Bab 79 - Tragedi Pesta Dansa
Ballroom yang disewa oleh Jhesen untuk acara pernikahannya dengan Aufa terlihat lebih besar dari ruang-ruang pada umumnya sebab sepasang suami-istri itu sepakat akan mengadakan pesta dansa dan menganut gaya barat untuk acara resepsinya. Semua tamu yang hadir diwajibkan memakai topeng dan membawa pasangan masing-masing, bahkan tempat itu juga menyediakan beberapa jenis minuman keras yang kebanyakan diminum oleh tamu-tamu asing, kolega dari kedua orang tua Jhesen.
Antrean panjang menunggu giliran untuk bersalaman dengan kedua mempelai membuat Zhorif meringis ngeri. Ia tidak suka mengantre dan berada di tengah keramaian seperti ini, tetapi apa daya? Ia bisa menoleransi semuanya jika itu bersangkutan dengan niatnya untuk menemui Zhara. Di saat Zhorif berniat untuk melewati antrean panjang itu tubuhnya dipaksa untuk tetap diam oleh seorang perempuan yang sejak tadi berdiri tegak di sebelahnya.
"Zhara ada di sana, Kak..."
Zhorif mengikuti arah pandang Vierra yang menuju pada mempelai. Rupanya, Zhara baru saja datang untuk mengatakan sesuatu kepada Aufa dan Jhesen, entah apa yang sedang dibicarakan oleh ketiganya, awalnya Zhorif tidak terlalu penasaran hingga saatnya tiba, yaitu ketika Agam datang dari arah belakang, mendekat, dan merangkul pundak Zhara dengan santainya.
Untuk yang ke sekian kalinya rasa sakit itu kembali menerpa hatinya, padahal waktu itu Zhorif belum benar-benar dinyatakan sehat untuk keluar dari rumah sakit, tetapi demi untuk menemui Zhara yang telah lebih dulu meninggalkannya tanpa pamit, ia bertekad untuk segera pulang ke Jakarta dan menghadiri pesta pernikahan Aufa dan Jhesen.
"Kak?" Vierra tampak terkejut di kala Zhorif tiba-tiba mengambil tangannya untuk dilingkarkan di lengan pria itu. "Aku pikir Kakak cuma butuh pasangan untuk hadir di acara ini, rupanya ... ck, ck, ck." Vierra menggeleng-gelengkan kepalanya seraya terkekeh geli. Kini ia mulai mengerti alasan di balik Zhorif yang tiba-tiba menghubunginya kemarin malam dan memintanya untuk hadir di pesta pernikahan Aufa dan Jhesen sebagai pasangan dansa pria itu.
Tinggal satu tamu lagi di depan mereka—Zhorif dan Vierra—dan Zhara beserta teman-temannya baru menyadari keberadaan suaminya dengan seorang perempuan yang terlihat familiar. Zhorif berusaha terlihat biasa-biasa saja ketika Zhara menatapnya dengan raut wajah terkejut, tetapi ketika Vierra tiba-tiba menjinjit dan membisikkan sesuatu ke telinganya Zhorif tampak ikut terkejut. "Kalau mau rencananya berhasil, kerjanya harus totalitas, Kak." Vierra kemudian menyandarkan kepalanya di bahu Zhorif dan tersenyum sok manis.
"Oh, hai! Kapan lo balik ke Indonesia, Vi?" Jhesen lebih dulu membuka pembicaraan usai tamu yang berdiri di depan mereka melenggang pergi menuruni panggung.
"Tadi pagi, spesial untuk ketemu sama seseorang." Vierra melirik Zhorif dengan raut wajah malu-malu seolah mereka memiliki hubungan yang tak wajar.
"Ah, gitu. Bagus, deh! Gue pikir lo belum bisa move on dari nih, hyena." Jhesen yang terbiasa dengan tingkah jahilnya langsung merangkul pundak Agam dengan wajah cengengesan.
Zhorif yang menyadari bahwa Vierra mulai mati suara karena canggung pun buru-buru menyahuti lawakan Jhesen dengan nada santai. "Thanks to Agam karena udah nyia-nyiain perempuan sebaik Vierra." Suasana berbalik canggung ke arah Jhesen dan Agam. "Ngomong-ngomong selamat untuk pernikahan kalian," ujarnya sembari menatap Aufa dan Jhesen bergantian dengan sebuah senyuman tipis sebelum berjalan melewati Zhara dan Agam tanpa kata.
"Seriously?!" Aufa langsung berkacak pinggang dengan penuh amarah ketika punggung Zhorif mulai menjauh. "Ini baru dua hari sejak lo ninggalin dr. Zhorif di rumah sakit itu dan dia udah nempel sama cewek lain?!"
"Siapa yang tau kalau itu beneran atau cuma akting?" Sahutan dari arah belakang membuat Aufa terjengit kaget. "Selamat untuk kalian berdua." Shanzel tersenyum hangat dan mengulurkan tangannya ke arah Jhesen lebih dulu. Namun bukannya disambut, pria itu malah langsung memeluk pinggul istrinya posesif. Shanzel terkekeh geli melihat tingkah kekanak-kanakkan Jhesen dan menurunkan tangannya yang telah ditolak secara terang-terangan. "Gue tulus mendoakan kebahagiaan kalian berdua," ujarnya sebelum berjalan melewati kedua mempelai dan berhenti tepat di depan Zhara. "Sejak jadi janda kamu makin cantik." Shanzel mengelus rambut Zhara sembari menahan tawa, merasakan dua mata tajam yang menusuknya dari arah depan dan belakang, satu dari Agam dan satu lagi dari Zhorif yang diam-diam memperhatikan mereka dari bawah panggung.
"Mantan pacar lo luar biasa, Fa." Agam menyindir usai Shanzel menjauh.
"Ya, nggak jauh luar biasa dari lo yang pernah mainin perasaan Vierra dulu," sahut Aufa sinis. "Apaan lo?! Sini kalau berani!" Aufa bersiap melayangkan tinjuannya di kala Agam maju seolah ingin mengajaknya bergelut. Beruntung, kedua insan itu buru-buru dipisahkan oleh Jhesen dan Zhara dengan cara membawa Agam turun dari panggung.
"Kamu kayak anak kecil tau, nggak?" Zhara mendumel di kala Agam masih memeletkan lidah ke arah Aufa dari bawah. Zhara menarik Agam menuju area pengambilan camilan dan mengambilkan pria itu sepotong puding cokelat yang di atasnya dilengkapi oleh buah-buahan dan vla rasa vanila. "Kenapa lagi?" tanyanya ketika Agam malah membuka mulutnya, bukan mengambil piring yang disodorkan.
"Kalau anak kecil makannya disuapin, 'kan?"
"Modus," cibir Zhara. Namun, tetap menyuapi pria itu dan menganggapnya anak kecil. "Mau kemana, sih?" Nada jengkelnya mulai keluar ketika Agam mengambil alih piring di tangannya dan meletakkan benda itu di atas meja sebelum menarik paksa tangannya untuk pergi ke lantai dansa.
Musik dansa mulai diputar, kedua mempelai mulai menyatukan diri dan bersiap untuk berdansa, disusul oleh tamu-tamu lain yang tampak antusias karena jarang merasakan nuansa seperti ini di Indonesia.
"It's an honor for me to dance with you, Princess." Agam membungkukkan punggungnya dan mengulurkan tangannya ke arah Zhara, meminta wanita itu menerimanya sebagai pasangan dansa.
Wajah Zhara refleks memerah karena malu ditatap dan ditertawai oleh orang sekitar karena tingkah lebay Agam. Wanita itu buru-buru menerima tangan Agam dan memaksa pria itu untuk kembali berdiri tegap sebelum membisikkan sesuatu padanya. "Apaan, sih? Bikin malu tau!" omelnya.
Agam terkekeh geli dan mengelus jari Zhara yang dilengkapi oleh sebuah cincin berlian pemberian darinya dua hari yang lalu. "Sebentar lagi cincin ini akan kehilangan pemiliknya, ya?" Tanyanya melirih dengan senyuman getir. Tak lama dari itu, Agam menarik pinggang Zhara kuat hingga membuat sang pemilik sangat terkejut.
"Agam?!"
"Malam ini bakal jadi malam terakhir gue bisa sedekat ini sama lo 'kan, Ra?" Zhara terdiam membeku. Ia bahkan tidak membiarkan dirinya untuk menarik ataupun menghembuskan napas sebab wajah Agam terlalu dekat dengannya meskipun mereka masing-masing masih menggunakan topeng. Agam tersenyum tipis dan memiringkan kepalanya sembari berkata, "Dalam hitungan ketiga, Ra..."
"Hah?!" Zhara refleks menahan dada Agam karena pria itu semakin dekat dengannya.
"Bukan ciuman, tapi Bang Zhorif. Jadi, siap-siap," jelasnya yang membuat Zhara langsung menatap ke belakang Agam dan mendapati Zhorif yang mulai berjalan ke arah mereka dengan langkah lebar dan tegas. "Satu ... dua ... tiga."
Bugh!
Ini di luar dugaan. Zhorif tiba-tiba menarik bahu Agam dengan kasar dan melayangkan sebuah tinjuan kuat ke wajah adik sepupunya itu hingga membuat pria itu hampir jatuh tersungkur ke lantai. Beberapa tamu berhenti berdansa dan ada juga yang menjerit kaget dan lekas menjauhkan diri. Namun Zhorif tidak peduli, ia langsung mencekal pergelangan tangan Zhara dan menarik paksa wanita itu untuk mengikutinya keluar dari ballroom.
"Mas, Mas mau bawa aku kemana?" Zhara menatap tangannya yang perih akibat cekalan kuat yang diberikan Zhorif padanya. Namun, pria itu tidak menjawab dan malah meneruskan langkahnya menjauh dari bangunan di belakang mereka. Tak kuat lagi menahan sakit, Zhara menghempaskan tangannya dan bertanya dengan nada emosi, "Kita mau kemana, Mas?!" Keduanya berhenti melangkah tepat di depan sebuah kolam air mancur berpatung kuda putih.
"Kenapa kamu selalu menghindar?" Pertanyaan Zhorif itu berpacu pada kejadian dua hari lalu, dimana Zhara meninggalkannya di rumah sakit sendirian.
"Aku cuma berpikir ... selama tiga tahun ini aku selalu ninggalin Mas dan akan aneh rasanya kalau tiba-tiba aja memutuskan untuk menetap."
Zhorif menghela napasnya gusar, pria itu membuka topeng hitam yang dikenakannya dan melemparnya ke sembarang arah. "Selama kuliah, Mas selalu mendapat beasiswa dari pemerintah. Mas selalu menjadi murid terbaik di kelas. Mas juga mendapat julukan sebagai dokter spesialis terbaik di rumah sakit. Mas nggak pernah tinggal salat, Mas hafiz Al-Quran sejak SMP, dan Mas lancar bermain piano. Selama kita menikah, Mas selalu berusaha menjadi suami yang baik untuk kamu. Kelak, Mas akan menjadi pewaris utama Rumah Sakit Wira Atmadja dan menjadi kaya raya."
Zhorif menarik napasnya dalam-dalam untuk kembali melanjutkan kalimatnya yang masih belum selesai. "Mas yakin kamu akan seratus persen menyesal kalau lebih memilih untuk bersama Agam." Zhorif menurunkan pandangannya ke arah jari manis Zhara yang disemat dengan sebuah cincin. "Mas janji akan membelikan cincin yang berliannya jauh lebih besar daripada itu kalau kamu mau kembali..." Zhorif melirih dan perlahan-lahan memundurkan langkahnya, membuat jarak yang cukup jauh di antara mereka. "Jadi, apa kamu benar-benar tidak menginginkan Mas lagi?" tanyanya.
Zhara menatap manik Zhorif dengan mata yang berkaca-kaca. Untuk yang pertama kalinya, Zhorif terdengar begitu kekanak-kanakkan dengan memamerkan kelebihannya untuk mendapatkan istrinya kembali. Namun, entah mengapa Zhara malah senang dan menganggap sikap itu sangat menggemaskan. "Apa Mas juga bisa memberikan aku tiga orang anak?" tanyanya sembari melepaskan tali topeng silver yang dikenakannya.
Kini giliran Zhorif yang matanya mulai memerah dan berkaca-kaca. Bibirnya berkedut ke bawah dan berusaha menahan tangis harunya. "Apapun itu." Pria itu kemudian merentangkan tangannya lebar-lebar, menanti Zhara untuk kembali ke tempat yang semestinya, yaitu dekapannya.
Zhara berlari untuk masuk ke dalam pelukan Zhorif tanpa ragu, mengabaikan rasa perih di bagian tumit kakinya akibat high heels yang digunakannya selama berjam-jam. "Aku mau. Aku mau!" ujarnya sembari memeluk pinggang suaminya dan menempelkan pipi tembamnya di dada bidang pria itu.
Zhorif memeluk tubuh mungil itu erat-erat sembari menghela napasnya lega seolah semua beban yang selama ini menimbun di hatinya terangkat semua. Kedua insan itu berpelukan cukup lama di dalam keheningan sebelum perlahan mulai mengurai. Zhorif menyentuh punggung tangan Zhara, mengelus serta mengecupnya lama. "Mas janji akan memperlakukan kamu lebih baik dari yang sebelumnya. Jangan pakai cincin ini lagi, ya?" Zhara menganggukkan kepalanya membiarkan Zhorif melepaskan cincin yang diberikan Agam padanya.
"Jangan dibuang!" Zhara lekas menahan tangan Zhorif ketika pria itu hendak melemparkannya ke kolam air mancur. "Cincinnya mahal, biar nanti aku kembaliin ke dia aja," cicitnya kemudian yang membuat Zhorif refleks terkekeh geli dan mengangguk setuju. "Mas..."
"Hm?"
"Tadi kenapa nempel-nempel sama Vierra mulu?" Zhara mengerucutkan bibirnya sebal.
"Biar kamu cemburu."
"Oh, gitu. Peluk lagi, masih kangen."
Zhorif kembali terkekeh dan mengangguk, membawa wanitanya masuk ke dalam dekapannya yang hangat untuk kedua kalinya.
"Mas nggak akan membiarkan kamu pergi lagi seumur hidup Mas. Bahkan, jika suatu saat nanti perasaan kamu untuk Mas sudah berubah, Mas nggak akan pernah membiarkan kamu kabur. Jadi, tolong persiapkan diri kamu mulai dari sekarang."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top