Bab 9
“Fotocopy semua dokumen ini sekarang.” Perintah Eldin keluar dari mulutnya bersamaan dengan diserahkannya satu map folder yang berisi ratusan lembar dokumen.
“Baik, Pak.” Jawaban template dengan penuh kepatuhan terlontar dari mulut Siren. Dengan sigap gadis itu mengambil map folder tersebut dari Eldin. Lantas, bergegas pamit untuk melaksanakan tugas dari bosnya.
Saat memberikan map folder tersebut, Eldin tak menatap Siren sama sekali. Pandangannya berpusat pada layar komputer di depannya. Namun, matanya bergerak menyorot Siren ketika gadis itu beranjak meninggalkan ruangannya.
Punggung Siren kini tampak dalam penglihatannya. Langkahnya yang berjalan dengan cepat membuatnya tidak bisa berlama-lama memandanginya. Tahu-tahu saja gadis itu sudah keluar dari ruangannya.
Eldin menghela napas panjang. Seiring dengan dimundurkannya kursinya, tangannya yang sedari tadi menggenggam mouse pun ikut terlepas. Ia lantas membaringkan kepalanya pada sandaran kursi. Kedua kakinya diluruskan ke depan dengan niat untuk meregangkan otot-otot kakinya yang mulai terasa kaku.
Netranya kini menghadap langit-langit ruangannya yang berwarna putih. Pikirannya tiba-tiba saja larut dalam memori-memori yang terjadi di masa lalu. Beberapa kenangan muncul tanpa dapat dicegah. Terutama ingatan yang berkaitan dengan Siren—mantan kekasihnya.
Ketika Siren menyakitinya lima tahun yang lalu, Eldin memang memiliki tekad yang kuat untuk balas dendam. Lima tahun yang lalu, kebenciannya pada gadis itu begitu membara. Hal itu pula yang membuatnya termotivasi untuk meng-upgrade dirinya agar menjadi sosok yang lebih baik, semata-mata untuk membuat Siren menyesali segala perbuatan buruknya terhadapnya.
Karena keinginannya yang begitu kuat, Eldin pada akhirnya tiba di masa sekarang dengan versi yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Pertemuannya dengan Siren pun bukan kebetulan. Ia tak pernah meninggalkan sedikit pun perhatiannya pada gadis itu selama lima tahun belakangan. Hanya saja, ia bermain dengan rapi hingga Siren tak menyadarinya.
Lima tahun bukan waktu yang singkat bagi Eldin hingga ia bisa bertemu kembali dengan Siren di titik terendah gadis itu. Ia benar-benar menunggu sampai Siren mengalami keterpurukan dalam hidupnya. Lantas, dengan segera ia membuat rencana untuk menjebak Siren bersamanya dan mulai melancarkan aksi balas dendamnya.
Memang tidak pernah ada kebetulan di antara mereka. Semua situasi yang terjadi sekarang adalah hasil dari rencana yang sudah Eldin susun secara matang.
Selama lima tahun, Eldin hanya memikirkan tentang rasa haus akan dendamnya yang harus terbalaskan. Luka yang ditorehkan Siren sangat mengusik harga dirinya. Namun, Eldin tak pernah sedikit pun memikirkan tentang dampak dari kedekatan mereka saat ini.
Air laut memang ada pasang surutnya, tetapi tak pernah berubah rasa.
Sekiranya peribahasa itulah yang kini cocok menggambarkan situasi Eldin saat ini. Benci dan dendamnya memang masih bersanding dengan dirinya, tetapi ia lupa bahwa ia juga pernah mencintai Siren. Dan rasa itu sering mencuri-curi kesempatan untuk menunjukkan wujudnya ketika ia sedang bersama gadis itu.
Eldin sempat goyah. Rasa yang rupanya masih tersisa untuk Siren sempat membuat niat balas dendamnya berubah menjadi keragu-raguan. Jadi, satu-satunya cara yang bisa ia lakukan hanyalah menghindari bertatap-tatapan secara langsung dengan gadis itu. Juga menepis setiap kontak fisik yang tanpa sengaja terjadi di antara mereka.
Bagaimanapun juga, tujuannya membawa Siren kembali ke dalam hidupnya adalah untuk membalaskan dendamnya. Gadis itu harus membayar segala perbuatan buruknya di masa lalu.
Eldin tidak pernah ikhlas diperlakukan serendah dan setidak berharga itu oleh Siren.
•••
Entah sudah berapa ratus dokumen yang sedari tadi di-fotocopy oleh Siren. Kakinya sudah terasa pegal karena terus-terusan berdiri di depan mesin fotocopy. Ditambah lagi dengan heels sembilan sentimeternya yang makin menyiksa tungkainya.
Kalau saja tidak ada aturan yang mengharuskannya memakai heels sialan ini, Siren pasti sudah membuangnya dari jauh-jauh hari dan menggantinya dengan flat shoes.
“Mana sepatu kamu?”
Siren pernah menerima pertanyaan tersebut dari Eldin di awal-awal bekerja. Pada saat itu Eldin memintanya untuk mem-fotocopy beberapa dokumen. Siren yang mulai lelah dengan heels-nya pun berinisiatif membawa sandal yang hanya akan digunakan ketika sedang berada di kantor. Jadi, tidak setiap saat ia menggunakan sandal tersebut.
“Tolong ikuti peraturan yang sudah ada. Jaga citra kamu di depan karyawan yang lain. Bagaimanapun juga, penampilan kamu sedikit banyak mencerminkan sifat saya.”
Itulah alasan yang Eldin berikan, yang mau tak mau membuatnya tetap memakai heels meski hanya untuk mem-fotocopy beberapa dokumen saja.
Sejujurnya, alasan Eldin agak tidak masuk akal, bukan? Padahal, ia hanya akan berjalan beberapa langkah menuju mesin fotocopy dan tidak membuatnya sampai harus berpapasan dengan ratusan karyawan yang bekerja di sini.
“Ini dokumen yang sudah saya fotocopy, Pak.” Entah sudah berapa kali Siren bolak-balik ke ruangan Eldin dalam beberapa jam ini. Dan ia kini membawa serta map folder keempat yang baru selesai di-fotocopy-nya.
“Taruh saja di sana.” Eldin menunjuk meja panjang di dekat sofa dengan telunjuknya yang masih memegang pulpen. Sementara matanya lagi-lagi tak berpaling pada Siren.
Siren menoleh pada meja yang Eldin maksud, yang tampak penuh dengan tiga map folder beserta fotocopy-nya. Jadi, dokumen-dokumen yang sedari tadi di-fotocopy-nya benar-benar tidak disentuh sama sekali oleh bos gilanya itu?
Sambil mendengkus kasar, Siren meletakkan map folder keempat beserta fotocopy-nya ke atas meja tersebut dengan sedikit bantingan. Ia lantas menoleh sekilas ke arah Eldin yang tak menunjukkan pergerakan apa pun. Bibirnya tak tahan untuk mengeluarkan cibiran pada pria itu meski dilakukan tanpa suara.
Siren balik badan, bersiap untuk kembali ke mejanya. Tenggorokannya terasa kering dan ia sudah kehausan sejak tadi.
Lihatlah, bahkan untuk minum saja Siren tidak punya waktu dikarenakan Eldin yang memintanya untuk melakukan tugasnya dengan kecepatan turbo dan tidak mentoleransi kesalahan sedikit pun.
Setelah kontraknya habis, Siren sepertinya akan benar-benar mengadukan Eldin ke Dinas Ketenagakerjaan. Ia akan mulai mengumpulkan bukti-bukti kekejaman bosnya itu mulai dari sekarang.
“Tunggu sebentar.”
Belum ada tiga langkah kaki Siren berjalan, telinganya mendengar interupsi dari arah belakang, yang tentu saja berasal dari Eldin. Sontak kedua kakinya berhenti. Matanya dipejamkan sejenak dengan alis yang mengernyit dan bibir yang mengerucut. Ia juga turut menarik napas dalam-dalam hingga membuat bahunya melengkung ke depan.
Kalau Siren pura-pura tidak mendengar interupsi dari Eldin dan kembali melanjutkan langkahnya, hidupnya akan tetap aman-aman saja, bukan?
“Siren?”
Sial!
“Ya, Pak?” Pada akhirnya, Siren berbalik dan menghampiri Eldin dengan senyum profesional yang dipaksakan untuk hadir dalam bibirnya.
“Ada titipan untuk saya di resepsionis. Tolong kamu ambilkan.”
Siren kembali menarik napas panjang untuk mengontrol emosinya agar tetap stabil. “Baik, Pak.” Dan berhasil mengeluarkan jawaban tersebut kendati tangannya sudah gatal ingin mengacak-acak wajah pria itu.
“Apa lagi yang kamu tunggu?” Eldin mendongak, menatap Siren dengan sebelah alis yang terangkat ketika gadis itu masih bertahan di tempatnya.
“Tidak, Pak. Tidak ada,” jawab Siren sambil tertawa hambar. “Saya akan segera kembali, Pak.” Dan setelahnya, Siren langsung bergegas meninggalkan ruangan Eldin. Kali ini dengan kaki yang melangkah dua kali lebih cepat dari sebelumnya supaya tidak ada lagi interupsi tambahan dari pria itu.
•••
Eldin baru saja menyelesaikan makan siang di ruangannya. Ia memang jarang makan di luar kalau sedang tidak ada kepentingan bersama klien. Selain bisa menghemat waktu, ia juga bisa makan sembari melanjutkan pekerjaannya yang menumpuk.
“Siren.” Eldin memanggil Siren lewat interkom begitu kembali duduk di kursi kebesarannya.
Pandangannya langsung tertuju pada layar komputernya, sedangkan tangannya sudah memegang sebuah dokumen yang sedang dipelajarinya.
“Siren?” Panggilannya untuk Siren kembali diulang setelah ia menunggu cukup lama.
Dahinya berkerut. Biasanya Siren akan langsung menjawab panggilannya sedetik setelah suaranya sampai ke telinga gadis itu.
Sama seperti sebelumnya, masih tidak ada tanggapan dari Siren. Alisnya terangkat dan berkerut keheranan. Ia mencoba memeriksa interkom, barangkali benda tersebut sedang bermasalah hingga suaranya tidak sampai pada Siren. Namun, benda tersebut terlihat baik-baik saja.
“Siren? Halo!” Eldin mencoba sekali lagi, dan tetap tidak mendapat jawaban apa pun.
Alhasil, Eldin terpaksa bangkit dari posisinya hanya untuk memastikan jika Siren masih berada di mejanya.
Pemandangan pertama yang ia lihat setelah keluar dari ruangannya adalah Siren yang rupanya tertidur di mejanya. Ia mendesah panjang dan mencoba menahan rasa kesal sembari menghampiri gadis itu. Mulutnya sudah terbuka, siap menumpahkan kemarahannya.
“Si—” Eldin mengerem ucapannya saat netranya menemukan wajah terlelap Siren. Gadis itu menempelkan satu sisi wajahnya di atas meja. Matanya terpejam rapat dengan napas yang terdengar beraturan.
Eldin membungkukkan sedikit bahunya, menyejajarkan arah pandangnya dengan Siren. Sorotnya pun terfokus pada wajah gadis itu yang tampak tenang dalam tidurnya.
Untuk sesaat, Eldin tak bisa menepis bahwa ia cukup terlena hanya dengan memandangi wajah Siren. Gadis itu masih terlihat begitu cantik, sama seperti lima tahun yang lalu. Tanpa dapat dicegah, sebelah tangan Eldin sudah bertengger di wajah Siren, menyingkirkan beberapa juntai rambut yang terberai menutupi wajahnya.
Telunjuknya kini sudah berada di ujung alis Siren, tidak benar-benar menyentuhnya, hanya mengambang sedikit dari permukaannya. Bertepatan dengan itu maniknya berpindah pada kedua mata Siren yang terpejam. Bila sedang membuka matanya, Siren jadi terlihat lebih ekspresif dengan matanya yang besar dan kelopaknya yang sedikit melengkung.
Pandangannya beranjak turun, menatap hidung Siren yang lurus dan ramping, yang dulu sering menjadi sasaran kecupannya. Lalu, berpindah ke bibirnya. Gadis itu mempunyai bibir yang penuh dan mengilap. Ia masih ingat bagaimana rasa dari bibir Siren. Manis.
Eldin menggeleng-gelengkan kepalanya, menghentikan jemarinya yang nyaris menyentuh bibir Siren. Ia lantas menarik tangannya dan berdeham pelan seraya kembali berdiri dengan tegak.
Tidak. Eldin tidak boleh teperdaya oleh mantan kekasihnya itu.
Setelah mengembuskan napas panjang dan mencoba menormalkan kembali jantungnya yang berdegup kencang di dalam sana, Eldin mengetuk-ngetuk meja di sebelah wajah Siren.
Tindakannya langsung membuahkan hasil. Siren terlonjak dan langsung mengangkat kepalanya dari atas meja. Begitu mendongak dan bersitatap dengan Eldin, kedua mata Siren membelalak lebar. Gadis itu pun buru-buru mengambil posisi berdiri sambil membetulkan rambut dan bajunya yang sedikit berantakan.
“Tidur di waktu jam kerja, apa itu pantas untuk dilakukan?” tanya Eldin dengan ketus.
Siren tampak menggigit bibir bawahnya. Kepalanya menunduk dalam, menandakan penyesalan. “Ma-maaf, Pak.”
“Jangan diulangi lagi,” cetus Eldin, memberi peringatan.
“Baik, Pak.”
•••
AYOOO MANA NIH SEMANGATNYA JANGAN SAMPE KENDOORRR🔥🔥
Jangan lupa vote dan ramein kolom komentarnya🔥🔥
Kita ketemu lagi besok ma luv😚❤🌻
22 Juni, 2024
Follow aku di
Instagram: rorapo
Dreame/Innovel: rorapo_
Karyakarsa: rorapo_
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top