Chapter 1 -Night of Desire Part 2-

Reality
.
.
.
.
.
.
.
.
Akashi digiring oleh penjaga bersenjata ke ruang operasi. Tentu bersama Izuki disampingnya. Izuki tak tau menau soal operasi antara ia dan Akashi, tiba-tiba saja dia harus melakukannya.

Jam menunjukan pukul 11.00 siang. Ini bagian dari rencana Akashi untuk kabur dari Lab bersama teman-temannya. Ketika matahari sudah pada puncaknya, kekuatan Akashi akan naik drastis. Begitu gelangnya dilepas, Akashi akan memakai probabilitasnya untuk menghancurkan semua gelang besi yang ada. Akashi juga sudah mentelepati semua anak untuk bersiap-siap tempur dengan penjaga bersenjata -untung saja kekuatan telepatinya tidak bisa disegel- Izuki pun sudah diminta bersiap dan tidak boleh ada keraguan untuk habis-habisan.

Memang benar kalau Akashi belum bisa mengendalikan probabilitasnya secara sempurna. Maka kemungkinan gagalnya pun ada. Taruhannya 50-50. Semua tergantung pada kekuatan probabilitas milik Akashi. Begitupun denganku. Aku diminta untuk menghancurkan seluruh pintu kamar yang ada agar semuanya berhamburan keluar. Semua juga mengandalkanku.

Akhirnya tiba saatnya Akashi dan Izuki disatukan. Mereka dibaringkan dikasur dan dikunci. Ini adalah momen yang ditunggu-tunggu Akashi. Gelang itu dilepas dan-

BRANNNGGGG!!!!!!

Semua kaca yang ada pecah bersamaan, gelang-gelang itu hancur remuk lalu jatuh diinjak. Spontan aku menghancurkan pintu-pintu kamar yang ada dan semua berlarian pergi. Sirine tanda bahaya dinyalakan, warna merah mendominasi semua ruangan. Izuki dengan cekatan menghentikan fungsi jantung para ilmuwan yang berada diruangan itu. Akashi pun merusak semua sistem keamanan Lab. Dengan begini mereka bisa kabur dengan aman.

Semua menjalankan tugasnya masing-masing. Habis-habisan mengalahkan semua penjaga. Aomine mematahkan tulang belakang mereka satu persatu -nilai bela dirinya cukup tinggi- Murasakibara yang membuat mereka hancur lebur karena tekanan gravitasi yang terlalu kuat. Kami diajari rasa tidak peduli, diajari cara menyiksa oleh para ilmuwan keparat itu. Bagi kami, ini adalah karma bagi mereka yang merasa bisa menggantikan tuhan dalam memenangkan perang maha besar diluar sana. Yang paling kesulitan adalah Midorima. Dia harus membawa Kise yang catatan kejiwaannya sedang buruk.

"Kise! Ayo kita pergi dari sini-nanodayo!!" teriak Midorima begitu masuk kamar Kise

Kise hanya diam, matanya kosong melompong.

"Untuk apa?" responnya

"Ayo kita keluar dari sini-nanodayo!! Kita akan bebas, Kise! Kita akan BEBAS!!" tanpa pikir panjang soal harga diri, Midorima langsung menggendong Kise dipunggungnya dan berlari pergi.

Midorima tak ada riwayat melukai seseorang, dia dan Kise menjadi sasaran empuk bagi para penjaga. Ada sekitar 5 orang yang mengejar mereka berdua. Tapi mereka semua dihentikan oleh Aomine. Dia memegang senjata dan memecahkan kepala semua penjaga itu.

"Aku akan melindungimu! Ayo kita bergegas!!" ucap Aomine yang langsung merampas semua senjata dan memimpin Midorima.

Midorima mengangguk lalu mengikuti Aomine. Tapi ada yang janggal, pikir si hijau. Tapi sekarang bukan saat yang tepat untuk memikirkannya, Midorima. Tugasmu hanya membawa Kise keluar.

Aku berlari bersama Akashi, Izuki dan Kuroko. Dengan kekuatan invisibility nya, dia berhasil melewati para penjaga tanpa kesulitan dan bertemu kami. Kami mengobrak-abrik tempat ini. Selamat tinggal bau karbol dan desinfektan, kami akan merindukan lantai dinginmu. Tiba-tiba siuara sirine berganti panjang melengking tanpa jeda, lampu merah itu juga menyala tanpa kelip. Kaki kami terasa bergetar.

"Bahaya!!!! Masaomi mengaktifkan alarm bunuh diri!!" ucap Akashi disambut panik kami bertiga.

"Itu tidak mungkin, Akashi-kun!! Lab ini seperti labirin, kita tak akan bisa keluar tepat waktu!!!" respon Kuroko yang jarang panik ini.

"Kau tau denah Lab, Akashi??" tanya Izuki yang sempat membunuh penjaga yang mendekat.

Akashi menggeleng. Info yang ia dapat tentang denah Lab sangatlah sedikit. Omniscience nya tidak bekerja jika ia merasa panik. Si crimson itu menggigit kukunya, mencoba berpikir cepat tepat. Tanpa sempat berfikir, dihadapannya ada seseorang yang ia hindari setidaknya untuk hari ini. Orang itu berdiri tegap, diam ditempat tanpa gerakan. Menatap kamu berempat dengan wajah bengisnya. Almamater putih itu masih ia kenakan, stetoskop bergelantungan dilehernya. Akashi berdecak kesal, orang itu menghalangi jalan mereka.

"Kalian optimis sekali ya." sapanya dengan suara berat menyeringai

"Kau menghalangi jalan kami. Minggirlah!!" balas Akashi

"Hooo.... Kau mulai melawan ayahmu ini ya?... Seijuuro..."

Masaomi. Demi apapun, siapapun dia, Akashi membencinya. Akashi memicingkan matanya saat menatap mata pemuja ilmu pengetahuan ini.

"Mau kabur?" tanyanya sok polos

"Maaf saja Akashi-san, kami harus pergi!" aku memberanikan diri berbicara

"Lancang sekali. Maa... Jika aku tidak bisa memiliki kalian, maka kalian tidak boleh dimiliki oleh siapapun."

Dari sakunya, dia mengeluarkan sebuah remot kecil dengan tombol merah. Anak TK pun tau tombol itu untuk apa. Kurva diwajahnya semakin tertarik keatas. Mata kucing Akashi semakin menajam.

"Apa yang kau inginkan?" Izuki angkat bicara

"Mencegah kalian lari. Daripada kabur, lebih baik mati."

DOR!

Almamater putihnya tiba-tiba memerah. Semakin lama semakin melebar kemana-mana. Sedetik kemudian, Masaomi terjatuh didepan kami. Dibelakangnya tengah berdiri Aomine yang senjatanya keluar asap. Agaknya tangan Aomine bergetar.

"Maafkan aku Akashi. Kupikir aku tidak punya pilihan lain." kata Aomine yang rahangnya mengeras

Akashi tau betul kebencian yang dirasakan Aomine pada ayahnya. Sedihpun canggung, Akashi juga sering disiksa secara fisik oleh Masaomi.

"Daijoubu. Yang penting kita harus keluar dari sini secepat mungkin!!!" titah Akashi

"Dimana Murasakibara-kun?" tanyaku melihat ketidaklengkapan pelangi ini

Tepat setelah menanyakan hal itu, aku merasakan bumi ini bergetar semakin keras. Dinding-dinding mulai retak dan menyebar. Beberapa retakan itu jatuh.

"Hei kalian!! Kekuatan Murasakibara mengamuk lagi! Dia akan meruntuhkan tempat ini!!" salah seorang anak berteriak pada kami

Izuki spontan menarik tanganku untuk lari dengan Akashi. Aku sempat kaget dia menggandengku. Yang lainnya ada dibelakang. Kekuatan memanipulasi gravitasi Murasakibara bukan murni miliknya. Seperti probabilitas Akashi, kekuatan mematikan itu dipindahkan ke tubuh Murasakibara yang dirasa mampu menanggung beban itu. Fisik Murasakibara memang kuat, tapi ingat mentalnya? Akibatnya, kekuatan Murasakibara sering keluar tak terkendali dalan jumlah besar. Jika tak cepat-cepat dihentikan, menyusutkan bumi pun bukan hal yang mustahil. //serem amat

Bahkan langkah kami semakin berat. Kami tak punya kesempatan untuk menyelamatkan Murasakibara, menyelamatkan diri saja belum tentu berhasil. Akashi berhenti dan mengatur nafasnya. Dengan sekali hentakan dari kakinya, gravitasi kembali normal.

"Ini tak akan bertahan lama!! Ayo!!" komando Akashi

Kami mempercepat langkahnya. Getaran tanah semakin menggila. Membuat yang lainnya nyaris tertimpa material bangunan. Tanpa disadari kacamata Midorima terlepas dan jatuh. Secepat kilat, atap diatasnya jatuh dihadapannya dan menghancurkan kacamatanya. Jalan Midorima diputus.

"Sial, Midorima! Tahan disana!!" kata Aomine kesal, serusaha menyingkirkan batu-batu itu satu persatu. Akashi tak bisa menolongnya, probabilitasnya harus fokus pada penyesuaian gravitasi.

"Jangan pikirkan aku-nanodayo!!! Kalian pergilah, aku akan melewati jalan memutar!!" teriak Midorima dibalik batu

"Midorima-kun, kau tak akan sempat!!" timpal Kuroko

"PERGILAH BODOH!!!" alhasil mereka dibentak keras oleh pria hijau itu.

Dengan berat hati, Akashi dan yang lainnya melanjutkan perjalanan meninggalkan Midorima dan Kise yang sedang mencari akal. Midorima takut pada kekuatan precognitionnya yang 90% akurat. Penglihatan masa depannya jauh melampaui Akashi. Midorima memutar tubuhnya, mencari 10% yang hilang. Meski Midorima tau kalau yang maha kuasa sudah menambah persentasenya menjadi 100%.

Sementara salah satu mata crimson Akashi berubah jadi warna emas. Semua data tentang Lab sudah masuk kedalam otaknya. Dia sedikit tersenyum, hal seperti ini terlalu gampang-sasuga bokushi. Tanpa waktu lama, mereka menemukan pintu kelua-

-diblokir oleh besi

"Sialan!!" umpat Akashi sambil menendang pintu, probabilitasnya masih terpaku pada gravitasi

"Seijuuro bagaimana ini?? Benda sangat berat itu menutup jalannya secara permanen. Aku tak bisa memindahkannya!" kataku panik

Masaomi lebih cerdik dari yang Akashi kira. Dia menutup jalan keluar-tangga naik keatas- dengan baja 9 meter seberat 127 ton. Kekuatanku tak akan cukup untuk mengubah posisi ataupun merubah bentuk baja tersebut. Akashi menatapnya, orang yang ditatap sudah punya inisiatif sendiri. Aomine akan menggunakan Clock-out nya untuk mengembalikan keadaan pintu tersebut. Clock-out nya sedikit unik, saat menggunakannya ada mantra yang harus diucapkan. Kakinya membatu adalah ganjarannya. Aomine hanya bodoh di bidang akademis, dia tidak bodoh soal hal ini. Jika ia menggunakan kekuatannya, dia akan menemani Murasakibara, Midorima dan Kise di Lab yang ia benci ini. Ahsudahlah, toh dia senang bisa menyusul teman masa kecilnya yang sudah meninggalkannya lebih dulu.

Aomine menyentuh pintu itu, ia menutup matanya dan mengucapkan mantranya.

"Wahai Aeon yang sudah kugenggam. Atas nama Chronos, atas nama Adrasteia, atas nama anak-anaknya, Chaos, Erebus ,Aether. Dengan kuasa yang telah difirmankan padaku. Kembalikan waktu yang telah lampau, dengarkanlah perintahku!!"

Mata Aomine seketika bercahaya. Tangannya mengeluarkan kabut putih yang semakin banyak. Kabut-kabut itu menutupi seluruh permukaan pintu dan ketika kabut itu hilang, tidak ada baja lagi dihadapannya. Kosong tanpa halangan.

Bruk!!

Kaki Aomine jadi seberat batu. Tidak bisa digerakkan ataupun diangkat sedikitpun paling tidak 1-2 jam. Tapi mengingat kekuatan probabilitas Akashi yang terbatas, mereka tidak bisa menunggu Aomine pulih ditempat. Aku dan Kuroko panik, menarik-narik tubuhnya untuk bangun, gagal. Mendorong kakinya, sedikitpun tidak bergeser. Kucoba telekinesisku, percuma. Kaki Aomine yang membatu setara dengan apa yang baru saja ia balikkan waktunya. Kakinya sekarang seberat 127 ton.

Aomine juga berusaha menetralisir beban yang ada dikakinya. Tapi ini adalah konsekuensi dari firman yang ia terima.

"Hoi, mau sampai kapan kalian ada disini? Pergilah!" ujarnya dengan nada sewot

"Tapi Aomine-kun-"

"Tidak ada tapi-tapian, Tetsu. Pergilah, jangan biarkan usahaku sia-sia. Hiduplah kalian diluar sana." katanya sambil tersenyum, semua orang yang melihatnya bersumpah itu adalah senyuman Aomine yang paling tulus.

Izuki dan Akashi membuka pintu itu, cahaya-cahaya kecil masuk melalui celah-celah disana. Cahaya matahari kah? Sudah berapa lama ya mereka tidak melihat cahaya matahari? 7? 8? Atau 10 tahun? Pokoknya sudah lama sekali. Kami menoleh kembali melihat Aomine yang terduduk. Beberapa langit-langit Lab sudah terjatuh akibat probabilitas yang tidak sanggup menahan kekuatan gravitasi yang semakin kuat. Aomine menatap kami lekat-lekat. Wajahnya penuh dengan keikhlasan hati. Dengan ini, kami resmi keluar dari laboratorium. Tepat saat kami keluar, atap Lab ambruk.

Dan ketika kami melihat sekeliling. Ini bukanlah apa yang kita ekspetasikan. Langit bitu dengan awan putih yang menhampar. Ladang rumput hijau yang terbentang luas. Orang-orang menyalakan musik dan menari-nari dengan gaun warna-warni. Air mancur taman....

Semua itu tidak ada....

Yang ada hanyalah gedung-gedung tinggi yang hancur. Jalanan yang retak, langit kelabu penuh awan hitam. Tanah yang kering dan gersang. Apa yang kami liat adalah kota bekas medan perang. Kota yang sudah ditinggalkan.

Sunyi senyap....

Gelap....

Suara angin berderu kencang...

"Apa.... Ini...?" gumaman Izuki terdengar jelas

"Kenapa bisa begini? Apa yang terjadi?" ucap Kuroko

Akashi menendang kasar pasir ditanah, debunya terbawa angin. Mengucapkan kata-kata laknat pada penglihatannya. Aku jatuh terduduk, mataku membulat sempurna. Bibirku beku tak mampu berucap.

Kami tak bisa mengendalikan emosi kami lagi. Tangisan kami meledak saat itu juga. Bahkan Kuroko menangis lepas berusaha membersihkan pipinya dari air mata. Izuki menggigit bibirnya, bahunya bergetar rak keruan. Akashi tak bisa menopang tubuhnya akhirnya bersujud menutupi matanya, dia mati-matian menahan tangis (bayangin karma pas koro sensei mati, nah itu ekspresi Akashi sekarang). Aku meraung-raung meminta penjelasan dari yang maha kuasa. Memanggil ibu dan ayah. Menyerukan apa yang telah tiada.

Aku merasa bodoh.

Langit semakin gelap, akhirnya hujan jatuh beserta gemuruh yang menggema. 13 tahun dikurung, ini kali keduanya aku diguyur hujan. Tubuhku basah dingin. Menggenangi tanah yang tadi kering. Akashi memelukku dari belakang, menundukan kepalanya dibahuku. Dia terpukul. Cengkraman dan pelukannya makin kuat guna menyembunyikan rasa shock dan sedihnya.

"(Name)..... Go.... Gomen... Nas...sai..." ucapan Akashi sudah terputus-putus. Dia sudah tidak kuat.

"Seijuuro.... Ibuku.... Ayahku... Ada dimana?" ucapku yang sama persis dengannya

"Cukup (Name)-san!! Cukup!! Aku tidak kuat mendengarnya!!!" teriak Kuroko yang refleks menutup telinganya. Air matanya merembes kemana-mana.

Akashi menyesal karena terlambat. Jika tidak terlambat, teman-temannya pasti selamat termasuk Kise. Ingatan demi ingatan terlintas dipikiran kami tentang memori masa lalu. Bagaimana dunia luar sebelum perang dunia mendominasi hati para petinggi. Terlihat indah, namun sekarang? Jangan harap.

Akashi berdiri dengan tegapnya. Menghadap kota yang dulu kita tinggali. Precognitionnya tak akan mampu mengubah bumi yang rapuh ini sendirian. Dia menghirup nafas banyak-banyak.

"Kenapa kita menangis? Ayo berdiri! Ayo kita gunakan kekuayan kita untuk mengubah mimpi buruk ini menjadi masa depan yang lebih baik. Kita seharusnya senang telah keluar dari neraka iti! Dunia ini tak ada batasnya, kita mulai kehidupan baru disini! Ini rumah baru kita!"

Suara bariton itu seperti jaring bagi kami. Kami berhenti menangis dan berdiri menghadap Akashi. Mata heterokromia nya telah tiada. Dialah pemimpin yang sesungguhnya.

Akashi (Name)
Izuki Shun
Kuroko Tetsuya
Akashi Seijuuro

Mereka berempat bersumpah akan mengubah dunia bagaimanapun caranya. Meski menyelam sampai dasar laut paling dalam maupun terbang tinggi melewati langit ketujuh. Tangan mereka saling bertautan, mengucapkan sumpah untuk terus bersama.

"Kita akan berbagi senang dan sakit."

~~
Concealed in a barren, wasted land
Children remained there all alone
Agains nature together, hand in hand
That was their home
Overflowing faith in their heart
They had to import all they joy and they pain
"All in sickness and Health, it was their domain"
Executing divine judgement, closing in on those arrogant foolish sheep that believe
That replacing god with false idols was wise
~~

-bersambung-
Daku capek TvT
Ahsudahlah....

Hehe~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top