Bab 28

"Senyum sedikit, Pak."

"Nah! Iya, gitu."

"Okay. Satu dua tiga."

Kilatan flash dari kamera memenuhi satu studio foto yang berukuran sedang. Ada seorang fotografer yang sedari tadi tak berhenti mengarahkan Eldin untuk bergaya sambil terus menjepretkan kamera ke arahnya. Sementara beberapa kru lainnya tampak berdiri di sekitar Eldin, siap membantu bila dibutuhkan.

Eldin tentu tidak berangkat ke studio foto seorang diri. Ia ditemani oleh Siren, yang kini tengah berdiri di belakang photo reviewer untuk meninjau foto-foto mana saja yang paling cocok untuk nantinya diunggah ke situs GeneralX maupun sosial media milik perusahaan sebagai sarana promosi event yang mereka buat.

"Yang ini paling okay nih, Mas." Siren menunjuk salah satu foto Eldin. Ia memang ikut mengecek dan memilih langsung foto-foto tersebut.

"Tapi senyumnya masih kayak terpaksa, Mbak. Kalau memang mau, mending sekalian ambil yang tanpa senyum aja."

Siren memperbesar foto Eldin yang ia maksud sebelumnya. Setelah di-zoom, senyum bosnya itu memang terlihat seperti dipaksakan. Tidak ada ketulusan sama sekali. Bisa-bisa audience yang mereka tuju malah tidak percaya dengan kinerja perusahaan.

"Gimana?" Sang fotografer hadir di antara mereka, bertanya mengenai hasil jepretannya, apakah sudah ada yang sesuai dengan permintaan klien atau belum.

Siren membiarkan tim dari fotografer tersebut berdiskusi sejenak. Ia mundur dan memilih untuk menghampiri Eldin yang masih tetap bertahan di tempatnya sambil merapikan pakaiannya.

"Pak."

Panggilan dari Siren membuat kepala Eldin terangkat. Manik mereka saling bertumbukan.

"Udah selesai?"

Siren menggeleng lemah seraya berdiri di hadapan Eldin. "Belum ada yang bagus," ucapnya, dan tangannya dengan refleks membetulkan dasi bosnya yang sedikit miring.

"Ambil aja yang paling mendingan. Aku udah nggak betah." Eldin berterus terang.

Siren menaikkan pandangannya hingga netranya kembali bertemu dengan milik Eldin. Kedua tangannya masih bertengger di dada pria itu tanpa melakukan apa pun.

"Sekali lagi ya, Pak?" pintanya, dengan tatapan yang menunjukkan permohonan.

Eldin menarik napas panjang. "Aku bener-bener udah nggak betah, Siren."

"Please." Siren tidak mau kalah. Ekspresi wajahnya pun sudah diubah memelas.

Sejak pertama kali memasuki studio foto, Siren sudah menyadari gelagat Eldin yang terlihat tidak nyaman. Makin parah pula saat pria itu melakukan pemotretan. Bahasa tubuhnya begitu kikuk. Senyumnya pun tidak mencapai matanya.

Siren tidak tahu apa penyebabnya. Ia tidak pernah melihat Eldin yang seperti ini sebelumnya. Dulu pria itu bahkan sering mengajaknya ke studio foto agar mereka memiliki foto couple yang proper dan bisa dijadikan sebagai pajangan.

Eldin menatap Siren lekat-lekat. Ia tampak berpikir sejenak, tak langsung menyanggupi permintaan gadis itu.

"El, sekali lagi aja." Siren kembali melancarkan aksinya membujuk Eldin. Jari telunjuknya membentuk angka satu sebagai penekanan dari ucapannya. Bahkan, ia juga ikut mengubah panggilan formal mereka hanya untuk membuat pria itu luluh.

Eldin mengembuskan napas panjang. Mau tak mau ia mengangguk, mengiyakan permintaan Siren.

Serta-merta Siren bersorak kegirangan. Bibirnya langsung merekahkan senyum yang lebar. Hal itu tak pelak membuat Eldin juga ikut tersenyum.

"Nah! Entar pas difoto, tuh, senyumnya gini," cetus Siren. "Senyum yang lebar dan tulus."

Eldin mendengkus geli. "Iya-iya."

Sebelum senyum Eldin luntur, Siren buru-buru memanggil fotografer untuk segera memotret bosnya itu. Namun, saat ia bersiap untuk keluar dari area pemotretan, tiba-tiba saja rangkulan Eldin hinggap di pinggangnya dan membuat niatnya terurungkan.

"Tolong fotoin kami berdua dulu," ucap Eldin pada sang fotografer yang sudah siap dengan kameranya.

Siren sontak mendongak, menatap Eldin yang sudah menengok ke arah kamera dengan pandangan bingung.

"Okay siap, Bos!" Sang fotografer langsung menyanggupi permintaan Eldin.

"Lihat ke depan." Eldin menegur Siren sambil menarik gadis itu agar semakin rapat dengannya.

Siren mengerjap sebanyak dua kali, tetapi kemudian mengikuti arahan Eldin dengan memutar kepalanya ke depan.

"Senyum!"

Ketika sang fotografer mulai memberi instruksi, pada saat itu pula Siren menyunggingkan senyumnya. Dan ia mencoba untuk membuat gaya sesantai mungkin meski Eldin tak kunjung melepas rangkulannya.

"Okay, nice!" Sang fotografer memberi acungan jempol pada Siren dan Eldin setelah melakukan tiga kali jepretan.

"Jangan lupa senyum." Siren kembali memperingati Eldin sebelum meninggalkan pria itu sendirian di area pemotretan.

"Iya, Siren," balas Eldin dengan kekehan gelinya.

•••

Siren baru kembali dari lobi untuk mengambil beberapa hasil foto Eldin dan mereka berdua yang sengaja dimintanya untuk dibuatkan dalam bentuk cetak. Sementara hasil dalam bentuk soft copy sudah diserahkan ke tim marketing siang tadi.

"El, hasil fotonya udah sampe, nih!" Siren berteriak dari lantai satu, berharap Eldin mendengarnya dan segera turun supaya pria itu juga bisa melihat langsung hasil dari pemotretan pagi tadi.

Siren mengambil duduk di ruang keluarga. Ia sungguh tak sabar melihat hasil dari foto-foto yang mereka ambil.

Sebenarnya Siren sudah melihat hasil akhirnya, sih-yang sudah melewati proses editing. Namun, ia tetap merasa excited saat menerima foto-foto tersebut dalam bentuk cetak.

Siren membuka amplop putih tersebut dan langsung mengeluarkan isinya. Matanya berbinar penuh semangat saat melihat benda yang kedatangannya dinanti-nantikannya sejak tadi.

Ada enam foto di dalamnya dengan dua ukuran yang berbeda. Tiga foto adalah milik Eldin seorang. Sementara tiga sisanya adalah foto mereka berdua yang diambil tanpa adanya persiapan.

Dua foto milik Eldin berukuran sedang dan cocok dijadikan sebagai pajangan dinding. Sedangkan yang satunya lagi berukuran kecil, yang biasanya untuk disimpan di dalam dompet. Lalu, foto Siren bersama Eldin hanya satu yang berukuran sedang. Sementara yang dua lagi berukuran kecil.

"Coba lihat, dong."

Suara Eldin yang menelusup ke dalam telinga Siren sontak membuat perhatiannya teralihkan. Kepalanya lantas diputar ke belakang dan menemukan Eldin yang berjalan menghampirinya masih dalam balutan bathrobe. Rambutnya bahkan masih dalam kondisi setengah basah.

"Sini." Siren menggeser tubuhnya, memberi ruang kosong agar Eldin bisa duduk di sebelahnya.

Eldin menerima semua foto tersebut dari Siren, tetapi foto-fotonya sendiri langsung dikembalikan dan fokusnya hanya bertaut pada ketiga foto yang berisi mereka berdua saja.

"Kamu cantik," ucap Eldin dengan senyum yang merekah saat memerhatikan foto yang berukuran sedang.

"Kamu juga ganteng tau," sahut Siren, tak mau kalah.

Eldin tidak menanggapi ucapan Siren. Netranya masih bertaut pada wajah Siren dalam foto tersebut. Tampak sekali kegembiraan yang terpatri jelas dalam raut wajahnya.

"Ini buat aku semua, ya?" izin Eldin, menoleh pada Siren yang berada di sampingnya.

"Aku mau satu." Siren mengambil satu foto berukuran kecil. "Yang ini," Dan memperlihatkannya pada Eldin.

Eldin mendengkus geli sembari mengacak-acak rambut Siren. "Sisanya buat aku."

"Ini juga buat kamu." Siren menyerahkan foto Eldin yang sendirian. Ia lalu mengambil satu yang berukuran kecil. "Aku mau yang ini. Mau aku simpen. Kamu ganteng banget soalnya." Cengiran lebarnya muncul di akhir kalimat.

"Yang ini buat kamu semua aja. Aku nggak butuh," tolak Eldin.

Siren menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa? Yang ini bisa dipajang di rumah kamu, lho." Ia menunjuk foto yang berukuran sedang. "Masa di dinding kamu nggak ada satu pun foto kamu."

"Aku cuma nggak nyaman, Siren," jawab Eldin seraya mengembalikan foto-foto yang tidak akan diambilnya kepada Siren. "Kamu simpen aja."

Siren awalnya bingung dan berniat untuk memaksa Eldin, tetapi dilihat dari ekspresinya, pria itu sepertinya bersungguh-sungguh dengan ucapannya.

Saat melakukan pemotretan, Eldin memang tampak tidak nyaman. Saat melihat hasil fotonya sendiri pun Eldin tampak tak senang. Sebenarnya apa yang membuat pria itu bersikap demikian? Padahal, Eldin yang dulu dikenalnya bukanlah tipe orang yang anti kamera.

Kebingungan Siren dipecahkan ketika suara bel penthouse Eldin berbunyi. Keduanya saling tatap dengan dahi yang sama-sama berkerut.

"Aku aja yang buka." Siren mengajukan diri. Toh, Eldin masih dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk menerima tamu. "Kamu pake baju dulu sana," ujarnya sembari mengangkat bokongnya dari atas sofa.

Entah siapa yang mengunjungi penthouse Eldin, tetapi pikirannya mengarah pada karyawan di kantor yang datang untuk mengantarkan dokumen penting dalam bentuk cetak.

Kalau memang itu karyawan Eldin, Siren tidak masalah ketahuan berada di penthouse pria itu. Lagipula ia belum mandi dan pakaiannya masih sama seperti yang dikenakannya saat di kantor tadi. Jadi, Siren hanya perlu beralasan saja.

Namun, rupanya bukan karyawan kantor yang ditemuinya begitu membuka pintu, melainkan seorang wanita tua yang berpenampilan glamour. Serta seorang pria yang tampak seumuran dengan Eldin.

•••

Hayooo siapa, tuh, yang dateng? Sini sini tebak🤭

Yuk guys, kolom komentarnya diramein lagi. Itung-itung bikin aku tambah semangat😋

Kita ketemu lagi di hari kamis yaa❤🌻

23 Juli, 2024

Follow aku di
Instagram: rorapo
Dreame/Innovel: rorapo_
Karyakarsa: rorapo_

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top