Bab 1


Neil menatap bocah perempuan yang menangis tersedu-sedi di depan makam yang masih memerah. Jari kecilnya meremas bunga dan menunduk hingga hidungnya nyaris menyentuh tanah. Para pelayat satu per satu pergi, meninggalkan hanya beberapa orang saja. Neil, bocah perempuan itu, dan asistennya juga lima pekerja makam. Neil hanya bisa berdiri diam, menunggu tangisan bocah itu reda.

Angin bertiup agak kencang, menerbangkan daun dan tanah kering. Di pemakaman ini aroma kesedihan, kehilangan, dan rasa takut menguarkan bersama tangisan lirih, mata yang basah, jari jemari yang gemetar serta makna hidup yang bergulir seiring kematian yang terjadi. Orang-orang yang merasa hidupnya berbeda, setelah kehilang orang terdekatnya. Tidak ada yang tahu berapa waktu yang dibutuhkan untuk mengobati luka dan membalut lubang yang menganga karena kehilangan. Neil menghela napas panjang, memasukkan tangan ke dalam saku. Memakai kemeja hitam dengan lengan tegulung, mencoba tegar untuk tetap berdiri tegar sementara tubuh kakak tirinya berbaring tidak terlihat.

Neil dan Ana dipertemukan karena pernikahan orang tua mereka, lima tahun lalu. Neil tanpa saudara, mendadak punya kakak perempuan. Suami Ana meninggal karena sakit. Hidup sebagai janda dengan anak perempuan berumur lima tahun, Ana menerima pernikahan orang tua mereka dengan gembira.

"Neil, aku kakakmu dan ini keponakanmu, Niki."

Pertama kalinya Neil bertemu anak perempuan dengan rambut hitam sebahu, mata besar, dan menatap takut padanya. Neil berumur lima belas tahun saat bertemu dengan Niki yang baru berumur lima tahun. Niki takut melihatnya dan ia pun tidak ada keinginan untuk dekat dengan bocah itu. Neil menjalani hidup seperti biasanya, tidak terpengaruh dengan pernikahan sang papa dan istri barunya.

Sikap dingin dan tidak peduli yang ditunjukkan Neil, tidak membuat Ana gentar. Setiap kali datang berkunjung, Ana dengan senyum ramah dan sikap penuh kasih sayang, mencoba mendekatkan diri pada adik tirinya.

"Niki, nggak boleh takut sama Om Neil. Sana, cium tangan Om."

Ana selalu mengajarkan sopan santu pada anaknya. Awal mulanya, Niki yang malang menangis keras setiap kali Neli melotot ke arahnya. Bagaimana tidak, seorang gadis kecil yang bahkan tidak tahu aturan. Menyelinap ke kamar Neil seenak jidat dan mengobrak-abrik barang-barangnya. Neil tidak bisa marah dengan kata-kata keras, hanya melotot sambil mendesiskan ancaman dan bocah kecil itu keluar dari kamarnya dengan ledakan tangisan.

"Om jahaaaat, Mamaaa! Om jahat!"

Neil sadar dirinya memang jahat, tidak tahan berdekatan dengan anak kecil yang cengen gdan suka merengek. Masalahnya sang papa sangat menyayangi Niki dan memperlakukannya sebagai cucunya sendiri. Setiap kali Niki datang berkunjung, maka meja akan penuh makanan dan cemilan, gadis kecil itu bebas berbuat apa pun di rumah, tidak ada yang berani menegurnya kecuali Neil yang punya kesabaran setipis tisu dibagi sepuluh.

"Neil, emangnya Niki salah apa sama kamu? Tiap kali datang kamu bikin nangis!"

Teguran sang papa tidak digubris oleh Neil.

"Salah bocah itu banyak, Papa. Terakhir dia datang, semua buku dan barang-barangku dikeluarin dari rak. Heh, emangnya nggak ada yang bisa ngajarin sopan santun monster kecil itu?"

"Justru itu, Niki baru lima tahun setengah. Kenapa otakmu nggak jalan dan hatimu nggak ada sabar ngadepin anak kecil? Heran papa sama kamu."

Neil sendiri tidak peduli apa yang dikatakan papanya. Ia hanya ingin privacynya tidak terganggu karena bocah perempuan tengil. Kemarahan sang papa akan memicu permintaan maaf dari mama sambungnya.

"Maafin Niki, lain kali di tidak boleh lagi masuk kamar kamu."

Perempuan berumur lima puluh lima tahun itu meminta maaf dengan wajah muram. Rasa marah dan kekesalan Neil menguap seketika. Mencoba mengerti kalau bocah berumur lima tahun lebih belum mengerti apa-apa. Ia sedang fokus pada ujian sekolah. Di usianya sekarang, karena terhitung anak pintar bisa masuk SMU setingkat lebih cepat.. Tidak menggubris kekisruhan di rumah besarnya karena kehadiran Niki. Ia bisa tidak peduli tapi tidak dengan paman bibinya. Mereka menganggap Niki adalah anak celaka, anak kurang ajar dan sengaja didekatkan untuk mengambil hati papanya.

"Hati-hati, Neil. Jangan sampai warisan terbagi untuk bocah itu. Aku lihat papamu sangat dekat dengannya."

Neil mengangap sambil lalu peringatan sang paman. Terlalu bodoh kalau merasa terancam pada bocah perempuan yang hanya bisa menangis dan merengek. Terlalu berlebihan kalau menganggpoa bocah itu layaknya alien yang bisa memakan segala harta yang dimilik orang tuanya.

"Aku merasa, bukan, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri kalau Nuri itu memang mengincar harta papamu." Sang bibi berbisik suatu sore, saat Neil sedang belajar dan perempuan bertubuh gempal itu berjingkat ke kamarnya. "Baru saja anaknya pulang bersama bocah kecil itu dan bibi lihat mereka bawa banyak sekali barang-barang dari rumah ini. Neil, kamu harus periksa, jangan-jangan ada yang hilang dari sini."

"Bibi jangan lebay, deh!" Neil menyangkal dengan kesal.

"Eh, kok ngatain orang tua lebay. Bibi ini kasihan sama kamu loh, punya mama sambung yang suka nyolong barang itu gimana coba? Papamu juga aneh, ada banyak orang buat dinikahi, tapi malah milih janda yang udah punya anak cucu."

"Bi, kalau mau ngomel sebaiknya keluar. Neil mau belajar!"

Nama bibi Neil adalah Yesy, dan nama suaminya Frans. Yesy adalah adik papanya Neil, sudah menikah sepuluh tahun dan punya anak laki-laki berumur delapan tahun. Neil tidak terlalu akur dengan sepupunya yang bernama Edwin. Karena ia pun menganggap kalau Edwin juga berisik, dan banyak tingkah. Ia hanya ingin hidup tenang di rumahnya sendiri, belajar untuk ujian dan tidak terganggu oleh ocehan orang lain.

Tidak seperti dugaan paman dan bibinya, Nuri memperlakukan Neil dengan baik. Menyiapkan bekal ke sekolah, memasak dan membuat meja makan menjadi penuh hidangan hangat. Tidak hanya itu, Nuri juga memperhatikan kebutuhan Neil, sama seperti anak sendiri.

Ketulusan orang tua itu membuat Neil tersentuh. Lambat laun Neil sadar kalaua papanya bahagia setelah sekian lama menduda. Tawanya kembali menggelegar, keceriaan kembali menghiasi rumah ini, dan jerikan Niki di sepanjang lorong rumah, justru penambah semangat sang papa. Neil diam-diam memperhatikan, keistimewaan apa yang membuat bocah itu begitu dicintai.

"Bocah kematian yang harud dijauhi." Neil selalu berkata pada dirinya sendiri setiap kali Niki mendekat. Ia akan mengusir dengan keras dan tidak memperbolehkan tubuhnya disentuh. "Hush, sanaa! Pergiii! Hush!" Rasanya seperti mengusir anak ayam dari pekarangan rumah dan bagi Neil, bocah perempuan itu memang seperti anak ayam yang berisik.

"Om, ini pudding dari Mama. Enaaaak!"

Niki sangat kurang ajar tentu saja, tidak peduli kalau ditolak, akan datang lagi dan lagi mendekati Neil. Membawa pudding, permen, atau barang apa pun ke hadapan Neil dan tertawa untuk menunjukkan giginya yang ompong.

"Heh, ompong! Sana pergi yang jauh. Jangan sembarangan masuk kamar orang!"

Niki menggeleng, naik ke ranjang sementara Neil menunduk di atas bukunya. Waktu berlalu, Neil yang semula mengira kalau Niki sudah keluar, terkejut mendapati di ranjangnya dalam keadaan pulas.

"Malah tidur di sini. Sanaa, pergi. Bangun, Anak Ayam!"

Niki tetap pulas tidak mendengar usiran Neil. Membuat si pemilik kamar hanya bisa menggeleng kesal.

"Heran, bandel amat, nih, bocah. Anak siapa, sih, lo!"

Pertanyaan sia-sia, karena semua orang tahu kalau Niki adalah anak Ana dan Neil merasa pertanyaannya sangat konyol. Ia hanya bisa pasrah, membiarkan ranjangnya dikuasi oleh anak ayam. Aslkan tidak berisik, tidak jadi masalah untuknya. Niki tetap tidur sampai Ana datang untuk membawanya pulang.

Ana sendiri bertindak sebagai kakak yang baik. Berusaha menjaga kedekatan dengan Neil. Ana juga menunjukkan perilaku yang sangat sabar dalam meghadapi sikap Neil yang ketus dan dingin.

"Kamu tampan sekali, Neil. Pasti di sekolah banyak penggemarnya."

Ana selalu menggoda, dengan wajah ramah dan senyum cerah. Neil hanya menanggapi seadanya, meski begitu Ana tidak peduli. Seorang kakak sudah semestinya melindungi adiknya, itu adalah prinsip Ana yang membuat Neil tidak habis pikir. Untuk apa melindunginya kalau ia sendiri mampu bertahan di atas kakinya sendiri. Tidak membutuhkan bantuan orang lain, terutama dari Ana yang justru lebih lemah darinya.

"Kak, lebih baik kita urus masalah masing-masing," tolak Neil tanpa senyum.

Ana sama sekali tidak tersinggung, tetap tertawa seperti biasa. Hampir setiap hari membawa Niki main ke rumah, terutama saat harus bekerja. Ana membuka toko pakaian, yang terkadang mengharuskannya berbelanja. Ana bahkan terang-terangan menolak bantuan dari papa sambungnya yang ingin memberi modal.

"Sekolah Neil pasti mahal biayanya, Paa. Aku sudah cukup seperti ini, yang terpenting kalian semua sayang sama Niki."

Kebersamaan dan kebahagiaan mereka hanya bertahan dua tahun saja. Nuri dan suaminya pergi ke luar kota untuk liburan. Naas, pesawat yang mereka naiki jatuh di perairan. Tidak ada yang selamat termasuk papa Neil dan juga Nuri berserta penumpang yang lain termasuk kru pesawat.

Hari itu menjadi hari paling buruk dan suram bagi Neil. Setelah kehilangan sang mama saat masih kecil, kali ini harus kehilangan papanya. Neil ingat betul, bagaimana hari itu hujar turun deras disertai angin. Neil menggigil bukan karena cuaca tapi rasa kehilangan yang mencekam. Rongga dadanya seperti dibor, ditancap paku, dan diisi dengan pasir-pasir lara yang menyedot kebahagiaan. Kehilangan sang papa bukan hanya membuatnya kehilangan orang tua tapi juga penuntun, cahaya, serta pembimbing hidup. Merasa sendiri, kesepian, dan ingin menyusul mereka ke alam kubur.

"Kamu harus kuat, Neil. Entah demi masa depan, demi dirimu, atau juga demi para pegawai yang bergantung di perusahaan Papa. Kamu harus kuat. Kalau mau menangis, menangislah yang keras. Berteriaklah, memaki pun boleh. Tapi, kamu tidak boleh terus menerus berkubang dalam rasa sedih dan hampa."

Saat itu, ia hanya menganggap remeh kata-kata Ana. Penghiburan semu dari perempuan yang tidak mengerti apa pun soal dirinya. Ternyata paman dan bibinya pun tidak kalah parah. Seminggu setelah papanya dikubur, sang bibi mengajaknya rapat hanya untuk membahas masalah pimpinan perusahaan.

"Sebaiknya kamu fokus kuliah. Biar perusahaan dipegang oleh pamanmu dulu. Kalau nanti kamu sudah cukup mahir, baru dipindah ke tangan kamu."

Frans mengangguk antusias mendengar perkataan istrinya. Dadanya mengembang penuh harap. Saat ini umur Neil masih terlalu muda untuk menjadi pimpinan. Anak muda berumur 17 tahun, meskipun sudah lulus sekolah karena kecerdasannya, tapi dianggap belum cukup umur untuk memangku jabatan.

"Kamu bisa menikmati hidup layaknya orang muda lain. Kuliah, berteman, pacara, urusan yang pusing-pusing biar paman yang lakukan."

Yesy tersenyum keci. "Sampai tiba waktunya nanti, mungkin lima tahun ke depan , kamu bisa naik jadi direktur."

Sekilas terdengar perkataan dari Yesy dan Frans seperti sebuah dukungan murni. Tapi nyatanya tidak begitu. Neil yang masih berduka, bahkan tidak memikirkan itu. Terlalu sibuk menata hati, dan menghadapi kenyataan kalau kini seorang diri, Neil hanya ingin menyendiri di kamarnya yang sepi. Sampai suatu Ketika, Ana yang datang bersama Niki memasak makan malam untuknya. Meskipun enggan, Neil turun karena sudah beberapa hari tidak makan dengan teratur. Meja yang selama beberapa hari ini kosong, terisi makan hangat. Seorang bocah perempuan berumur tujuh tahun, mengulukan sendok dan garpu padanya.

"Ayo, Om. Kita makan!"

Neil menemukan dirinya makan dengan lahap di samping Niki yang terlihat bagai anak ayam di matanya. Untuk kali ini ia tidak keberatan duduk di samping Niki, karena perilakunya sudah berubah. Lebih pendiam, tenang, dan tidak lagi suka berbuat semaunya.

"Neil, kita semua berdua. Bukan hanya kamu tapi aku pun juga. Aku memang bukan kakak kandungmu, kamu boleh tidak mendengarkanku. Tapi, aku punya saran barang kali kamu minat." Ana menuang sop ke mangkok Neil dan berujar dengan suara lembut. "Kamu anak laki-laki yang pintar dan kuat. Kamu mau kuliah sambil kerja, dengan kemampuan otakmu aku yakin bisa."

Neil menatap Ana penuh bimbang. "Maksud, Kakak?"

Ana mengedipkan sebelah mata. "Perusahaan itu milik papamu, yang berarti milikmu. Jangan menyerahkan pada orang lain. Kamu bisa belajar memimpin dari sekarang. Sambil kuliah tentu saja. Awalnya pasti sangat sulit, seiring berjalannya waktu pasti bisa. Neil, kamu harus coba."

Nasehat Ana membuat pikiran Neil terbuka. Dua Minggu setelah berdua, Neil memakai jas yang sudah disetrika rapi oleh Ana, pergi ke kantor untuk duduk di kursi milik sang papa. Saat itu, banyak yang meremehkannya dan ia memilih untuk menutup telinga. Membuktikan kemampuannya sendiri. Secara pribadi, ia meminta Ana pindah dan tinggal bersama. Demi agar rumah tetap riuh, meskipun tidak lagi ada orang tua. Neil merasa senang, setiap pagi mendengar teriakan Ana yang memanggil Niki untuk sarapan. Anak ayam yang bandel itu, ternyata masih sama menjengkelkannya. Namun, rasa jengkel itu tidak sebesar saat pertama dulu, berangsur-angsur mereda dan lebih mendekati akrab dan hangat.

Tidak ada yang bisa nembak jalannya hidup, di usia Niki yang menginjak 10 tahun, harus kehilangan sang mama. Ternyata selama ini menyembunyikan rasa sakit dari anaknya dan juga Neil. Kelelahan karena harus merawat Neil serta Niki, belum lagi menjalankan bisnisnya yang tersendat, membuat Ana jatuh dan akhinya tidak bangkit lagi sampai ajal menjemput.

Sekarang di sinilah mereka, Neil menatap Niki yang tangisannya belum mereda. Niki yang tidak punya tempat bersandar lain selain diriya, Neil memutuskan akan menjadi induk ayam bagi bocah itu, meskipun tidak mengerti bagaimana caranya.

"Niki, kita pulang. Kalau kamu nangis terus, mamamu jadi nggak tenang tidurnya."

Niki mengusap air mata dengan punggung tangan. Ada sebercak lumpur di tangannya dan ia mendongak dengan wajah tercoreng tanah.

"Memangnya Om nggak sedih lihat Mama nggak ada?"

Neil menolak untuk menjawab, saat ini tidak bijak kalau membiarkan gadis kecil di depannya terluka karena perkataannya. Niki masih kecil, perlu melanjutkan hidup sama sepertinya. Ia meraih lengan Niki dan menuntunnya menuju mobil. Tanpa disadari kalau keputusannya untuk menjaga anak ayam kali ini, akan berpengaruh banyak dalam kehidupannya.

**

Extra

Frans : Bocah itu jadi yatim piatu juga.

Yessy : Bocah itu akan membuat Neil repot. Bagus itu, biar Neil nggak fokus banget sama kantor.

Niki: Tuhaan, aku hanya ingin Mama. Tolong kembalikan Mama dan aku janji akan jadi anak baik, nggak nakal lagi.

Neil membuka perambam di ponsel, mencari tahu bagaimana cara memelihara anak ayam dengan benar. Jawaban paling utama adalah memberikan kehangatan. Ia memutuskan untuk membeli selimut tebal bagi Niki.

.

.

.

.

Tanpa prolog, silakan nikmati kisah Neil dan Niki di My Darling melalui aplikasi Karyakarsa yang sudah update sampai bab 4.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top