidup. Lagi pula ada uang dari Om." Menoleh pada Mirah, Niki berucap ketus. "Tante ternyata selama ini bohong sama aku. Kenapa minta uang sama Om, hah? Atas nama apa? Pelihara aku? Seingatku di keluarga ini aku tak ubahnya pembantu. Makan pun sulit, nggak pernah ada uang jajan, bayaran sekolah pun aku cari sendiri. Jadi kemana pergi uang yang dikasih, Om? Kemana? Tante telan sendiri?"
Mirah terbelalak kaget lalu dengan cepat mengusai diri. "Oh, lo berubah karena sudah bertemu dengan Neil?"
"Memang."
"Dan lo diam saja?"
"Buat apa aku koar-koar ke kalian?"
"Lo mau pergi setelah tahu tentang duit itu?"
Niki meneggakan tubuh lalu menggeleng. "Nggak! Aku mau pergi karena nggak mau jadi alat untuk kalian meras uang dari Om lagi! Aku bisa hidup mandiri dan Om Neil juga mau menampungku. Kenapa aku harus tinggal bersama kalian?"
"Lo lupa butuh bea siswa? Butuh tanda tangan gue?" tanya Mirah.
Tercabik dalam kebingungan sesaat, Niki akhirnya menggeleng. "Nggak perlu lagi. Nggak apa-apa kalau aku nggak dapat bea siswa, yang terpenting Tante nggak peralat aku buat dapetin uang dari Om. Gilaa, banyak sekali. Lima belas juta sebulan dan uangnya buat apaa? Kuliah aku bayar sendiri!"
"Lo pikir biaya hidup murah?" gumam Mirah.
"Itu biaya hidup kalian, bukan aku anak-anakmu yang suka belanja, suamimu nganggur, kenapa dibebanin ke Om Neil buat biaya kalian?"
Mirah bergerak cepat dan tamparan keras bersarang di pipi Niki. Tidak hanya itu ia juga menjambak rambut Niki. Dua anaknya ikut bersamaan menendang dan memukul, tidak ada yang peduli dengan jerit kesakitan Niki.
"Lo kira udah hebat? Lo kira bisa gertak gue? Nikiii! Kalau bukan karena gue, lo udah mati terlantar di jalanan. Semua karena gue lo masih hidup. Begitu malah bersikap sombong dan nantangin gue. Lihat aja, setelah ini apa lo masih bisa teriak sombong!"
Mirah mencaci dan memaki, terus memukul dibantu oleh dua anaknya. Niki terbaring di lantai dingin dengan tubuh babak belur dan rambut yang rontok. Lopika menginjak kakinya dengan keras dan membuatnya berteriak menyayat. Tidak ada yang peduli dengannya. Tiga orang di hadapannya bersikap layaknya setan.
Mirah bangkit dengan puas, menatap Niki yang merintih sambil menangis di lantai. Menghela napas panjang ia mengambil ponsel Niki.
"Mulai sekarang lo di sini. Nggak boleh turun dan jangan harap bakalan dapat makan. Lo bisa keluar kalau udah sadar kelakuan lo dan minta maaf sama gue!"
Mengajak kedua anaknya keluar, Mirah mengunci pintu dan berpesan tidak seorang pun boleh menolong Niki. Terbaring sendirian dengan tubuh luka-luka, Niki menangis dalam diam. Merenungi nasibnya yang terus menerus sial. Teringat Neil dan Almaira yang berduaan di ruang rawat, hati Niki makin merana.
**
Almaira: Apa di sini aku jadi orang jahatnya? Padahal yang aku lakukan adalah layaknya kekasih.
Lopika: Sepertinya di sini aku jadi orang jahatnya. Nggaklah, aku menggemaskan gini
Lalita: Bukan aku orang jahatnya, aku terlalu cantik untuk itu.
Mirah: Memangnya kenapa kalau jadi orang jahat? Kenapa? Kalian nggak tahu aja susahnya bertahan hidup dengan banyak beban!
Beno: Kalian semua perempuan jahat, aku yang tidak.
Neil: Tentu saja yang paling jahat adalah aku, meninggalkan Niki begitu saja.
Niki: Nggak ada yang jahat selain dunia.
.
.
.
.
Di Karyakarsa update bab 27-28.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top