Bab 38
Jam istirahat telah selesai. Siren baru kembali dari kantin untuk makan siang bersama rekan-rekannya. Selama satu minggu belakangan, ia memang rutin makan siang di kantin daripada membawa bekal atau memesan makanan dan tetap berada di mejanya.
Hal itu Siren lakukan untuk sekadar menghirup udara segar setelah beberapa jam terus bersama Eldin. Ia masih belum terbiasa dengan interkasi di antara mereka yang berubah asing. Ketidaknyamanan itu kembali hadir. Eldin kembali bersikap dingin padanya.
Siren tak bisa menampik jika sikap Eldin padanya selama seminggu ini sangat amat mengganggu pikirannya. Dadanya kerap terasa sesak. Nyeri di hatinya terus menetap. Namun, tak ada yang bisa ia lakukan selain bertahan dalam keadaan seperti ini. Toh, sejak awal dirinyalah yang membuat hubungan mereka jadi sekacau ini.
Andai saja Siren tetap bersikukuh melarang Eldin untuk kembali memasuki kehidupannya, mereka pasti akan baik-baik saja. Mereka akan tetap menjadi asing tanpa saling menyakiti.
Siren menghabiskan sisa kopinya ketika sudah berada di mejanya. Ia lalu melirik arloji di tangannya. Jam sudah menunjukkan hampir pukul dua siang, yang berarti bahwa meeting bulanan akan dilaksanakan sebentar lagi.
Cup kopi yang sudah kosong dimasukkan ke dalam tempat sampah selagi kakinya berjalan menuju ruangan Eldin. iPad sudah berada dalam dekapannya, siap digunakan untuk mencatat poin-poin yang nantinya akan disampaikan dalam rapat bulanan.
Tok! Tok!
Dua kali ketukan Siren berikan di pintu ruangan Eldin sebelum tangannya menarik tuas dan membuka pintu tersebut. Sosok Eldin langsung terlihat dalam pandangannya. Bosnya itu tampak berkutat di depan komputer dengan serius.
"Permisi, Pak." Siren pertama-tama menegur Eldin terlebih dahulu untuk mendapat perhatiannya. Dan usahanya pun berhasil. Pria itu berpaling ke arahnya. "Kita sudah harus pergi ke ruang meeting sekarang." Ia mengingatkan.
Hanya anggukan singkat yang Eldin berikan sembari melepas kacamatanya. Wajahnya pun masih terlihat datar.
Siren tetap berdiri di dekat pintu, menunggu Eldin untuk bersiap-siap sebelum mereka pergi bersama ke ruang meeting. Sebisa mungkin Siren membujuk matanya untuk tidak melihat sosok Eldin. Ia hanya tak ingin menambah sesak di dadanya.
"Restoran untuk dinner saya nanti malam sudah kamu reservasi?"
Pertanyaan itu Siren terima saat Eldin baru saja tiba di dekatnya. Buru-buru ia membukakan pintu untuk sang bos sebelum mengambil posisi di belakangnya.
"Sudah, Pak. Untuk dua orang, kan?" sahut Siren, sambil berusaha menyejajarkan langkahnya dengan Eldin yang berjalan dengan langkah lebar.
Tanggapan yang Eldin berikan hanya berupa dua kali anggukan. Kedua tangannya kemudian dilesakkan ke dalam saku celana. Dan setelahnya, tak ada lagi percakapan apa pun di antara mereka. Bahkan, saat berada di dalam lift yang hanya berisi mereka berdua, Eldin tidak mengeluarkan sepatah kata pun hingga membuat suasana di antara mereka begitu dingin.
Siren berdiri satu langkah di belakang Eldin. Tidak benar-benar di belakang pria itu. Posisinya agak ke samping hingga matanya masih bisa menyaksikan wajah pria itu dari satu sisi.
Untuk sesaat, netra Siren tak dapat beralih dari Eldin. Ditatapnya pria itu lekat-lekat sambil menggigit bibir bawahnya. Bayangan akan interaksi mereka yang sudah tidak sehangat dulu pun kembali mengundang pedih di hati.
Terkadang, Siren bepikir untuk mengubah keputusannya. Ia ingin kembali bersama Eldin. Namun, tekadnya selalu dikalahkan oleh rasa tidak percaya dirinya. Perkataan Trisa benar-benar berhasil membuatnya berpikir bahwa ia memang tidak pantas untuk bersanding dengan sosok sebaik Eldin Driwangsa.
Masa lalunya pun masih terus menghantui. Kejahatan demi kejahatan yang ia lakukan pada Eldin turut menguatkan tekadnya untuk mundur. Siren pernah memberi Eldin luka yang begitu besar, dan ia sadar jika ia tak akan bisa menjadi penyembuh luka tersebut. Tak akan pernah bisa.
Siren menghela napas panjang seraya memutus kontak matanya dari Eldin. Kepalanya kemudian ditundukkan sejenak untuk memasang senyum dan mensugesti dirinya sendiri bahwa keputusan yang telah diambilnya adalah keputusan yang benar.
Siren tak boleh berlarut-larut dalam keraguan. Ini adalah keputusan yang terbaik walau mereka berdua harus menanggung rasa sakit yang sama.
•••
“Halo! Selamat sore Ibu Siren. Saya dari petugas resepsionis ingin memberi informasi bahwa ada tamu atas nama Titania Adisti Mehran yang sudah membuat janji temu dengan Bapak Eldin Driwangsa. Mohon konfirmasinya ya, Bu.”
“Baik. Mohon ditunggu sebentar.” Siren menahan panggilannya dengan petugas resepsionis ketika ia hendak menghubungi Eldin untuk mengonfirmasi perihal tersebut.
Entah kenapa, nama Titania yang kembali terdengar di telinganya seketika membuatnya merasa waswas. Siren tentu saja masih mengingat sosok gadis cantik yang satu itu. Eldin sudah pernah dijodohkan dua kali dengan Titania walau berakhir dengan penolakan dari pria itu.
Titania pula yang disebut-sebut sebagai sosok perempuan ideal yang cocok disandingkan dengan Eldin menurut Trisa. Dan kini, entah apa yang membuat Titania bisa berada di sini. Hebatnya lagi, gadis itu sudah membuat janji temu dengan Eldin. Padahal, ia pikir setelah penolakan keduanya, Eldin tidak punya urusan lagi dengan Titania.
Siren menekan interkom, menyambungkan suaranya dengan Eldin.
“Sore, Pak. Saya mendapat kabar dari front office bahwa ada tamu yang ingin bertemu dengan Bapak atas nama Titania Adisti Mehran.”
“Bisa menemui saya di sini sekarang.”
Selama beberapa detik Siren sempat menahan napasnya usai menerima feedback positif dari Eldin. Ia pikir, pria itu akan kembali menolak segala sesuatu yang berhubungan dengan Titania.
“Baik, Pak,” jawab Siren, sekuat mungkin mengatur suaranya agar tetap terdengar normal meski merasa cukup shock.
Siren kemudian kembali menghubungi bagian resepsionis dan mempersilakan Titania untuk menemui Eldin di sini.
Sepanjang menunggu kehadiran Titania, Siren tak bisa tenang. Padahal, masih ada pekerjaan yang harus diselesaikannya. Namun, layar komputernya tetap dibiarkan menyala tanpa melakukan apa pun. Ia sudah kehilangan fokusnya.
Siren duduk dengan tegak. Matanya menatap lurus ke depan, tetapi pikirannya melayang entah ke mana. Kuku jari telunjuk kanannya menjadi sasaran gigitannya, semata-mata untuk mengurangi perasaan gelisah yang mendadak memenuhi dirinya.
Bagi Siren, tak masalah bila Eldin menemui wanita tercantik mana pun di muka bumi ini. Namun, yang satu ini adalah Titania, sosok yang pernah dijodohkan dengan pria itu. Wajar, kan, kalau Siren merasa gelisah?
Tapi ... tunggu sebentar. Segala pergerakan Siren terhenti seketika. Pupilnya membesar dan ia mulai meringis sambil merutuki kebodohannya.
Ya, Tuhan! Apa yang baru saja ia lakukan? Bukankah sikapnya barusan menunjukkan tanda-tanda kecemburuan?
Siren memukul-mukul pelan kepalanya, mencoba mengenyahkan pikiran-pikiran tak masuk akal yang merayapi isi kepalanya. Sikapnya barusan sungguh memalukan.
Tak berselang lama, Titania pun muncul dalam pandangannya. Siren segera berdiri dari kursinya dan menyambut Titania dengan senyum ramah—yang tentu saja dibuat sebagai bentuk dari profesionalitasnya.
“Sebentar ya, Bu, saya izin ke Pak Eldin dulu.” Siren keluar dari mejanya, bersiap untuk memasuki ruangan Eldin dan membiarkan Titania menunggu sebentar di depan mejanya.
Titania hanya memberi anggukan singkat dengan senyum yang sama lebarnya dengan milik Siren.
Dua kali ketukan mendarat di pintu ruangan Eldin sebelum Siren mendorongnya. Kali ini ia menahan pintu tersebut untuk tetap terbuka dan memilih berdiri di ambang pintu.
“Ibu Titania sudah datang, Pak,” ujar Siren.
“Suruh dia masuk,” sahut Eldin tanpa beralih dari layar komputernya.
Siren menelan ludahnya susah payah sembari mengangguk. “Baik, Pak.”
Siren kemudian mundur satu langkah dan kembali menutup pintu ruangan Eldin. Ia lalu berbalik, sebisa mungkin mempertahankan senyumnya walaupun kali ini begitu sulit untuk dilakukan.
“Langsung masuk aja, Bu,” ucap Siren pada Titania.
“Thanks, ya.” Titania melempar senyumnya pada Siren sebelum berjalan melewatinya dan masuk ke dalam ruangan Eldin dengan langkah yang terlihat bersemangat.
Siren berbalik, menatap nanar pintu ruangan Eldin. Lalu, senyumnya berubah menjadi getir. Hatinya dilingkupi perasaan tak nyaman. Apalagi pikirannya mulai membayangkan apa yang sedang Eldin dan Titania lakukan di dalam sana.
Siren baru menyadari bahwa perintah reservasi restoran untuk nanti malam dimaksudkan untuk acara makan malam Eldin dan Titania.
Baru seminggu berlalu, tetapi Siren merasa jika langkah Eldin sudah terlalu jauh darinya.
•••
Tim Eldin dan Siren dimohon untuk bersabar sejenak🥲👍
Berhubung cerita ini udah di ujung tanduk, yuk diramein kolom komentarnya😚
Ketemu lagi di hari sabtu yaa. Luv luv❤🌻
15 Agustus, 2024
Follow aku di
Instagram: rorapo
Dreame/Innovel: rorapo_
Karyakarsa: rorapo_
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top