Bab 8 - Cincin
💌 : idol Rowoon (Korea) akan mengambil peran sebagai Jeje, maknae di DOGANS. Bagi yang kepo, ini fotonya (👇)
Selamat membaca!
⭐ & 💬
●
●
●
"Lo kenapa sih, Bro?!"
Agam menghela napasnya dengan kepala yang kian tertunduk. Ia melepas topi putih bertuliskan angka delapan dari kepalanya, kemudian menjatuhkannya secara sembarang ke rerumputan.
"Udah berapa kali kita gagal gara-gara lo!" Agam masih diam saja ketika Erik, teman seregunya, mendorong dadanya kuat hingga tubuhnya mundur beberapa langkah. "Kalau dari awal emang nggak niat main, mending nggak usah dateng!" Seakan belum puas, pria berusia 22 tahun itu kembali bertindak kasar terhadap Agam.
Steven, salah satu infielder, yang juga merupakan orang paling akrab dengan Agam di tim pun memilih untuk ikut campur dan menghampiri keduanya. "Udahlah, Rik. Udah kejadian juga, nggak bakal bisa diubah," ujarnya sembari menjauhkan Erik dari Agam, "lagian kalau Agam beneran cabut, kita juga nggak punya pemain pengganti, 'kan?"
Erik diam. Ia melirik Agam sinis sebelum melenggang pergi, mendekati pemain lain yang sejak tadi telah memerhatikan mereka dari kejauhan.
"Kenapa lo?" Steven menyentuh bahu lesu Agam. Namun, pria itu hanya diam, tak mau menjawab. Perhatian Steven pun teralih menuju ke dua orang yang duduk di kursi VIP sembari menyoraki nama Agam tanpa henti. "Berantem sama cewek lo?" tebaknya ketika tak menemukan sosok Zhara di antara Aufa dan Jhesen.
"Bukan cewek gue, Bang." Agam berjalan menjauh dan duduk di kursi peristirahatan tepat di depan tempat Aufa dan Jhesen berada.
"Burik amat cara main lo," komentar Jhesen sembari menyodorkan sebotol air mineral ke Agam.
Agam menerimanya, kemudian menghabiskannya hanya dalam satu tarikan napas. "Lagi nggak mood," sahutnya setelah itu. Aufa dan Jhesen manggut-manggut seakan mengerti. Sebenarnya, jauh di dalam lubuk hati, Agam sangat berharap kedua temannya itu akan memaksa Zhara untuk ikut menonton pertandingannya atau paling tidak mengatakan alasan di balik urusan penting yang gadis itu maksudkan tadi pagi. "Lo berdua nggak ngajak orang lain? Gue 'kan, ngasih tiga tiket." Sudah tak tahan lagi, Agam pun berinisiatif memancing pembicaraan.
"Zhara maksud lo?" sahut Aufa seolah dapat membaca apa yang sedang dipikirkan olehnya. "So—to the—rry ya, Gam. Gue bukannya mau berpihak ke dia, tapi menurut gue, lo itu udah keterlaluan banget." Agam sebenarnya kaget dengan ucapan Aufa yang sangat tiba-tiba itu, tapi sekuat mungkin, ia menetralkan ekspresinya. "Lo pikir, di dunia ini cuma lo yang punya urusan? Zhara juga punya lah! Lebih penting malahan!"
Aufa mendelik tajam ketika Jhesen menyenggol kakinya untuk menyuruhnya diam.
"Gue nggak ngerti lo bicara apa." Agam berpura-pura tak acuh hanya untuk mendengar penjelasan yang lebih lanjut.
"Abai'in aja, Gam. Nih cewek, pasti lagi PMS." Jhesen tertawa canggung sembari mengusap tengkuknya kikuk. "Mending lo fokus sama pertandingan, deh. Gue anter Aufa balik dulu. Sorry, kalau kami malah bikin lo gagal fokus." Jhesen mengajak Aufa untuk bangkit dari posisi duduknya.
"Urusan penting apa?"
Sebuah senyuman miring terukir di ujung bibir Aufa. Ia tahu bahwa sejak tadi Agam telah menahan-nahan rasa penasarannya. Oleh karena itu, Aufa sengaja bertindak demikian.
Aufa memutar tubuhnya untuk menghadap ke arah Agam lagi, kemudian tersenyum penuh arti. "Lo beneran mau tau?" godanya yang menyakiti harga diri Agam hingga membuat pria itu berdecak frustrasi, tetapi karena sudah terlanjur, ia hanya bisa pasrah dan menyesali pertanyaannya tadi.
"Kalau nggak niat ngasih tau, yaudah," rajuknya sembari berpura-pura bersiaga melenggang pergi.
"Yaudah, pergi aja lo sono!" sahut Aufa yang membuat Agam menggeram kesal, kemudian memutar tubuhnya kembali dengan tak sabaran.
"Urusan penting apa?!" tanyanya lagi. Namun, dengan nada yang lebih tinggi dan keras akibat emosi dengan kejahilan Aufa yang tak ada habisnya.
Aufa tersenyum puas sebelum dengan santai berkata, "Makan malem sama pacar barunya."
***
Zhorif kehilangan kemampuannya untuk mengendalikan ekspresi, bibirnya tanpa sadar terbuka sedikit lebar seakan menunjukkan perasaan tidak percayanya ketika Zhara mengulurkan tangan kanannya sembari menggerak-gerakkan jemarinya dengan lentik.
"Cincinnya mana, Mas?" tanya Zhara.
"Saya tidak membawanya," jawab Zhorif dengan jujur. Jika ingin lebih jujur lagi, Zhorif tentu saja akan menjawab bahwa ia sama sekali belum membeli benda tersebut, bahkan berpikiran untuk membelinya saja tidak.
Beruntung, Zhara membalasnya dengan sebuah senyuman, seakan memberikan kode bahwa ia tidak masalah dengan hal itu.
Tak lama dari perbincangan mereka yang ringan itu, seorang pelayan datang dengan makanan penutup yang telah mereka pesan. Begitu juga dengan cairan yang dituangkan di gelas yang biasa digunakan untuk minuman sejenis anggur. Jangan berpikir Zhorif akan memesan minuman seperti itu karena sebenarnya minuman tersebut telah diganti menjadi minuman bersoda dengan tambahan warna cerah.
Zhara hampir kembali meneteskan air liurnya ketika mencium betapa gurihnya aroma tersebut. Sebelum ia memulai makannya, gadis itu memilih untuk menegak minumannya lebih dulu, tetapi di tegukannya yang kedua, sebuah benda asing yang dingin menyentuh ujung bibirnya dan membuat gadis itu sontak menjauhkan diri dari cairan tersebut.
Zhara membulatkan matanya tampak terkejut, pandangannya terangkat ke arah Zhorif yang baru saja akan memulai makannya. "Mas..." panggilnya yang berhasil membuat pergerakkan Zhorif terhenti.
Gadis itu mengambil garpu, kemudian mengangkat benda kecil yang ditemukannya untuk ditunjukkan kepada pria yang saat ini duduk di hadapannya.
"Mas mau surprise-in aku, ya?!" Zhara bertanya dengan penuh percaya diri.
Zhorif terkejut bukan main ketika melihat benda tersebut. Pria itu langsung menolehkan kepalanya ke segala arah demi mencari sosok yang sangat dicurigainya itu. Gotcha! Akhirnya, pria itu berhasil menangkap basah keberadaan Hulya, Mia, dan Burhan yang malah melayangkan senyuman lebar mereka seraya melambai-lambai dengan wajah tanpa dosa.
"Mas!" panggil Zhara dengan sedikit kuat untuk yang ketiga kalinya.
Zhorif menoleh, pria itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya seiring punggungnya yang terhempas pada punggung kursi yang menandakan akan kepasrahannya.
"Mas, pakein cincinnya, dong!" pinta Zhara dengan bibir yang mengerucut.
Zhorif menghela napasnya berat, kemudian menggerakkan tangannya dengan begitu lambat untuk meraih cincin tersebut sebelum menyematkannya di jari manis Zhara.
Zhara pun tersenyum puas ketika cincin indah tersebut berhasil tersemat pada jarinya. Saking senangnya, ia bahkan tidak sadar bahwa tubuhnya sudah bergerak untuk mendekati Zhorif dan memeluk tubuh pria itu dengan erat.
"Makasih, Mas!" ujar Zhara di sela pelukannya.
Ada rasa yang menggelitik di diri Zhorif ketika kulit tubuh mereka bersentuhan. Ingin rasanya Zhorif mendorong tubuh gadis remaja itu agar menjauh darinya, tetapi rasa tak tega seakan berkibar dengan tegas melawan keinginan itu.
Setelah puas menenggelamkan wajahnya di dada bidang Zhorif, Zhara pun menjauhkan dirinya dari tubuh pria itu dan tersenyum dengan lebar. "Bentar lagi mahram kok, Mas!" sahut Zhara yang seakan dapat membaca apa yang tengah dipikirkan oleh Zhorif saat ini.
Terserahlah! Zhorif tidak ingin peduli lagi, yang ia inginkan ialah memakan habis makanan yang telah ia pesan dan bergegas pulang untuk mengomeli sang ibunda yang telah dengan teganya melakukan hal keji terhadap putra kandungnya sendiri.
Pada akhirnya, kedua pasangan baru itu menikmati makan mereka di dalam keheningan. Ah ... menikmati? Mungkin kata itu hanya untuk mendeskripsikan perasaan Zhara saja, bukan Zhorif.
"Mas bakal anterin aku pulang, 'kan?" tanya Zhara.
Zhorif menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. "Kamu bisa pulang sama—" Zhorif menghentikan kunyahannya ketika matanya tak lagi dapat menemukan keberadaan sang ibu dan orang tua Zhara.
"Nggak masalah kok, Mas. Aku bisa naik taksi. Mas pasti ada kerjaan di rumah sakit, 'kan?" tebak Zhara yang membuat Zhorif langsung menganggukkan kepala.
Zhorif tidak berbohong. Ia memang memiliki jadwal jaga malam pada hari ini.
Setelah membayar makanan yang telah mereka nikmati bersama. Zhorif memutuskan menunggu Zhara untuk mendapatkan taksi dan setelahnya, ia baru kembali menuju basement untuk mengambil mobil. Baru saja hendak memasuki mobilnya, pelayan yang melayani pesanannya tadi menghampirinya dengan napas yang terengah-engah. "Maaf, Mas. Ini tas milik Mbak yang tadi," ujarnya seraya mengulurkan tas selempang milik Zhara.
Zhorif mengeluarkan senyum paksanya dan mengucapkan terima kasih, sebelum menerima tas tersebut dengan berat hati.
Di tengah perjalanan, Zhara pun terpaksa meminta sang supir untuk berhenti ketika mengingat bahwa barangnya tertinggal. "Pak, bisa putar arah lagi, nggak? Saya ketinggalan tas, dompet saya juga ada di dalam sana," pinta Zhara seraya meringis menyadari kebodohannya sendiri.
"Waduh, Mbak. Gimana, ya? Saya harus bergegas pulang, baru dapat kabar kalau istri saya hendak melahirkan," ujar sang supir taksi, memasang wajah bersalah.
"Kalau saya turun di sini. Gimana caranya saya bayar ke Bapak?" balas Zhara berbalik tanya.
"Nggak masalah, Mbak. Saya juga mohon maaf karena harus pergi tanpa mengantarkan Mbak ke tujuan seperti ini," ujar pria paruh baya itu.
Zhara menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Nggak papa, Pak. Saya bisa turun di sini. Semoga lahiran istri Bapak lancar," ujar Zhara dengan ramah sebelum turun di pinggir jalan tempat berhenti kendaraan terdekat.
Zhara menghela napasnya dengan wajah tertekuk seiring kepergian mobil sedan berwarna biru muda itu. Tubuhnya berbalik untuk kembali ke hotel yang sebelumnya ia datangi. Di tengah perjalanannya, Zhara mengangkat salah satu kakinya dan meringis ketika mendapati bahwa pergelangan kakinya lecet akibat higheels yang ia kenakan.
Ketika gadis itu kembali memutuskan untuk melanjutkan jalannya. Sebuah mobil mewah berwarna hitam terhenti di dekatnya dengan lampu yang membuat matanya menyipit kesilauan. Seorang pria bertubuh tinggi datang menghampirinya dan mencekal pergelangan tangan Zhara secara tiba-tiba.
Zhara menyipitkan pandangannya, mencoba menatap pria familiar yang kini berdiri di hadapannya. "Siapa?" cicit gadis itu seraya mencoba melepaskan cekalan pria itu dari pergelangan tangannya.
Pria itu tampak tersenyum dan menggerakkan tubuhnya untuk menutupi cahaya mobil agar wajahnya dapat dilihat jelas oleh Zhara.
"Kak Nando?" lirih Zhara seraya memundurkan langkah kakinya secara perlahan.
"Iya, ini Kakak. Boleh minta tolong?" tanya pria itu seraya memajukan langkahnya mencoba menarik tangan Zhara agar lebih mendekat ke arahnya.
"Aku—"
Bugh!
"Mas!"
Zhara membulatkan matanya terkejut ketika Zhorif datang dari arah belakangnya, tiba-tiba memberikan sebuah pukulan keras pada wajah pria bernama Nando itu, dan menyebabkannya jatuh tersungkur ke tanah.
Zhorif menarik Zhara untuk berlindung di belakangnya.
"Jangan sentuh tunangan saya!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top