Part 6 - Kau pasti malaikat

Allara menanti jam istirahat dengan gelisah. Ia harus bertemu dengan guru Matematika kesayangannya untuk meminta maaf atas kesalahannya beberapa saat lalu.

Bel tanda istirahat berbunyi.
"Hey, kau mau ke mana?" Ivy melihat Allara yang bangkit dengan cepat setelah mendengar bunyi bel.

"Menemui Mr. Axellio. Aku harus meminta maaf padanya." Usai mengatakan itu Allara langsung melangkah pergi, tapi ketergesaannya membuat ia tidak menyadari bahwa Angel yang duduk di depan telah meletakan kaki untuk menjagalnya dan menyebabkan ia terjerembab ke lantai sekarang.

Allara mengaduh sakit. Ivy bergegas mendekat ke Allara.

"Kau baik-baik saja, Allara?" Ivy memeriksa lutut dan tangan Allara.

Tidak terluka. Ivy bernapas lega.

"Ckck, dasar bodoh!" Angela mengejek Allara sembari berkaca. Ia menunjukan senyuman licik yang sangat menyebalkan di mata Ivy.

"Aku baik-baik saja." Allara cepat bersuara. Ia tidak mau Ivy terlibat masalah karena bertengkar dengan Angela. Allara kenal watak keras Ivy dengan baik.

"Ini semua pasti ulahmu!" Ivy menatap Angela tajam.

"Kau punya bukti aku yang melakukannya?" Angela membalas santai. Merasa tidak berdosa sama sekali.

Ivy tidak memerlukan bukti. Ia yakin bahwa Angela yang telah membuat Allara terjatuh. Di kelas ini, Angela adalah siswi yang paling tidak menyukai Allara. Angela jelas merasa tersaingi. Meski Allara tidak pintar, tapi Allara memiliki kecantikan yang bisa menandinginya di kelas itu. Dan Angela tidak suka itu. Ia tidak suka ada yang melebihi dirinya.

"Ivy, aku terjatuh sendiri." Allara memegangi tangan Ivy. "Kau lapar, kan? Ayo ke kantin." Allara menarik Ivy keluar.

"Apa-apaan kau ini, Allara?" Ivy melepaskan tangan Allara dari tangannya. Ia menatap Allara tidak terima.

"Sudahlah. Aku baik-baik saja."

"Tapi jika terus dibiarkan Angela bisa semakin bertingkah!"

"Dengar, kejahatan tidak harus dibalas dengan kejahatan." Allara tersenyum seperti semua baik-baik saja.

Ivy tahu hanya ada satu manusia di dunia ini yang memiliki pemikiran sepolos itu. Dan ya, manusia itu adalah Allara. Jika ia yang ditindas maka dirinya pasti akan membalas, bahkan lebih sakit.

"Jangan membenci orang-orang yang membencimu, karena itu hanya akan mengotori hatimu. Dan aku tidak mau melakukannya. Hanya untuk seorang seperti Angela, aku tidak akan mengotori hatiku yang suci dan mulia." Allara memegangi dadanya dan kembali memuji dirinya sendiri.

Ivy berdecih. "Narsis."

Allara menggeleng dramatis. "Tidak. Aku memang memiliki hati yang suci dan mulia. Kau pasti tahu hanya aku yang memiliki hati seputih sajlu."

Ivy memutar bola matanya malas. Ia segera melangkah meninggalkan Allara sebelum ia mendengarkan banyak kata-kata tidak perlu dari mulut Allara.

Kali ini Ivy akan membiarkan Angela, tapi lihat nanti. Ivy tidak akan melupakan kejadian ini dengan cepat. Ia pasti akan membuat perhitungan dengan Angela.

"Hey, Ivy. Tunggu aku." Allara mengejar Ivy. Ia benar-benar membiarkan Angela yang telah menjahatinya. Allara tidak ingin memiliki banyak masalah di sekolah. Jadi ia akan membiarkan orang-orang yang bersikap jahat padanya. Namun, bukan berarti Allara gadis yang lemah. Ia hanya tidak ingin membuat kekacauan dan kehilangan ketenangan karena semakin banyak orang yang tidak menyukainya.

Allara dan Ivy pergi ke kantin. Ivy mengeluarkan ponselnya dan mulai mendengarkan lagu dengan headset yang sudah terpasang di telinganya. Ia melepaskan satu headsetnya lalu menatap Allara yang duduk di seberangnya.

"Kau tidak jadi menemui Mr. Axellio?"

Allara menepuk jidatnya. Ia lupa. "Aku akan segera kembali." Ia melesat pergi.

Ivy menatap Allara yang pergi menjauh sejenak, kemudian kembali memakai headsetnya. Mendengar lagu kesukaannya sembari menunggu makanannya pesanannya diantar.

Allara berlari menuju ke ruang guru. Tempat itu sudah sepi, beberapa guru sudah keluar untuk mencari makanan. Allara segera menghampiri meja kerja Sky.

"Mr. Axellio." Allara bersuara. Memberitahu Sky bahwa ada dirinya di sebelah Sky.

Sky hanya diam. Ia memeriksa buku latihan yang bertumpuk di depannya. Ia sudah terlihat seperti pria yang benar-benar berminat jadi seorang guru.

"Saya minta maaf atas kejadian tadi. Saya tidak bermaksud berkhayal di jam pelajaran Anda." Allara meremas jarinya. Mencoba mengurangi rasa gugup yang menyerangnya.

Sky masih mengabaikan Allara. Ia tidak akan memberi muka pada Allara.

"Hanya saja saya tidak tahan. Saya benar-benar penasaran bagaimana rasa bibir Anda."

Sky berhenti menulis. Ia menaikan pandangannya dan menatap Allara yang menurutnya tidak tahu malu. "Pergi dari sini atau kau tidak akan bisa mengikuti kelasku selama satu semester."

"Jangan terlalu kejam, Mr. Axellio. Saya berjanji tidak akan berkhayal di jam pelajaran Anda lagi. Saya akan fokus pada pelajaran dan memperhatikan Anda. Maksud saya memperhatikan apa yang Anda terangkan," seru Allara meyakinkan.

Sky merasa bahwa gadis di depannya semakin memuakan. Bukan hanya bodoh dan tidak tahu malu, tapi gadis di depannya juga tidak memiliki harga diri.

"Dan ini, ini adalah bukti atas penyesalan Saya." Allara menyerahkan dvd yang sudah ia bungkus rapi.

Sky meraih hadiah itu lalu membuangnya ke kotak sampah tepat di depan wajah Allara.

Allara mengambil hadiah itu kembali. "Mr. Axellio, Anda lihat saja dulu hadiahnya. Saya yakin Anda akan menyukainya." Ia meletakan hadiah yang ia bawa ke atas meja.

"Saya mohon Mr. Axellio dapat menilai ketulusan saya meminta maaf dari hadiah yang saya berikan. Saya permisi." Allara menundukan kepalanya memberi hormat, lalu segera melangkah pergi.

Sky melihat ke bungkusan hadiah yang ada di mejanya. Ia membuang itu kembali ke kotak sampah dan kembali melanjutkan memeriksa buku latihan murid-muridnya.

Mata Sky tidak sengaja melihat ke kotak sampah. Detik selanjutnya ia mengambil hadiah yang Allara berikan padanya. Dan membuka bungkusan bersampul pink itu. Matanya menyipit.

Sebuah disc?

Sky memasukan disc itu ke laptopnya. Dan mulai memutar isi disc itu.

"Aaahhh...," suara desahan wanita yang terdengar dari laptop di depannya membuat Sky segera menutup laptopnya. Namun, suara itu masih saja terdengar.

Beberapa guru yang berada di sekitar Sky melihat ke arah Sky dengan tatapan tidak bisa diartikan. Sky berani bertaruh sekarang di otak para guru itu diri adalah maniak seks. Menonton video porno di tempat bekerja. Sial!

Sky salah tingkah. Ia membuka laptopnya dan segera mengeluarkan disc dari laptopnya.

"Sialan!" Ia memaki geram.

Allara. Jelas-jelas gadis itu bukan ingin menunjukan ketulusan tapi ingin mempermalukannya.

Wajah Sky merah padam. Ia mematahkan disc yang diberikan oleh Allara. Lihat saja nanti, ia akan membuat perhitungan dengan Allara.

***

Allara kembali ke kantin dengan wajah sumringah. Ia tidak tahu apakah hadiahnya sudah dibuka atau dibuang lagi, yang pasti ia sudah memberikan hadiah itu, dan itulah yang membuatnya senang.

Kakinya berhenti melangkah saat ia melihat seorang siswa bermain basket di lapangan basket.

"Dia?" Allara merasa tidak asing lagi. Ia yakin pernah bertemu dengan pria yang sedang men-dribble bola basket itu, tapi di mana?

Wajah Allara berbinar. Ia ingat sekarang. Remaja pria itu adalah orang yang menyelamatkannya dari aspal. Benar, tidak salah lagi. Itu orangnya.

"Hey! Hey!" Allara melambaikan tangannya pada remaja pria itu.

Remaja pria yang tengah bermain basket itu merasa terpanggil. Ia melihat ke arah Allara sekilas.

Allara mendekat ke remaja pria itu. "Kau yang menolongku kemarin, kan?"

"Kau sudah mengikat tali sepatumu dengan benar." Remaja pria itu melihat ke sepatu yang Allara pakai.

Allara tersenyum manis. "Aku belum mengucapkan terima kasih waktu itu."

"Aku tidak membutuhkan ucapan itu."

"Aku, Allara." Allara mengulurkan tangannya. Si remaja pria yang tengah memegang bola basket melempar bolanya ke ring dan masuk sempurna.

Allara melongo. Dewa basket. Pikirnya.

"Reiner." Remaja bernama Reiner itu membalas jabatan tangan Allara.

"Kau kelas berapa?" tanya Allara sembari melepaskan tangannya.

"XI IPA 1."

"Oh, kita satu angkatan. Aku di kelas IPA terakhir." Ia memberitahu Reiner yang tidak bertanya padanya.

"Karena kau sudah menyelamatkanku hari itu, ayo aku traktir minum."

"Hanya minum?" Reiner tidak tertarik.

"Minum dan makan," tambah Allara.

"Aku memiliki cukup uang untuk membeli makanan."

"Aku tidak suka berhutang. Katakan kau mau apa?"

Reiner diam sejenak. "Jadilah asisten di tim basket sekolah untuk tiga bulan."

"Apa?" Allara berpikir ia salah dengar. Bagaimana mungkin ada pria seperti Reiner. Bukankah Reiner tengah memanfaatkan kebaikan dirinya yang ingin membalas budi.

"Kau akan diberi gaji selama tiga bulan. Dan aku anggap kau tidak berhutang lagi. Bukankah kau tidak rugi sama sekali?"

"Digaji?"

"Tentu saja. Kau pikir aku akan memanfaatkan tenagamu tanpa memberikan bayaran?"

Allara tidak berpikir lama. "Setuju."

"Kau bisa mulai bekerja besok sepulang sekolah."

"Baiklah. Terima kasih, Reiner," serunya bersemangat.

"Tidak usah mengucapkan kata-kata itu." Reiner meninggalkan Allara.

Allara menatap Reiner yang melangkah pergi. Ia tersenyum girang. Ia memang membutuhkan pekerjaan sampingan, dan Reiner datang menjelma seperti dewa. Memberinya pekerjaan yang tidak akan merusak jadwal sekolahnya.

"Malaikat. Kau pasti malaikat," gumam Allara.

"Kau menang lotre?" Suara Ivy terdengar dari belakang Allara.

"Ivy, kau harus tahu. Aku dapat kerja sampingan tanpa harus mencari di setiap sudut kota." Allara memberitahu Ivy dengan antusias. "Tebak aku dapat kerja apa?"

"Kau jadi pelayan bar?"

"Ivy, yang benar saja." Allara mendelik kesal.

Ivy mengangkat bahunya cuek. Ia malas berpikir. Ia hanya menjawab seadanya. Dengan wajah cantik Allara, serta tubuh yang ideal. Menjadi pelayan bar tentu mudah bagi Allara yang tidak pandai dalam belajar.

"Kau tau Reiner?"

"Allara, kau bersembunyi di tanah?"

"Jawab saja, Ivy. Tidak perlu mencemoohku."

"Siapa yang tidak kenal Reiner. Dia ketua tim basket sekolah. Siswa paling populer nomor satu di sini. Semua siswi mengincarnya. Dan lagi dia juara umum berturut-turut."

Allara menganganga. Tampaknya ia memang benar-benar bersembunyi di tanah selama ini. Bagaimana bisa ia tidak tahu tentang Reiner.

"Apakah kau mendapat tugas untuk memata-matai Reiner?" Ivy mulai membuat cerita.

"Memata-matai?" Allara mengerutkan keningnya. "Apa kau pikir aku cocok untuk pekerjaan seperti itu? Dengan kepribadianku, aku yakin akan ketahuan 1x24 jam."

Benar. Ivy telah melupakan bahwa Allara tidak cocok sama sekali jadi seorang mata-mata. Allara terlalu ceroboh.

"Lalu?"

"Aku akan menjadi asisten tim basket selama tiga bulan."

Ivy diam, menatap Allara seksama lalu kemudian menanggapi Allara. "Aih, kau pasti mengkhayal. Kau sangat hebat, Allara. Di tengah hari yang cerah kau mampu bermimpi tanpa menutup mata."

"Aku tidak sedang bermimpi. Aku serius."

Ivy masih tidak percaya. Ia sangat tahu sulit untuk menjadi asisten tim basket yang memiliki standar tinggi.

"Reiner yang memberiku pekerjaan," tambah Allara.

Dan Ivy semakin yakin Allara mengkhayal. Reiner bukan tipe orang yang mudah didekati. Bahkan banyak dari asisten tim basket yang berhenti karena sikap keras Reiner sebagai ketua tim basket.

"Kau sebaiknya ke dokter, Allara. Aku akan membayar biayanya," putus Ivy.

Allara mendengus. "Kau lihat saja besok. Aku tidak mengkhayal. Aku mulai bekerja besok," serunya jengkel. Ia melangkah mendahului Ivy, merajuk sesaat. Lalu kemudian ia kembali lagi ke Ivy dan menggamit lengan Ivy. Sesi merajuk Allara berlalu begitu cepat.






Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top