Bab 8

Bibi Sul tak lepas mengawasi gerak gerik Fiona yang masih membiarkan piring di depannya belum tersentuh. Bibi Sul khawatir jika makanan itu dibiarkan terlalu lama, akan menjadi dingin dan merubah rasanya.

Bibi Sul gamang. Wanita itu ingin sekali menghampiri kursi roda Fiona dan bertanya keadaannya, tapi ia tidak punya nyali. Fiona suka ketenangan dan benci ketika seseorang tiba-tiba mengusik suasana.

Jam telah menunjuk angka sembilan malam dan Tuan Edgar belum kembali dari kantor. Mungkinkah hal itu yang membuat majikannya terlihat gundah?

Bibi Sul memahami jika itu benar-benar yang terjadi pada diri Fiona. Bibi Sul juga merasa khawatir seandainya hal buruk menimpa Fiona. Hanya suami teladan yang masih setia mempertahankan istri seperti Fiona.

Sekitar sejam yang lalu Fiona sibuk dengan ponselnya. Bibi Sul tak berani mengintip isi layar ponsel milik Fiona sekalipun ada kesempatan saat ia menyajikan makan malam untuk majikannya. Lagi-lagi Bibi Sul bertindak sangat hati-hati. Ia begitu mencintai pekerjaan dan gajinya. Satu kesalahan saja mungkin bisa membuatnya didepak keluar dari rumah Fiona.

Penantian Bibi Sul seolah terbayarkan ketika ia melihat tangan Fiona mulai bergerak meraih sendok di atas meja. Wanita itu sedikit khawatir karena makanan di depan Fiona berubah dingin akibat terlalu lama disajikan dan majikannya tak lagi berselera untuk menyantapnya. Namun, kekhawatiran Bibi Sul sama sekali tidak terbukti. Meskipun pelan, Fiona terlihat menikmati makan malamnya. Ia tidak mengajukan komplain apapun pada asisten rumah tangganya sekalipun makanan di depannya sudah dingin.

Hingga Fiona menyudahi makan malamnya, Edgar belum juga muncul. Sebenarnya ini bukan pertama kali untuk Fiona. Sebagai istri pengacara, Fiona sangat mengerti kesibukan suaminya. Sejak memutuskan untuk menikah dengan Edgar, Fiona telah mempersiapkan diri dengan segala risikonya.

Usai makan malam, Fiona meminta Bibi Sul agar membantunya naik ke ranjang. Fiona tidak akan langsung berbaring dan tidur, karena itu tidak baik untuk pencernaannya. Fiona hanya ingin duduk bersandar dan menyibukkan diri dengan membaca sebuah novel lawas yang sudah lama tidak dibacanya sembari menunggu Edgar kembali.

Fiona baru menyelesaikan dua halaman dari buku bacaannya ketika pintu kamar terbuka dan muncullah Edgar. Pria itu sedikit terkejut saat mendapati Fiona masih terjaga dan malah membaca buku. Seolah sengaja ingin menunggunya. Padahal pria itu telah mengirim pesan singkat pada Fiona untuk memberitahunya agar tidak menunggu Edgar pulang. Ia juga menambahkan kalimat akan pulang terlambat dan menyuruh Fiona untuk tidur lebih dulu.

"Kamu belum tidur?" sapa Edgar yang berjalan ke arah tempat tidur setelah meletakkan tas kerjanya di atas nakas. Pria itu menghampiri Fiona, lantas mendaratkan kecupan ringan di kening istrinya. Seperti yang biasa dilakukannya untuk menjaga keharmonisan rumah tangga mereka.

"Aku sengaja menunggumu," balas Fiona seraya menutup rapat-rapat buku dalam genggamannya. Benda itu sudah tidak menarik lagi untuk Fiona. Wanita itu justru menatap lurus kepada Edgar yang telah mengambil tempat duduk di tepi ranjang.

"Kenapa? Aku kan sudah menyuruhmu untuk tidur lebih dulu," ucap Edgar lembut.

Fiona membalasnya dengan seulas senyum manis.

"Aku baru saja makan malam. Pencernaanku akan terganggu kalau aku langsung berbaring," ucap Fiona kalem.

"Kenapa baru makan malam? Aku sudah mengatakan akan pulang terlambat, jadi aku menyuruhmu untuk makan malam lebih dulu."

"Tadinya kupikir kamu tidak akan setelat ini, Ed. Kupikir kalau aku menunggu, kamu akan segera pulang."

"Maafkan aku, Sayang," ucap pria itu seraya meraih genggaman tangan Fiona, lantas mengecupnya dengan mesra.

"Tidak, jangan meminta maaf. Seharusnya aku menuruti ucapanmu, tapi aku malah bandel tadi," ucap Fiona sembari melepaskan tawa ringan. Tidak tersirat sedikitpun rasa kecewa di wajah polos Fiona. "Lain kali aku tidak akan melakukan hal itu lagi."

"Lain kali aku tidak akan membuatmu menunggu seperti itu," sahut Edgar. "Ah, iya. Apa yang tadi kamu baca? Novel?" Edgar beralih tema.

"Ya," angguk Fiona.

"Aku sudah lama tidak melihatmu membaca novel. Memang novelnya bercerita tentang apa?"

"Tentang perselingkuhan. Seorang suami yang berselingkuh dan dibunuh oleh istrinya."

Edgar tercekat begitu istrinya menyebut kata perselingkuhan. Fiona seperti baru saja menyabetkan sebuah pedang ke ulu hatinya.

"Kisahnya sangat bagus, Ed. Kamu mau membacanya juga?"

Edgar tertegun saat tangan Fiona menyodorkan buku lama itu ke hadapannya. Fiona seperti sedang menyindirnya, tapi wajahnya terpasang polos dan naif. Apakah ini kebetulan yang sangat nyata?

"Tidak, tidak. Aku tidak membaca kisah seperti itu," tolak Edgar sejurus kemudian. Edgar menepis buku itu dari hadapannya dengan gerakan halus.

"Kenapa? Ini sangat seru, Ed. Bukannya kamu juga pernah menangani kasus perselingkuhan?"

"Ya, tapi kisah nyata dan novel berbeda, Sayang. Sudahlah, aku mau mandi dulu. Badanku gerah," ujar Edgar buru-buru mengangkat tubuh dari atas ranjang, lantas berjalan menjauh. Setelan jas dan kemeja yang masih membalut tubuh Edgar, tiba-tiba membuat pria itu kepanasan. Dasi yang melingkar di kerahnya juga terasa mencekik. Semua itu berkat Fiona.

Sepasang mata milik Fiona menyipit ketika menatap punggung Edgar yang bergerak ke arah pintu kamar mandi. Senyum sinis melengkung di bibirnya yang basah.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top