Prolog - Masjid Pembawa Jodoh

💌 : ini cerita kedua saya yang bergenre romansa-komedi. Saya harap tidak mengecewakan.

Selamat membaca!

⭐️& 💬

"Allahu Akbar, Allahu Akbar..."

Berkumandangnya suara azan salat zuhur melalui seorang muazin membuat beberapa guru SMA Tanjung Pelita yang beragama Islam bergegas meninggalkan gedung sekolah untuk menunaikan ibadah mereka di sebuah masjid yang terletak tepat di seberang bernama Masjid Baiturrahman. Kegiatan ini sudah dianggap seperti jadwal atau kebiasaan karena selalu dilakukan setiap hari.

Berbanding terbalik dengan sekelompok siswa yang terdiri atas empat orang, yaitu Zhara, Agam, Aufa, dan Jhesen. Kebiasaan mereka adalah memanfaatkan kesempatan besar seperti ini untuk minggat dari sekolah. Saking seringnya membuat onar, kepala sekolah mereka yang bernama Suwarto sampai memberikan mereka sebuah julukan istimewa, yaitu Teletubbies Perusak Generasi Bangsa. Namun bukannya merasa minder, keempat manusia itu malah bangga dianggap sebagai mahluk imut berantena dan berwarna-warni.

Contohnya seperti sekarang ini, keempat sejoli itu tampak mulai menyipitkan mata mereka bagai burung elang yang sedang menargetkan ular sebagai mangsanya, dan ketika Pak Jainul, satpam penjaga gerbang sekolah, menyampirkan kain sarungnya ke bahu dan beranjak pergi, di detik itu pula sang Teletubbies mulai menjalankan aksi mereka.

"Ra, cepetan!"

"Ogah, capek tau! Emangnya kalian mau ngapain sih, harus pake lari-lari kayak gini? Guru-guru 'kan, lagi pada salat semua." Zhara menatap ketiga sahabatnya keheranan. Ia menghentikan langkah kakinya untuk menetralkan napas dan detak jantungnya yang sudah tak beraturan akibat terlalu lama berlari.

"Gam, lo urusin tuh, cewek lo! Pokoknya, gue nggak bakal terima kalau kita sampai dihukum gara-gara ulah dia!" sungut Jhesen seraya berkacang pinggang.

Agam menatap Jhesen dengan raut wajah tak terima, tetapi tetap memutar tubuhnya untuk menghampiri Zhara yang masih tertinggal jauh di belakang. "Nggak usah dengerin omongan Jhesen." Setelah mengucapkan kalimat singkat itu, Agam mencekal pergelangan tangan Zhara, lalu menarik gadis itu untuk ikut berlari dan menyamakan langkah kaki dengannya.

Di tengah proses melarikan diri, Zhara tersenyum bahagia sembari secara bergantian memerhatikan wajah Agam dan tangannya yang masih dicekal oleh pria itu. Orang-orang awam yang melihat interaksi mereka biasanya akan mengira bahwa keduanya memiliki hubungan spesial, tetapi pada kenyataannya tidak. Ya ... walaupun tak bisa dipungkiri bahwa Zhara memang merasa tertarik dengan Agam selama ini.

"Lo parkir dimana?" Agam menghentikan langkahnya secara tiba-tiba untuk menoleh ke arah Jhesen. Namun, tindakannya itu malah membawa musibah bagi Zhara yang berada di belakangnya, sebab dahi gadis itu tertubruk punggung lebar Agam cukup keras.

Zhara meringis kesakitan, tetapi seperti biasa, Agam mengabaikannya dan malah melepaskan cekalan tangannya.

Jhesen mengumpat tanpa suara sembari menepuk jidatnya. "Di masjid. Tadi pagi gue kesusahan cari parkir, pada penuh semua."

Agam dan Aufa kompak menghela napas gusar, kemudian mengeluarkan ekspresi geram dan marah. "Ah! Gimana sih, lo?! Ini mah, namanya, keluar dari kandang singa, jatuh ke lubang buaya!" kesal Aufa yang baru membuka mulut setelah beberapa menit tak bersuara.

"Mau gimana lagi? Gue mana mungkinlah, parkirin mobil di sekolah, bisa-bisa kena tilang sama polisi gadungan!" Jhesen mengeluarkan alibinya dengan membawa-bawa julukan Pak Suwarto agar tidak terus-menerus disalahkan.

Ketika ketiga sahabatnya sedang sibuk memikirkan cara untuk mengambil mobil tanpa ketahuan, Zhara malah asyik memikirkan yang lain. Alis kembarnya saling bertaut, memikirkan sebuah kalimat peribahasa yang sempat diucapkan oleh Aufa beberapa waktu yang lalu.

"Gam..."

Agam menurunkan pandangannya untuk menatap Zhara yang sedang menarik-narik ujung baju seragamnya seperti anak kecil.

"Maksud dari, keluar dari kandang singa, jatuh ke lubang buaya itu apaan, sih?" tanyanya dengan mata yang mengerjap polos.

Agam memutar bola matanya jengah, kemudian meletakkan telapak tangannya di atas kepala Zhara dan menepuknya lembut. "Itu artinya, mau sekuat apapun lo berusaha, lo nggak akan pernah bisa ngedapetin gue, Ra."

Zhara manggut-manggut sok mengerti, sama sekali tidak sadar bahwa Agam hanya asal bicara dan malah mengeluarkan unsur yang bermaksud untuk mencampakkan perasaannya.

Di situasi serumit ini, Teletubbies Perusak Generasi Bangsa tidak pernah sekalipun berpikir untuk menyerah. "Kalau yang gini aja nyerah, gimana mau merusak generasi bangsa?" Kira-kira seperti itulah isi pikiran Agam, Jhesen, dan Aufa.

Mereka mengendap dengan hati-hati memasuki area parkir masjid tersebut. "Akhirnya..." Jhesen menghela napasnya lega sebelum menghambur, memberi kap mobil sport merahnya sebuah pelukkan sebagai sambutan.

Baru saja luput dari satu keadaan bahaya, bahaya yang lain kembali menimpa dengan tidak kira-kira. Untungnya Aufa cepat menyadari hal itu dan langsung mendorong tubuh Agam serta Jhesen yang saat itu berdiri di dekatnya untuk segera masuk ke dalam mobil. Awalnya, kedua pria itu tampak keheranan, tetapi kemudian mulai menyadari bahwa wali kelas mereka sedang berdiri sangat dekat dengan mobil tersebut, bahkan sampai menempel karena ingin mengambil foto bersama dengan mobil mewah kesayangan Jhesen.

Jhesen panik. Oleh karena itu, ia menyalakan mesin mobil dan langsung menancap gas dengan kecepatan tinggi untuk segera pergi menjauh dari wali kelas mereka yang norak itu. Setelah beberapa kilometer berjalan, Jhesen menghentikan mobilnya di area yang legal, kemudian menyandarkan punggungnya yang tegang ke punggung kursi. Ketiganya saling bungkam untuk beberapa saat, merasakan ada sesuatu yang janggal, seperti ketinggalan barang atau lainnya.

"Kita ninggalin Zhara..."

Agam adalah orang pertama yang sadar karena merasa bahwa bangku belakang tempat dirinya duduk sekarang ini seharusnya tidak terlalu luas.

***

Zhara menatap mobil merah milik Jhesen yang kian menjauh meninggalkan dirinya sendirian. "Yah ... ditinggalin, deh." Ia melirih sedih dengan kepala yang tertunduk. Tangannya merogoh masuk ke dalam ransel putih yang sering dipakainya untuk mencari keberadaan sebuah benda kecil berbentuk persegi panjang yang biasa digunakannya untuk menghubungi orang lain.

Namun baru saja tangannya hendak menekan nomor telepon Agam, telinganya sudah lebih dulu dijewer kuat oleh seseorang yang datang dari arah belakang. "Duh, Bu Mitha! Sakit tau!" Zhara meringis kesakitan, berniat untuk melepas paksa jeweran pada telinganya, tetapi urung karena melihat mata wali kelasnya yang hampir melompat keluar.

"Sedang apa kamu di sini? Berniat untuk bolos lagi bersama dengan teman-teman berandalmu yang lain?" tuding wanita berumur 45 tahun itu tepat sasaran.

Zhara menggelengkan kepalanya dengan raut wajah cengengesan meski menahan sakit. "Si Ibu suuzan aja. Saya ke sini untuk menjalankan kewajiban saya sebagai muslimat yang taat lho, Bu!" ujarnya, ngeles seperti bajaj.

"Alasan aja kamu! Memangnya kamu tau kewajibanmu apa?" Bu Mitha bertanya hanya untuk memastikan sekaligus menantang muridnya yang suka membuat onar itu.

Zhara menganggukkan kepalanya tanpa pikir panjang, lalu menjawab, "Beli es puter Mang Mamat!" Jeweran Bu Mitha mengendor sesaat karena syok, kesempatan itu segera Zhara manfaatkan untuk melarikan diri. Sayangnya, Bu Mitha terlalu mengenali murid-muridnya sehingga Zhara gagal menjalankan niatnya karena jeweran di telinganya yang kian semakin menguat.

"Sini, ikut saya salat dulu, setelah itu baru kamu boleh beli es puter di depan masjid!" Bu Mitha mengarahkan jewerannya untuk membawa Zhara ikut pergi ke area pengambilan air wudhu.

Pada akhirnya, Zhara hanya bisa pasrah dan menuruti segala perintah Bu Mitha. Di dalam hati, ia juga tidak lupa berdoa agar teman-temannya segera datang dan membantunya untuk meloloskan diri dari kesengsaraan ini. Namun sayang, tidak semua doa dikabulkan begitu saja oleh Allah SWT. Buktinya, saat ini Zhara sedang duduk uring-uringan di anak tangga masjid usai menunaikan salat zuhur bersama dengan guru-guru yang lain.

Para guru yang telah selesai memasang alas kaki mereka kembali melewati Zhara dengan ekspresi keheranan, merasa bahwa gadis itu mungkin tengah kesurupan sampai-sampai mau ikut bergabung ke masjid untuk salat bersama.

Tak lama kemudian, tatapan Zhara jatuh pada Bu Mitha yang rupanya sedang asyik mengobrol bersama seorang pria bertubuh tinggi yang berdiri dengan posisi memunggunginya.

"Zhara, sini!"

Zhara tidak memiliki alasan lain untuk menolak permintaan sang ibu guru makanya ia lekas mendekat.

"Apaan, Bu?" tanya Zhara dengan nada bicara yang terdengar tak niat.

Bu Mitha tidak menyahut dan malah merangkul bahunya sok akrab. "Nah, ini salah satu murid saya, namanya Zhara."

Zhara yang merasa penasaran akan tampang wajah pria yang mampu membuat Bu Mitha tiba-tiba bersikap lembut padanya itu pun mendongakkan wajahnya.

"Masya Allah..."

Zhara berdecak mengagumi indahnya mahluk ciptaan Allah SWT.

Hal itu mengundang keinginan Bu Mitha untuk meraup wajah Zhara untuk membuatnya segera tersadar dan berhenti mempermalukan diri sendiri. "Saya baru tau kamu bisa ngucap," sindir Bu Mitha sembari mendelik tajam.

Sayangnya Zhara sama sekali tidak peduli, matanya hanya terfokus pada mahluk tampan yang kian mengeluarkan sebuah senyuman semanis gula merah padanya. "Saya Zhorif." Pria itu memperkenalkan dirinya secara singkat dengan suara berat, khas seorang pria dewasa yang selalu terdengar menggoda di telinga perempuan manapun.

Zhara tersenyum cengengesan selayaknya orang tolol, kemudian mengulurkan tangannya untuk memperkenalkan diri sekaligus mengambil kesempatan untuk berjabat tangan dengan seorang bidadara yang baru ia ketahui namanya itu.

"Zhara."

Zhorif kembali tersenyum. Namun, kali ini lebih lebar dari yang sebelumnya hingga mampu memamerkan kedua lesung pipinya yang terletak sangat pas di masing-masing pipi. Pria itu menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada. "Saya tahu. Maaf, bukan mahram," ujarnya menolak dengan cara yang halus.

Bukannya merasa malu ataupun tersinggung, Zhara malah membiarkan tubuhnya oleng ke belakang, menjadikan tubuh besar Bu Mitha sebagai tempatnya bertumpu karena kedua kakinya yang gemetaran seperti jeli sudah tidak sanggup lagi menahan berat tubuhnya sendiri.

Zhorif mengalihkan tatapannya kembali ke Bu Mitha setelah beberapa saat. "Maaf, Bu. Saya harus beli es puter titipan ibu saya dulu." Bu Mitha menganggukkan kepalanya, memahami maksud tersirat dari keinginan Zhorif untuk segera mengundurkan diri.

Zhara melambaikan tangannya sembari menatap Zhorif yang baru dua langkah menjauh. Di langkah ketiga, langkah Zhorif terhenti akibat panggilan dari Bu Mitha. "Nak Zhorif! Saya harus kembali ke sekolah karena ada rapat guru mendadak. Apa kamu bisa mengawasi murid saya? Soalnya, dia juga ingin membeli es puter, tapi kalau saya lepaskan begitu saja, dia tidak akan kembali ke sekolah." Bu Mitha berucap panjang lebar dengan delikan tajam yang menuju ke arah Zhara ketika ia sudah berada di akhir kalimat.

Zhorif terdiam, tampak menimbang-nimbang sejenak sebelum menganggukkan kepalanya setuju. "Baik, Bu," ujarnya, "mari," lanjutnya, mengajak Zhara untuk berjalan di sebelahnya dengan jarak yang cukup untuk tidak membuat kulit keduanya saling bersentuhan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top