Bab 32

Pembicaraan Siren dengan Trisa tadi malam masih terus terngiang dalam benaknya sampai detik ini. Bahkan, tadi malam ia tidak bisa tidur dengan nyenyak. Omongan Trisa memberinya pengaruh yang luar biasa. Ia bahkan mulai memikirkan untuk kembali menjaga jarak dengan Eldin.

Trisa benar. Mana ada seorang nenek yang rela cucu kesayangannya kembali ke pelukan perempuan jahat sepertinya. Seharusnya Siren sadar diri, bukan malah mengedepankan perasaannya yang mulai terbawa suasana terhadap kedekatannya dengan Eldin.

Siren seharusnya tetap memasang tembok tinggi di antara mereka.

Tok! Tok!

Suara ketukan pintu yang berasal dari kamarnya menyadarkan Siren dari lamunannya. Ia sudah selesai berdandan sejak setengah jam yang lalu, tetapi tetap memutuskan untuk bertahan di dalam kamarnya.

Pikirannya yang ruwet dan keputusannya yang belum menemui titik terang membuatnya enggan bertemu dengan Eldin. Dan Siren yakin sekali jika seseorang yang baru saja mengetuk pintu kamarnya adalah Eldin.

“Siren!”

Nah, benar! Tebakan Siren tidak meleset sama sekali saat telinganya kembali mendengar pintu kamarnya yang diketuk bersamaan dengan suara Eldin yang memanggil namanya.

Siren tidak langsung sigap mengangkat bokongnya dari kursi. Ia memilih untuk diam sejenak sambil menimbang-nimbang keputusan apa yang akan diambilnya.

“Siren? Kamu masih di dalem, kan?”

Suara Eldin kembali terdengar, dan Siren benar-benar tidak bisa fokus dengan pikirannya sendiri. Alhasil, ia memutuskan untuk menemui pria itu.

“Maaf, Pak. Saya abis dari kamar mandi.” Siren membuat alasan begitu membuka pintu kamarnya dan berhadapan langsung dengan Eldin.

Eldin hanya mengangguk singkat sambil mengukir senyum tipis di bibirnya. “Ayo, kita sarapan,” ajaknya kemudian.

“Saya boleh sarapan di kamar aja nggak, Pak? Perut saya masih mules,” ucap Siren, sambil berpura-pura meringis dan menyentuh perutnya agar kebohongannya terlihat meyakinkan.

Eldin menaikkan sebelah alisnya. Pandangannya sempat jatuh sejenak ke perut Siren sebelum kembali ke wajah gadis itu yang tampak sedang mengernyit. “Aldin masih di sini, saya panggilkan dia untuk memeriksa kondisi kamu, ya?”

Siren sontak membelalak sebelum kedua tangannya digoyang-goyangkan untuk menolak usulan Eldin. “Nggak usah, Pak. Saya nggak papa, kok. Cuma mules doang.”

Untuk sesaat Eldin hanya memerhatikan Siren secara lekat, seolah-olah sedang mempertimbangkan keinginan gadis itu. Setelahnya, ia pun mengangguk, menyetujui permintaan Siren tanpa banyak bertanya.

“Tunggu di sini, biar saya minta waiters untuk nganterin makanan kamu ke sini,” ucap Eldin, yang lantas bergegas meninggalkan Siren.

Siren sontak bersorak di dalam hati. Misinya untuk menjaga jarak dengan Eldin pun berhasil. Selain itu, ia juga masih belum siap bila harus kembali bertemu dengan Trisa. Jadi, tetap berada di dalam kamar adalah pilihan terbaik untuk saat ini.

Sialnya, Siren terlalu cepat melakukan selebrasi sampai lupa mempertimbangkan kemungkinan yang akan terjadi setelahnya. Keceriaannya pun luntur seketika saat waiters datang bersama Eldin. Lalu, pria itu menawarkan diri untuk menemaninya makan di dalam kamar.

Sial!

Seharusnya Siren menaruh curiga ketika Eldin langsung menyetujui keinginannya tanpa mempertimbangkan banyak hal. Pastilah pria itu memiliki maksud tertentu. Dan di sinilah Siren sekarang, duduk berhadapan dengan Eldin dalam posisi lesehan sambil menikmati sarapan mereka.

Siren pasrah. Kalau sudah seperti ini, ia tak lagi bisa berkilah. Mengusir pria itu pun sangat tidak mungkin untuk dilakukan.

“Bapak nggak dicariin sama keluarga Bapak?” Setelah sesuap nasi masuk ke dalam mulutnya, Siren mengajukan pertanyaan tersebut. Walaupun tidak mungkin Eldin mau meninggalkannya seorang diri, tak ada salahnya mencoba.

“Nggak usah panggil Bapak. Kita cuma berdua di sini dan nggak akan ada yang denger.” Eldin mengoreksi kalimat Siren, yang tak ayal membuat gadis itu meringis. “Aku tadi udah izin sama keluargaku untuk nemeni kamu sarapan di sini,” katanya, sebagai jawaban atas pertanyaan Siren.

Siren langsung melayangkan pandangannya pada Eldin dengan mata yang membelalak.

Mampus!

Kalau seperti itu ceritanya, Trisa pasti tahu jika saat ini Eldin tengah bersamanya. Dan Trisa pasti akan menganggap jika dirinya tidak mendengarkan omongannya tadi malam.

“Kenapa?” Eldin mengerutkan alisnya dengan bingung saat melihat ekspresi Siren yang terlihat begitu tegang.

Siren mengembuskan napas panjang sambil menggeleng pelan. Bahunya pun ikut meluruh lemah. Tanpa menjawab pertanyaan Eldin, ia kembali melanjutkan sarapannya tanpa semangat.

Seketika Siren menyesali keputusannya untuk tetap berada di kamar. Kalau tahu ujungnya akan jadi seperti ini, lebih baik ia ikut sarapan bersama yang lainnya. Ia hanya perlu bergabung dengan rekan kerjanya yang lain dan menghindari Eldin serta keluarga pria itu.

•••

Sejak pagi tadi, ada yang berbeda dengan Siren. Gadis itu jadi lebih pendiam. Eldin menyadari saat mereka tengah sarapan bersama. Tiap kali ia mengangkat suatu topik agar suasana di antara mereka tidak terlalu sunyi, Siren hanya menjawab seadanya. Bahkan, terkadang hanya memberi tanggapan lewat bahasa tubuhnya tanpa suara sama sekali.

Hal yang sama pun terulang saat mereka sedang dalam perjalanan pulang. Yang lebih kentaranya lagi, sejak hubungan mereka berputar arah, Siren tak pernah lagi duduk di kursi penumpang bagian depan tiap kali mereka disopiri oleh pak Damar. Siren pasti selalu duduk di sebelah Eldin. Namun, kini gadis itu malah kembali bersikap selayaknya mereka tak pernah memiliki hubungan lebih dari sekadar atasan dan bawahan.

Sepanjang perjalanan, Eldin tak henti-hentinya melayangkan netranya pada Siren. Gadis itu sedang dalam posisi terlelap. Entah memang benar-benar sedang tidur atau sengaja menghindarinya. Pasalnya, selama berada satu mobil bersamanya, Siren jarang sekali tertidur.

Karena sikap Siren yang berubah hanya dalam waktu satu malam, Eldin jadi bertanya-tanya tentang perbuatan apa yang dilakukannya hingga mengubah gadis itu menjadi sosok yang pendiam.

“Kita mampir untuk makan malam dulu ya, Pak,” ucap Eldin pada pak Damar.

“Siap, Pak!”

Berhubung waktu sudah berganti malam dan jalanan sedang padat-padatnya—yang mana masih cukup lama bagi mereka untuk tiba di penthouse—Eldin memutuskan untuk makan malam terlebih dahulu.

Tak lebih dari sepuluh menit kemudian, pak Damar sudah memarkirkan mobil di area restoran seafood yang memang menjadi langganan Eldin tiap kali melewati daerah ini.

Eldin langsung keluar dari mobil setelah pak Damar membukakan pintu untuknya.

“Saya bangunkan Bu Siren dulu ya, Pak,” usul pak Damar.

“Biar saya aja, Pak,” tandas Eldin, yang setelahnya langsung memutari mobil.

Dari luar jendela, ia bisa melihat jika Siren masih dalam posisi terlelap. Tidak biasanya gadis itu seperti ini. Bila ada percakapan kecil antara dirinya dengan pak Damar, Siren pasti akan langsung terjaga. Apalagi jika mobil sudah dalam keadaan berhenti seperti ini. Seharusnya gadis itu akan dengan sigap menyusulnya.

Pelan-pelan Eldin membuka pintu mobil. Ia lalu menoel-noel pelan lengan Siren untuk membangunkannya.

“Siren? Ayo, bangun. Kita makan malam dulu,” ucap Eldin.

Hanya perlu satu kali percobaan untuk membangunkan Siren. Kedua mata gadis itu kini sudah dalam kondisi terbuka. Mengerjap beberapa kali dengan bola mata yang berputar ke sekeliling sebelum jatuh ke wajah Eldin yang berada di sisinya.

Siren hanya mengangguk tanpa suara. Ia lalu menyudahi menatap Eldin untuk kemudian melepas sabuk pengamannya.

“Ayo, Pak. Mau makan, kan?” Pertanyaan itu keluar dari mulut Siren tatkala Eldin menutup akses jalan keluarnya dan tampak tak berniat untuk menyingkir. Pria itu seakan-akan sengaja mengurungnya. Manik Eldin pun begitu intens ketika menatapnya.

“Kamu kenapa?” Eldin tak tahan lagi melihat sikap Siren yang seperti itu.

Siren menaikkan sebelah alisnya. “Memangnya saya kenapa, Pak?” Ia malah balik bertanya.

Eldin mendesah pendek, mencoba bersabar menghadapi Siren yang kelihatan sekali sedang berpura-pura. “Aku tahu ada sesuatu yang terjadi dengan kamu.”

Siren menelan ludahnya susah payah. Sebisa mungkin ia menjaga rautnya agar tidak berubah panik. Bagaimanapun juga, Eldin tidak boleh mengetahui apa yang terjadi dengannya tadi malam.

“Saya nggak papa, Pak. Cuma capek doang. Perut saya juga masih mules,” jelas Siren, mencari alasan yang paling logis agar bisa diterima oleh Eldin.

Untuk sesaat, Eldin tak memberi respons apa pun. Hanya netranya saja yang melekat dalam bola mata Siren, seolah-olah sedang berusaha mencari jawaban atas pertanyaannya di sana.

“Aku harap kamu mau membagi masalahmu denganku,” kata Eldin pada akhirnya, dengan wajah datar yang menampakkan keseriusan. Dan ia pun beranjak dari posisinya, berjalan memasuki restoran terlebih dahulu tanpa menunggu Siren.

•••

Gimana Bab ini? Hayuukk ramekan kolom komentarnya🔥🔥

Ketemu lagi di hari sabtu yaa❤🌻

1 Agustus, 2024

Follow aku di
Instagram: rorapo
Dreame/Innovel: rorapo_
Karyakarsa: rorapo_

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top