Part 4 - Salah satu dari mereka yang sia-sia.

Seperti janji Ivy, ia mentraktir Allara di Prince cafe. Allara memesan banyak makanan dan minuman. Allara jelas tahu bagaimana memanfaatkan kebaikan hati Ivy.

"Kau yakin akan menghabiskannya?" Ivy menatap Allara seksama. Ia tidak bermasalah dengan total yang akan ia bayar nanti. Ia hanya tidak tahu bagaimana cara Allara akan menghabiskan makanan itu.

Tapi percayalah, Allara bisa menghabiskan semuanya.

"Tentu saja. Aku sangat lapar." Allara masih membolak-balikan buku menu.

Ivy tidak mengerti bagaimana bisa nafsu makan Allara sangat tinggi tapi tubuh Allara masih tetap ideal. Kemana lari semua makanan itu?

Pesanan datang. Ivy hanya memesan steak ayam dan kopi, sedang Allara ia memiliki lima jenis makanan berat dan sekarang sudah hampir menghabiskan semuanya.

"Ah, kenyangnya." Allara mengelus perutnya. Semua makanan telah habis tak bersisa.

Ivy tidak bisa berkomentar. Ia hanya memandangi Allara ngeri. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana jika Allara makan dengan seorang pria nantinya. Ivy berani bertaruh, reaksi pria itu pasti akan sama dengannya.

"Lebih seringlah mentraktirku makan, Ivy," seru Allara tanpa tahu malu.

"Jika aku melakukannya maka kau akan menjadi bola nanti." Ivy pergi ke kasir dan membayar tagihan.

Allara tidak bermasalah sama sekali jika nanti dia menjadi seperti bola karena nafsu makannya. Asalkan perutnya kenyang, ia akan senang. Ia ingat apa kata ayahnya, lakukan apapun yang membuatmu senang. Dan makan adalah salah satunya.

"Kau masih mau di sana terus sampai cafe ini tutup?!" seruan Ivy membuat Allara bangkit dari tempat duduknya.

Allara mengoceh, "Jika perangainya terus seperti itu, aku yakin dia akan menikah di usia 40 tahun."

"Aku mendengarmu, Allara." Ivy menatap Allara tajam.

Allara tersenyum manis. "Apa yang kau dengar? Aku tidak bicara apapun." Ia memang pandai berkelit.

"Dengar, dengan porsi makanmu yang mengerikan, kau akan membuat laki-laki yang berkencan denganmu kabur."

"Itu artinya mereka tidak serius menyukaiku. Cinta adalah menerima apa adanya. Aku senang jika teman kencanku kabur di saat pertama bertemu, aku tidak akan membuang waktu dengan mereka yang sia-sia." Allara menjawab dengan baik.

Ivy mendengus. "Mr. Axellio salah satu dari mereka yang sia-sia."

"Ivy, kenapa kau suka sekali menghancurkan kesenanganku!" sebal Allara.

Ivy bersikap tidak peduli. Salahkan pikirannya yang bekerja sama dengan baik bersama bibirnya yang tajam.

Ivy menghentikan taksi dan masuk ke dalam sana. Sementara Allara, dia masih berdiri dengan wajah cemberut.

"Mau sampai kapan kau berdiri di sana, Allara?" tanya Ivy datar.

Allara segera masuk ke dalam taksi. Ia akan memaafkan Ivy kali ini. Lagipula jika ia matah pada Ivy maka Ivy akan kesepian dan tidak memiliki teman. Ia mengasihani Ivy.

"Aku memaafkanmu kali ini." Allara duduk di sebelah Ivy.

Ivy berdecih. "Aku bahkan tidak tahu kalau kau marah."

"Kau!" Allara menunjuk Ivy kesal.

Ivy membuang wajahnya. Mengabaikan Allara dan menatap ke luar kaca mobil. Hatinya tiba-tiba terasa sakit. Ia melihat ayahnya keluar bersama Ella dengan bergandengan mesra. Segera Ivy mengalihkan pandangannya, ia tidak ingin Allara melihatnya sedih lagi.

"Aku akan mendiamimu selama satu hari."

"Baiklah, kalau begitu diamnya dimulai dari sekarang," sahut Ivy.

"Kau menyebalkan!"

Ivy diam.

"Aku benar-benar marah."

Ivy diam.

"Aku akan turun di sini."

"Pak sopir, berhenti di sini." Ivy baru bicara.

"Kenapa berhenti?" tanya Allara polos.

"Kau ingin turun, kan?"

"Kau sangat tidak berperasaan!"

"Kau yang memintanya tadi."

"Itu karena aku kesal."

"Jadi, kau mau turun atau tidak?"

"Tidak," balas Allara, "jalan kembali, Pak."

Ivy mengulum senyumnya. Setidaknya mengisengi Allara membuatnya senang. Sedikit membantu, meski suasana hatinya mulai terganggu.

"Kau tahu, aku pikir kadang-kadang kau ini musuhku." Allara mengocehi Ivy.

"Kau sendiri yang memaksa berteman denganku."

"Karena kau kesepian. Aku ini baik hati, aku tidak tega melihatmu kesepian jadi aku berteman denganmu," balas Allara.

Ivy memutar bola matanya. "Kau berteman denganku karena tidak akan ada yang mengganggumu jika bersamaku."

Ivy tidak salah. Allara memang memaksa berteman dengannya sejak Ivy menyelamatkan Allara dari murid-murid yang ingin membully Allara. Namun, alasan Allara berteman dengannya juga Ivy tahu, bukan karena hal itu tapi karena Allara memang ingin dekat dengannya tanpa niat terselubung.

Allara ingin menjawabi Ivy, tapi Ivy telah lebih dahulu menutup mata, jadi Allara menahan kumpulan kata-kata yang hendak ia keluarkan. Semenyebalkannya Ivy, ia tetap sangat menyayangi Ivy.

Taksi sudah membawa Ivy dan Allara ke depan asrama.

"Tidak mau turun?" Ivy yang tidak membuka mata bersuara.

Allara tersadar. Ia melihat ke samping dan ternyata sudah sampai di tempat tinggalnya.

"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Allara takjub. Ivy bukan saja pintar, tapi juga memiliki indera keenam. Pikirnya.

Ivy tidak langsung menjawab. Ia membuka pintu di dekat Allara. "Itu karena aku tidak seperti kau." Ivy memberikan jawaban yang tidak Allara mengerti. Memangnya ada apa dengan dirinya?

"Kau mau keluar atau tidak?"

Allara mendelikan matanya. "Kau akan cepat tua jika terus seperti ini."

"Kau alasanku jadi cepat tua." Ivy kembali menutup matanya.

Allara menghela napas pelan. Ia harus bersabar menghadapi Ivy.

"Hati-hati di jalan. Sampai jumpa besok, Ivy."

Ivy membalas Allara dengan deheman. Kemudian Allara keluar dan taksi kembali berjalan.

"Anak itu. Kutub es mungkin akan minder jika bertemu dengannya." Allara menggelengkan kepalanya. Mengkhawatirkan sikap dingin Ivy yang sudah menyaingi kutub.

Allara masuk ke dalam asrama. Ia membaringkan tubuhnya ketika sampai di dalam kamarnya.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang?" Allara bertanya pada langit-langit kamarnya.  "Ah, aku tidur saja. Supaya waktu jadi singkat, dan hari ini berubah jadi besok." Allara tersenyum girang. Ia tidak sabar untuk melihat Sky besok.

Semenjak kedatangan guru Matematika tampan itu, Allara jadi sangat bersemangat untuk sekolah. Hari minggu pun ia rela sekolah demi gurunya itu.

***

Ivy tidak pulang ke rumahnya. Ia memilih untuk pergi ke tempat tinju. Tempat yang selalu ia tuju ketika ia sedang sedih.

Jika Allara tempatnya bercerita, maka tinju adalah tempat melampiaskan. Ia tidak mungkin meninju Allara karena amarah dan kesedihannya.

Kehidupan Ivy tidak sesederhana kehidupan Allara. Ia remaja yang hidup di pergaulan bebas. Meski Ivy tidak memiliki banyak teman, tapi ia terkenal di berbagai tempat. Club malam, tempat balap mobil dan motor. Serta di arena tinju. Ivy akrab dengan semua itu. Tempat pelampisan, tempat pelarian dari segala rasa sakit yang ia rasakan.

Ivy memiliki banyak penggemar, tapi Ivy tidak melirik sama sekali. Ivy wanita yang akan menolak ribuan laki-laki demi pria yang ia cintai. Pria yang bahkan tidak mungkin untuk ia miliki.

Setelah mengganti pakaiannya. Ivy bersiap untuk masuk ke ring. Kali ini ia menghadapi seorang wanita yang sudah menjadi juara selama beberapa pertandingan. Ivy memang masih muda, tapi ia memiliki cukup pengalaman di dalam ring.

"Baiklah, mari kita sambut petinju wanita kedua kita hari ini. Petinju yang telah mengalahkan banyak lawannya. Debora Steel." Pembawa acara memanggil lawan yang akan Ivy hadapi.

Seorang wanita dengan rambut dikepang satu masuk ke dalam ring.

"Dan penantang kita kali ini adalah seorang pendatang baru yang minta dipukuli oleh jagoan kita. Mari kita sambut. Ivy!"

Ivy masuk ke dalam ring dengan wajah dingin dan tenang. Ia memang pendatang baru di tempat tinju ini. Namun, ia tidak asing dengan Debora. Ivy pernah menghadapi Debora di tempat tinju lain. Dan ia mengalahkan wanita itu.

"Ah, kau. Kita bertemu lagi di sini." Debora tersenyum mengejek. Terlihat dendam muncul di mata Debora.

"Bersiaplah untuk kekalahanmu lagi, Steel." Ivy meremehkan Debora. Memang sebuah kesalahan meremehkan lawan, tapi itu tidak berlaku untuk Ivy. Ia meremehkan karena ia yakin akan kekuatannya sendiri.

Pertandingan kali ini tidak seperti pertandingan Ivy sebelumnya. Kekuatan Debora telah meningkat. Pukulannya menjadi lebih tajam dan terarah. Ivy tersenyum kecil. Ia memegangi sudut bibirnya yang pecah karena ditinju oleh Debora.

Ia membalas serangan Debora, tiga kali lipat lebih menyakitkan dari serangan Debora padanya. Debora memang berkembang pesat, tapi masih belum cukup untuk mengalahkan Ivy. Gerakan Ivy bukan hanya tajam dan terarah, tapi juga mematikan. Satu tendangan di kepala Debora membuat Debora berakhir tidak sadarkan diri.

Semua penonton pertandingan itu terdiam. Tidak berpikir bahwa Ivy bisa menang dengan cepat.

"Pemenangnya adalah Ivy." Pembawa acara mengangkat tangan Ivy. Kemudian seorang wanita membawa hadiah berupa uang tunai. Ivy tidak butuh uang, tapi ia masih mengambil hadiahnya. Ia akan menggunakan uang itu untuk diberikan pada sebuah panti asuhan.

***

Allara bangun lebih cepat. Ia sudah rapi dengan seragam sekolahnya. Rambutnya sudah tertata, wajahnya cantik seperti biasa. Ia memeriksa buku pelajaran, memastikan bahwa tidak akan ada yang tertinggal.

Setelahnya Allara segera meninggalkan asrama dan pergi ke sekolah. Semangat belajarnya benar-benar terpacu karena Sky.

Allara naik bus dan turun di pemberhentian yang seharusnya. Kakinya melangkah melewati trotoar taman di dekat sekolahnya.

"Astaga!" Allara segera berlari ke tengah jalan. Tidak memikirkan bahwa saat ini bukan waktu yang pas untuk berada di jalanan.

Cittt! Ban mobil berdecit keras. Allara berjongkok sambil memeluk sesuatu di dadanya tepat di depan mobil yang berhenti mendadak.

"Hey, mau cari mati!" Seseorang di dalam mobil memarahi Allara.

Allara segera meminta maaf dan meninggalkan jalanan dengan sesuatu yang masih ia peluk.

"Anak kucing, kau tidak bisa menyebrang sembarangan. Kau bisa terluka." Allara menasehati kucing berwarna putih-orange yang telah ia selamatkan.

Allara mengelus kepala anak kucing itu. "Pergilah, kau aman sekarang."

Kucing kecil yang Allara selamatkan seolah mengerti ucapan Allara. Kucing itu pergi meninggalkan Allara.

Allara kembali melanjutkan perjalanannya menuju ke gerbang sekolah. Ia tidak sadar jika saat ini ada dua pasang mata yang tengah mengamatinya. Dua orang yang teringat akan seseorang yang penting dalam hidup mereka melalui Allara.

"Bodoh! Apa dia tidak sayang pada nyawanya sendiri!" Salah satu dari orang itu adalah Sky yang berada di dalam mobil abu-abu metalic miliknya.

"Allara, aku masih mengingat namamu sampai hari ini." Pria lainnya masih menatap Allara yang kini sudah memasuki gerbang sekolah.







Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top