Bab 9 - Tak Ingin Berpisah
💌 : idol Kim Sejeong (Korea) akan mengambil peran sebagai Aufa, sahabat setia Zhara sekaligus musuh bebuyutan Agam. Bagi yang kepo, ini fotonya (👇)
Selamat membaca!
⭐ & 💬
●
●
●
Zhorif tidak pernah menyangka bahwa malam itu akan menjadi malam tersialnya. Setelah memukul seorang pemuda tanpa aba-aba, wajahnya dipukul balik karena pemuda itu merasa tidak terima atas perlakuannya yang semena-mena. Lebih parahnya lagi, Zhorif baru tahu bahwa pemuda itu dan Zhara saling mengenal, tidak sesuai dengan ekspetasinya yang berpikiran bahwa Zhara sedang diganggu oleh pemuda nakal yang sering nongkrong di gang-gang kecil. Lagipula, ini tidak sepenuhnya salah Zhorif, siapa suruh pemuda itu berpakaian serba hitam seperti preman kampung.
"Maaf..." Hanya satu kata itulah yang mampu Zhorif keluarkan dari bibirnya ketika mereka bertiga telah masuk ke dalam mobil milik kenalan Zhara.
Awalnya Zhorif agak kaget ketika mendapati ada pemuda lain di dalamnya, apalagi pemuda itu tampak mabuk berat hingga ingin memuntahkan isi perutnya berulang kali meski pada akhirnya tetap gagal.
"Ndo! Jangan pulangin gue ke rumah! Ntar gue dibacok sama Emak-Babeh!" Pemuda itu berbicara tak jelas. Ia kemudian menyipitkan matanya untuk memerhatikan Zhorif, sosok yang pernah ditemuinya beberapa waktu lalu. "Kenapa calon laki' adek sepupu gue ada di sini?" tanyanya keheranan.
Ya, pemuda itu adalah Vino, kakak sepupu Zhara.
Vino terkekeh geli, kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya dan menggerakkan tangannya untuk menyentuh ujung bibir Zhorif yang berdarah akibat pukulan yang Nando berikan. "Lo harus jadi cowok baik-baik," gumamnya, "karena Zhara perempuan baik-baik..." Setelah mengatakan kalimat tersuratnya, Vino oleng, kepalanya hampir jatuh bersandar ke bahu Zhorif jika saja Zhara yang duduk di ujung kanan tidak buru-buru menahan.
"Ish, Abang! Jangan pegang-pegang Mas Zhorif! Aku yang berstatus sebagai calon istrinya aja, nggak pernah megang-megang!" gerutu Zhara dengan alis mengerut tak suka.
Nando yang sejak tadi hanya memerhatikan ketiganya lewat kaca spion tengah mulai mengeluarkan suara. "Kakak nggak tau mau bawa dia kemana, makanya tadi pas kebetulan liat kamu di jalan, Kakak langsung refleks nahan kamu. Sorry, kalau itu ngeganggu pacar posesif kamu." Zhorif menghela napasnya pelan. Meskipun kelihatannya Zhara tidak terlalu mengerti, Zhorif tetap tahu bahwa Nando sedang menyindirnya secara tidak langsung, membuat batinnya semakin dilanda rasa bersalah walaupun sudah meminta maaf.
"Saya seorang dokter. Saya akan bertanggung jawab atas luka kamu," ujar Zhorif setelah menimbang cukup lama untuk memberikan balasan yang terbaik.
Nando berdecak dan menggelengkan kepalanya. "No problem, Bro. Ini cuma luka kecil, masih bisa ditoleransi."
Masih bisa ditoleransi? Kalau begitu, kenapa sejak tadi bertingkah berlebihan? Membuat Zhorif kebingungan saja.
Pandangan Zhorif beralih menuju Zhara yang rupanya tengah memerhatikannya. "Bibir Mas berdarah," cicitnya dengan raut wajah sedih, seolah wajah Zhorif merupakan manekin buatannya yang retak sedikit.
"Kakak juga berdarah lho, Ra," sahut Nando merasa keberatan karena tidak dipedulikan.
Namun tidak sesuai perkiraannya, ia malah mendapat pukulan kecil di bahunya. "Kakak jahat banget sih, sama calon suami aku!" kesalnya yang membuat Nando sampai melongo kebingungan.
"Ra, yang mukul duluan itu dia, bukan Kakak. Kok, kamu jadi nyalahin--"
"Ya, tetep aja Kakak yang salah! Pokoknya, kalau aku bilang Kakak, ya, berarti Kakak! Siapa suruh tiba-tiba nyamperin aku? Pake pegang-pegang segala lagi! Bukan mahram tau! Terus, emangnya Kakak nggak pernah diajarin sama guru agamanya ya, kalau kita itu nggak boleh membalas perbuatan jahat orang lain?!" omel Zhara panjang lebar.
Nando angkat tangan. Ia tidak mau meladeni Zhara lagi. Rupanya memang benar perkataan Vino, dia pasti akan menyesal karena pernah merasa tertarik dengan gadis seperti Zhara.
Zhorif menghela napasnya gusar, merasa kepeningan dengan kecerewetan gadis remaja di dekatnya itu, tangannya kemudian bergerak untuk merogoh ponselnya yang disimpan di kantung celana. Setelah mendapatkan benda itu, ia bergegas mengirimkan pesan kepada Alka, meminta pria itu untuk menggantikan shift-nya di malam ini dengan alasan kecelakaan mendadak. Untungnya, Alka tak banyak bertanya dan langsung menyetujuinya.
"Kamu mau pulang sama Mas?" tawar Zhorif yang membuat Zhara terpaksa menghentikan omelannya yang sudah berada di ujung bibir.
Zhara menatap Zhorif dengan mata yang membulat karena kaget. "Mas mau aku nginep di rumah Mas?" Gadis itu dengan polos mengerjap-ngerjapkan bulu matanya yang lentik alami.
"Saya antar ke rumah kamu," jelas Zhorif yang membuat Zhara harus menelan rasa kecewanya. "tapi kalau kamu nggak mau--"
"Mau, kok!" potong Zhara cepat.
Gadis itu keluar dari mobil dan mengacir pergi setelah memeletkan lidahnya ke arah Nando. "Dah, Kak! Semoga kita nggak ketemu lagi!" Zhara melambai-lambaikan tangannya ke arah pria itu sembari menunggu Zhorif berpamitan dengan Nando.
Ketika keduanya masuk ke dalam mobil milik Zhorif, mobil itu pun akhirnya bisa kembali berjalan menyusuri keramaian jalan raya kota Jakarta. Setelah cukup lama melaju, mobil itu terpaksa berhenti di sebuah apotek yang terletak di seberang jalan karena paksaan dari Zhara. "Mas tunggu di sini aja, ya," perintahnya sebelum mengacir pergi untuk masuk ke dalam apotek tersebut.
Zhorif hanya bisa menatap punggung Zhara yang mulai menjauh. Pria itu mengusap dadanya merasa lega karena telah meminta bantuan Alka untuk menyelesaikan pekerjaannya.
Tak lama dari itu, Zhara kembali dengan sebuah kantong plastik transparan di tangannya. Gadis itu kembali masuk ke mobil dan langsung menyalakan lampu bagian dalam mobil. Ia merobek sebuah bungkusan yang ternyata di dalamnya berisi sebuah tisu alkohol. Zhara mendekatkan tubuhnya pada Zhorif yang tengah bersandar di kursi. Ketika tisu itu hampir menempel pada luka di ujung bibir pria itu, Zhorif menahan pergelangan tangan Zhara secara refleks. "Saya bisa sendiri," ujarnya yang berupa penolakan.
Zhara menggelengkan kepalanya seraya melepaskan tangan Zhorif yang mencoba menghalangi pergerakkannya. Pada akhirnya, Zhorif hanya bisa diam dan membiarkan gadis kukuh itu untuk membersihkan dan mengoles lukanya dengan sebuah salep. Tubuh pria itu menegang ketika Zhara melakukan suatu hal yang tak terduga, yaitu meniup luka tersebut dengan hati-hati dan telaten.
Entah apa yang merasuki Zhorif saat ini. Matanya tak berhenti menatap bibir Zhara yang sedikit berkedut karena meniup lukanya. Pikirannya mulai mengarah dan terfokus pada benda yang terlihat lembab dan kenyal itu.
"Udah, Mas!"
Zhorif memutuskan pandangannya karena terkejut. Pria itu menganggukkan kepalanya sebagai balasan dan bergegas kembali menjalankan mobil itu untuk menyibukkan pikirannya yang mulai melayang jauh.
Ketika mereka berhasil sampai di depan pagar rumah Zhara. Zhorif kembali dilanda masalah karena gadis itu tampaknya tidak ingin pulang dan malah memeluki safety belt-nya sendiri. "Aku mau ikut Mas pulang," rengeknya dengan mata berkaca-kaca.
Zhorif menghela napasnya, mencoba sabar menyikapi remaja labil yang duduk di sebelahnya itu. "Ini sudah malam, sebaiknya kamu cepat masuk ke dalam," ujarnya dengan nada membujuk.
Zhara mengerucutkan bibirnya kesal mendengar pengusiran Zhorif. "Mas nggak bisa nikahin aku sekarang aja, ya? Aku nggak mau pisah dari Mas." Sayangnya, cara halus Zhorif tampaknya tak berhasil menghadapi rengekan gadis itu.
"Jangan membicarakan hal yang nggak masuk akal," balas Zhorif mulai kehabisan kesabaran.
"Aku yakin bisa kok, kalau Mas mau berusaha!" sahut Zhara dengan seratus persen yakin.
"Berusaha apa?" balas Zhorif dengan bola mata yang terputar malas.
"Hamilin aku malam ini!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top