Bab 14

Edgar berjalan keluar dari kafe dengan menenteng sebuah kantung kertas berisi beberapa buah kue muffin cokelat di dalamnya. Langkahnya ringan. Tak tergesa. Masih ada sepuluh menit sebelum jam menyentuh angka tujuh malam. Ia tidak akan pulang terlambat lagi malam ini.

Ketika berada di dalam kafe beberapa saat yang lalu, Edgar teringat akan insiden kecil yang ia alami sebelumnya, sebuah mobil sedan bercat hitam telah menabrak bagian belakang mobil Edgar hingga penyok. Memang tidak parah. Tidak menyentuh lampu mobil pula. Tapi, hingga detik ini tidak ada pertanggungjawaban dari si pelaku. Kalaupun pria pemabuk itu berniat untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, ia pasti sudah menunjukkan itikad baiknya sejak awal.

Menurut informasi dari Daniel, teman Edgar di kepolisian, nomor plat mobil sedan hitam itu palsu. Ketika Edgar mengingat hal itu, ia justru kepikiran untuk meminta rekaman video cctv dari staf kafe. Sebenarnya Edgar enggan untuk mengurusi hal sepele semacam ini, tapi rasa penasaran cukup menggelitik perasaannya.

Dari rekaman video cctv kafe, Edgar bisa melihat jika sedan hitam itu tidak terparkir di pelataran kafe yang juga berfungsi sebagai lahan parkir. Mobil sedan itu mendadak datang dari arah jalan raya, lantas menabrak bagian belakang mobil milik Edgar di saat pria itu sudah bersiap menyalakan mesin. Seperti sebuah kejadian yang telah diatur sebelumnya. Tapi, begitu mengingat jika pengendaranya sedang mabuk, Edgar membatalkan tuduhannya. Seorang pemabuk tak akan bisa mengendalikan mobilnya dengan wajar. Edgar berusaha maklum.

Langkah Edgar berhenti tepat di samping mobilnya. Pria itu menatap ke sekitar. Ia tidak berharap insiden menyebalkan itu kembali terulang. Edgar hanya bersikap waspada.

Pria itu menunggu beberapa saat. Kalau saja pria itu muncul lagi dan menabrakkan kendaraannya pada mobil Edgar, sudah bisa dipastikan ia sengaja melakukan hal itu. Namun, setelah menunggu sekian menit, tak ada apapun yang terjadi.

Mungkin insiden itu hanya sebuah kebetulan tanpa unsur kesengajaan. Edgar resmi tidak akan menuntut pria pemabuk itu.

Akan tetapi begitu tangan Edgar hendak membuka pintu mobil, ponsel miliknya bergetar. Tanda sebuah panggilan masuk. Pria bersetelan jas itu memutuskan untuk meraih ponselnya dari saku ketimbang melanjutkan niatnya membuka pintu mobil.

Mira.

Edgar berhenti sejenak ketika melihat sebaris nama wanita itu tertera di layar ponselnya. Ia senang sekaligus bimbang ketika mengetahui wanita itu menghubunginya.

"Ya, halo?" Edgar menjawab panggilan itu tiga detik setelah membiarkan Mira menunggu.

"Apa aku mengganggu?" Suara Mira terdengar pelan dan terbata.

"Tidak. Aku baru saja akan pulang. Apa ada masalah?" tanya Edgar. Selama ini Mira selalu punya alasan ketika memutuskan untuk menghubungi Edgar. Kemalangan apa lagi yang menimpa wanita itu?

Sesaat hening. Mira menimbang sejenak apakah ia akan meneruskan niatnya berbagi keluh kesah dengan Edgar atau tidak.

"Apa ada masalah? Katakan saja." Edgar cukup peka untuk merasakan keraguan yang sedang menyelimuti hati Mira.

"Apa kamu bisa kemari sebentar?"

Giliran Edgar yang bergeming demi mendengar permintaan Mira. Ia sudah berencana pulang tepat waktu hari ini. Edgar bahkan membelikan muffin cokelat kesukaan Fiona. Namun, Edgar justru dihadapkan pada sesuatu yang tidak terduga.

"Kalau kamu tidak bisa ... "

"Aku akan ke sana." Edgar memotong ucapan wanita itu cepat. Ia merusak rencana yang telah disusunnya dengan rapi. Lagi-lagi Edgar mengabaikan perasaan Fiona.

Edgar langsung menutup sambungan dan bergegas membuka pintu mobilnya. Ia akan meluncur ke rumah Mira detik ini juga.

**

"Kamu sudah datang?" Mira menyambut kedatangan Edgar dengan sukacita. Mira telah menunggu Edgar sejak pria itu menutup telepon beberapa menit lalu.

"Kenapa kamu di sini?" Edgar memandang wanita itu keheranan. Tak biasanya Mira menunggunya di tepi jalan seperti yang wanita itu lakukan sekarang. Wajah Mira juga tampak tidak terlalu baik.

Mira menggigit bibir. Ia sadar telah begitu banyak menyusahkan Edgar. Tapi, Mira tak punya sandaran lain untuk berbagi. Keluarganya jauh dan mereka tak mungkin bisa membantu.

"Mira. Ada apa?" Edgar menyentak kebisuan wanita itu. Edgar melihat keragu-raguan di mata Mira. Namun, ia telah sampai di hadapan Mira. Haruskah wanita itu diam?

"Ada seseorang yang sengaja membuang bangkai tikus di depan pintu rumah," ungkap Mira dengan suara pelan. Ekor matanya menunjuk ke arah pintu rumah.

Edgar tercekat.

"Bangkai tikus?"

"Ini sudah ke tiga kalinya," ucap Mira menambahkan. "Kalau itu cuma sekali, aku masih bisa maklum. Mungkin tikus itu kebetulan mati di depan pintu, tapi ini sudah tiga kali. Seseorang pasti sengaja melakukan hal itu, kan?"

Edgar berpikir.

"Apa kamu punya masalah dengan orang-orang di sekitar sini?" tanya Edgar menginterogasi.

"Tidak ada."

"Mungkin orang yang kamu kenal? Apa kamu pernah bertengkar atau punya masalah dengan seseorang?"

Mira terdiam.

"Aku tidak punya masalah dengan siapapun. Aku hanya punya masalah dengan... "

"Dia ada di penjara," potong Edgar mengingatkan. Yang ia maksud adalah mantan kekasih Mira. "Dia tidak bisa menyakitimu kecuali dia menyuruh orang lain untuk melakukannya."

Mira tertegun. Mungkinkah pria itu masih menyimpan dendam padanya?

"Apa kamu mau aku menyelidikinya?" tawar Edgar. Namun, wanita itu menolak.

"Tidak usah." Mira tak ingin merepotkan Edgar lagi.

"Bagaimana kalau hal yang sama terjadi lagi?"

"Mungkin aku akan pindah."

"Itu lebih baik. Hubungi aku kalau kamu akan pindah. Aku akan mencarikan... "

"Biar aku saja. Aku bisa mencari sendiri," sahut Mira.

"Apa kamu baik-baik saja sekarang?"

"Ya." Wanita itu mengangguk. Perasaannya sudah jauh berubah. Ia merasa lebih baik setelah menceritakan semua yang dialaminya pada Edgar.

"Sekarang cepat masuk dan kunci pintunya. Kalau ada apa-apa hubungi aku. Mengerti?"

Mira mengangguk.

"Bagus," puji Edgar. Pria itu tanpa sadar mengusap kepala Mira pelan. "Ah, aku tadi membeli sesuatu. Sebentar aku ambil."

Edgar bergegas kembali ke mobilnya dan mengambil kantung kertas berisi beberapa buah kue muffin cokelat.

"Apa ini?" Mira mengintip isi kantung kertas yang disodorkan Edgar untuknya.

"Muffin cokelat."

"Pasti enak," ucap Mira seraya mengumbar senyum manis.

"Kalau begitu aku pulang dulu."

"Hati-hati di jalan!" teriak Mira ketika Edgar telah berlalu dari hadapannya. Dan pria itu membalasnya dengan lambaian tangan.

Padahal muffin cokelat itu seharusnya diberikan pada Fiona.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top