Bab 14
Sudah lebih dari satu bulan Eldin tidak pulang ke rumah orang tuanya. Padahal, jarak antara penthouse-nya dengan kediaman orang tuanya hanya memakan waktu kurang lebih satu jam. Selain karena terlalu banyak pekerjaan yang membuatnya tidak sempat menyambangi orang tuanya, Eldin juga terlalu malas mendengar celotehan ibunya soal perjodohan yang tiada habisnya.
Malam ini, mau tak mau Eldin bertandang ke rumah orang tuanya karena Trisa Driwangsa, neneknya yang selama ini menetap di Jerman sedang berada di kediaman orang tuanya.
“Eldin Driwangsa, cucu Oma yang paling sibuk akhirnya datang juga.”
Sambutan bernada sindiran tersebut menelusup ke dalam telinga Eldin begitu kakinya menapak di halaman belakang rumah orang tuanya. Trisa berdiri tak jauh darinya, tersenyum lembut sambil merentangkan kedua tangannya.
Eldin terkekeh geli. Langkahnya pun dipercepat untuk segera memeluk sang nenek yang sudah sangat dirindukannya.
“Oma apa kabar?” tanya Eldin begitu tubuh mungil nan rentan sang nenek sudah berada dalam dekapannya.
“Baik, Sayang.” Trisa menepuk-nepuk pelan punggung Eldin, menyalurkan kebahagiaan yang dirasakannya.
“Hai, Bro!”
Sebuah sapaan yang datang bersamaan dengan tepukan ringan di pundak Eldin menginterupsi kegiatan temu kangennya dengan sang nenek. Hal itu tak pelak membuat Eldin melepas dekapannya dengan Trisa dan berpaling ke sumber suara.
“Erdo.” Senyum Eldin merekah lebar begitu menemukan sepupunya yang selama ini ikut tinggal bersama Trisa.
“Apa kabar?” tanya Erdo, dengan senyum yang sama lebarnya dengan milik Eldin. Mereka lantas berpelukan sejenak sambil bersalaman ala lelaki.
“Baik. Lo sendiri gimana?”
“Yah ... gini-gini aja,” kekeh Erdo.
“Udah, kalian nanti aja ngobrolnya. Oma masih mau kangen-kangenan dulu sama Eldin,” celetuk Trisa sembari merangkul lengan Eldin.
Eldin dan Erdo sama-sama terkekeh. Setelahnya, Eldin pun mengikuti Trisa yang mengajaknya untuk duduk di gazebo yang menghadap ke arah kolam renang. Di sana rupanya sudah ada kedua orang tuanya dan Aldin yang sedang menyantap beberapa makanan yang tersaji di sana.
“Eldin! Katanya Oma kamu mau ngenalin kamu sama perempuan yang dulu pernah ngurusin Oma pas di Jerman.”
Nah! Inilah salah satu alasan yang membuat Eldin tidak betah di rumah sejak beberapa tahun yang lalu. Ibunya—Melinda Driwangsa— selalu saja membicarakan soal perempuan-perempuan yang akan dijodohkan dengannya.
“Bener kan, Ma?” Melinda bertanya pada Trisa dengan semangat.
Eldin berdecak sembari mengambil duduk di sebelah Aldin. “Nggak usah ngomongin perempuan dulu bisa kan, Ma?”
Trisa terkekeh sembari mengusap-usap lengan Eldin.
“Kamu, tuh, udah tua loh, El. Kapan lagi coba mau ngenalin pacar kamu ke Mama sama Papa,” sindir Melinda.
Eldin mendengkus pendek. Mulutnya sudah terbuka, ingin menyanggah omongan Melinda yang acap kali menyangkutpautkan umurnya dengan persoalan jodoh. Namun, Trisa lebih dulu bersuara sehingga membuat bibirnya kembali terkatup rapat.
“Kamu mau Oma kenalin sama perempuan yang Oma kenal, El?” tanya Trisa.
“Please, Oma. Jangan ikut-ikutan Mama,” erang Eldin dengan nada frustrasi yang tidak ditutup-tutupinya.
Trisa dan yang lainnya pun terbahak mendengar Eldin yang benar-benar enggan dan terlihat begitu jengah ketika membahas soal jodoh. Kecuali Melinda tentunya, yang masih gencar menjodohkan Eldin dengan perempuan-perempuan yang dikenalnya.
•••
“Lo masih sering minum?” Eldin bertanya pada Erdo yang baru saja memesan beberapa minuman dan camilan untuk mereka.
Setelah berkumpul di rumah orang tuanya, Erdo memang mengajak Eldin untuk keluar sebentar. Tadinya Aldin juga diajak, tetapi pria itu sedang ada jadwal operasi malam ini.
Tempat yang mereka kunjungi di jam sebelas malam ini adalah kelab malam langganan Erdo ketika pria itu sedang berada di Indonesia. Erdo tidak akan melewatkan sehari pun untuk tidak berkunjung ke sini.
“Nggak terlalu, sih,” jawab Erdo dengan mata yang mengedar ke seluruh ruangan. “Lo sendiri gimana? Masih dengan prinsip no alcohol?” Pandangannya sempat melirik Eldin sekejap dengan senyum miring.
“Alkohol nggak sehat dan bikin berat badan gue naik drastis.”
“Ya ya ya. Eldin si paling diet,” ledek Erdo.
Eldin mendengkus geli. “Gue nggak akan bisa dapetin apa yang gue mau kalo gue masih jadi Eldin yang dulu.”
“Gue seneng, sih, lo yang sekarang jadi jauh lebih sehat dan terawat.” Erdo menepuk pelan pundak Eldin. Tersirat tatapan bangga pada sepupunya itu. “Lo sekarang jadi kelihatan kayak orang kaya beneran.”
“Berengsek!” Eldin tergelak sambil menoyor kepala Erdo cukup kuat.
Erdo pun ikut tertawa. “Tapi gue juga kesel, sih, sebenernya sama lo.”
“Kenapa?”
“Ketampanan gue jadi terkalahkan,” jawab Erdo dengan wajah sok melasnya.
Lagi-lagi Eldin tertawa, diikuti oleh beberapa kali gelengan kepala.
“Lihat aja, tuh, banyak cewek-cewek yang ngelirik lo dari tadi.” Erdo memajukan dagunya ke depan dengan alis yang terangkat, memberi petunjuk nyata pada Eldin bahwa omongannya barusan adalah sebuah kebenaran.
Eldin yang sedari tadi acuh tak acuh dengan sekelilingnya pada akhirnya mengangkat kepalanya dan mengikuti arah pandang Erdo. Dan benar saja, beberapa wanita tampak terang-terangan melirik ke arahnya.
“Gue yakin Eldin yang sekarang lebih gampang dapetin perempuan mana pun. Ya kan?” Erdo mengembalikan pandangannya pada Eldin yang berada di sebelahnya, tetapi dengan cepat rautnya berubah bingung saat melihat sepupunya itu sudah dalam posisi berdiri.
Eldin sendiri sudah tidak lagi mendengar ucapan Erdo ketika maniknya menangkap keberadaan Siren di ujung sana. Pupilnya bahkan sudah melebar. Tak percaya dengan penglihatannya sendiri.
“Lo ngelihatin apa, El?”
Pertanyaan Erdo tak digubris sama sekali. Tahu-tahu saja kakinya sudah melangkah meninggalkan meja mereka begitu saja. Ia ingin menghampiri Siren yang kini sedang menaiki tangga menuju lantai dua. Eldin sungguh berharap jika sosok tersebut bukanlah Siren.
Sayangnya, harapan Eldin tak menjadi nyata. Saat langkahnya sudah berhasil sampai ke lantai dua, matanya memang tidak salah. Sosok tersebut benar-benar Siren.
“Siren!” Eldin mencegat Siren yang masih terus berjalan ke depan dengan cara memegang lengannya.
Siren menghentikan langkahnya dan segera berbalik. Matanya tampak melebar, seakan tak menyangka jika ia akan bertemu dengan Eldin di sini.
“Kamu ngapain di sini?” Eldin bertanya tanpa banyak basa-basi. Ia sungguh penasaran apa yang membuat Siren menjejakkan kakinya di kelab malam selarut ini.
“Bapak juga ngapain di sini?” Siren mengerutkan dahinya.
“Jawab dulu pertanyaan saya,” cecar Eldin dengan nada memaksa. Sedari tadi tangannya masih tak melepas lengan Siren.
“Saya ada urusan, Pak.”
“Sepenting apa urusan kamu sampai harus keluar semalam ini dan di tempat seperti ini?” tanya Eldin dengan skeptis. Suaranya pun ikut naik beberapa oktaf. Sudah tak lagi peduli jika dirinya saat ini terlihat seperti seseorang yang posesif.
Siren menggigit bibir bawahnya. “Sangat penting untuk saya,” jawabnya dengan suara yang terdengar cukup pelan.
Eldin mendengkus pendek. “Ke mana tujuan kamu? Biar saya antar,” putusnya. Ia tidak akan membiarkan Siren berkeliaran di sini sendirian.
Siren membelalak. “Nggak usah, Pak. Saya bisa sendirian. Dan saya memang harus sendirian.”
Kedua mata Eldin menyipit ketika menatap Siren, merasa janggal dengan penolakan gadis itu. Hal itu malah semakin menambah rasa curiganya.
“Saya cuma mau ketemu temen saya kok, Pak. Di situ.” Siren kembali menjelaskan seraya menunjuk salah satu ruangan VIP yang ada di lantai dua.
“Okay. Saya akan menunggu kamu di luar,” ucap Eldin bersamaan dengan dilepaskannya tangan Siren dari genggamannya.
“Saya beneran bisa sendiri, Pak.” Siren masih berusaha menolak tawaran Eldin.
“Cepat kamu masuk atau saya juga akan ikut masuk bersama kamu,” ancam Eldin.
Bibir Siren terlipat dengan kedua bahu yang meluruh, menandakan sikap menyerah. Tanpa sepatah kata pun, Siren berbalik dan berjalan menuju ruangan yang ia maksud, meninggalkan Eldin di belakangnya.
Sementara Eldin ikut maju beberapa langkah sampai kakinya tiba di depan ruangan yang baru saja dimasuki oleh Siren. Ia menyandarkan punggungnya pada dinding di samping pintu ruangan tersebut dengan kedua lengan yang dilesakkan ke dalam saku celananya.
Eldin merasa begitu kesal saat menemukan Siren di kelab malam. Apalagi gadis itu sendirian. Ia takut terjadi yang tidak-tidak terhadap Siren. Eldin sangat ingin melindunginya. Persetan dengan dendamnya yang belum terpuaskan. Ini lebih mendesak.
•••
Ada yang bisa nebak Siren mau ngapain? Yang tebakannya bener, entar dijajanin deh sama Eldin🤭🤣
Jangan lupa vote dan komennya yaa, tayang-tayangku. Ketemu lagi besok mwah mwah😚❤🌻
27 Juni, 2024
Follow aku di
Instagram: rorapo
Dreame/Innovel: rorapo_
Karyakarsa: rorapo_
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top