Bab 34
Siren tidak bisa tidur sama sekali. Meski sudah memaksa kedua matanya untuk terpejam, jiwanya tetap tidak mau berpindah ke alam bawah sadar. Ia mengantuk, tetapi otaknya yang terasa penuh membuatnya terus-terusan gagal untuk bisa tertidur.
Siren sempat mendongak untuk melihat jam, dan waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima pagi. Ia masih berada dalam dekapan Eldin. Pria itu benar-benar tidak mengubah posisi tidurnya sama sekali.
Selain karena pikirannya yang penuh, kalimat "I love you" yang terucap dari mulut Eldin sebelum pria itu terlelap pun terus berputar dalam kepalanya bagai kaset rusak. Eldin memang pernah menyatakan perasaannya secara blak-blakan padanya, tetapi ia tetap tidak siap dengan kenyataan tersebut.
Siren merasa bersalah.
Kalau saja ia tahu ujungnya akan tetap meninggalkan Eldin, seharusnya dari awal ia tidak pernah membiarkan pria itu kembali masuk ke dalam hidupnya.
Eldin mencintainya, dan fakta tersebut membuatnya dilanda frustrasi.
Siren mengambil napas dalam-dalam sebelum menarik dirinya dari pelukan Eldin secara perlahan, sebisa mungkin tidak mengganggu tidur pria itu yang tampak begitu nyenyak.
Untuk sesaat, Siren berdiam diri dalam posisinya, tidak langsung turun dari ranjang seperti yang sudah diniatkan olehnya. Wajah Eldin yang sedang terlelap berhasil menarik perhatiannya, dan ia bertahan dalam beberapa saat hanya untuk memandangi pria itu.
Siren tak bisa menahan dirinya untuk tak menyentuh Eldin. Jemarinya sudah jatuh di satu sisi wajah pria itu, memberinya sentuhan lembut yang sedikit mengambang karena ia benar-benar tak ingin membangukannya.
Ini pertama kalinya Siren terbangun bersama Eldin. Kenyataan tersebut tak ayal membuat bibirnya bergerak membentuk segaris senyum simpul. Pasti akan sangat menyenangkan jika Eldin menjadi hal pertama yang dilihatnya ketika matanya terbuka.
Dengan cepat Siren menggelengkan kepalanya, membuang pikiran-pikiran yang bisa mengubah keputusannya. Ia pun segera menarik tangannya dari wajah Eldin, menyudahi kontak fisik dengan pria itu.
Tidak.
Siren tidak boleh terbawa suasana lagi. Ini akan menjadi kedekatan terakhirnya dengan Eldin. Setelah ini, ia akan kembali memosisikan dirinya sebagai bawahan pria itu secara profesional tanpa mengikutsertakan perasaan pribadinya.
Setelah berhasil turun dari ranjang tanpa mengusik tidur Eldin, Siren berjalan dengan cara berjingkat-jingkat menuju walk in closet untuk mengambil pakaian kerjanya dan memutuskan untuk mandi di kamar mandi luar.
Siren hanya butuh waktu sekitar empat puluh lima menit untuk mandi dan berdandan seadanya. Ia akan melanjutkan dandanannya begitu tiba di kantor nanti. Setelahnya, ia bergegas meninggalkan penthouse. Persetan dengan waktu yang masih terlalu pagi. Ia bisa mampir di restoran cepat saji untuk sarapan terlebih dahulu.
Sebelum benar-benar meninggalkan penthouse, Siren memastikan sekali lagi jika Eldin masih dalam kondisi terlelap. Ia berdiri di sisi ranjang, menatap lamat-lamat Eldin yang kini sudah mengubah posisinya menjadi telentang. Dan pria itu masih tampak pulas dalam tidurnya.
Siren menundukkan kepalanya, memberanikan diri mencium kening Eldin untuk yang pertama kalinya—dan mungkin akan jadi yang terakhir. Matanya refleks terpejam ketika bibirnya sudah bersentuhan dengan kulit Eldin. Ia diam dalam beberapa detik untuk menikmati momen tersebut.
Siren kembali berdiri dengan tegak setelah menyudahi ciumannya. Netranya masih bertaut pada wajah Eldin. Ia tersenyum getir sambil merasakan hatinya yang mulai berdenyut nyeri.
Mengembuskan napas panjang, Siren pun beranjak mengambil ponsel Eldin dan memasang alarm agar pria itu tetap bisa bangun tepat waktu. Setelahnya, barulah Siren benar-benar pergi.
•••
Siren merasa beruntung karena ada banyak pekerjaan yang harus diurus selama satu harian ini. Agenda Eldin hari ini dipadati oleh meeting dari pagi sampai sore. Saking sibuknya, mereka jadi tidak punya waktu untuk membahas permasalahan pribadi di antara mereka.
Sebenarnya pagi tadi, saat Eldin baru tiba di kantor, pria itu sempat bertanya kenapa Siren pergi duluan dan membiarkan dirinya dibangunkan oleh alarm. Eldin juga beberapa kali menelepon, tetapi Siren sengaja mengabaikannya. Syukurlah saat pertanyaan tersebut keluar dari mulut Eldin, ada tamu yang hendak bertemu dengan bosnya itu. Alhasil, Siren tidak perlu memutar otak untuk membuat alasan.
"Kita pulang sebentar untuk mandi. Setelah itu kita keluar lagi untuk makan malam bersama."
Siren langsung memutar kepalanya ke belakang, menoleh ke arah Eldin yang kini tampak fokus dengan iPad-nya. Saat ini, mereka sedang dalam perjalanan pulang setelah menyelesaikan meeting terakhir dengan klien di luar kantor.
"Makan malam dengan siapa, Pak?" Siren mengerutkan dahinya saat bertanya.
Seingatnya, jadwal pertemuan Eldin dengan klien telah selesai. Kalau tadi mereka hanya akan makan berdua saja, pria itu tidak akan mungkin repot-repot mengajaknya pulang hanya untuk membersihkan diri.
Eldin berpaling pada Siren. "Ada seseorang yang harus saya temui, dan kamu harus ikut karena ini masih berkaitan dengan pekerjaan."
Siren menaikkan sebelah alisnya dengan kepala yang dimiringkan. Jika memang ada kaitannya dengan pekerjaan, bukankah seharusnya Siren diberitahu tentang siapa sosok yang akan mereka temui nanti? Dengan begitu, ia tak akan membuat kesalahan.
Namun, pada akhirnya Siren tetap menganggukkan kepalanya, menuruti perintah Eldin meski terasa janggal baginya.
Sepanjang perjalanan pulang, tak banyak komunikasi yang terjadi di antara mereka. Bahkan, setibanya di rumah pun mereka tak saling mengobrol. Barangkali Eldin sudah terlalu lelah dengan kegiatannya seharian ini. Dan Siren pun merasakan hal yang sama. Kalau saja bisa, ia lebih memilih untuk langsung rebahan di atas ranjangnya yang empuk.
Hanya dalam waktu singkat, karena memang mereka sudah diburu oleh waktu, keduanya kini sudah kembali berada di dalam mobil. Pak Damar kembali menyopiri mereka dan langsung tancap gas menuju restoran yang disebutkan oleh Eldin saat baru menaiki mobil.
Sama seperti sebelumnya, di sepanjang jalan, tak terjadi percakapan apa pun di antara mereka. Karena hubungan mereka sempat membaik belakangan ini, situasi yang seperti ini malah terasa canggung.
Tak ada yang Siren lakukan selama perjalanan. Biasanya ia selalu mengecek profil klien dan materi yang akan dibahas saat meeting nanti, tetapi ia tidak tahu siapa sosok yang akan mereka temui nantinya. Jadi, apa yang harus ia pelajari?
Sesekali Siren melirik Eldin lewat kaca spion tengah. Pria itu sedang berkutat dengan iPad-nya. Dahinya sesekali berkerut, seperti sedang berpikir keras.
Tidak adanya obrolan di antara mereka entah kenapa menciptakan kesan yang membuat Siren kembali menjadi asing dengan Eldin. Namun, bukankah hal seperti ini yang ia harapkan?
Siren mengalihkan pandangannya dari Eldin sebelum memejam sejenak. Ditariknya napas dalam-dalam dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa memang seperti inilah seharusnya hubungan yang terjadi di antara mereka. Hubungan antara atasan dan bawahan tanpa adanya tambahan bumbu-bumbu romantisme di dalamnya.
Tak berselang lama, mereka tiba di restoran yang Eldin maksud. Lagi-lagi, tidak seperti biasanya, Eldin berjalan lebih dulu tanpa repot-repot menunggu Siren. Siren sampai harus berlari-lari kecil untuk menyusul langkah lebar bosnya itu.
Sepertinya ada sesuatu hal yang membuat Eldin jadi se-bad mood itu. Wajahnya saja terlihat begitu ketat sepanjang perjalanan tadi.
Salah satu pelayan di restoran ini mengarahkan mereka ke ruangan VIP. Siren tidak berani berjalan sejajar dengan Eldin. Ia terus berada di belakang pria itu sambil tetap menjaga langkahnya agar tak tertinggal.
"Nah! Akhirnya cucu kesayangan Oma dateng juga."
Sambutan bernada riang tersebut mengalun di telinga Siren saat Eldin baru saja memasuki ruangan tersebut. Sementara Siren membeku di tempat. Suara itu masih tertanam dalam benaknya, dan pemiliknya adalah Trisa.
Tanpa memikirkan bagaimana respons Eldin setelah ini, Siren memutuskan untuk mundur selagi Trisa belum melihat wujudnya.
Siren tidak lagi ingin terjebak dalam situasi yang membuatnya tidak nyaman. Ia juga tidak ingin dicap sebagai perempuan bebal oleh Trisa. Jadi, keputusannya untuk pergi adalah hal yang tepat.
Namun, belum sempat Siren melangkah, Eldin sudah lebih dulu memegang tangannya dan menariknya dengan sedikit paksaan untuk berdiri di samping pria itu.
Siren tidak bisa menolak dan hanya bisa meringis di dalam hati. Ia yakin sekali jika ekspresinya saat ini tampak aneh. Bahkan, untuk mengukir senyum pun ia tak mampu. Fokusnya kini adalah menarik tangannya dari genggaman Eldin yang sialnya terasa begitu erat.
"Maaf karena datang terlambat. Saya harus menjemput pacar saya dulu,“ ujar Eldin.
Kalimat yang dilontarkan Eldin sontak membuat seluruh mata berpaling kaget ke arahnya, termasuk Siren yang kini sudah membelalak dengan bola mata yang nyaris melompat keluar dari tempatnya. Mulutnya pun ikut menganga lebar.
Gila!
Eldin pasti sudah kehilangan akal sehatnya.
•••
Hai hai!
Sorry banget kemaren aku lupa update, guys😭 Sebagai gantinya, aku up hari ini. Dan besok bakal tetep update yaa🥲👍
Hayuukk ramekan bab ini, man-teman. See yaa❤🌻
7 Agustus, 2024
Follow aku di
Instagram: rorapo
Dreame/Innovel: rorapo_
Karyakarsa: rorapo_
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top