Bab 17

“Siren yang kamu kenal beberapa tahun yang lalu udah mati. Dan yang tersisa adalah Siren yang sekarang. Siren yang nggak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Siren yang sendirian, dan Siren yang nggak tahu harus minta bantuan ke siapa di saat-saat seperti ini.”

Kalimat itu terus terngiang-ngiang di kepala Eldin. Bayangan akan wajah Siren yang tampak terluka dengan ucapannya pun tak berhenti menari-nari dalam kepalanya, membuat rasa bersalahnya terus menghantuinya sepanjang malam.

Eldin akui jika mulutnya sudah berbicara terlalu lancang pada Siren. Namun, ia tak bermaksud untuk menyalahkan gadis itu atas apa yang menimpanya. Eldin hanya merasa kesal dan marah karena Siren mendapat perlakuan buruk dari orang lain. Ia merasa kesal dan marah pada dirinya sendiri yang tak melakukan apa pun untuk membela gadis itu.

Lima tahun yang lalu, saat Siren mengakhiri hubungan mereka secara sepihak dan mengolok-oloknya tanpa rasa bersalah, Eldin sangat berharap jika suatu saat hidup Siren dipenuhi penderitaan. Namun, ketika Tuhan mengabulkan doanya, ia malah ikut merasa tersiksa.

Eldin tak lagi bisa berbohong. Siren masih memiliki tempat tersendiri di hatinya. Selama lima tahun belakangan, gadis itu tidak pernah meninggalkan tempatnya di hidup Eldin.

Semula Eldin memang ingin membalaskan dendamnya pada Siren, tetapi semakin ke sini, tujuan awalnya sepertinya mulai berubah. Arahnya berbelok. Eldin malah lebih berkeinginan untuk menuntaskan hubungan yang diselesaikan secara sepihak oleh Siren. Ia mulai menyadari bahwa perasaannya pada gadis itu belum usai.

Malam tadi, Eldin benar-benar tidak bisa tidur dengan nyenyak. Ia bahkan mendapat mimpi buruk tentang Siren. Jadi, pagi ini ia berniat untuk menjemput gadis itu.

Eldin sudah berada di dalam mobilnya ketika sedang mencoba menghubungi Siren. Pagi ini pun ia akan menyetir sendiri. Ia harus meminta maaf pada Siren atas kelancangannya tadi malam. Dan tentu saja pak Damar tidak boleh mendengar percakapan pribadi di antara mereka.

“Halo! Ada apa, Pak?”

Eldin sempat menahan napas sejenak saat Siren mengangkat teleponnya. Dari nada suaranya, gadis itu seperti tidak menunjukkan adanya tanda-tanda kemarahan. Suaranya terdengar lembut di telinganya.

“Kamu belum berangkat, kan?”

“Belum, Pak.”

“Saya jemput sekarang, ya.”

Terjadi jeda sejenak di seberang telepon. Siren seperti sedang menimbang-nimbang ajakannya.

Meeting di jam sepuluh nanti dipercepat. Jadi, kita harus berangkat ke lokasi sekarang.”

Tidak ada cara lain selain berbohong perihal pekerjaan. Sebelum Siren menolak, Eldin harus lebih dulu membuat strategi untuk mengurungkan niat gadis itu yang seperti sedang memberi tanda-tanda penolakan.

“Baik, Pak.”

Nah! Rencana Eldin membuahkan hasil. Bibirnya serta-merta melengkung ke atas, menunjukkan senyum kemenangan.

Okay. Saya jemput sekarang.”

Setelah memutus sambungan telepon mereka, Eldin pun bergegas menuju apartemen Siren. Mobilnya dilajukan dengan kencang sebelum terjebak macet di jalanan dan membuatnya semakin lama bertemu dengan gadis itu.

Sejujurnya Eldin sudah sangat ingin mengejar Siren tadi malam. Namun, gadis itu terlihat sangat marah dan baru saja mengalami kejadian buruk. Jadi, ia juga merasa tidak enak hati bila memaksa untuk melanjutkan pembicaraan mereka. Barangkali Siren juga butuh waktu untuk menenangkan diri dan pikirannya.

Setibanya di apartemen Siren, Eldin bersiap untuk menghubungi gadis itu, memberi tahu bahwasanya ia sudah sampai. Namun, baru saja jemarinya hendak mencari nomor Siren, tahu-tahu gadis itu sudah mengetuk kaca jendela mobilnya.

Eldin buru-buru membuka kaca jendela mobilnya sembari meletakkan kembali ponselnya ke tempat semula.

“Masuk,” titah Eldin setelah bersitatap dengan Siren yang tampak bingung dengan alis yang terangkat.

Tanpa banyak omong, Siren segera memutari mobil dan mengambil duduk di bangku penumpang di sebelah Eldin.

“Pak Damar ke mana, Pak?” tanya Siren sembari memakai seat belt-nya.

Eldin berdeham pelan dan mulai melajukan mobilnya keluar dari area gedung apartemen Siren. “Lagi ada kesibukan lain,” jawabnya asal.

Siren menatap Eldin sejenak. Dahinya tampak berkerut. Tetapi kemudian kepalanya manggut-manggut dan tak lagi membalas ucapan pria itu, seakan-akan memercayai apa yang diucapkannya.

“Jadi, jadwal kita hari ini berubah ya, Pak?” tanya Siren sembari menghidupkan iPad-nya untuk melihat agenda Eldin hari ini.

“Hmm.”

“Kok asistennya Pak Rahmat nggak ada menghubungi saya ya, Pak, kalau jadwal pertemuannya dimajukan?”

“Kita sarapan dulu, ya? Saya belum sempat sarapan,” tutur Eldin, tidak nyambung dengan pertanyaan yang Siren ajukan. Dan ia memang melakukannya dengan sengaja.

Siren menoleh ke arah Eldin. Lagi-lagi menatap pria itu dengan pandangan heran. Namun, pada akhirnya kepalanya tetap mengangguk.

“Kamu udah sarapan?” Eldin melirik Siren sekilas.

“Baru minum jus doang sih, Pak.”

“Kamu mau sarapan apa?”

Kedua alis Siren bertaut. Netranya kembali mengarah pada Eldin yang tampak fokus dengan kemudinya. Ia hanya merasa bingung. Sejak kapan Eldin menanyakan pendapatnya terlebih dahulu sebelum membuat keputusan?

“Saya ikut Bapak aja,” jawabnya pada akhirnya.

“Kamu masih ingat bubur ayam di depan SMA kamu dulu?”

Siren mengedipkan matanya sebanyak dua kali. Agak shock dengan topik yang diangkat Eldin kali ini.

“Saya udah lama banget nggak makan di situ. Kita ke sana, ya?” ajak Eldin, yang lagi-lagi menoleh ke arah Siren walau hanya sekejap.

Siren tidak lagi bisa berkata-kata meski mulutnya sudah terbuka. Ia sungguh tak mengerti apa maksud Eldin membawanya ke sana. Lokasinya bahkan cukup jauh dari tempat meeting mereka nanti.

Eldin benar-benar merealisasikan ucapannya dengan membawa Siren ke warung bubur ayam di depan SMA-nya dulu setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam.

“Ternyata rasanya masih sama kayak lima tahun yang lalu ya,” ucap Eldin usai menyuap sesendok bubur ayam ke dalam mulutnya.

Siren hanya menanggapi ucapan Eldin dengan sebuah anggukan dan senyum kikuk. Ada perasaan tidak nyaman yang mengarungi dirinya. Ingatannya akan hubungan mereka lima tahun yang lalu kembali terlintas dalam benaknya.

Perlakuannya terhadap Eldin saat mereka masih pacaran benar-benar buruk. Mereka memang beberapa kali sering sarapan di sini, tetapi Siren selalu sembunyi-sembunyi karena malu dengan kondisi fisik Eldin pada saat itu.

“Rasanya masih sama, tapi situasinya sudah berbeda,” celetuk Eldin dengan suara yang cukup pelan. Meski begitu, Siren masih bisa mendengarnya dengan jelas.

Kalimat tersebut mengandung makna tersirat di dalamnya. Siren memahaminya. Eldin seolah-olah mengingatkannya kembali tentang perbuatan jahatnya kepada pria itu di masa lalu, yang tak pelak menghadirkan kembali perasaan bersalah dalam dirinya.

Pagi itu, Eldin pun melupakan niatnya yang hendak meminta maaf pada Siren. Ia malah sibuk bernostalgia, mengingat momen-momen menyenangkan yang pernah dilaluinya bersama mantan kekasihnya itu.

Kendati Siren sering memperlakukannya dengan buruk, mereka tetap memiliki kenangan indah untuk diingat. Dan memori indah itulah yang kini berputar dalam kepala Eldin.

•••

Satu harian ini Eldin ke mana-mana hanya berdua bersama Siren. Mereka hanya mampir sebentar ke kantor untuk mengambil beberapa berkas yang dibutuhkan. Dari pagi sampai sore, pertemuan dengan klien terus dilakukan di luar kantor. Namun, tidak banyak percakapan yang terjadi di antara mereka selain soal kerjaan. Keduanya lebih banyak diam.

“Saya aja yang gantian nyetir, Pak.” Siren menawarkan diri ketika mereka baru saja keluar dari salah satu hotel berbintang usai bertemu dengan klien.

Eldin yang terus menyetir mobil sedari pagi tadi. Siren sempat menawarkan diri untuk bertukar tempat, lama-lama merasa tidak enak juga terus-terusan disopiri oleh bosnya sendiri, tetapi Eldin menolak.

Kini, Siren kembali menawarkan diri untuk menyetir bukan tanpa alasan. Wajah Eldin sudah kelihatan cukup lelah. Apalagi pria itu sempat berdiskusi cukup alot dengan beberapa orang penting, yang tentu saja berhasil menguras energinya.

“Nggak perlu.” Lagi-lagi Eldin menolak. “Jarak dari sini ke apartemen kamu nggak terlalu jauh,” tambahnya.

Mereka memang akan langsung pulang setelah ini. Seperti biasa, Eldin akan mengantarkan Siren ke apartemennya terlebih dahulu. Seperti yang Eldin bilang, jarak dari sini ke apartemennya memang tidak terlalu jauh, tetapi tetap saja Siren merasa sungkan terus-terusan duduk di kursi penumpang.

“Saya masih sanggup menyetir mobil sendiri, Siren,” ujar Eldin saat melihat Siren yang hanya berdiri dengan gelisah di sisi mobil. “Cepat masuk,” titahnya kemudian.

Siren meringis pelan, tetapi tetap menuruti perintah Eldin dan buru-buru masuk ke dalam mobil. Niatnya untuk bergantian menyetir pun gagal. Bosnya itu kalau sudah kekeh dengan pendiriannya memang sangat sulit untuk dikecoh.

Tak lebih dari sepuluh menit, mobil Eldin sudah memasuki gedung apartemen Siren. Tak seperti biasanya, kali ini Eldin tidak berhenti di lobi, melainkan membawa mobilnya ke area parkir.

“Saya anterin kamu ke atas. Ada yang mau saya bicarakan juga dengan kamu,” ucap Eldin seraya melepas seat belt-nya.

Tadinya Siren hendak bertanya kenapa Eldin malah memarkirkan mobilnya, tetapi niatnya langsung urung begitu mendengar ucapan pria itu yang seolah bisa membaca isi pikirannya.

Dengan kepala yang dipenuhi rasa penasaran tentang apa yang akan dibicarakan oleh Eldin, Siren pun beranjak turun dari mobil. Ia menghampiri Eldin yang sudah lebih dulu keluar. Lantas, mereka pun sama-sama berjalan memasuki gedung apartemennya.

“Bapak mau ngomong tentang apa?” Siren sungguh tak bisa menahan mulutnya untuk bersabar. Pertanyaan itu terlontar setelah mereka berada di dalam lift.

Tak ada jawaban dari Eldin selama beberapa saat hingga keheningan melingkupi mereka. Siren tak berani mengajukan ulang pertanyaannya. Ia hanya melirik pria itu lewat ujung matanya dengan hati-hati.

“Saya ingin membicarakan tentang kita.”

Saat Siren sudah pasrah karena sepertinya Eldin sengaja mengabaikan pertanyaannya, pria itu malah buka suara. Sontak Siren mendongak, menatap Eldin dengan sebelah alis yang terangkat.

Siren ingin meminta penjelasan lebih, tetapi lift sudah lebih dulu berhenti, dan Eldin langsung keluar tanpa memedulikan Siren yang menatapnya dengan penuh tanda tanya.

Siren mendengkus panjang sebelum menyusul Eldin yang sudah berjalan mendahuluinya. Timing-nya tidak pas sekali.

“Bapak mau mampir dulu?”

Siren tidak benar-benar menawarkan Eldin untuk singgah sebentar di apartemennya. Pertanyaan tersebut hanya dikeluarkan untuk basa-basi, dan ia berharap Eldin akan menolak tawarannya.

Serius, seharian ini lehernya terasa seperti tercekik. Berdua saja bersama Eldin benar-benar menyiksa. Situasi di antara mereka terasa begitu canggung. Apalagi tadi malam sempat terjadi cekcok singkat.

“Di sini aja. Saya nggak akan lama.”

Betapa leganya Siren saat mendengar jawaban Eldin. Ia tidak akan terjebak lebih lama lagi dengan bosnya itu.

Posisi keduanya kini saling berhadapan. Siren merapatkan tubuhnya ke dinding, sedangkan Eldin berdiri satu langkah di depannya.

“Saya mau minta maaf.” Kalimat yang sejak pagi tadi ingin dilontarkan oleh Eldin akhirnya keluar juga dari mulutnya.

Siren memiringkan kepalanya dengan mata yang menyipit. “Untuk?”

“Untuk perkataan saya kemarin malam.”

“Ah, itu ...” Ada jeda sejenak dalam kalimat Siren. Matanya sempat berpindah sejenak dari wajah Eldin. “Nggak perlu minta maaf, Pak. Omongan Bapak tentang saya memang bener, kok,” ucapnya dengan senyum yang tampak getir.

Eldin menarik napas panjang saat menyadari perubahan raut wajah Siren. Tanpa aba-aba ia mengambil kedua tangan gadis itu untuk digenggamnya. Hal itu tak ayal membuat kedua mata Siren melebar, menunjukkan kekagetan, tetapi Eldin tampak tak peduli dan memilih untuk kembali berbicara.

“Omongan saya kemarin malam mungkin memang benar, tetapi saya akan mengubah omongan saya kemarin malam menjadi sebuah kesalahan. Karena setelah ini kamu nggak akan sendirian lagi. Saya nggak akan ngebiarin kamu melakukan semuanya sendiri. Saya akan kembali ke hidup kamu. Saya akan terus berada di sisi kamu, seperti Eldin yang kamu kenal lima tahun yang lalu,” jelas Eldin panjang lebar dengan sorot mata yang menunjukkan keseriusan.

Ucapan Eldin membuat Siren seketika lupa caranya bernapas. Shock berat. Ia tak bisa memberi reaksi apa pun selain membuka lebar mata dan mulutnya.

Ini gila.

Eldin pasti tidak serius, kan?

•••

Hai hai! Gak berasa, nih, kita udah sampe di Bab 17💃

Setelah ini kita bakal ketemu 3x dalam seminggu, ya. Gak setiap hari lagi hihi. Biar fair juga sama temen-temen lain yang udah unlock cerita ini di KaryaKarsa🤗🥰

Tetap diramekan kolom komentarnya seperti biasa oghey. See yaa❤🌻

30 Juni, 2024

Follow aku di
Instagram: rorapo
Dreame/Innovel: rorapo_
Karyakarsa: rorapo_

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top