Bab 15
Siren tidak hanya berutang pada satu orang saja. Masih ada beberapa orang lagi yang utangnya harus ia bayar sesegera mungkin dengan total nominal mencapai puluhan juta. Tenggat waktunya akan habis sebentar lagi, dan Siren masih belum bisa mengumpulkan sejumlah uang untuk menebus utang tersebut.
Di tengah krisis seperti ini, Siren merasa begitu beruntung karena dipertemukan lagi dengan Rendi—salah satu teman kuliahnya saat di Jerman dulu. Rendi cukup baik padanya walau hubungan mereka sempat renggang karena cinta segitiga.
Rendi yang sudah mengetahui kondisi Siren saat ini dengan baik hati menawarkan pinjaman padanya tanpa bunga dan tenggat waktu sama sekali. Betapa senangnya Siren mendengar hal tersebut. Dan di sinilah ia sekarang, di salah satu kelab malam elit untuk bertemu dengan Rendi.
“Cepat kamu masuk atau saya juga akan ikut masuk bersama kamu.”
Kalimat bernada ancaman tersebut adalah milik Eldin, yang entah bagaimana bisa berada di kelab malam yang sama dengannya. Seingatnya, sejak dulu Eldin tidak pernah pergi ke tempat hiburan seperti ini. Bahkan, mengonsumsi minuman beralkohol saja tidak.
Bertemu dengan Eldin dalam keadaan seperti ini bagai bencana bagi Siren. Ia tak ingin lagi pria itu mengetahui tentang masalah yang belum diselesaikannya. Ia tak ingin lagi Eldin membantunya dalam bentuk apa pun.
Sudah cukup Siren merasa terbebani dengan sikap baik Eldin padanya belakangan ini.
Aroma dari minuman beralkohol langsung menusuk hidungnya begitu Siren memasuki ruangan VIP yang Rendi maksud. Di sini baunya jauh lebih pekat. Asap rokok pun mengepul di mana-mana, membuat Siren sampai harus mengernyitkan hidungnya.
Siren tak munafik jika dulu ia sering keluar masuk kelab malam untuk sekadar melepas penat bersama teman-temannya. Namun, lama tidak bertandang ke tempat seperti ini, hidungnya tidak lagi terbiasa dengan bau-bauannya.
“Siren, akhirnya dateng juga.” Rendi yang duduk di atas sofa panjang dengan satu kaki yang diletakkan di atas satu kaki yang lainnya pun menyambut kehadiran Siren dengan senyum sumringah.
Siren masih berdiri di ambang pintu, tersenyum kikuk sambil memandang satu per satu orang-orang yang memenuhi ruangan VIP ini. Ada sekitar sepuluh orang di sini dengan jumlah pria yang lebih banyak dari wanita. Dan hanya ada sekitar tiga orang saja yang tampak tak asing dalam pandangannya, termasuk Rendi.
“Sini duduk.” Rendi menepuk-nepuk sisi kosong di sebelahnya setelah mengusir salah satu perempuan yang sedari tadi menggelayuti lengannya.
Siren menggigit bibir bawahnya dengan gugup. Situasi seperti ini terasa sangat tidak nyaman baginya. Apalagi semua mata kini tengah memandangnya lekat-lekat, seolah-olah ia akan dijadikan santapan mereka.
“Masih cantik aja lo, Ren.” Celetukan itu datang dari Wisma—teman dekat Rendi—saat kakinya tengah berjalan menghampiri Rendi.
“Nyesel gue dulu nggak sempet nikmati badan lo pas masih di Jerman.” Rio, yang juga merupakan teman dekat Rendi ikut-ikutan berceletuk, tetapi omonganya terdengar tidak mengenakkan untuk Siren.
“Mulut lo!” Rendi melempar bungkus rokok yang sudah kosong ke arah Rio, tetapi tetap tertawa dengan celotehan temannya itu.
Siren berusaha mengabaikan orang-orang di sekitar Rendi. Ia hanya perlu mengambil uang dari pria itu dan pergi dari tempat ini secepatnya.
“Apa kabar, Ren?” tanya Rendi ketika Siren sudah duduk di sampingnya. Ia lantas menuangkan minuman beralkohol ke dalam gelas kosong sebelum menyerahkannya pada Siren.
“Gue nggak minum lagi, Ren. Sorry.” Siren menolak gelas yang Rendi sodorkan padanya dengan senyum berbentuk permohonan maaf.
Rendi menaikkan sebelah alisnya dengan gelas yang masih berada dalam genggamannya. Ia lalu mendengkus pendek dan meletakkan kembali gelas tersebut ke atas meja.
“Lo banyak berubah ya sekarang,” ujar Rendi sambil menatap Siren dari atas sampai ke bawah dengan lekat, seakan sedang memindai setiap inci tubuhnya.
Siren hanya menanggapi dengan senyum canggung. Posisi duduknya pun kini tidak terlihat nyaman karena bokongnya berada di ujung sofa. Sementara kedua tangannya jatuh di atas pangkuannya.
“Tawaran lo gimana, Ren?” tanya Siren, tak lagi berbasa-basi dan langsung melontarkan maksud kedatangannya ke sini. Ia benar-benar ingin segera keluar dari sini.
“70 juta, ya?”
Siren menganggukan kepalanya.
“Mau gue transfer kapan?”
Siren membeliakkan bola matanya. “Lo beneran bisa minjemin gue duit segitu banyak, Ren?” tanyanya dengan tatapan penuh harap.
Rendi tersenyum miring. “Lo minta lebih juga gue masih sanggup ngasihnya.”
“Lo bisa minjemi segitu aja gue udah bersyukur banget,” balas Siren dengan semangat. Walaupun ia sangat merasa tidak nyaman berada di sini, yang penting Rendi benar-benar akan meminjamkannya uang.
“Kalo kurang, lo boleh minjem ke gue juga, Ren.” Rio bergabung dalam obrolan mereka. Alisnya naik turun saat Siren berpaling padanya.
“Jangan, Ren. Entar lo disuruh bayar pake tubuh lo,” sambung Wisma, yang lantas membuat orang-orang di sana tertawa.
Siren berdeham pelan, berusaha untuk tidak terpancing oleh celetukan-celetukan tidak sopan seperti itu.
Jujur saja, sedari tadi ia merasa dilecehkan secara verbal, dan hal itu tentu saja membuatnya marah. Namun, posisinya saat ini diibaratkan sebagai seseorang yang sedang butuh, jadi ia harus menahan diri meski tangannya sudah gatal ingin menampar lelaki-lelaki bermulut ember tersebut.
“Besok gue transfer ya, Ren,” tutur Rendi yang setelahnya meneguk minuman keras yang tadinya hendak diberikan pada Siren.
Siren mengembalikan maniknya pada Rendi. Kepalanya membuat anggukan beberapa kali, begitu bersemangat. Kedua matanya pun ikut berbinar.
“Makasih banyak, Ren. Gue pasti bakal ganti secepatnya.”
“Santai aja,” ucap Rendi sembari mengeluarkan dompetnya. “Sekarang lo butuh duit berapa? Gue kasih buat ongkos pulang lo atau mungkin lo mau beli barang-barang branded lagi setelah ini.”
Kalimat Rendi entah kenapa terdengar seperti sebuah sindiran di telinga Siren, tetapi lagi-lagi otaknya mencoba untuk berpikir positif karena dirinyalah yang butuh di sini.
“Nggak perlu, Ren,” jawab Siren dengan senyum yang dipaksakan. “Gue udah boleh cabut sekarang, kan? Besok gue harus kerja pagi-pagi soalnya,” lanjutnya, mencoba mencari-cari alasan untuk bisa segera melarikan diri dari sini.
Rendi menghentikan kegiatannya yang sedang menghitung lembaran uang seratus ribuan. Matanya melirik Siren sejenak dengan alis yang terangkat.
“Santai aja dulu, Ren. Entar pulangnya gue anter,” kata Rendi sembari menyerahkan uang ratusan ribu tersebut pada Siren. “Buat lo.”
Siren menggoyang-goyangkan kedua tangannya di depan dada. “Nggak usah, Ren,” tolaknya.
Rendi berdecih. Ia lalu menggeser posisi duduknya agar lebih dekat dengan Siren dan berucap, “Udah miskin kayak gini aja lo masih sok jual mahal.”
Siren menelan ludahnya susah payah, cukup kaget mendengar kalimat Rendi yang sudah mirip dengan Rio dan Wisma. Apalagi pria itu kini sedang memojokkannya di ujung sofa.
“Beneran nggak mau?” Rendi mengibas-ngibaskan uangnya di depan wajah Siren.
Siren menggeleng pelan tanpa suara. Lidahnya tiba-tiba terasa kelu saat alarm tanda bahaya mulai terdengar dalam kepalanya.
“Eits! Mau ke mana?”
Tadinya Siren bersiap untuk bangkit berdiri ketika Rendi makin merapatkan tubuhnya padanya. Namun, Rio yang berada di sofa sebelah langsung menarik tangan Siren dan kembali mendudukkannya secara paksa.
“Gue mau pulang, Ren,” pinta Siren dengan suara yang terdengar bergetar.
“Nanti dulu.” Rendi memegang satu tangan Siren dengan erat. Sementara wajahnya maju, mengendus-endus leher Siren.
Siren sontak memundurkan kepalanya. Kedua matanya pun ikut memejam.
“Gue nggak akan semudah itu ngasih duit puluhan juta ke pelacur kayak lo,” bisik Rendi tepat di telinga Siren. “Lo dulu pernah mempermalukan gue di depan banyak orang. Gue udah ngasih apa pun yang lo mau, tapi lo malah pacaran sama sahabat gue sendiri.”
Detik itu pula, Siren merasa jika dirinya tengah berada dalam bahaya. Ia baru menyadari jika ajakan Rendi ke sini hanya untuk balas dendam.
Sial!
Siren tertipu.
“Gue mau pulang, Ren.” Siren mulai memberontak, tetapi tenaganya kalah jauh oleh Rendi dan dua teman sialannya yang ikut-ikutan memegangi tangannya.
Ada Rio dan Wisma yang bertugas memegangi kedua tangannya. Sementara Rendi kini tengah mengambil beberapa lembar uang ratusan ribu yang kemudian dimasukkan ke dalam bajunya.
Siren membelalakkan kedua matanya. Tubuhnya pun ikut meronta-ronta dengan wajah yang merah padam.
“Tenang aja, Ren. Gue bakal tetep minjemi lo duit, kok,” ucap Rendi dengan senyum setengah yang kini jadi terlihat menakutkan di mata Siren. “Gue cuma mau main-main sebentar sama lo.”
“Jangan, Ren. Jangan kayak gini.” Siren kembali memohon. Matanya pun mulai berkaca-kaca.
Rendi tidak memedulikan permohonan Siren sama sekali. Kini dia dengan entengnya membuka beberapa kancing kemeja Siren, lalu kembali memasukkan beberapa lembar uang di dalam sana. Sesekali menyelipkannya ke dalam bra Siren yang kini bisa dilihat secara jelas olehnya.
Tidak ada yang membantunya sama sekali, seakan-akan belasan orang yang berada di sini mendukung aksi bejat Rendi. Mereka malah menertawainya dan bersorak ramai-ramai
Siren sadar akan kapasitasnya. Memberontak pun sia-sia dan malah akan menyakiti kedua tangannya yang masih dipegang erat-erat oleh Rio dan Wisma. Bahkan, tubuhnya kini sudah terasa lemas. Yang Siren lakukan hanyalah membuang wajahnya ke samping dengan mata yang memejam erat. Air matanya pun mulai merembes di wajahnya.
Siren merasa begitu hancur diperlakukan serendah ini oleh orang-orang yang dulu pernah dekat dengannya.
Ia benar-benar hancur.
•••
Kita udah sampe Bab 15, nih. Hampir setengah jalan xixixi. Besok ketemu lagi oghey. Luv luv❤🌻
28 Juni, 2024
Follow aku di
Instagram: rorapo
Dreame/Innovel: rorapo_
Karyakarsa: rorapo_
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top