Bab 18
Pagi ini semuanya berjalan normal seperti sedia kala. Fiona tak lagi menyulut api perdebatan. Wanita itu justru bersikap seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Obrolan yang ia tawarkan seringan biasanya, begitu juga dengan Edgar. Pria itu hanya mengikuti alur yang dibawa istrinya. Jika Fiona tidak mengungkit masalah tentang kondisi fisiknya atau menyinggung soal pernikahan mereka, itu tandanya semua baik-baik saja. Melihat kenyataan itu cukup melegakan bagi Edgar.
Tapi, benarkah semuanya baik-baik saja?
Ketika Edgar tiba di kantor, pria itu dikejutkan dengan keberadaan sebuah amplop cokelat berukuran besar tergeletak di atas meja kerjanya. Seseorang telah meletakkannya di sana sebelum Edgar datang. Jika dilihat sekilas benda itu mengingatkan Edgar pada amplop yang sama yang ia terima beberapa waktu lalu. Akankah kali ini amplop itu berisi foto-foto serupa?
Edgar tak bisa membendung rasa penasarannya lebih lama lagi. Pria itu langsung mengambil amplop cokelat itu dari atas meja kemudian membukanya dengan perasaan gugup.
Sepasang mata Edgar terbelalak lebar ketika tangannya berhasil menarik beberapa lembar foto dari dalam amplop. Ketakutannya terbukti. Amplop itu memang berisi foto-fotonya bersama Mira. Saat di mana Mira mengadu padanya tentang teror bangkai tikus di depan pintu rumah sewanya. Seseorang telah mengambil foto mereka diam-diam ketika Edgar dan Mira berbicara di depan rumah sewa Mira.
Lagi-lagi Edgar tak menemukan nama pengirim amplop cokelat misterius itu. Si pengirim itu sungguh-sungguh ingin mengintimidasinya. Tapi apa motifnya? Bahkan hingga kini tidak ada satupun orang yang menghubunginya. Persidangan kasus penganiayaan yang ia tangani juga berjalan tanpa ada kendala.
Edgar buru-buru mengeluarkan ponselnya dan menghubungi sebuah nama yang tersimpan di kontaknya. Ia merasa perlu bertanya pada Lisa, pegawai resepsionis yang biasa menangani urusan surat-surat yang masuk ke kantornya.
Lima menit kemudian Edgar menurunkan ponselnya dari telinga. Keterangan yang didapatnya dari Lisa tidak cukup membantu. Bahkan wanita itu tidak tahu menahu soal amplop cokelat yang dikirimkan ke kantor Edgar.
Edgar gamang. Apa ia mesti memeriksa kamera pengawas sekali lagi demi mencari tahu identitas si pengirim amplop itu? Kalaupun pada akhirnya ia mengetahui siapa pelakunya, lantas apa yang akan diperbuat Edgar?
Pria tampan itu menjatuhkan tubuhnya di kursi dengan perasaan gelisah. Rasa bersalah tiba-tiba menyerang pikirannya. Jika saja ia tidak memulai semua ini, maka Edgar tak perlu menghadapi saat-saat sulit seperti sekarang. Untuk bercerita pada Billy sekalipun, Edgar merasa malu. Billy sudah memperingatkannya berkali-kali, tapi Edgar selalu mengabaikannya.
**
"Apa kamu sudah memikirkan ucapanku?"
Alih-alih langsung membalas pertanyaan Dokter Muh, Fiona justru mengembuskan napas jengah. Wanita itu tidak peduli dengan penilaian Dokter Muh. Fiona memang sama sekali tidak berharap pada Dokter Muh atau dokter manapun di dunia ini. Ia tidak cukup percaya diri dan tak memiliki secuil harapan untuk sembuh.
"Setidaknya kamu melakukan sedikit usaha, Fiona." Dokter Muh cukup bersabar menghadapi pasiennya kali ini. Baginya Fiona bukan orang lain. Fiona bak putrinya sendiri.
"Jangan menyuruhku karena Dokter merasa kasihan padaku," ucap Fiona akhirnya.
"Memangnya kamu tidak mengasihani dirimu sendiri? Kamu tidak ingin berjuang untuk diri kamu sendiri?"
Senyum getir terukir di bibir Fiona. Untungnya Fiona telah 'mengusir' Bibi Sul sebelum ia menerima panggilan itu.
"Apa Dokter bisa menjamin aku bisa sembuh jika menjalani terapi itu?"
"Memang tidak. Tapi kita tidak akan pernah tahu jika kita tidak mencobanya. Jika keajaiban tidak datang padamu, maka buatlah keajaibanmu sendiri."
Deraian tawa terlepas dari bibir Fiona begitu saja.
"Aku tidak percaya pada keajaiban," tandas Fiona angkuh.
"Ayahmu pasti sedih jika mendengar percakapan kita."
Fiona kembali mengembuskan napas kasar. Dokter Muh dan ayah Fiona saling mengenal dengan baik. Tapi, sebaiknya Dokter Muh tidak mengatakan apapun pada ayah Fiona.
"Apa sebaiknya aku bicara pada suamimu?"
"Tidak, jangan!" Fiona spontan berseru. Ia tak membahas masalah terapi itu dengan ayahnya apalagi dengan Edgar. Fiona tak ingin Edgar mengetahui bahwa ia pergi ke rumah sakit dan beberapa kali berbincang dengan Dokter Muh melalui sambungan telepon.
"Kalau begitu datanglah ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan."
"Aku akan memikirkannya... "
"Apa lagi yang mesti dipikirkan?"
"Beri aku waktu seminggu lagi."
"Baiklah. Aku akan menunggu kabar darimu."
Fiona menutup telepon tanpa mengucapkan apapun untuk mengakhiri percakapan mereka. Wanita itu merasa cukup kesal. Dokter Muh benar-benar licik, maki Fiona dalam hati. Apa gajinya sebagai dokter masih kurang?
Suara ketukan pintu yang tiba-tiba memecah hening di dalam kamar Fiona membuat wanita itu berhenti memaki Dokter Muh. Bibi Sul menerobos masuk beberapa detik setelah ia mengetuk.
"Ada beberapa paket untuk Nyonya," lapor Bibi Sul. Di tangannya terdapat beberapa buah paket atas nama Fiona.
Fiona meminta langsung paket-paket itu dari Bibi Sul alih-alih menyuruhnya meletakkan di atas meja.
"Bibi istirahat saja. Nanti aku hubungi saat aku butuh bantuan," suruh Fiona bermaksud 'mengusir' Bibi Sul sekali lagi. Karena Fiona perlu ruang privasi untuk membuka paket-paketnya.
"Baik, Nyonya." Bibi Sul hanya menurut saja apa yang diperintahkan Fiona.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top