Bab 42

"Ternyata selama ini aku dibuang, El." Suara Siren bergetar ketika melontarkan kalimat tersebut. Senyum getir pun turut menghiasi wajahnya yang tampak mendung.

Dengan cepat Eldin menggelengkan kepalanya, menunjukkan ketidaksetujuannya akan kalimat tersebut. Kedua tangannya lantas berpindah untuk merangkum wajah Siren bersamaan dengan netranya yang menatap gadis itu secara lekat.

"Jangan ngomong gitu," tandas Eldin.

Siren menghela napas panjang, yang terdengar begitu berat untuk dilepas. "Memang itu kenyataannya."

"Ssh!" Eldin kembali menggeleng sembari mempererat rangkumannnya di wajah Siren. "Kamu nggak dibuang, Siren. Kamu terlalu berharga untuk dibuang."

Sudut bibir Siren tertarik, membentuk senyum tipis yang kali ini kehadirannya tampak tak dipaksakan. Ia sedikit terhibur dengan perkataan Eldin walau tetap tak bisa mengubah pemikirannya.

"Kenapa dia harus datang di saat-saat seperti ini ya, El? Padahal, aku udah bahagia sama keluargaku yang sekarang," desah Siren, mencoba untuk mendiskusikan hal-hal yang hampir 24 jam ini tak henti mengganggu pikirannya.

Ibu jari Eldin mulai bergerak mengusap pipi Siren. "Mungkin karena saat ini adalah waktu yang paling tepat untuk kamu tahu tentang ibu kandungmu. Karena Siren yang aku kenal sekarang adalah Siren yang jauh lebih kuat, lebih tenang, dan selalu berpikir panjang sebelum melakukan sesuatu."

Senyum Siren kembali hadir, kali ini jauh lebih lebar dari sebelumnya. Ucapan positif Eldin lagi-lagi mampu membuat gejolak amarah dalam dirinya sedikit mereda. Api yang semula berkobar hebat, kini mulai menyusut. Pria itu benar-benar tahu bagaimana cara untuk menenangkannya.

Siren juga setuju dengan ucapan Eldin. Barangkali kalau ia bertemu dengan ibu kandungnya sebelum berubah menjadi sosok Siren yang sekarang, ia pasti akan langsung mengamuk tak keruan karena tak bisa menerima fakta tersebut. Siren pasti akan semakin menggila. Lantas, makin banyak pula orang yang akan disakitinya.

Siren mengambil kedua tangan Eldin yang berada di wajahnya, memindahkannya ke pinggangnya, seolah meminta pria itu untuk kembali memeluknya. Dan Eldin dengan senang hati menurutinya.

"Kemaren aku beneran bingung kenapa kamu yang jadi tujuanku di saat aku lagi ngerasa sekacau ini," ucap Siren, mengubah topik pembicaraan mereka. "Sekarang aku udah tahu jawabannya," lanjutnya, masih dengan senyum yang bertengger di wajahnya.

Eldin menaikkan sebelah alisnya. "Apa?"

"Karena kamu yang paling bisa bikin aku tenang. Kamu selalu bisa menerima aku terus-menerus walaupun aku udah sering nyakitin kamu. Apa pun keadaannya, kamu selalu bukain pintu buat aku." Suara Siren kembali bergetar di akhir kalimat. Matanya pun ikut berkaca-kaca. Meski begitu, senyumnya tak luntur sedikit pun, menandakan bentuk dari rasa harunya.

Gantian Eldin yang mengembangkan senyum lebar. Dimajukannya wajahnya untuk mencium Siren. Dan bibirnya bertahan dalam beberapa detik di kening gadis itu.

"Aku udah bilang kalau aku akan selalu ada di sisi kamu dalam kondisi apa pun."

Siren mengangkat tangannya sebelum jatuh bertengger di wajah Eldin. Diusapnya wajah pria itu dengan lembut seraya berucap, "Kenapa kamu bisa sebaik ini, El? Aku jadi makin ngerasa nggak pantes untuk disandingkan sama kamu."

"Jadi, aku harus jadi jahat gitu?" tanya Eldin, mencoba melontarkan candaan agar suasana di antara mereka sedikit mencair.

Usaha Eldin berhasil. Siren tertawa, dan air matanya tidak jadi keluar.

"Nyebelin banget," kekeh Siren sembari meninju pelan dada bidang Eldin.

"Sini."

Kedua mata Siren melotot saat Eldin tiba-tiba saja mengangkat badannya. Semuanya dilakukan secepat kilat sehingga tak ada waktu baginya untuk menolak. Tahu-tahu Siren sudah berada di pangkuan Eldin dengan posisi kedua kakinya yang terbuka lebar.

"Gini lebih enak," kata Eldin dengan seringainya.

Mulut Siren sedikit menganga saat menatap Eldin dengan penuh ketidakpercayaan, tetapi pada akhirnya tawanya keluar. Disusul oleh beberapa kali pukulan pelan yang ia layangkan di kedua lengan atas pria itu. Namun, Siren juga tidak beranjak dari posisinya saat ini, seakan merasa nyaman.

Kedua tangan Eldin memeluk pinggang Siren, menggesernya ke depan agar jarak di antara mereka semakin menipis. Sementara Siren melingkarkan lengannya di seputaran leher Eldin dengan kepala yang dibiarkan menunduk agar matanya bisa terus menatap wajah tampan pria itu.

"Jangan pergi lagi, ya?" pinta Eldin, terdengar begitu serius. Sorotnya pun menunjukkan permohonan yang begitu dalam.

Senyum kembali menaungi wajah Siren. Jemarinya kini sudah menyentuh kepala Eldin, memberi usapan-usapan kecil di rambut pria itu.

"Sejujurnya aku pengen tetep bareng kamu, El." Pada akhirnya Siren bisa berkata jujur tentang perasaannya pada Eldin. "Tapi aku bener-bener ngerasa nggak pantes untuk kamu."

"Kamu kayak gini karena Oma, ya?" tembak Eldin.

Pupil Siren membesar. Pergerakan jemarinya di rambut Eldin pun terhenti seketika. "Kamu ... tahu?"

Eldin mendengkus geli. "Jadi, kamu ngejauhi aku memang karena Oma?"

Siren meringis, merasa terjebak dengan kata-kata Eldin. Padahal, pria itu hanya mencoba menebak-nebak, tetapi respons yang diberikannya malah berhasil membongkar semuanya.

"Omongan Oma jangan kamu ambil pusing," ucap Eldin, dengan sisa-sisa senyum yang masih tersangkut di bibirnya. "Apa pun pilihanku nanti, Oma pasti akan tetap menghargainya. Termasuk soal pasangan."

Siren menggigit bibir bawahnya sambil menatap Eldin dengan ragu. Kedua tangannya kini sudah berpindah memegang pundak pria itu. "Tapi bukannya Oma kamu ngebet banget jodohin kamu sama Titania? Dan aku lihat selama seminggu ini kamu juga sering jalan bareng dia."

"Kamu cemburu?" goda Eldin dengan alis yang dinaikturunkan.

Siren mengerucutkan bibirnya. "Serius dulu, ih," gerutunya.

Eldin tak bisa menahan tawanya. Ia juga sempat mencubit gemas pipi Siren, yang tentu saja makin membuat gadis itu cemberut.

"Aku sama Titania baru jalan bareng dua kali, dan itu juga cuma sebentar. Makan malam doang. Nggak banyak juga yang kami bicarakan," jelas Eldin seraya mengedikkan kedua bahunya.

"Tapi tetep aja kamu ngasih harapan ke dia." Siren meringis di akhir kalimat, menyesali omongannya barusan yang mengindikasikan perasaan cemburu. Ditambah lagi dengan nada suaranya yang terdengar agak ngotot. Duh! Malu banget.

Eldin sempat menyeringai, hampir menertawakan ucapan Siren barusan, tetapi ia berusaha menahannya dengan cara berdeham pelan. Bisa-bisa Siren mengamuk kalau ia kembali meledeknya.

"Sejak awal aku ngajak Tania jalan bareng, aku udah bilang ke dia untuk nggak menaruh harapan apa pun ke aku. Dan dia pasti bakalan ngerti."

"Kalo dia sakit hati sama kamu gimana?" Siren mencoba mengambil kemungkinan-kemungkinan yang barangkali akan dirasakan oleh Titania.

"Sakit hati karena?"

"Ya karena kamu menyudahi kedekatan kalian. Jadi, dia ngerasa di PHP-in sama kamu."

Eldin terkekeh. Ia lantas menjentikkan jari telunjuknya di dahi Siren. "Baru dua kali jalan bareng dan nggak ada komunikasi yang intens setelahnya, apa itu bisa disebut ngasih harapan palsu, hm?"

Siren mencebikkan bibirnya sembari mengusap-usap bekas jentikan jari Eldin di dahinya. Tidak sakit, sih, tapi tetap saja membuatnya kesal.

"Udah jangan mikir yang aneh-aneh," cetus Eldin, yang lantas menggantikan tangan Siren yang masih mengusap dahinya. "Aku bakal nyelesaiin urusanku sama Tania. Aku juga bakal jelasin semuanya ke Oma. Pokoknya kamu nggak akan kena masalah apa pun selama menjalin hubungan denganku."

"Kata siapa aku mau berhubungan lagi sama kamu?" Kali ini gantian Siren yang melayangkan godaannya pada Eldin. Ia juga sengaja menjulurkan lidahnya pada pria itu.

"Oh, jadi nggak mau, nih?" tanya Eldin sambil menahan senyumnya.

"Awas, ah. Aku mau pulang." Siren bersiap untuk bangkit dari pangkuan Eldin.

Hal itu tentu saja tidak mudah untuk dilakukan. Sebab, sedetik setelahnya, Eldin langsung memeluk Siren dengan erat. Bukan hanya itu saja, ia juga turut melayangkan beberapa kecupan di dagu sampai ke leher Siren.

"Hahaha, El! Geli!" Siren tergelak dengan pekikan-pekikannya. Tubuhnya pun sudah menggeliat di atas pangkuan Eldin, mencoba membebaskan diri dari pria itu.

"Masih mau pergi, hm?" Eldin menyudahi aksinya. Ia mendongak, menatap Siren yang masih berada dalam dekapan eratnya dengan senyum setengahnya.

Siren mengulum senyumnya, lalu menggeleng. "Aku nggak akan pergi lagi."

"Okay." Eldin mengangguk-anggukan kepalanya dengan bibir yang perlahan menerbitkan senyum lebar. "Pintunya udah aku tutup. Nggak ada jalan keluar lagi untuk kamu."

"Okay." Siren melakukan hal yang sama. Ia juga manggut-manggut sambil tersenyum lebar.

•••

Udah saatnya kita menuju Eldin dan Siren yang happy xixixi. Gimana, nih, pendapatnya tentang Bab ini?🥳

Kita ketemu lagi di hari selasa yaa! Kalo ada yang gak sabar, bisa langsung ke KaryaKarsa, soalnya ini juga udah tinggal 6 Bab lagi😋

See ya ma luv❤🌻

24 Agustus, 2024

Follow aku di
Instagram: rorapo
Dreame/Innovel: rorapo_
Karyakarsa: rorapo_

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top