Bab 19

Edgar kembali menatap foto-foto itu dengan perasaan tak keruan. Berapa kali pun ia berusaha menebak pengirimnya, Edgar tetap tak dapat menemukan sebaris nama yang pantas menjadi tersangka. Di antara sekian banyak nama yang terpikirkan olehnya, tidak ada satupun yang memiliki motif kuat untuk mengintimidasi Edgar. Jika memang hal itu dilakukan oleh sesama pengacara dengan maksud ingin menjatuhkan karir Edgar, rasanya mustahil. Meskipun karir Edgar mulai menanjak, ia bukan seseorang yang mencolok. Edgar masih seorang pengacara biasa. Karirnya belum secemerlang yang ia harapkan. Dapat dikatakan jika perjalanan karir Edgar masih panjang untuk mencapai sebuah kesuksesan.

Billy telah mengajaknya pulang beberapa menit lalu, tapi hanya ditanggapi sepintas lalu oleh Edgar. Pria itu masih bertahan di meja kerjanya meskipun tak ada yang dapat dilakukannya sekarang. Ia hanya duduk sembari berpikir ke sana kemari tak tentu arah.

Sempat terlintas di benaknya satu nama yang mungkin bisa dimasukkan dalam daftar tersangka. Tapi, Edgar tak bisa meyakini sepenuhnya jika ia pelakunya. Billy. Rekan seprofesi sekaligus sahabat terdekat Edgar. Mungkinkah Billy pelakunya? Pasalnya Billy kerap mengatakan berada di pihak Fiona. Ia memiliki motif. Akan tetapi, Edgar tidak berani menuduh Billy hingga sejauh itu.

Kemungkinan tersangka keduanya adalah mantan kekasih Mira yang kini sedang mendekam di penjara. Seseorang yang berada di balik jeruji besi bukan berarti tidak bisa melakukan sesuatu. Selama ia memiliki teman atau saudara yang datang berkunjung dan intens berkomunikasi, ia bisa menjadikan mereka sebagai kaki tangan untuk melakukan kejahatan. Motif yang paling lumrah adalah balas dendam.

Apakah Edgar harus menyelidiki sendiri masalah ini? Berkunjung ke penjara bukanlah sesuatu yang sulit baginya. Tapi, Edgar tak punya banyak waktu luang beberapa hari ke depan. Pasalnya Edgar mendapatkan satu lagi klien hari ini.

Edgar mendapati jarum jam di tangannya telah menunjuk angka 19.32. Ia mesti bergegas pulang. Fiona tak boleh menunggunya terlalu lama. Edgar ingin makan malam bersama istrinya setelah beberapa kali pulang terlambat.

Ponsel Edgar yang bergetar membuat pria itu batal mengangkat tubuh dari atas kursi. Perhatiannya langsung tertuju pada layar ponsel. Mungkin dari klien barunya, pikir Edgar. Tapi bukan.

Sebaris nama pendek Mira tertera di layar ponsel Edgar. Membuat pria itu beku selama beberapa detik.

"Ya, Mir. Ada apa?" Nyatanya Edgar masih selemah itu. Ia tak bisa mengabaikan panggilan Mira yang masuk ke ponselnya. Pasalnya setiap kali Mira menghubunginya, pasti ada masalah dengan wanita itu. Mungkin kali ini ia juga sedang didera masalah.

"Ed... " Suara wanita itu terputus. Edgar menangkap isak tangis dari ujung ponselnya.

"Mir? Kamu menangis? Ada apa?" Edgar seketika mencecar Mira. Perasaannya mengatakan sesuatu telah terjadi pada Mira.

"Rumahku terbakar, Ed."

Edgar sontak berdiri.

"Terbakar? Bagaimana bisa? Apa kamu terluka?" Edgar panik. Tapi, ia tidak buru-buru meluncur pergi untuk melihat kondisi Mira dan rumah sewanya yang konon terbakar. Edgar perlu mengetahui kondisi Mira lebih dulu.

"Tidak, tidak. Aku baik-baik saja," balas Mira demi menenangkan kepanikan Edgar. Wanita itu berusaha menahan tangisnya agar Edgar tidak terlalu mencemaskan dirinya.

"Syukurlah," desis Edgar pelan. "Bagaimana kondisi di sana? Apa pemadam kebakaran sudah tiba?"

"Ya. Mereka sedang memadamkan apinya."

"Apa ada barang yang masih sempat diselamatkan tadi?"

"Tidak. Waktu aku pulang, rumah sudah terbakar. Tapi KTP dan dompet ada di tanganku sekarang. Hanya pakaian dan beberapa barang yang terbakar," urai Mira begitu melegakan perasaan Edgar. "Apa kamu akan kemari?"

Edgar tak bisa langsung menjawab pertanyaan Mira.

Edgar sudah berencana untuk mengakhiri hubungannya dengan Mira meski dengan cara pelan-pelan. Butuh proses yang tidak instan untuk melepaskan Mira dan kembali pada Fiona. Edgar benar-benar perlu waktu untuk mengembalikan semuanya ke tempat semula. Akan tetapi, peristiwa yang tiba-tiba terjadi kali ini membuat pendirian Edgar mulai goyah. Bagaimana bisa ia menjauh perlahan-lahan dari Mira sementara musibah menyambangi kehidupan wanita itu? Sekali lagi Mira butuh bantuan Edgar. Mana mungkin ia bisa mengabaikan Mira begitu saja?

"Ya, aku akan ke sana," ucap Edgar memberi keputusan. Suaranya terdengar penuh keraguan. Tapi, Mira tak bisa menangkap kesan itu.

"Baiklah. Aku akan menunggumu." Mira menutup telepon dengan perasaan sukacita. Seakan ia telah lupa dengan kejadian yang menimpanya.

Sementara Edgar disergap rasa bimbang. Haruskah ia mengesampingkan perasaan Fiona untuk yang ke sekian kali demi memenuhi iba berkepanjangan yang Edgar rasakan pada Mira?

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top