Ekstra Bab 3 - Lahiran
Usia kandungan Zhara telah memasuki delapan bulan lebih, perutnya terlihat lebih buncit daripada wanita pada umumnya, sedangkan kakinya membengkak, dan bagian kulit perutnya kian diselimuti oleh tekstur keriput yang sering disebut sebagai strechmark.
Kini Zhara terlihat sedang merenung di kursi santai berukuran panjang yang letaknya berhadapan langsung dengan kolam berenang rumah. Wanita itu menghela napasnya gusar sembari mengunyah permen jeli berbentuk beruang. Ia sangat bosan. Namun, Zhorif sama sekali tak mengizinkannya pergi kemana-mana. Ralat! Lebih tepatnya terlalu banyak beraktivitas sebab minggu depan Zhara akan dioperasi sesar.
"Zhara?"
Panggilan Zhorif membuat Zhara langsung memalingkan wajahnya dengan raut wajah sebal.
Zhorif yang mendapati kelakuan istrinya itu hanya bisa menghela napas dan berjalan mendekat, duduk di bantalan kursi yang sama dengan Zhara, lalu menarik tubuh wanita itu agar bersandar di dadanya.
"Moma marah lagi sama Popa?"
Tak ada sahutan. Zhorif pun mengulurkan tangannya untuk menyentuh perut Zhara dan mengelusnya lembut.
"Bang, Kak, Dek, bilangin dong, sama Moma kalian kalau Popa nggak bermaksud buat Moma marah. Popa cuma khawatir dan nggak mau sampai terjadi apa-apa sama kalian berempat kalau Moma kecapekan..."
Meskipun triplet belum bisa menjawab dengan suara, mereka tetap merespon ucapan Zhorif dengan berbuat gaduh di dalam sana sehingga perut Zhara terlihat bergerak seperti ombak di lautan.
"Ih, Mas!"
Zhara melepaskan diri dari pelukan Zhorif dan menatapnya dengan delikan tajam. Selalu saja seperti ini. Triplet hanya merespon ucapan ayahnya dan itu selalu sukses membuat Zhara merasa cemburu. Bagaimana tidak? Bukankah seharusnya ikatan seorang ibu dan anak-anaknya lebih kuat ketimbang dengan seorang ayah?
Tak mudah menyerah, Zhorif kembali menarik Zhara agar kembali bersandar pada dadanya. Pria itu mengelus rambut istrinya sembari memejamkan mata nyaman. "Mas sayang kamu..."
Perkataan Zhorif sontak membuat wajah Zhara merona dan melupakan kekesalannya. Wanita itu menengadah dan memandang wajah tampan suaminya yang tenang. "Beneran?" Zhorif mengangguk tanpa berpikir panjang.
"Mas..."
"Hm?"
"Apa Mas dulu benar-benar berniat melamar aku atau Mas hanya merasa bersalah karena melihat aku dan Mama menangis?"
Zhorif membuka kedua matanya, menurunkan pandangan, lalu mencium dahi istrinya lama. "Mas benar-benar menginginkan kamu."
Zhara menghela napasnya pelan. Entah mengapa hanya dengan mendengar jawaban Zhorif, suasana hatinya langsung berubah menjadi mellow. "Alasannya karena dulu aku cantik, ya?"
"Cantik dan menggemaskan." Zhorif meralat ucapan Zhara yang kurang lengkap.
"Kalau sekarang?" Zhara mencebikkan bibirnya dengan mata yang berkaca-kaca menahan tangis. "Apa Mas pernah berpikir untuk mencari perempuan yang lebih cantik, tinggi, kurus, pintar, dan pengertian daripada—"
Ucapan Zhara dipaksa berhenti karena kecupan singkat Zhorif yang bersarang di bibir ranumnya.
"Dunia ini sangat luas dan untuk mendapatkan yang seperti kamu sudah sangat sulit buat Mas." Zhorif mengusap lembut punggung tangan Zhara yang berada di pahanya. "Lagipula meski di dunia ini ada banyak perempuan yang jauh lebih cantik, tinggi, kurus, pintar, dan pengertian daripada kamu ... itu sama sekali bukan urusan Mas."
Setetes air mata haru Zhara jatuh dan itu membuat Zhorif langsung mengulurkan tangan untuk menghapusnya. "Mas sangat mencintai kamu, termasuk semua yang ada di diri kamu, baik kelebihan maupun kekurangan, tapi sepertinya kamu selalu lupa akan hal itu."
"Maafin aku ya, Mas?"
Zhorif menyatukan ujung hidung mereka dan menggeseknya pelan sebelum menganggukkan kepala sembari tersenyum. "Dimaafin."
"Mau kemana?" Zhorif lekas menahan pergelangan tangan Zhara ketika wanita itu baru saja hendak turun dari kursi.
"Mau pipis."
"Nanti ke sini lagi?"
Zhara tersenyum dan menganggukkan kepala.
Zhorif pun melepaskan tangan Zhara dan memperhatikan punggung istrinya yang baru saja akan menjauh. Pandangannya bergerak turun dan alis kembarnya langsung bertaut ketika mendapati kedua kaki bengkak Zhara dialiri oleh sesuatu.
Zhara tiba-tiba berhenti melangkah sebab merasakan gejolak sakit pada bagian perutnya. Wanita itu meringis dan hampir saja jatuh berlutut apabila Zhorif tidak buru-buru berlari dan menopang tubuhnya.
"Mas, perutku sakit..." Ia merintih.
Zhorif tak langsung menyahut dan malah menyingkap daster yang dikenakan oleh istrinya. Matanya terbelalak kaget ketika melihat cairan bewarna bening-kekuningan membasahi kedua sisi paha Zhara.
"Mas, aku ngompol ya?!" Zhara mengerutkan dahinya bingung akan kelakuan tubuhnya sendiri. Bagaimana bisa di usianya yang hampir menginjak 22 tahun ia masih pipis di celana? Parahnya lagi di depan sang suami pula!
"Ini air ketuban, Zhara."
Zhorif tetap berusaha untuk terlihat tenang dan menggendong tubuh istrinya yang sudah sangat berat untuk segera menuju ke dalam mobil.
"Kita mau kemana, Mas?! Aku malu belum ganti celana!" Protes Zhara ketika suaminya menyalakan mesin mobil dan lekas melaju pergi hingga membuat pembantu rumah tangga serta sopir pribadi mereka merasa kebingungan.
Zhorif mengatur napasnya dan melirik Zhara yang kian menggenggam erat safety belt akibat takut dengan cara menyetir Zhorif yang sudah seperti seorang pembalap liar.
"Kamu akan segera melahirkan."
*
*
*
"Pa!"
Untuk yang pertama kalinya dalam 32 tahun usia kehidupan, Zhorif berseru keras pada Fachri.
"Zhara adalah istriku. Bagaimana bisa aku membiarkan dia masuk ke dalam sana sendirian?!"
Zhorif mengacak rambutnya frustrasi. Pria itu terlihat seperti akan hilang kewarasan hanya karena tidak diperbolehkan untuk masuk ke ruang operasi Zhara.
"Fauzan dan Alka yang akan melakukan operasi dan sekarang kamu cukup duduk diam menunggu di sini!" Tegas Fachri yang keputusannya itu sangat disetujui oleh keluarga besar Wira Atmadja.
"Papa, aku mohon..." Zhorif menjatuhkan kedua lututnya tepat di hadapan kaki Fachri. "Aku janji akan mengontrol diriku dengan baik. Aku janji tidak akan mengacau. Aku janji akan terus baik-baik saja, bahkan sampai operasi berakhir, Pa."
Keluarga Wira Atmadja beserta Burhan dan Mia dapat melihat keseriusan di balik mata Zhorif. Namun tetap saja, menyetujui permintaan Zhorif sangat berat bagi Fachri. Pria baya itu takut kejadian lampau kembali menimpa putranya, dan ia sangat yakin jika dulu Zhorif berhasil mengatasi traumanya, maka tidak untuk yang sekarang ini sebab itu bersangkutan dengan Zhara.
Arsen yang sejak tadi hanya memperhatikan mulai mendekati Zhorif. Pria itu ikut menundukkan tubuh dan memegang bahu sahabatnya. "Rif, liat gue!" Zhorif mengikuti perintah Arsen. "Gue bisa pegang janji lo, 'kan?" Zhorif mengangguk. "Lo akan tetap baik-baik aja apapun hasilnya. Iya, 'kan?" Pria itu kembali menganggukkan kepala.
Arsen menghela napasnya berat dan menepuk bahu sahabatnya. "Fine. Lo boleh pergi." Fachri membulatkan matanya tak setuju dengan ucapan Arsen. "Sisanya gue yang akan urus." Arsen memalingkan pandangannya pada Tama, Jojo, dan Jeje. "Kalian bantu gue."
Hanya lewat tatapan mata saja Zhorif sudah mengerti maksud dari ucapan Arsen. Pria itu lantas bangkit dari posisinya dan segera melenggang pergi untuk mengganti pakaiannya. Ia mengabaikan Fachri yang berusaha mengejarnya, tetapi tertahan karena ulah para keponakannya yang pembangkang.
Zhorif masuk ke dalam ruangan bersuhu dingin itu tanpa ragu, membuat orang-orang di dalamnya merasa begitu terkejut. Beberapa suster yang sebelumnya diperintahkan oleh Fachri buru-buru menghadang jalannya. Namun, dipaksa berhenti atas perintah Fauzan.
"Biarkan dia masuk. Dia datang sebagai suami pasien, siapapun yang berani melarangnya silakan keluar dari ruangan ini."
Ucapan Fauzan membuat Zhorif tersenyum tipis. Ia lantas mendekati Zhara yang sudah berbaring di atas kasur operasi dengan kesadaran tak penuh. "Hei, Mas di sini..." Zhorif duduk di kursi yang sudah disiapkan lalu menggenggam tangan istrinya yang tak bertenaga.
"Om, tolong lakukan dengan cepat dan benar," pintanya pada Fauzan dengan mata memerah menahan air mata.
"Jangan remehkan kemampuan Om." Fauzan mulai fokus membedah dengan Alka sebagai dokter yang membantunya.
Operasi memakan waktu yang cukup lama, tapi tak sedetikpun Zhorif melepaskan pandangannya dari Zhara. Ia mengecup punggung tangan Zhara yang masih digenggamnya berkali-kali ketika putra pertama mereka berhasil lahir dengan selamat lalu berlanjut hingga putra kedua dan ketiga. Ruangan itu dipenuhi oleh helaan napas lega dan tangisan nyaring tiga orang bayi yang menggemaskan dan gemuk.
Fauzan dan Alka tak kuasa menahan tawanya ketika melihat Zhorif menangis keras untuk menunjukkan seberapa bahagia dirinya saat ini.
"Nangis mulu lo, perhatiin jam lahir, nggak?" Alka mendekati Zhorif dengan dua bayi di gendongannya.
Zhorif mengangguk dan semakin mengeratkan genggamannya pada tangan Zhara yang masih bisa melihat secara buram. "Muhammad Zevansyah Wira Atmadja pukul 15.45, Muhammad Zafaranio Wira Atmadja pukul 15.51, dan Muhammad Zaska Wira Atmadja pukul 15.55."
Fauzan dan Alka kompak geleng-geleng kepala, berdecak mengagumi seberapa hebatnya seorang Zhorif walau dalam keadaan menangis seperti ini.
"Kalau Om boleh bawa hp, udah Om foto ekspresi kamu, terus Om share di grup WA keluarga."
Fauzan kembali menyelesaikan pekerjaannya yang sempat tertunda, sedangkan Alka berganti kerja untuk memeriksa keadaan triplet secara telititi.
Air mata Zhorif semakin mengalir deras ketika melihat Zhara yang tersenyum tipis meski dengan kedua mata yang hampir terpejam sepenuhnya.
"Anak kita lahir dengan selamat, Sayang. Terima kasih. Mas mencintai kamu dan anak-anak. Selalu..."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top