Bab 39
“Periksa kembali hasil laporan keuangan bulan ini.” Eldin menyerahkan setumpuk lembaran kertas pada Siren yang sedari tadi berdiri di sisinya.
“Baik, Pak.” Siren menjawab dengan patuh. “Ada lagi, Pak?”
Eldin melepas kacamatanya, mengurut dahinya yang terasa menegang sembari menjawab, “Itu dulu.”
“Kalau begitu saya permisi, Pak,” pamit Siren, yang sudah mengambil ancang-ancang untuk segera keluar dari ruangan ini.
“Tunggu-tunggu.”
Belum ada tiga langkah kaki Siren berjalan, Eldin tiba-tiba memanggilnya. Sontak pergerakannya terhenti dan ia segera berbalik untuk menatap sang bos.
“Iya, Pak?”
“Kemungkinan Tania akan mampir ke sini sebentar lagi,” ucap Eldin sembari melirik arlojinya sekilas. “Langsung minta dia untuk masuk ke ruangan saya.”
“Baik, Pak,” balas Siren dengan senyumnya.
“Sudah. Hanya itu.”
Siren mengangguk singkat sebagai bentuk sopan santunnya sebelum benar-benar menghilang dari pandangan Eldin.
Sepeninggal Siren, Eldin langsung menyandarkan punggungnya pada kursi. Helaan napas panjang menguar dari mulutnya bersamaan dengan matanya yang terpejam. Kedua tangannya pun menyatu di atas perutnya.
Pikirannya berkelana mengingat hari-hari yang dilaluinya selama dua minggu belakangan. Hatinya kembali dipenuhi kekacauan karena hubungannya dengan Siren tak berjalan sesuai keinginannya.
Jujur saja, sulit baginya untuk bisa bersikap biasa saja terhadap Siren. Meski gadis itu telah menambah luka baru dalam hatinya, ia tetap tak bisa mengabaikannya sepenuhnya. Kadang, ada saat di mana Eldin diam-diam memerhatikan Siren hanya untuk memastikan jika gadis itu baik-baik saja.
Dan ya, seperti yang dilihatnya selama dua minggu ini, Siren tampak baik-baik saja. Gadis itu tetap bersikap profesional dan malah membuat Eldin jadi overthinking. Entah kenapa ia merasa jika kedekatan mereka selama satu bulan kemarin tak berarti apa pun bagi Siren. Bahkan, tiap kali ia membahas soal Titania di depannya, gadis itu tak menunjukkan ekspresi yang berarti.
Eldin pun masih tidak mengerti dengan jalan pikirannya sendiri. Sejak awal ia memang tak yakin bisa melupakan Siren dengan mudah. Apalagi setiap harinya mereka akan terus berinteraksi. Oleh sebab itu, Eldin mulai mencoba untuk dekat dengan Titania. Barangkali gadis itu bisa membuatnya melupakan Siren.
Sayangnya, sudah berjalan selama lebih dari satu minggu, yang paling banyak menyita pikirannya tetaplah Siren.
•••
“Saya duluan, Siren.”
Siren menghentikan kegiatannya yang sedang membereskan meja ketika Eldin melewatinya dan pamit untuk pulang terlebih dahulu.
“Baik, Pak. Hati-hati di jalan,” sahut Siren dengan bibir yang dipaksa untuk mengukir senyum.
Untuk sesaat, Siren tetap bertahan dalam posisinya. Menyaksikan punggung Eldin yang berjalan menjauhinya. Lambat laun, senyumnya berubah menjadi getir. Dan ia kembali merasakan pukulan-pukulan menyesakkan yang bersarang di dadanya.
Dalam maniknya, Eldin tidak berjalan seorang diri. Ada Titania di sampingnya. Mereka tampak sedang mengobrol dengan akrab. Kedekatan merekalah yang belakangan ini mengusik pikirannya.
Siren mengembuskan napas panjang sembari membuang pandangannya dari Eldin dan Titania yang sedang menunggu lift. Ia lalu menepuk-nepuk pelan kedua pipinya sambil mencoba tersenyum agar suasana hatinya tak terus-terusan diliputi awan mendung.
Siren memang masih belum tahu hubungan seperti apa yang sedang Eldin dan Titania jalani. Kendati ada sedikit perasaan tidak rela, ia tetap mendoakan yang terbaik untuk Eldin. Pria itu harus bahagia dengan seseorang yang lebih pantas untuk disandingkan dengannya.
Siren kembali melanjutkan kegiatannya. Ia memasukkan barang-barangnya ke dalam tas dan bersiap untuk pulang.
Ah, tidak. Siren tidak akan langsung pulang. Ia hendak mampir sebentar ke kantor Anya untuk membicarakan perihal pekerjaan yang sang kakak tawarkan padanya.
Siren sudah membuat keputusan jika ia juga akan resign. Kontraknya memang belum selesai dengan Eldin, dan ia siap bila harus membayar biaya pinaltinya—tentu saja dibantu oleh Anya yang benar-benar berhati malaikat.
Barangkali Siren masih bisa bertahan di sini sampai kontraknya selesai kalau saja Titania tidak hadir di antara mereka. Ia sungguh tak bisa menahan rasa sakit yang terus menggerogoti hatinya tiap kali melihat kebersamaan Eldin dan Titania. Jadi, lebih baik sekalian saja Siren lenyap dari hidup pria itu.
Siren sudah berada di dalam taksi. Ia juga sempat mengirimkan pesan teks pada Anya bahwa ia sedang dalam perjalanan. Kantor Anya yang tak terlalu jauh dari posisinya saat ini paling tidak hanya memakan waktu kurang lebih tujuh menit untuk tiba di tempat tujuan.
Begitu sampai, Siren langsung menaiki lift untuk menuju ke lantai di mana perusahaan Anya berada. Tiap kali berada di sini, ia jadi teringat dengan kekonyolannya waktu itu—saat ia masih berselisih dengan Anya. Bisa-bisanya ia meminta saham perusahaan sang kakak tanpa tahu malu. Padahal, ia tidak turut andil dalam membangun usaha tersebut.
Siren tak bisa menahan senyum gelinya ketika memori tersebut berputar dalam kepalanya. Beruntung Anya bukanlah tipe orang yang pendendam. Kalau tidak, Siren tidak tahu hidupnya akan seberantakan apa. Sebab, tempatnya bernaung untuk saat ini hanyalah Anya.
“Hai! Aku mau ketemu Anya.” Siren menyapa petugas di bagian front office. Karena sudah sering bolak-balik ke sini, mereka sudah hafal dengannya.
“Bu Anya ada di ruangannya, Mbak. Langsung masuk aja.”
“Okay. Thanks, ya.” Siren melemparkan senyumnya pada petugas perempuan yang berjaga sebelum melangkah menuju ruangan Anya.
Omong-omong, perusahaan Anya tidak sebesar milik Eldin yang memakai satu gedung penuh dengan peraturan yang cukup ketat. Sementara Anya hanya menyewa satu lantai di tower ini untuk menjalankan bisnisnya.
Siren sudah berada di depan ruangan Anya. Senyum menyambangi wajahnya ketika tangannya sudah berada di knop pintu. Ia hendak langsung menyapa sang kakak dengan girang begitu pintu terbuka, tetapi niatnya urung seketika saat mendengar perdebatan di dalam sana.
“Siren memang anak kandung Ibu, tapi bukan berarti Ibu bisa seenaknya masuk ke dalam hidup dia setelah ngebuang dia secara sadar.”
Siren membeku di tempat. Senyumnya sirna ketika mendengar sederet kalimat yang diucapkan oleh Anya dengan nada berapi-api. Di depan sang kakak, duduk seorang Ratna Indrawari yang sedang menangis tersedu-sedu.
Ketegangan yang terjadi di antara mereka mungkin membuat keduanya tak menyadari kehadiran Siren. Bahkan, keduanya seolah-olah tidak mendengar suara pintu yang terbuka.
“Saya sangat menyesal, Anya. Sangat amat menyesal,” ucap Ratna Indrawari di sela-sela isak tangisnya.
“Anya.” Setelah beberapa saat hanya menjadi penonton, Siren akhirnya buka suara. Maniknya mengarah pada Anya dengan penuh tanda tanya. “Apa maksudnya?”
Anya dan Ratna Indrawari sontak sama-sama menoleh ke arah Siren yang masih diam membeku dengan wajah yang dipenuhi kebingungan. Keduanya sama-sama membelalak dan berdiri secara refleks.
“Siren.” Anya yang lebih dulu mengambil tindakan dengan menghampiri Siren. Ekspresinya dipenuhi kepanikan. “Kamu sejak kapan di sini?” tanyanya, berharap jika sang adik tidak mendengar percakapannya dengan Ratna Indrawari.
“Apa maksudnya?” Siren tidak menjawab pertanyaan Anya. Netranya menyorot sang kakak dengan penuh permohonan. “Aku anak kandung siapa? Dia?” Ia menunjuk Ratna Indrawari di akhir kalimat. Suaranya pun mulai terdengar bergetar.
“Kita ke rumahku, ya? Aku jelasin semuanya di sana.” Anya memegang kedua tangan Siren, membujuk adiknya untuk pergi dari sini.
Siren menggeleng-gelengkan kepalanya. Pandangannya kosong, seperti tersesat dalam labirin kebingungan. Kemudian matanya berpaling pada Ratna Indrawari yang masih meneruskan tangisannya, dan hatinya secara alamiah terasa seperti dicubit kuat.
Kendati sangat ingin tahu maksud dari pembicaraan Anya dan Ratna Indrawari, keinginannya untuk segera pergi dari sini lebih kuat. Serta-merta ia menarik tangannya dari genggaman Anya, lalu berbalik dan langsung meninggalkan tempat ini.
Siren menunggu di depan lift seperti orang linglung. Ia tenggelam dalam pikirannya yang tercerai-berai. Keadaan seperti ini tidak pernah ada dalam bayangannya, dan ia bingung harus bereaksi seperti apa. Yang jelas, tiba-tiba saja rasa sakit di hatinya semakin dalam. Denyutannya semakin kuat sampai-sampai menimbulkan sesak yang luar biasa.
Selama setengah jam ke depan, Siren tidak tahu hendak ke mana kakinya akan membawanya pergi. Lalu, tanpa sadar ia sudah berada di depan penthouse Eldin. Ia sungguh tak mengerti apa yang membawa langkahnya sampai ke sini.
Siren tidak melakukan apa pun. Ia hanya berdiri dengan kepala yang menunduk di depan penthouse Eldin. Benaknya masih dipenuhi kepingan-kepingan puzzle yang tak terpecahkan. Hal itu membuat pikirannya jadi tidak rasional dan membuatnya bertindak seperti orang gila.
“Siren?”
Satu panggilan itulah yang menyadarkan Siren dari lamunan panjangnya. Ia lantas berbalik dan menemukan Eldin di sana, yang menatapnya dengan bingung.
Untuk sesaat, Siren hanya memandangi Eldin yang sedang berjalan menghampirinya. Lalu, perlahan bibirnya mulai bergetar dengan mata yang berkaca-kaca. Dadanya bergemuruh kuat dan seluruh emosinya pun meluap seketika.
Tanpa tedeng aling, saat Eldin sudah berada tepat di depannya, Siren langsung memeluk pria itu. Dan tangisnya pun tumpah di sana. Tangis yang kehadirannya sulit untuk dijelaskan.
•••
Misteri tentang sosok Ratna Indrawari udah terpecahkan ya, guys🤭 Gimana, nih, Bab ini menurut kalian? Komen dong siniii🥲
Ketemu lagi selasa depan ya, tayang-tayangku. Luv luv❤🌻
17 Agustus, 2024
Follow aku di
Instagram: rorapo
Dreame/Innovel: rorapo_
Karyakarsa: rorapo_
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top