Epilog - Kejutan Manis
Agam berdesis merasakan nyeri pada wajah bagian sebelah kanannya. Ia bahkan tidak bisa mengatakan seberapa sialnya dirinya akhir-akhir ini. Lamarannya ditolak secara langsung oleh Zhara dan tak lama kemudian ia juga harus menerima pukulan kecemburuan yang diberikan oleh Zhorif.
Kini Agam terduduk di sebuah kursi taman berwarna putih yang sebenarnya terletak tak jauh dari kolam air mancur. Meskipun cahayanya meremang, ia masih dapat melihat dengan jelas seberapa bahagianya pasangan suami-istri yang baru saja mengurai pelukan mereka.
Agam meludah ke samping karena merasakan asin pada lidahnya, dampak dari ujung bibirnya yang terluka dan mengeluarkan darah. Matanya membulat terkejut ketika menyadari bahwasanya saliva yang ia buang sembarangan itu hampir saja mengenai sepatu hak tinggi seorang perempuan yang wajahnya bahkan belum ia lihat sama sekali.
"Sorry, gue nggak—"
Agam berbicara tanpa mengangkat wajahnya secara sempurna terlebih dahulu. Oleh karena itu, ketika ia tahu bahwa pemilik high heels itu adalah Vierra, mantan kekasihnya, ia refleks tertegun dengan tubuh yang menegang.
"No problem," sahut Vierra seraya tersenyum tipis setelah diam beberapa detik. Vierra yang masih berdiri menghadap ke Agam pun memutar arah pandangnya, mencari-cari penyebab Agam memilih tempat itu untuk menyendiri. Tak membutuhkan waktu lama, gadis itu menangkap keberadaan Zhorif dan Zhara yang tampak tertawa bahagia seraya berdansa seolah-olah taman itu merupakan lantai dansa yang mereka sewa secara pribadi.
"Lo ngapain di sini?"
Pertanyaan yang dikeluarkan Agam membuat Vierra kembali fokus hanya kepadanya. "Nothing," ujarnya sembari mengangkat kedua bahu, "mungkin di dalam terlalu rame dan gue juga kehilangan pasangan dansa." Agam melepaskan tawanya dengan tak sengaja, mungkin karena merasa bahwa kemirisannya dan Vierra tidak jauh berbeda. Vierra kemudian mengeluarkan sebuah sapu tangan dari clutch bag yang dipakainya dan menyodorkan benda itu ke Agam. "Mungkin lo perlu," ujarnya ketika Agam menatapnya dengan ekspresi bertanya-tanya.
"Oh, thanks."
Tak dipungkiri, perasaan bahagia itu diam-diam masih menyerang hati Vierra, padahal yang dilakukan oleh Agam bukanlah apa-apa, pria itu hanya menerima sapu tangan yang ditawarkannya. Vierra buru-buru menepis perasaan dan pemikirannya yang bergerak terlalu jauh tanpa izin kemudian memilih untuk mengambil duduk tepat di sebelah Agam. Pria itu tampak terkejut dan hendak segera menggeser tubuhnya untuk sekadar memberi jarak di antara keduanya. Namun, Vierra malah menahan lengannya agar tetap diam di tempat.
Agam ingin membuka mulutnya untuk mempertanyakan tingkah wanita itu, tetapi urung ketika melihat Vierra kembali mengeluarkan sesuatu dari tasnya, yaitu sebuah tisu alkohol dan plester. Vierra membuka pelapis tisu alkoholnya dan mulai membersihkan serta menutup luka di bibir Agam dengan sangat hati-hati hingga pria itu sama sekali tidak merasakan rasa perih. Usai mengobati mantan kekasihnya itu, Vierra menggeser tubuhnya untuk menjauh agar Agam tidak merasa terganggu.
"Jadi, sapu tangan ini untuk apa?" Agam terkekeh ringan dengan sedikit paksaan.
Bukannya menjawab langsung, Vierra malah kembali mengangkat bahunya. Keduanya terdiam cukup lama seraya menikmati sepoi-sepoi angin malam serta suara jangkrik menenangkan yang saling menyahut. "Crying is not a sin, Gam. Berpura-pura kuat di saat lo pengen nangis, itu sama sekali nggak ngebuat lo terlihat keren di mata siapapun."
Agam langsung menundukkan wajahnya dan menutupinya dengan sapu tangan yang diberikan oleh Vierra sebelumnya. Pria itu berusaha kuat menahan tangisannya agar tidak terlalu keras, tetapi yang terjadi malah dirinya semakin terisak, tubuh bugarnya bergetar hebat hingga membuat siapapun yang melihatnya akan sangat terkejut. Agam memang pernah menangis, tetapi tidak sampai separah ini sekalipun itu di pemakaman ibu kandungnya sendiri.
"Sucks!" Agam mengumpat sembari menjauhkan wajahnya yang memerah dari sapu tangan. Pria itu menatap manik Vierra dengan mata yang masih berair. "Ini malu-maluin, tapi sekuat apapun gue berusaha untuk berhenti, gue nggak bisa." Wajah Agam kembali diguyur oleh air mata. Ia menangis sejadi-jadinya di depan sang mantan kekasih.
Vierra tersenyum miris. Ia kian menyadari seberapa memalukan dirinya dulu, mengejar-ngejar Agam yang bahkan sampai kapanpun kelihatannya tidak akan berpindah ke lain hati. Vierra menghela napasnya dalam, mengabaikan perasaannya sendiri, dan lebih memilih untuk menghibur Agam dengan cara menepuk lembut bahu pria itu.
***
"Kami memutuskan untuk kembali bersama, Pa, Ma, Pi, dan Mi."
Fachri, Hulya, Burhan, dan Mia menatap kaget kedua anaknya yang duduk di sofa berhadapan dengan mereka. Para insan baya itu juga mendapati tangan Zhorif dan Zhara yang sudah saling menyatu dan tampak lebih lengket daripada lem perangkap tikus cap gajah.
Fachri menatap Burhan, meminta pendapat sahabatnya itu perihal rujuknya putra dan putri mereka. "Hm, tentu saja Papi senang melihat kalian kembali bersama, Nak. Perjuangan Zhorif selama ini membuat Papi sangat terkesan, tapi apa kalian akan langsung memutuskan untuk menetap di tempat yang sama? Maksud Papi ... tidur di kamar yang sama malam ini?" Burhan menatap Zhorif dan putri semata wayangnya dengan ekspresi sedikit keberatan.
Fachri yang langsung dapat memahami maksud dari ucapan Burhan pun buru-buru menyahut dan berkata, "Papa rasa sebaiknya kalian jangan terburu-buru. Zhara akan tinggal di rumah Burhan dan Mia untuk sementara waktu, sedangkan kamu, Zhorif, tidur di rumah Papa dan Mama," putusnya yang membuat Zhorif dan Zhara langsung menolak tak setuju.
Zhorif menarik pinggang istrinya agar tubuh mereka semakin melengket kemudian menempelkan dagunya tepat di atas bahu Zhara yang tampak terkejut akan sikap tak biasa suaminya. "Pa, Pi, aku udah nunggu selama tiga tahun, nggak ada kata terburu-buru dalam penantianku." Wajah Zhara memerah seperti kepiting rebus karena mereka ditatap aneh oleh orang tua dan mertuanya. "Pokoknya, aku nggak mau pisah dari istriku lagi." Zhorif benar-benar terlihat seperti anak kecil jika dilihat dari ekspresi merajuknya saat ini.
Hulya meringis ngeri, kemudian menatap Fachri dan Burhan secara bergantian. "Aku rasa biarkan saja mereka kembali tidur di kamar yang sama, lagipula mereka sudah cukup dewasa untuk membuat keputusan sendiri. Aku benar 'kan, Mia?" Mia menganggukkan kepalanya setuju, seumur-umur baru kali ini lah ia melihat anak menantunya bertingkah aneh seperti ini.
Kini semua mata tertuju pada Burhan karena dialah satu-satunya orang yang belum menyetujui perkara ini. Alhasil, karena merasa canggung ditatap semua orang, Burhan pun menganggukkan kepalanya dengan sedikit berat hati. "Rencananya malam ini Papi berniat memberi Zhara wejangan agar tidak berperilaku buruk lagi ke kamu, tapi karena kamu menolak, Papi akan angkat tangan saja," ujarnya sebelum tersenyum lebar seolah ingin memberitahu Zhorif dan Zhara bahwa dirinya merasa bahagia melihat keduanya kembali bersatu.
Zhorif melepaskan pelukan eratnya dari tubuh Zhara dan berdiri dengan mata membulat antusias. "Karena semuanya udah setuju, aku dan istriku akan pamit undur diri. Wah, nggak kerasa ini udah jam 00.00, kalau begitu ... permisi Pi, Mi, Pa, dan Ma." Zhorif meraih tangan istrinya, menggenggamnya lembut sebelum menariknya pelan untuk menuju ke pintu keluar.
Baru setapak melangkah keluar dari pintu, sebuah teriakkan dari dalam membuat Zhorif dan Zhara berhenti dan menoleh. "Mana assalamualaikum-nya Zhorif?!" Tegur Fachri sedikit keras agar terdengar oleh kedua anaknya itu.
Zhorif dan Zhara sontak memutar tubuh mereka menghadap ke arah para orangtua berada sebelum dengan kompak berkata, "Assalamualaikum, Papa, Papi, Mama, dan Mami."
"Waalaikumussalam."
Di halaman depan rumah Zhorif, terparkirlah sebuah mobil Land Cruiser berwarna putih yang tak familiar di mata Zhara. Wanita itu menautkan alis kembarnya keheranan di kala Zhorif mengajaknya masuk dan menaiki mobil tersebut, bukan mobil SUV putih yang mereka kendarai bersama sebelumnya.
"Mas baru beli mobil?" Pertanyaan itu langsung keluar dari bibir Zhara usai melihat suaminya duduk sempurna di kursi kemudi dan selesai memakai safety belt.
"Iya. Kamu suka?"
"Suka, kok," jawabnya.
Keheningan langsung menerpa keduanya ketika Zhorif mulai memfokuskan diri untuk menyetir dan menatap jalanan yang masih terlihat macet meskipun sudah larut. Zhara menatap wajah tampan suaminya yang tak menampakkan perubahan sama sekali dan kalaupun ada, itu adalah ketampanannya yang terus bertambah seiring waktu yang berjalan. Wanita itu tersenyum tipis, masih belum percaya bahwa mereka akan berakhir bahagia hanya karena kembali bersama seperti ini. Di sisi lain, ia juga sangat bersyukur karena Allah SWT selalu melindungi hati keduanya untuk selalu terikat erat satu sama lain.
"Mas..."
"Hm?" Zhorif melirik singkat ke samping. Namun rupanya, waktu singkat itu mampu dimanfaatkan Zhara dengan sangat baik. Buktinya, wanita itu berhasil meninggalkan satu kecupan di pipi kanan suaminya. Zhorif menahan tawa gelinya ketika Zhara menyandarkan kepalanya di bahu pria itu dan bertingkah seolah tidak melakukan apa-apa.
Sesampainya mereka di parkiran apartemen, tempat tinggal keduanya dulu, Zhara langsung melompat turun dari mobil penuh semangat. Ia benar-benar merindukan tempat yang telah menyimpan banyak kenangan di antara dirinya dan sang suami. Zhorif menggandeng tangan Zhara lembut sebelum mengajaknya pergi masuk ke dalam lift dan berhenti di lantai tempat tinggal mereka.
Cklek!
Pintu apartemen itu terbuka setelah Zhorif menekan pinnya, semua lampu di ruang tamu dan dapur menyala terang, menampakkan benda-benda yang sama sekali tidak berubah selama tiga tahun ini. "Aku kangen banget sama tempat ini, Mas!" Wanitanya terlihat begitu antusias ingin menghambur untuk memeluk Teby yang duduk di atas sofa. Peringatan, jika kalian lupa apa itu Teby, Teby adalah boneka berukuran super besar yang pernah Zhorif hadiahkan untuk istri kecilnya itu. Belum sempat melangkah setapak untuk mendekati Teby, tubuhnya sudah lebih dulu ditarik ke belakang dan secara refleks masuk ke dalam dekapan Zhorif. Zhara terkekeh geli dan membalas pelukkan suaminya sembari berkata, "Aku juga kangen banget sama Zhoby."
"Zhoby?" Zhorif mengurai pelukan mereka dengan salah satu alis yang terangkat heran meminta penjelasan.
"Biar mirip namanya sama Teby."
"Jangan Zhoby, cukup Hubby." Zhorif kembali menarik pinggang Zhara dan membuat tubuh serta hidung mereka menempel. "Mencium kamu malam ini mungkin akan terlalu buru-buru, ya?" Ada nada kecewa yang tersirat dalam bicaranya, tetapi tetap saja Zhorif berupaya ingin menahan diri. Menurutnya, waktu tiga tahun itu cukup lama untuk membuat mereka saling merasa canggung.
Ya, itu mungkin hanya menurutnya saja. Tidak dengan istrinya. Buktinya, Zhara sudah menjinjitkan diri, mengalungkan tangannya di leher Zhorif, dan menarik tubuh pria itu untuk sedikit turun agar dirinya dapat lebih mudah menjalankan aksi. Bibir mereka menyatu, dan itu cukup lama, tetapi tidak terlihat adanya tanda-tanda hasrat yang menggebu, yang terasa hanyalah sebuah ketulusan dan pelepasan rasa rindu.
"A-aku mau mandi." Zhara buru-buru melarikan diri ke kamar mandi setelah berhasil membuat Zhorif merasa tersentuh akan tingkahnya.
Entah sudah yang ke berapa kalinya Zhara mengutuk dirinya sendiri usai menjalankan ritual bersih-bersihnya di kamar mandi. Bagaimana tidak? Saking panik dan gugup dirinya tadi, ia sampai lupa untuk mengambil handuk dan pakaiannya. Sebenarnya jika dia sedikit menggunakan otaknya saja, ia jelas dapat kembali memakai gaun pestanya yang tadi. Namun naas, gaunnya itu sudah ia jadikan sebagai alat keset kaki ketika telapak kakinya basah.
Ini sudah setengah jam dan Zhara sangat berharap Zhorif menanyakan apa yang terjadi di dalam sini lebih dulu. Ia sungguh tidak ingin kembali terlihat bodoh dan ceroboh seperti dulu, sekarang ini ia hanya ingin dipandang sebagai wanita yang anggun dan dewasa oleh Zhorif.
Baiklah, dia menyerah. Zhara mengetuk pintu kamar mandi dari dalam sebelum membukanya sedikit, mencari-cari keberadaan Zhorif yang rupanya sedang duduk di tepi kasur seraya membaca sebuah buku super tebal. "Hm, Mas ... aku lupa bawa handuk sama baju," cicitnya dengan kedua pipi yang sudah merona akibat malu.
Zhorif menutup bukunya dan meletakkan benda itu di atas nakas sebelum berjalan mendekat ke lemari untuk mengambilkan keperluan istrinya. "Cuma tersisa lima pakaian, kamu mau pakai yang mana?" Wajah Zhorif tiba-tiba tertular merah seperti istrinya ketika pria itu mengangkat lima hanger yang bertugas menggantungkan lima jenis lingerie dengan motif berbeda-beda.
Ah, sial! Zhara benar-benar lupa bahwasanya hanya pakaian itu yang tertinggal di tempat Zhorif selama ini. Tiga tahun lalu, ia benar-benar telah mengemas habis semua pakaian normalnya dan membawanya pergi ke Lembang untuk tinggal bersama Agam.
"Yang putih aja."
Itu keputusan paling baik yang pernah Zhara pilih. Pasalnya, jika ia sampai berani memilih lingerie bermotif tutulan macam, sudah jelas lebih baik ia telanjang saja. Ah, tiba-tiba ia jadi kepikiran bagaimana bisa ia membeli semua pakaian itu dulu. Tentu saja karena saran dari Jhesen, sang manusia kadal.
Zhorif benar-benar mengantarkan kain super berbahaya itu padanya sebelum kembali ke tepi kasur untuk membaca buku, memberikan self time untuk istrinya agar dapat mengeringkan diri dan mengenakan baju.
Cklek!
Pintu kamar mandi terbuka, menampakkan sosok bidadari yang keluar dari dalamnya. Bidadari itu tampak ragu dan malu-malu untuk keluar. Oleh karena itu, Zhorif memutuskan untuk membantunya dengan berkata, "Mas mandi dulu." Zhorif masuk ke kamar mandi dengan langkah terbirit-birit, ia juga tidak lupa untuk membawa handuk dan pakaian tidurnya agar kejadian memalukan di antara mereka tidak terulang kembali.
Tidak seperti sang istri, Zhorif hanya membutuhkan waktu kurang lebih sepuluh menit untuk membersihkan diri sebelum keluar dari kamar mandi dengan jantung yang berdebar gugup, bingung akan melakukan atau membicarakan apa bersama Zhara di atas kasur yang sama setelah ini.
Setelah terdiam beberapa detik, Zhorif membuka pintu kamar mandinya dan mencari-cari keberadaan Zhara yang entah pergi kemana. Rupanya, setelah beberapa menit mencari, wanita mungilnya itu telah berbaring di atas kasur dan tertidur pulas dengan posisi membelakanginya sehingga hanya punggungnya saja yang sedikit terlihat. Zhorif tersenyum tipis dan ikut membaringkan diri di atas ranjang. Ia sangat ingin mendekap punggung mungil itu, tetapi Zhara menggunakan pakaian tidur yang terlalu terbuka dan wanita itu pastinya akan merasa tak nyaman jika mereka terlalu berdekatan.
Sudahlah! Zhorif akan menahan dirinya untuk malam ini. Yang terpenting baginya adalah Zhara sudah berada di sini, dekat dengannya dan bersamanya. Zhorif membenarkan selimut yang dipakai istrinya sebelum benar-benar memutuskan untuk memejamkan mata dan berusaha tidur. Namun, sepertinya ketenangan sedang tidak berpihak padanya. Buktinya, saat ini Zhara memutar tubuhnya dan tanpa sadar memeluk tubuh Zhorif begitu erat.
Zhorif langsung membuka matanya lebar karena terkejut. Tak lama kemudian, ia berusaha memindahkan tangan istrinya agar menjauh, tetapi yang terjadi malah Zhara semakin menempel, bahkan menimpa kakinya dengan kaki wanita itu. Untuk mengusir gelenyar aneh yang kian menyerbu pemikiran dan hatinya, Zhorif buru-buru menyibukkan diri dengan cara merapalkan doa sebelum tidur.
"Mas..." Zhara bergumam pelan dalam tidurnya. Zhorif lekas menunduk dan menatap wajah pulas istrinya yang menempel di atas dada bidangnya. "Aku pengen punya tiga anak."
***
'Good morning, Istri. Maaf Mas harus buru-buru pergi untuk mengurus pekerjaan di rumah sakit. Mas usahakan untuk segera pulang, ya? Kalau sudah bangun nasi gorengnya langsung dimakan ya, jangan lupa baca doa dulu, habis itu mandi dan pakai pakaian yang sudah Mas taruh di meja wastafel. Kata Arsen, dia dan yang lainnya mau ngajak kamu jalan-jalan.'
Usai membaca pesan tersebut, bibir Zhara refleks maju beberapa senti. Sebenarnya ia sangat berharap Zhorif akan menuliskan kata-kata manis, seperti 'Mas mencintai kamu' atau 'Love you, Sayang', tapi mau bagaimana lagi? Suaminya itu memang bukan tipe laki-laki romantis dan selama mereka menikah Zhara juga tidak pernah mempermasalahkannya.
Selintas pemikiran muncul di kepalanya ketika ia baru saja menyuap satu sendok nasi goreng sosis ke dalam mulutnya. Bukankah itu bagus? Menjadi laki-laki yang tidak romantis berarti sama saja dengan manusia yang memiliki kekurangan. Mengapa kekurangan? Karena selama ini tidak satu pun pernah Zhara temukan sebuah kekurangan dari diri Zhorif. Pria itu selalu baik di segala hal, kecuali yang satu ini, Zhorif sedikit kaku dan tak berpengalaman dalam hal-hal berbau romantisme.
Ting-tong!
Bel yang berbunyi membuat Zhara terbelalak kaget. Apa itu Arsen dan yang lainnya? Mengapa mereka datang begitu cepat? Zhara pun buru-buru membukakan pintu, dan benar saja, itu adalah kerabat-kerabat suaminya. Arsen, Jojo, dan Zhikan melambai-lambaikan tangan sembari tersenyum lebar, memamerkan gigi-gigi putih mereka yang tersusun rapi akibat perawatan sejak dini.
"Selamat pagi, Adik Ipar!" Arsen mengacak rambut Zhara gemas dan menyerobot masuk ke dalam apartemen tanpa izin, tentu saja kemudian diikuti oleh Jojo dan Zhikan dari belakang. "Wah! Enak nih, nasgornya. Buat sendiri, ya? Eh, nggak mungkin! Kalau enak kayak gini udah pasti Zhorif yang masak." Arsen menyomot sesuap nasi goreng buatan Zhorif ke dalam mulutnya dengan santai, mengabaikan tatapan terkejut Zhara dan dua pria lainnya. "Om cuma mau bantuin kamu kok, nggak ada maksud lain. Buruan mandi, deh! Habis ini kita mau pergi ke suatu tempat," perintahnya yang entah mengapa selalu saja dituruti oleh Zhara.
*
*
*
"Ini dimana, Kak?"
Zhara turun dari mobil Mercedes Benz hitam milik Zhikan dan menapakkan sepatunya di rerumputan segar halaman depan sebuah rumah mewah yang berada di hadapan mereka. Wanita itu berdecak mengagumi betapa indahnya bangunan itu dibuat dengan sedemikian rupa. Rumah itu terlihat seperti rumah impian untuk semua orang. Jika suatu saat Zhara dapat memiliki rumah, ia mungkin ingin rumahnya dibangun persis seperti yang satu ini, mengingat kemungkinan dirinya melahirkan tiga orang anak kelak, tidak mungkin dia dan Zhorif akan terus tinggal di apartemen.
"Masuk, Dek." Teguran dari Zhikan membuat Zhara tersadar dari lamunannya dan kemudian mengikuti tiga pria yang sudah terlebih dahulu masuk ke dalam rumah indah itu. "Bagus ya, rumahnya?" tanya Zhikan seraya terkekeh geli melihat ekspresi penuh kekaguman Zhara.
"Bagus banget, Kak. Ini rumah Kakak sama Mbak Kia, ya?" tanyanya penasaran sembari memerhatikan dengan saksama desain dan furniture yang digunakan di dalam rumah tersebut. "Aku boleh izin liat-liat nggak, Kak?" tanyanya lagi meskipun pertanyaan yang sebelumnya tidak terjawab.
"Silakan, tapi Kakak saranin, kamu mulai dari ruangan yang itu dulu."
"Oke, Kak."
Perkataan Zhikan membuat rasa penasaran dan antusias Zhara semakin menggebu-gebu. Wanita itu perlahan mulai mendekati pintu ruangan yang ditunjuk oleh Zhikan sebelumnya, membuka knopnya dengan sangat hati-hati dan melangkah masuk dengan sempurna. Namun tidak sesuai dugaan, yang Zhara temukan bukanlah sebuah kamar yang didesain dengan indah, melainkan ruangan kosong berwarna putih berukuran super besar, dan begitu banyak kelopak bunga mawar yang berserakan di lantai marmernya membentuk sebuah jalan lurus ke depan. Merasa penasaran, Zhara pun memutuskan untuk mengikuti keinginan kakinya, yaitu menjelajahi ruangan tersebut lebih jauh.
"Mas Zhorif?"
Zhara menatap suaminya yang terduduk di depan sebuah piano besar dengan mengenakan tuksedo hitam dan dasi kupu-kupu. Tepat di depan dan belakang Zhorif, ada dua ekor badut beruang lucu yang menggerak-gerakkan tubuh mereka antusias seolah meminta Zhara untuk melangkah lebih dekat lagi. Zhara menurutinya dan mulai tertegun ketika jemari suaminya mulai bergerak untuk menekan tut piano dan menghasilkan nada-nada lagu yang begitu indah dan romantis.
I've waited a hundred years
But I'd wait a million more for you
Nothing prepared me for
What the privilege of being yours would do
Ya Tuhan, apa-apaan ini? Mengapa Zhorif menyanyikan sebuah lagu yang begitu indah dengan suaranya yang luar biasa keren? Baru mendengar dan menyaksikan sesedikit ini saja sudah membuat kaki Zhara terasa meleleh dan ingin segera jatuh ke dasar.
If I had only felt the warmth within your touch
If I had only seen how you smile when you blush
Or how you curl your lip when you concentrate enough
I would have known what I was living for all along
What I've been living for
Lirik dan irama lagunya terdengar sangat romantis, ditambah lagi wewangian yang keluar dari kelopak bunga mawar membuat Zhara semakin terbawa suasana.
Your love is my turning page
Where only the sweetest words remain
Every kiss is a cursive line
Every touch is a redefining phrase
Zhara terkekeh pelan karena salah fokus dengan tingkah aneh Jeje dan Tama di balik kostum beruang mereka, kedua pria itu seolah memohon kepadanya untuk meneteskan air mata agar Zhorif dapat merasa puas akan apa yang dikerjakannya saat ini. Zhara mengangguk mengiyakan permintaan keduanya, ia langsung meneteskan air matanya dalam hitungan detik. Bukan, bukan karena perintah dari Jeje ataupun Tama, tapi karena perasaan haru itu telah datang dengan sendirinya dan ia tahan sejak melihat Zhorif duduk di sana.
I surrender who I've been for who you are
For nothing makes me stronger than your fragile heart
If I had only felt how it feels to be yours
Well, I would have known what I've been living for all along
What I've been living for
Zhorif mengangkat wajahnya dan menatap Zhara dari kejauhan, tersenyum tipis ketika mendapati derasnya air mata yang keluar dari ujung mata bulat kembar menggemaskan milik istrinya itu. Dalam hati, Zhorif ingin sekali segera menghampiri Zhara dan membawa tubuh mungil itu masuk ke dalam dekapannya, menepuk punggung wanita itu seraya berkata 'tidak apa-apa', tapi ia terpaksa menahan keinginannya karena lagu yang tengah ia nyanyikan belum benar-benar selesai dan ia sama sekali tidak mau gagal menjadi laki-laki yang romantis bagi istrinya.
Though we're tethered to the story we must tell
When I saw you, well I knew we'd tell it well
With a whisper, we will tame the vicious seas
Like a feather, bringing kingdoms to their knees
(Turning Page — Sleeping At Last)
Lagu itu berakhir dengan anggun. Zhorif mengambil sebuah buket hitam yang bertugas melindungi bunga baby breathe-nya dan mulai melangkah mendekat untuk menghampiri Zhara yang masih sibuk menangis tersedu di kejauhan karena terlalu terharu. Pria itu menarik tubuh mungil Zhara untuk masuk ke dalam dekapannya, berusaha menenangkannya, meskipun pada akhirnya tangisan Zhara semakin mengeras.
"Udah, nanti matanya bengkak," tegur Zhorif lembut sembari mengusap air mata yang membasahi pipi tembam istrinya. "Kalau kamu nangis terus, kapan Mas bisa lanjutin yang lainnya?"
"Masih ada yang lain, ya?" Dengan wajah yang memerah seperti tomat, Zhara bertanya dengan polosnya. "Aku nggak mungkin bisa berhenti nangis dalam waktu dekat, Mas lanjutin aja, nanti kelamaan kalau nunggu aku selesai." Zhara mengambil buket bunga yang pastinya sudah sejak awal hendak Zhorif berikan padanya.
Zhorif tak kuasa menahan gelak tawanya, begitu juga dengan dua beruang dan tiga pria lain yang telah mengintip mereka dari balik pintu secara diam-diam. Setelah beberapa saat, Zhorif mengangguk menyetujui permintaan sang istri, mengulurkan tangannya ke samping untuk meminta sesuatu pada Tama. "Mas nggak bisa mengatakan seberapa berterimakasihnya Mas pada kamu karena telah bersedia kembali, tapi kalau boleh ... apa kamu bisa membantu Mas untuk menghilangkan benda ini?" Zhorif menyerahkan sebuah amplop cokelat besar yang baru saja diberikan Tama padanya. Zhara tampak bingung, tetapi tangannya tetap bergerak untuk membuka isi amplop tersebut. Rupanya, itu adalah sebuah berkas terkutuk yang dulu pernah ia berikan pada Zhorif. Ya, surat perceraian.
"Mas..." Tangisan Zhara semakin mengeras karena mengingat jelas perasaan bersalahnya. "Dirusaknya pake apa?" tanyanya dengan tatapan polos dan berair. Tama yang mendengar itu buru-buru menyodorkan sebuah gunting pada wanita itu. Zhara menggeleng menolak dan berkata, "Guntingnya tumpul dan kekecilan, kelamaan." Usai berkata demikian, Zhara langsung merobek kertas tersebut tanpa ragu dan dengan kekuatan penuh hingga semuanya jatuh berserakan di lantai.
"Jangan peluk dulu, Mas belum selesai, Sayang..." Zhorif buru-buru menahan bahu Zhara ketika istrinya itu sudah bersiap untuk memeluk erat tubuhnya kembali. Zhara terdiam membeku ketika mendengar panggilan itu. Panggilan yang selama ini sangat ingin ia dengar dari mulut Zhorif, yaitu Sayang. "Sini tangannya." Terlalu banyak melamun membuat Zhara tidak sadar bahwa sang suami sudah menekuk salah satu kakinya di lantai dan memegang sebuah cincin berlian. Zhorif menarik lembut tangan kanan Zhara karena tak sabar untuk menunggu lebih jauh. Pria itu segera memasangkan cincin yang baru dibelinya tadi pagi dengan sebuah senyuman puas yang terukir di sepanjang bibirnya. "Sesuai perjanjian, berliannya jauh lebih besar dari yang Agam kasih, 'kan?"
"Saking besarnya sampai bisa ngalahin bapak-bapak komplek yang suka pake batu akik," kekeh Zhara yang membuat Zhorif ikut tertular. "Makasih, Mas Suami." Zhara langsung memberikan Zhorif sebuah pelukan usai pria itu selesai mengecup lembut punggung tangannya.
Zhorif mengangguk pelan sembari mengusap rambut Zhara. "Sama-sama, tapi ini masih belum selesai..." Pria itu memberikan kode untuk yang lainnya agar tetap diam di tempat sebelum mengajak Zhara untuk keluar ruangan dan menaiki tangga yang mengarah ke lantai dua. Di lantai dua, Zhara dapat melihat enam buah pintu yang tampaknya dibuat untuk kamar. Zhorif mengajak wanita itu mendekat ke salah satu pintu, berhenti di depannya, dan kemudian membukanya. Jika tadi Zhara benar-benar telah dibuat terkejut, kali ini ia dibuat benar-benar-benar terkejut sebab dirinya tidak menyangka Zhorif akan mempersiapkan semuanya sematang ini.
"Aku pikir ini rumahnya Kak Zhikan..." Zhara kembali menangis keras, sedangkan Zhorif kembali terkekeh geli dalam menanggapinya. Bagaimana tidak kembali terharu? Zhorif memerlihatkan sebuah kamar bernuansa biru muda yang dibuat khusus untuk bayi laki-laki, yang itu berarti Zhorif sudah sangat siap untuk memiliki seorang anak dan menjadi seorang ayah lagi. "Mas, air mata aku nggak mau berhenti. Gimana, dong?" Zhara mengelap air matanya yang membasahi wajahnya di tuksedo yang dikenakan oleh sang suami. "Mau kemana lagi, sih?!" Wanita itu protes ketika Zhorif kembali menariknya untuk berhenti di depan pintu yang lain.
"Kalau kamar yang tadi untuk Muhammad Zafranio Wira Atmadja, kamar yang ini untuk Zaneea Gwen Wira Atmadja. Gimana? Kamu suka?"
Zhara menatap kamar bernuansa merah muda itu dengan mata yang berair. Ia kemudian menganguk-anggukkan kepalanya sebelum kembali memeluk Zhorif untuk yang ke sekian kalinya. Dalam isak tangisnya, wanita itu masih menyempatkan diri untuk bertanya, "Kalau anak kita taunya cowok, cowok, cewek, gimana? Mas masih kurang satu kamar."
"Ya, rumah ini udah lumayan lama Mas bangun, tepatnya dua tahun lalu, Mas nggak kepikiran kalau kamu mau punya tiga anak. Jadi, Mas cuma buat dua kamar, tapi nggak masalah ... kalau ada satu anak cowok lagi, dia masih bisa pakai kamar kosong di sana," tunjuknya ke satu pintu yang lain.
Zhara menganggukkan kepalanya setuju dan menengadah agar dapat menatap wajah sang suami tanpa mengurai pelukkannya. "Namanya Muhammad Chitato Pringles Wira Atmadja, ya?"
Tidak, tidak lagi. Jika kemarin Zhorif mengalah-ngalah saja ketika calon anaknya hendak diberi nama Boba Lays MamyPoko, kali ini ia tidak akan. Ia tidak mau anaknya nanti diledek ataupun dibuli oleh teman-teman sekelasnya. "Jangan. Namanya Muhammad Gibransyah Wira Atmadja aja."
"Pakai 'aja' di belakangnya?" Zhorif menggelengkan kepala sebagai jawaban dan itu malah membuat Zhara mendesah kecewa dan mengerucutkan bibirnya sebal. "Kalau ternyata anaknya cewek lagi, gimana?" tanyanya dengan mata membulat antusias, penuh harapan.
"Kamu yang kasih nama," ujar Zhorif tak tega melihat istrinya. Namun, dalam hati bermohon-mohon pada Allah SWT untuk memberinya satu anak perempuan saja.
Zhara melompat-lompat kegirangan. "Yes! Makasih Mas Sayang."
"Sama-sama."
"Sama-sama aja?" Wanita itu mengerutkan dahinya tak puas.
"Sama-sama, Zhara..."
"Ih, Mas!" Zhara memberengut dengan posisi kedua tangan yang terlipat di depan dada. "Kok, manggilnya Zhara, sih?! Panggilan yang lain 'kan, bisa. Contohnya, Istri, Wifey, Honey, Baby, atau Love, masih banyak—"
"Sama-sama, Sayang."
Zhara refleks mengulum senyumannya, menahan diri agar tidak terlihat jelas bahwa dirinya sudah lama menanti panggilan itu.
Tanpa Zhara sadari, Zhorif juga sedang menahan diri agar tidak menertawakannya. Meskipun berusaha sekuat apapun untuk menyembunyikannya, Zhorif tetap saja dapat melihat kebahagiaan itu sebab Zhorif sudah terlalu mengenalnya lebih dari siapapun. Zhara tersentak kaget ketika Zhorif tiba-tiba saja menarik pingganya untuk lebih mendekat hingga hidung mancung mereka saling bersentuhan. "Mas jangan sekarang! Malu dilihat yang lain," keluhnya ketika Zhorif baru saja memiringkan kepala, mencari posisi yang tepat untuk memulai aksi tujuh belas tahun ke atasnya.
"Aman. Mas udah suruh mereka menetap di lantai bawah khusus agar Mas bisa nyium kamu dengan leluasa."
Zhara terkekeh geli dan menganggukkan kepalanya, memberi persetujuan agar Zhorif dapat melakukan keinginannya yang sudah ditahan-tahan itu. Zhorif langsung tersenyum puas, mengangkat tubuh mungil istrinya dalam sekali percobaan, kemudian mendekatkan bibirnya di salah satu telinga Zhara dan berkata,
"I love you, My Childish Wife."
Tak lama dari itu,
Boom!
Pintu kamar paling ujung di lantai dua itu tertutup dengan kuat karena ulah Zhorif yang sudah tak sabaran untuk menghabiskan waktu berdua saja dengan sang istri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top