Bab 6
Siren pikir hidupnya akan berjalan seperti pepatah "Habis gelap terbitlah terang". Nyatanya, lampu kehidupannya kembali dimatikan dan hidupnya kembali dipenuhi kegelapan. Apalagi penyebab utamanya kalau bukan bos gilanya itu.
Sikap Eldin padanya memang sempat berubah. Pria itu bak seseorang yang takut kena azab karena sering bersikap semena-mena pada asisten pribadinya. Berbagai macam hadiah diberikan untuknya, seolah-olah sedang melakukan ritual penebusan dosa. Siren bahkan sempat berpikir jika setelah ini hidupnya akan berjalan dengan mudah. Sayangnya, hal itu hanya berlangsung selama beberapa hari saja.
Ya. Setelahnya sosok iblis dalam diri Eldin kembali menampakkan dirinya. Bos sialannya itu telah kembali, menyingkirkan bos baik hatinya yang selama beberapa hari ini membuat hidup Siren tenang, aman, dan damai.
Seketika Siren merasa jika hidupnya sedang dipermainkan.
Duh! Ngenes banget nasibnya.
Welcome to the hell. Again.
“SIREEEEENNN!!”
Nah! Baru saja Siren selesai berkeluh kesah tentang kembalinya sosok iblis dalam diri Eldin, panggilan maut dari pria itu sudah menggema di seantero ruangan. Padahal, bosnya itu punya interkom, tapi malah lebih memilih untuk repot-repot meneriakinya. Kalau nanti suaranya habis, Siren juga yang disalahin.
Siren bergegas keluar dari mejanya, buru-buru masuk ke dalam ruangan Eldin setelah memberi dua kali ketukan. Langkahnya bergerak lebih cepat dari biasanya agar segera tiba di hadapan pria itu.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?”
“Panggil seluruh tim sosmed ke sini sekarang juga!” titah Eldin dengan nada tinggi. Netranya tidak sekalipun memandang Siren, sangat fokus dengan beberapa dokumen dalam genggamannya.
“Baik, Pak.”
“Satu lagi.” Siren tadinya sudah bersiap untuk keluar dari ruangan Eldin, tetapi gagal karena pria itu rupanya belum selesai berbicara. “Atur jadwal pertemuan dengan Layla secepat mungkin.”
“Baik, Pak,” jawab Siren untuk kedua kalinya. “Ada lagi, Pak?” tanyanya, memastikan jika perintah Eldin hanya itu saja.
“Cukup.”
Dan Siren pun beranjak meninggalkan ruangan Eldin. Begitu tiba di mejanya, ia langsung menghubungi divisi sosial media untuk segera menghadap bos besar mereka. Lantas, membuat jadwal pertemuan dengan Layla.
Sebenarnya kembalinya iblis dalam diri Eldin bukan semata-mata tanpa sebab. Ada satu hal yang menjadi pemicu timbulnya masalah besar dalam perusahaan, yaitu Layla.
Layla merupakan seorang pro player di GeneralX—perusahaan e-sport yang dikelola Eldin selama sepuluh tahun belakangan. Skandal yang dibuat Layla menimbulkan banyak masalah. Gadis yang baru berusia sembilan belas tahun itu baru saja dituding sebagai perebut suami orang.
Kejadian itu baru terjadi kemarin. Tim Eldin sedang mengumpulkan bukti untuk mengambil keputusan tentang kelanjutan kerja sama antara Layla dan GerenalX. Bahkan, Eldin belum sempat berbicara langsung dengan Layla saking sibuknya mengecek latar belakang masalah yang timbul.
Belum cukup sampai di situ, tim sosmed juga ikut membuat masalah. Mereka sepertinya tanpa sengaja mengunggah berita miring tentang Layla dan membuat keadaan semakin panas. Netizen tak pelak ikut-ikutan menghujat GeneralX yang malah memojokkan Layla di saat-saat seperti ini.
Karena kejadian beruntun tersebut, Eldin murka sejadi-jadinya. Tebak siapa yang menjadi sasaran utama kemarahannya. Yap! Sudah pasti jawabannya adalah Siren, seseorang yang keberadaannya paling dekat dengan pria itu.
Telinga Siren sampai sakit karena Eldin terus-terusan meneriakinya. Padahal, tak ada yang salah dengan kerjanya.
Menjadi pelampiasan kemarahan seseorang memang sangat menyebalkan. Sekaligus melelahkan.
•••
“Ada titipan dari mama saya di resepsionis. Kamu ambil sekarang dan bawa ke saya.” Suara Eldin muncul dari interkom, lagi-lagi berupa perintah. Nada suaranya pun masih menyiratkan kemarahan walau frekuensi teriak-teriaknya sudah tidak separah sebelumnya. Dan syukurlah bosnya itu sudah kembali menggunakan interkom sebagaimana mestinya.
“Baik, Pak,” jawab Siren, yang sudah seperti sebuah template wajib dalam pekerjaannya.
Perintah Eldin adalah hal mutlak yang harus dilaksanakan secepat mungkin. Jadi, begitu mendapat perintah untuk mengambil titipan ibunya di resepsionis, Siren buru-buru memakai sepatu heels sialannya ini dan bergegas turun ke bawah.
Tidak butuh lebih dari sepuluh menit bagi Siren untuk kembali ke ruangannya. Ia sudah memaksimalkan kecepatannya supaya tidak mendapat kemarahan lanjutan dari Eldin. Dalam situasi seperti ini, ia harus menjalankan tugasnya dengan kecepatan turbo.
Tok! Tok!
Dua kali ketukan mendarat di pintu ruangan Eldin sebelum tangan Siren berpindah pada knop. Dilanjutkan dengan menarik tuasnya ke bawah dan mendorongnya ke depan. Lalu, tampaklah sosok Eldin dalam pandangannya.
Pemandangan kali ini jauh berbeda dari yang dilihatnya beberapa saat yang lalu. Eldin tidak lagi berkutat pada komputer dan dokumen-dokumen yang bertebaran di atas meja kerjanya. Pria itu malah duduk bersandar pada kursinya dengan kepala yang ikut disandarkan. Kedua tangannya pun terlipat di atas perut.
Siren keheranan. Satu alisnya terangkat bersamaan dengan laju kakinya yang dipercepat. Begitu tiba di dekat meja Eldin, ia buru-buru meletakkan sebuah kotak makan bertingkat yang diambilnya dari resepsionis ke atas meja tersebut. Lantas, memperpendek jaraknya hingga berada tepat di sisi Eldin yang rupanya sedang dalam posisi setengah berbaring di atas kursinya dengan mata yang terpejam.
“Pak?” Siren mencoba memanggil Eldin dengan suara yang tidak terlalu kuat.
“Hmm.” Jawaban yang Eldin berikan hanyalah sebuah gumaman tanpa tindakan lanjutan. Bahkan, membuka mata saja tidak.
Sedari tadi, ekspresi yang ditampilkan Eldin adalah wajah penuh emosi. Mukanya memerah dengan rahang tegasnya yang makin menonjol. Namun, kini tampak jauh berbeda. Darah bahkan seperti berhenti mengaliri wajahnya. Bibirnya pun sama pucatnya.
“Bapak nggak papa?” Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Siren tanpa dapat dicegah. Seketika merasa digandrungi kecemasan begitu melihat perubahan wajah bosnya yang tampak tak sehat.
Eldin terdengar menarik napas panjang sebelum membuka matanya. Maniknya mengarah tepat pada mata Siren yang berada di sisinya dalam beberapa saat. Setelahnya, ia langsung membetulkan posisinya dan kembali duduk dengan tegak.
“Fine.” Lagi-lagi jawaban yang Eldin suarakan begitu singkat.
Tanpa memedulikan Siren yang terus memerhatikannya, Eldin bangkit dari kursi kebesarannya, meraih kotak makan bertingkat dari atas meja sebelum beranjak menuju sofa santai di ruangannya.
“Kamu bisa keluar,” ucap Eldin pada Siren yang sedari tadi tak bergerak dari posisinya. Sementara ia sudah duduk di atas sofa dan bersiap membuka kotak makan yang berisi makan siang khusus dari ibunya.
“Muka Bapak pucet banget, lho.” Siren tak mengindahkan pengusiran Eldin. Dengan berani ia malah mengambil duduk di sisi pria itu. “Mau saya panggilkan dokter?” tawarnya kemudian.
Randi, teman semasa SMA-nya yang sebelumnya bekerja sebagai asisten pribadi Eldin, sempat memberi beberapa informasi penting tentang pria itu. Salah satunya adalah Eldin yang memiliki penyakit maag akut. Dilihat dari kondisinya saat ini, Siren merasa jika maag pria itu sedang kambuh.
“Saya nggak papa. Kamu bisa keluar.” Eldin tetap kekeh dengan jawabannya. “Masih banyak pekerjaan yang harus kamu urus, kan?”
Siren tidak terlalu mendengarkan celotehan Eldin. Sedari tadi, matanya tak lepas mengamati gerak-gerik pria itu. Kedua tangannya bahkan tampak lemas tak berdaya dan sedikit gemetar hingga berulang kali gagal menarik pengait dari kotak makan tersebut.
Dalam kondisi seperti ini, titah Eldin bukan lagi hal yang wajib untuk dilakukan. Dan Siren benar-benar mengabaikan ucapan pria itu. Ia kini malah mengambil alih kotak makan tersebut dan membukakannya untuk Eldin.
“Kalo Bapak mau marah ke saya karena nggak nurut, silakan,” pungkas Siren ketika melihat mulut Eldin terbuka, seperti bersiap untuk memberi perintah lanjutan padanya. “Menjaga Bapak supaya tetap sehat juga jadi salah satu tugas saya, kan? Jadi, sekarang saya juga lagi menjalankan pekerjaan saya,” tambahnya, yang pada akhirnya membuat Eldin kembali menutup mulutnya.
Eldin hanya bisa menghela napas panjang dan memejam sejenak untuk melepas ikatan emosi yang tak henti menyesaki dadanya.
“Aaaa.” Tanpa sungkan Siren menyodorkan sesendok penuh nasi dan lauknya di depan mulut Eldin.
“Saya bisa makan sendiri.”
“Aaaa.” Siren tak memedulikan sanggahan Eldin sama sekali. Dia kembali menyuruh pria itu untuk membuka mulutnya.
Pada akhirnya, Eldin menuruti perintah Siren. Dan untuk pertama kalinya sejak ia mengenal Siren, baru kali ini ia mendapati gadis itu bersikap semanis ini padanya.
Hal itu tak pelak menimbulkan getaran dalam dirinya.
Getaran yang tak pernah ia rasakan lagi sejak memendam benci pada mantan kekasihnya itu.
•••
Hayoloh Eldin mulai kena getaran-getaran cinta😭👍
Ramekan dulu Bab ini. Besok kita ketemu lagi oghey❤🌻
19 Juni, 2024
Follow aku di
Instagram: rorapo
Dreame/Innovel: rorapo_
Karyakarsa: rorapo_
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top