Bab 44
Bertemu dengan Ratna Indrawari berhasil menguras hampir seluruh energi Siren. Tubuhnya terasa begitu lelah. Otaknya pun tak bisa difungsikan dengan normal. Pikirannya entah melayang ke mana, membuat pekerjaannya jadi tidak terlaksana dengan baik.
Setelah bertemu dengan Ratna Indrawari, Siren kembali ke kantor bersama Eldin. Ia menolak gagasan pria itu yang memintanya untuk pulang ke rumah saja. Siren hanya tak mau masalah pribadinya menghambat pekerjaannya. Lagipula, selepas makan siang, ada meeting yang harus Eldin pimpin. Tidak mungkin ia tak berada di sisi bosnya itu.
Sebenarnya Anya juga menawarkan hal yang sama. Kakaknya itu meminta Siren untuk istirahat saja setelah melihat seterpukul apa dirinya tadi. Anya juga menawarkan diri untuk menceritakan tentang Ratna Indrawari padanya. Namun, Siren tetap menolak dan meminta untuk membicarakan hal itu nanti malam saja-kalau ia masih punya tenaga lebih tentunya.
Siren memijit pangkal hidungnya saat membaca rangkuman hasil meeting beberapa saat yang lalu. Ia meringis pelan, menyadari jika ada banyak hal yang terlewatkan hingga membuat rangkuman tersebut jadi sedikit berantakan.
"Kita pulang sekarang aja."
Siren tersentak dengan kepala yang mendongak secepat kilat. Buru-buru ia mengambil posisi berdiri saat menemukan Eldin yang entah sejak kapan berada di depan mejanya.
Siren melirik jam tangannya sekilas sebelum mengembalikan pandangannya pada Eldin. "Ini masih jam tiga sore, Pak," ucapnya, sebagai tanggapan atas ajakan pulang mendadak dari bosnya itu.
"Nggak ada jadwal apa pun lagi, kan?" tanya Eldin.
Siren menggeleng. "Nggak ada, Pak."
"Ya, sudah. Ayo, kita pulang sekarang." Eldin menyusun beberapa lembar kertas yang ada di meja Siren, membantu gadis itu membereskan mejanya.
"Tapi pekerjaan saya belum selesai, Pak," cecar Siren.
"Dilanjut besok aja."
Siren menatap Eldin dengan heran, tetapi kemudian ia tetap menuruti pria itu dan ikut membereskan mejanya. Ia yakin jika kepulangan mereka yang dipercepat masih ada kaitannya dengan kejadian saat makan siang tadi.
Eldin memang tidak bisa membuatnya pulang ke rumah siang tadi, tetapi menggantinya dengan pulang lebih cepat.
"Yuk." Meja Siren sudah rapi ketika Eldin mengulurkan sebelah tangannya pada gadis itu.
Siren menaikkan sebelah alisnya sembari menyampirkan tasnya di satu pundaknya. Netranya melirik bergantian antara wajah dan uluran tangan Eldin.
Eldin tidak sabar. Siren sudah cukup lama diam sambil terus memandanginya dengan penuh keraguan. Alhasil, ia maju selangkah dan menarik lengan Siren untuk kemudian digandengnya.
"Nanti kalo ada yang lihat gimana?" tanya Siren, sambil berjalan dengan langkah pelan di sisi Eldin. Kepalanya juga ikut didongakkan, menatap Eldin yang lebih tinggi darinya.
"Nggak akan ada yang lihat," jawab Eldin, dengan senyum tipis yang bertengger di bibirnya. "Cuma sampe masuk lift aja, kok."
Untuk beberapa saat Siren masih menatap Eldin dengan ragu, tetapi rasa nyaman saat bergandengan tangan seperti ini pada akhirnya membuatnya menuruti keinginan pria itu. Toh, cuma sampai masuk lift saja.
"Besok kalo kerjaanku jadi numpuk, kamu tanggung jawab, ya." Siren membuka obrolan baru, yang kali ini sudah menghapus sapaan formal di antara mereka.
Eldin menatap Siren sambil terkekeh. "Yang bos siapa, hm?"
"Oh, gitu?" Siren menyipitkan matanya pada Eldin. Bibirnya pun ikut maju beberapa senti. "Ya, udah, aku nggak jadi pulang," ancamnya.
Tawa Eldin kembali meledak, lebih kuat dari sebelumnya. Ia cepat-cepat menahan genggamannya di tangan Siren sebelum gadis itu melepasnya dan berbalik meninggalkannya.
"Iya-iya, ampun," pungkas Eldin, dengan sisa-sisa tawa di bibirnya.
Siren hanya mencibir, tetapi kemudian mengeratkan genggamannya di tangan pria itu dengan menautkan jemari mereka. Hal itu tak ayal membuat senyum Eldin mengembang semakin lebar.
•••
Selain Eldin, malam ini juga ada Anya dan Ian di apartemen Siren. Duduk lesehan di atas karpet di ruang santai. Mereka baru selesai makan malam bersama sambil mengobrolkan banyak hal. Melupakan sejenak perihal sosok Ratna Indrawari yang Siren temui siang tadi.
"Jadi, kalian ada hubungan apa?" Pertanyaan tersebut terlontar dari mulut Anya, yang sedang mengupas kuaci sambil menatap Siren dan Eldin secara bergantian.
"Aku juga curiga sebenarnya sama kalian." Ian mengangguk, menimpali Anya. "Bos yang baik memang harus peduli sama karyawannya, tapi nggak sampe peluk-pelukan juga, kan?"
Blush. Wajah Siren memerah, tak menyangka jika Anya dan Ian akan mengangkat topik seputar kedekatannya dengan Eldin. Karena tak siap, ia hanya bisa tersenyum kikuk sambil membetulkan posisi duduknya karena salah tingkah. Barangkali memang baru siang tadi ia pertama kali berpelukan dengan Eldin di tempat umum, di depan Anya dan Ian pula.
Berbeda halnya dengan Siren yang tampak ketar-ketir, Eldin menanggapi pertanyaan Anya dan Ian dengan tenang. Senyum tipis hadir di sudut bibirnya, dan ia merasa gemas melihat Siren yang malu-malu seperti itu.
"Rencananya kita mau nyusul kalian, sih." Eldin yang buka suara untuk menanggapi perkataan Anya dan Ian.
"Nyusul kita?" Anya melengkungkan alisnya, masih belum bisa mencerna jawaban Eldin. "Nyusul dalam hal?"
"Nikah," jawab Eldin begitu enteng.
Siren sontak memalingkan tatapannya pada Eldin, menatap pria itu dengan pupil yang membesar. Tubuhnya pun membeku sejenak dan ia sempat lupa bagaimana caranya bernapas.
"Serius?" Anya melupakan sejenak kuacinya dan memusatkan fokusnya pada Eldin. Hal serupa juga dilakukan oleh Ian, walau tidak seberlebihan istrinya.
Eldin tidak langsung menjawab Anya. Ia berpaling terlebih dahulu pada Siren yang duduk di sebelahnya, yang rupanya masih memelototinya. "Kamu mau nggak?" tanyanya, dengan senyum setengah yang menaungi wajahnya.
Siren mengerjap sebanyak dua kali ketika otaknya mulai bisa kembali bekerja dengan normal. Lalu, wajahnya perlahan memerah saat menyadari jika Eldin baru saja mengajaknya menikah.
"Jangan bercanda, deh." Siren mencebik, mencoba menyamarkan sikap salah tingkahnya. Padahal, hatinya sudah meletup-letup di dalam sana. Frekuensi detak jantungnya pun mengalami kenaikan yang signifikan.
Eldin terkekeh dan hanya mengacak-acak rambut Siren.
"Jangan main-main sama adik saya, lho, Pak Eldin," sindir Anya, yang kembali mengunyah kuacinya. Tatapannya pada Eldin pun berubah penuh ancaman.
Tanpa ragu Eldin mengangguk untuk menanggapi ucapan Anya. "Kalau Siren sudah siap, saya benar-benar akan menikahinya."
Anya yang semula merasa skeptis pada Eldin, kini kembali tersenyum setelah melihat dengan mata kepalanya sendiri jika pria itu memang memiliki tekad yang kuat untuk mempertanggungjawabkan perkataannya.
"Bisa tolong nggak usah ngomongin itu dulu, nggak?" pinta Siren, yang sedang menyentuh kedua pipinya untuk menyembunyikan wajahnya yang terasa panas, yang entah sudah semerah apa saat ini.
Anya mendengkus geli dan mengangguk-anggukan kepalanya. "Jadi, apa yang mau kamu ketahui tentang Ibu Ratna, Ren?" tanyanya, memulai pembicaraan mengenai Ratna Indrawari.
Siren mengembuskan napas panjang. Ia memandang lurus ke depan, sedang memikirkan hal-hal apa saja yang ingin diketahuinya tentang sosok Ratna Indrawari.
Sejujurnya Siren memang benar-benar tidak ingin berhubungan lagi dengan Ratna. Wanita itu saja tidak menginginkannya sejak awal, jadi untuk apa ia mencoba membangun hubungan dengan ibu kandungnya? Namun, ada hal-hal yang memang harus ia ketahui tentang Ratna Indrawari, yang semoga saja bisa membuatnya tidak kepikiran tentang wanita itu lagi.
"Sejak kapan kamu tahu kalau dia ibu kandungku?" Siren memutar bola matanya ke arah Anya saat mengajukan pertanyaan pertama tentang Ratna Indrawari.
"Mungkin saat kamu masih SMP," jawab Anya, sambil membuka-buka lembaran memori di masa lalunya. "Mama yang ngasih tahu aku kalau dia adalah ibu kandung kamu."
"Kenapa aku nggak pernah dikasih tahu tentang itu?"
Itu menjadi pertanyaan yang paling membuat Siren penasaran. Sudah selama itu, kenapa ia tak pernah diberi tahu?
"Karena sejak awal kami merasa kalau Ibu Ratna tidak pantas untuk menjadi ibu kamu."
Siren menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa?"
"Karena dia cuma memikirkan dirinya sendiri, Siren. Dia menikah dengan suaminya sekarang juga hanya untuk menaikkan karirnya di bidang politik," jawab Anya, yang kemudian menghela napas panjang karena merasa kesal tiap kali membicarakan sosok Ratna Indrawari. "Setelah kamu ketemu dia, kamu bisa lihat sendiri kan gimana sifatnya?"
Siren menunduk sambil menggigit bibirnya. Ternyata ibu kandungnya memang seburuk itu.
"Aku, Mama, dan Papa nggak mau kamu berurusan sama dia. Kami nggak mau kamu sakit hati karena dia, Siren. Dia bener-bener nggak pantas disebut sebagai seorang ibu," lanjut Anya. Ia kemudian menggeser posisinya dan duduk di hadapan sang adik. Diusapnya pundak Siren hingga membuat mata mereka kembali bersitatap. "Selama ini kamu udah mendapatkan kasih sayang yang cukup dari Mama dan Papa, jadi kamu nggak butuh sosok ibu kandung lagi di dalam hidupmu. Kamu punya aku, Mama, dan Papa. Dan kita adalah keluarga."
Siren menatap Anya dengan mata yang berkaca-kaca. Ia mengulum bibirnya yang bergetar. Tanpa aba-aba, ia langsung memeluk Anya dan menumpahkan tangis harunya di sana.
Sejak awal, Siren memang tidak berharap apa pun pada ibu kandungnya sendiri. Dan hidup bersama keluarganya sekarang sudah lebih dari cukup untuknya.
•••
Hai hai! Gimana pendapatnya tentang Bab ini?🥳
Buat yang masih penasaran alasan kenapa Siren dibuang, next part bakal dijelasin kok. Sabar yaa hihi
Kita ketemu lagi di hari sabtu ogheyyy😚 luv luv❤🌻
29 Agustus, 2024
Follow aku di
Instagram: rorapo
Dreame/Innovel: rorapo_
Karyakarsa: rorapo_
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top