Bab 16
Siren dibiarkan pergi setelah dipermainkan sedemikian rupa oleh Rendi dan teman-temannya. Kendati kedua kakinya terasa begitu lemah, ia tetap mencoba untuk berjalan dengan langkah cepat tanpa menoleh ke belakang, masih terlalu jijik melihat Rendi dan teman-teman berengseknya itu. Hatinya hancur dan harga dirinya merasa ternodai.
Langkahnya terseok-seok bersamaan dengan satu tangannya yang meraup kemejanya yang masih dalam posisi terbuka. Sementara satu tangannya yang bebas digunakan untuk menutup telinganya guna menghalau cemoohan dari arah belakang, yang tentu saja berakhir sia-sia.
Tawa yang bernada hinaan makin membuat telinganya panas. Tangannya bahkan sampai merauk telinganya sendiri, tak peduli dengan kuku panjangnya yang mungkin sudah melukai leher belakangnya.
Siren benci mendengar tawa mereka.
Dan Siren juga membenci dirinya sendiri.
Napasnya terdengar tak beraturan saat Siren akhirnya bisa keluar dari ruangan tersebut. Ia sempat berhenti sejenak untuk mengontrol napasnya yang berantakan. Satu tangannya diletakkan di dinding untuk membantu kedua kakinya supaya bisa tetap berdiri dengan tegak.
“Siren?”
Satu suara yang berasal dari belakang tubuhnya membuat Siren terlonjak. Matanya membelalak penuh awas dan ia buru-buru mengambil sikap defensif dengan cara menyilangkan kedua tangannya di depan dada sebelum bebalik ke belakang.
“Siren, hey!”
Rupanya sosok yang baru saja menginterupsinya adalah Eldin. Serta-merta napas lega berangsur keluar dari mulutnya bersamaan dengan kedua bahunya yang tak lagi menegang.
“Ada apa? Kamu kenapa?” cecar Eldin seraya memegang kedua pundak Siren dan menatap gadis itu lamat-lamat dari atas ke bawah, memastikan jika tidak ada luka yang tergores di tubuhnya.
Siren menatap Eldin dengan mata yang berkaca-kaca, membiarkan pria itu memeriksa setiap bagian tubuhnya. Kedua tangannya pun masih disilangkan di depan dada, menutupi kemejanya yang masih terbuka beberapa kancing di bagian atas.
Saking takutnya dengan keadaan di dalam, Siren sampai melupakan keberadaan Eldin yang sedari tadi menungguinya di sini.
Rupanya bertemu dengan Eldin bukanlah suatu bencana, melainkan keberuntungan. Siren merasa sangat lega begitu menangkap sosok Eldin dalam pandangannya. Ketakutannya luntur perlahan. Pria itu seakan-akan memang hadir untuk melindunginya.
“Pak.” Suara Siren bergetar. Tangisnya kembali berderai saat matanya bersitatap dengan Eldin. Tanpa aba-aba, ia langsung melempar tubuhnya ke dalam pelukan pria itu, mencoba mencari perlindungan di sana.
Eldin menarik napas panjang sebelum membalas dekapan Siren. Usapan demi usapan ia berikan di punggung gadis itu, membiarkannya menangis dalam beberapa saat tanpa menginterogasinya. Ia juga tak peduli dengan beberapa orang yang berlalu lalang di sekitar mereka, yang menyorot mereka dengan penuh atensi.
Dada Eldin terasa sesak. Ini kali kedua ia melihat Siren sekacau ini. Apa yang dialami gadis itu juga turut membuatnya merasakan pedih di hatinya.
“Apa yang mereka lakukan ke kamu?” Setelah dua sampai tiga menit berlalu, Eldin mengurai pelukan mereka.
Sudah cukup. Eldin harus segera mengetahui apa yang menimpa Siren saat berada di dalam sana. Dilihat dari penampilannya yang berantakan—beberapa kancing kemeja yang terbuka dan rambut yang acak-acakan—Eldin bisa menebak jika Siren mendapat perlakuan buruk dari orang-orang yang gadis itu temui.
Siren menahan isakannya. Lagi-lagi kedua tangannya digunakan untuk meraup kemejanya agar tidak menampakkan tubuh bagian atasnya.
Eldin mendengkus kasar sembari melepas jaket yang sedari tadi digunakan sebagai lapisan kaos lengan pendeknya. Benda tersebut pun sudah berpindah ke tubuh Siren. Ia membantu gadis itu memakainya. Tak lupa pula menarik ritseltingnya sampai ke atas agar Siren tak perlu lagi menutupi dadanya dengan tangannya.
“Katakan, Siren. Apa yang mereka lakukan ke kamu?” Eldin memegang kedua bahu Siren, meremasnya pelan sebagai bentuk dari tuntutannya.
“Saya pengen pulang, Pak.” Siren tak menjawab pertanyaan Eldin. Ia tak ingin memperpanjang masalah. Lebih dari apa pun, ia tidak ingin lagi bertatap muka dengan Rendi dan teman-temannya.
Remasan Eldin di pundak Siren semakin kuat walau tidak sampai menyakiti gadis itu. Bibirnya ditekan ke dalam dengan kuat hingga membuat rahangnya mengetat. Untuk sesaat, Eldin memejamkan matanya sejenak. Lalu, ditariknya napas dalam-dalam untuk kemudian dibuang secara perlahan.
“Okay. Kita pulang,” ucap Eldin pada akhirnya. Ia lantas menggenggam tangan Siren dan membawanya untuk segera meninggalkan tempat ini.
Sepanjang jalan menuju parkir, keduanya sama-sama menutup mulut. Masih dengan rahang yang mengeras dan wajah memerah, Eldin membawa Siren dengan langkah tergesa. Sementara Siren terus menggigit bibirnya sembari berusaha untuk menyeimbangi langkah Eldin yang lebar.
Setibanya di parkiran, Eldin langsung membukakan pintu penumpang untuk Siren, membiarkannya masuk lebih dulu sebelum ia menyusul dan duduk di balik kemudi.
Sebelum benar-benar melajukan mobilnya, Eldin lebih dulu memberi kabar pada Erdo yang mungkin kebingungan dengan kepergiannya yang tiba-tiba. Ia juga turut meminta maaf karena sepupunya itu harus pulang dengan taksi.
“Saya punya kenalan beberapa pengacara hebat dan polisi berpangkat tinggi.” Eldin buka suara seraya melajukan mobilnya keluar dari area kelab malam setelah memastikan Siren sudah memakai seat belt-nya. “Laporan kamu akan langsung ditanggapi walaupun kamu nggak punya bukti yang cukup,” tambahnya.
Siren menjilat bibirnya yang terasa kering. Tatapannya lantas diputar ke samping, melihat Eldin yang masih menunjukkan kemarahan. Terlihat jelas dari caranya memegang setir mobil. Cengkeramannya begitu kuat sampai menampakkan buku-buku jarinya yang memutih.
“Pelaku pelecehan seksual bisa dipidana maksimal lima tahun penjara.” Eldin kembali melanjutkan ucapannya dengan pandangan lurus ke depan. “Walaupun sebenarnya aku lebih suka menghajar para bajingan berengsek yang sudah memperlakukan kamu seperti ini,” geram Eldin, dan barulah ia menelengkan kepalanya ke arah Siren di akhir kalimat, tepat saat mereka sedang berhenti di lampu merah.
Eldin juga sengaja membuang sapaan formal di antara mereka. Semata-mata untuk menunjukkan pada Siren jika dirinya yang seperti ini bukan untuk melindungi karyawannya, tetapi lebih dari itu. Lebih dari sekadar hubungan antara bos dengan bawahannya.
Bibir Siren bergetar. Tatapannya masuk ke dalam netra Eldin yang menggelap dipenuhi amarah. Lambat laun wajah Eldin yang menegang tampak kabur dalam pandangannya karena peluluk matanya yang kembali digenangi air mata.
Eldin mengetahui apa yang terjadi padanya. Tentu saja pria itu bisa menebak kejadian mengerikan apa yang menimpanya setelah melihatnya keluar dengan pakaian yang berantakan.
“Jadi, kamu lebih memilih untuk memenjarakan bajingan itu atau kita kembali ke sana dan biarkan aku menghajar mereka dengan tanganku sendiri.” Eldin memberi dua pilihan pada Siren dengan penuh penekanan.
Siren menggeleng-gelengkan kepalanya. Berbarengan dengan itu, air matanya pun kembali jatuh berhamburan.
“Please, Pak. Saya nggak mau memperpanjang masalah itu,” ucap Siren di sela-sela isak tangisnya. Beberapa kali tangannya digunakan untuk mengusap matanya agar bisa menatap Eldin dengan jelas.
Entah untuk yang ke berapa kalinya, Eldin kembali melepaskan napas panjang dari mulutnya. Cengkeramannya di setir mobil pun masih begitu erat. Ia lantas melajukan kembali mobilnya setelah lampu lalu lintas berubah hijau. Dan mulutnya tidak mengeluarkan kalimat apa pun lagi. Bibirnya terlipat menjadi satu garis kaku.
Sementara Siren pun melakukan hal yang sama. Ia mencoba menahan tangisnya seraya mengembalikan arah pandangnya ke depan.
Suasana di dalam mobil benar-benar hening sampai mereka tiba di apartemen Siren. Tak ada satu pun dari mereka yang buka suara, seolah-olah sibuk dengan pikirannya masing-masing.
“Saya masuk ya, Pak,” ucap Siren sembari melepas seat belt-nya. “Terima kasih banyak.”
“Mau sampai kapan kamu terus bersikap ceroboh seperti tadi?”
Siren baru ingin membuka pintu mobil ketika Eldin angkat suara. Ia mengurungkan niatnya dan segera berpaling pada pria itu.
Eldin menoleh ke arah Siren hingga membuat netra mereka saling bertumbukan. “Ke mana otak kamu, Siren? Kenapa nggak kamu gunakan untuk berpikir secara rasional? Apa kamu memang begitu bodoh?”
Kedua mata Siren berkilat dengan penuh keterkejutan. Tak menyangka jika Eldin akan berbicara sekasar itu padanya. Mulutnya terbuka separuh, tetapi lidahnya terlalu kelu untuk membalas ucapan pria itu.
“Seharusnya kamu mempertimbangkan terlebih dahulu setiap tindakan kamu. Kalau sudah tahu dengan siapa kamu akan berhadapan, seharusnya kamu meminta bantuan orang lain. Bukannya malah pergi sendirian dan berakhir dengan membahayakan diri kamu sendiri,” berang Eldin. Suaranya pun meninggi.
Siren mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Jemarinya pun terkepal erat di atas pangkuannya. Matanya mendadak menatap Eldin dengan tajam. Kalimat pria itu benar-benar terlalu kasar sampai menyakiti hatinya.
Eldin tidak tahu apa-apa tentangnya. Lalu, kenapa pria itu bisa berpikir sepicik itu terhadap dirinya?
“Asal kamu tahu, El,” Setelah hening cukup lama, Siren akhirnya membalas ucapan Eldin. Ia juga menghapus sapaan formal di antara mereka karena amarahnya yang mulai menggelegak di dalam sana. “Siren yang kamu kenal beberapa tahun yang lalu udah mati. Dan yang tersisa adalah Siren yang sekarang. Siren yang nggak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Siren yang sendirian, dan Siren yang nggak tahu harus minta bantuan ke siapa di saat-saat seperti ini.”
Balasan dari Siren yang disuarakan dengan nada yang begitu tegas membuat Eldin terdiam seketika. Hatinya merasa tercubit kuat ketika Siren membicarakan tentang kesendiriannya.
Sementara Siren bergegas keluar dari mobil Eldin, melangkah dengan cepat agar segera tiba di unit apartemennya. Dan lagi-lagi tangannya digunakan untuk menyeka air mata yang kembali jatuh membasahi pipinya.
•••
Cung yang pengen puk-puk-in Siren🥲☝ Gimana nih para komentator pendapatnya untuk Bab ini?
Besok ketemu lagi gak, nih? Ramein dulu dong ma luv😚❤🌻
29 Juni, 2024
Follow aku di
Instagram: rorapo
Dreame/Innovel: rorapo_
Karyakarsa: rorapo_
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top