Bab 78 - Mengalah Bukan Berarti Kalah
"Biarkan seperti ini sebentar saja."
Zhara memilih diam, sama sekali tidak memberontak dan membiarkan saja sang suami untuk memeluk pinggangnya erat sebab ia sangat tahu bahwa Zhorif tidak akan melepaskannya meskipun ia memohon sekalipun.
"Zhara..." Zhara merasakan berat pada bagian pundaknya karena dagu Zhorif berpangku di sana. "Ayo, kembali bersama." Zhara menolehkan kepalanya ke samping agar dapat melihat jelas suaminya yang tengah memejamkan mata dengan tenang. "Ayo, tidur di kasur yang sama seperti dulu lagi," ajaknya lagi kemudian.
"Kembali bersama?" Zhara melirih setelah meneguk ludahnya gugup merasakan debaran jantungnya yang abnormal. "Kita udah berpisah sejak tiga tahun yang lalu, Mas."
"Tidak pernah sekalipun Mas berpikir bahwa itu adalah perpisahan." Ucapan optimis Zhorif membuat hati Zhara melemah, ia ingin meneteskan air mata, tetapi tertahan. Ia tidak ingin Zhorif melihatnya sedih dan menjadi tahu bahwa sebenarnya selama ini tak pernah sekalipun Zhara berpaling hati darinya.
"Ya, tapi Mas pasti tau bahwa tiga tahun yang kita lalui secara terpisah itu bukan hanya sekadar percekcokan biasa." Zhara melepaskan dirinya dan duduk di tepi kasur dengan posisi yang masih sama, yaitu memunggungi Zhorif.
"Kamu mencintai Agam?" Pertanyaan itu sungguh tidak terduga dan membuat tubuh Zhara refleks terjengit kaget. "Apa selama kamu tinggal bersama dia, kamu sama sekali tidak merasa bersalah sama Mas?" Zhara tidak menjawab. Ia diam karena takut apabila dia menyahut, dia mungkin akan melakukan kesalahan dan semakin terjebak dalam situasi itu. "Lusa adalah hari pernikahan Aufa dan Jhesen. Mas harap, di hari itu, kamu tidak datang sebagai pasangan Agam, tapi sebagai istri Mas."
"Mas!" Zhara berseru karena merasa frustrasi akan kekeraskepalaan suaminya. Kenapa Zhorif tidak pernah berniat untuk mendengar? Kenapa pria itu harus membuatnya merasakan sesak di bagian dada seperti ini?
"Kita pasti akan kembali bersama, Zhara."
"Nggak! Nggak akan!" Zhara menghapus air matanya yang menetes tanpa memedulikan pemikiran Zhorif terhadapnya lagi. Mau bagaimana lagi? Air matanya terus memaksa untuk mengucur keluar seperti keran yang rusak.
Zhorif buru-buru menangkap tangan istrinya di kala wanita itu hendak melarikan diri keluar kamar agar dapat menangis sepuasnya. Zhorif menundukkan kepalanya, menempelkan punggung tangan Zhara ke matanya dan dengan sengaja meneteskan air matanya tepat di kulit tangan wanita itu.
"Ketika Mas ngeliat kamu lagi untuk yang pertama kalinya dalam tiga tahun ini, hati Mas sangat sakit dan hancur karena Mas terlalu merindukan kamu." Zhorif mengusap dadanya sendiri dengan salah satu tangannya yang terbebas. "Kamu pergi meninggalkan Mas tanpa kata-kata setelah Mas rela mengorbankan segalanya untuk kamu." Genggaman tangan Zhorif menguat dan itu semakin melemahkan hati Zhara, membuat wanita itu tak kuasa untuk tak menjatuhkan air matanya kembali. "Selama ini Mas kesulitan mencari keberadaan kamu dan tanpa disengaja akhirnya kita bertemu. Kalau kamu pergi lagi, Mas nggak bisa menerimanya."
Zhorif terdiam cukup lama sebelum menengadahkan kepalanya untuk menatap Zhara yang terus mengucurkan air mata. "Perjodohan, Boba, dan penyakit kamu..." Zhorif meneguk ludahnya agar tak terbata-bata ketika berbicara. "Kalau kamu memutuskan semuanya sendiri lalu pergi begitu saja, bagaimana dengan Mas?" Zhorif menepuk dadanya kuat berulang kali dengan mata yang memerah akibat menangis. "Mas juga kehilangan Boba! Kalau kamu meninggalkan Mas untuk yang kedua kalinya, bagaimana Mas bisa hidup?!" Zhorif turun dari kasur dan memegang serta mengguncang kedua bahu Zhara. "Apa Mas harus dihukum seberat ini hanya karena ... hanya karena Mas terlalu mencintai kamu?!"
"Mas!" Zhara memekik di kala Zhorif tiba-tiba kehilangan tenaganya dan jatuh berlutut di lantai sembari memeluk perutnya. "Mas Zhorif?!" Zhara ikut berlutut di hadapan pria itu dan membiarkannya menjadikan tubuh mungil itu sebagai topangan. "Mas Zhorif kenapa?!" Zhara begitu panik hingga menangis histeris karena Zhorif lama-kelamaan mulai kehilangan kesadarannya.
*
*
*
Di sepanjang tidurnya, tidak pernah sekalipun Zhara melepaskan genggaman tangannya dari Zhorif. Ia tidak menyangka pertengkaran hebat yang mereka lalui beberapa jam lalu dapat membuat kondisi suaminya semakin parah hingga harus dirawat di rumah sakit seperti ini.
Zhara mengusap lembut punggung tangan Zhorif yang tak ditusuk oleh jarum infus dan berkata, "Maaf, Mas. Ini semua karena aku." Wanita itu kemudian mengecup lama tangan suaminya sebelum berhenti akibat mendengar suara yang datang dari pintu masuk kamar rawat inap.
Cklek!
"Gimana keadaan Bang Zhorif?" Agam melangkah mendekat, menatap Zhorif dan Zhara secara bergantian sebab mata Zhara yang memerah menarik perhatiannya.
"Maag akut. Kata dokter, dia perlu banyak istirahat dan nggak boleh stres," jelas Zhara secara singkat. Wanita itu melirik Zhorif sekejap sebelum kembali menatap Agam dan berkata, "Ayo, keluar sebentar. Ada yang mau aku bicarain sama kamu." Meskipun mendapatkan feeling yang tak enak, Agam tetap menyetujuinya dan keluar bersamaan dengan Zhara dari ruangan tersebut.
Keduanya duduk bersebelahan di kursi tunggu Gresco yang letaknya tepat di sebelah pintu ruang rawat Zhorif. "Gimana pertandingan kamu? Menang atau kalah?" Tanyanya yang entah kenapa malah terdengar seperti basa-basi.
"Gue selalu menang, Ra," bohong Agam.
Zhara memaksakan senyumnya untuk terbit dan berkata, "Selamat. Maaf aku tiba-tiba menghubungi kamu dan nyuruh kamu untuk balik ke Lembang secepatnya." Zhara mengusap kedua dengkulnya gugup seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi tertahan karena merasa tak enak hati terhadap Agam.
"Bang Zhorif keluarga gue, udah seharusnya gue pulang kalau terjadi apa-apa sama dia." Agam menyatukan semua jemarinya, terdiam sejenak untuk mempersiapkan diri sebelum bertanya, "Ada yang mau lo omongin ke gue 'kan, Ra?" Agam menjilat bibir bawahnya yang kering, kebiasaannya ketika gugup. "Perihal Bang Zhorif?" Tebaknya kemudian.
Zhara menatap Agam cukup lama sebelum menghela napasnya berat dan menundukkan kepala. Wanita itu menggelengkan kepalanya lemah dan berkata, "Aku udah nggak tahan lagi, Gam..." Setetes air mata kembali jatuh dari mata sebelah kirinya. "Aku benar-benar menyukai dia. Aku cinta dia. Aku kangen banget sama Mas Zhorif sampai dadaku terasa sakit setiap kali mengambil napas." Tangisan Zhara mengencang, ia mengelus dadanya sendiri karena kembali merasakan rasa sesak itu. "Kenapa aku nggak bisa kembali sama dia? Kenapa Boba nggak bisa bahagia aja kalau melihat kami kembali bersama?"
Bukan Boba. Bukan Boba yang tidak bisa bahagia apabila Zhara dan Zhorif kembali bersama, melainkan dirinya, pria yang sedang duduk membeku tepat di sebelah wanita yang telah berhasil dibodohi olehnya selama ini.
Agam mengeluarkan benda itu. Benda yang sebelumnya mampu membuat Aufa dan Jhesen bungkam karena terlalu terkejut. Itu adalah kotak beludru yang isinya tentu saja merupakan cincin untuk melamar Zhara. Agam membuka dan meletakkan benda itu tepat di pangkuan Zhara, membuat wanita itu berhenti menangis sesaat karena merasa kebingungan.
"Gue tau lo nggak sebodoh itu untuk nggak menyadari perasaan gue selama ini, Ra." Zhara mengerjap-ngerjapkan matanya kemudian menatap Agam dalam diam. "Gue cinta sama lo. Gue berencana untuk melamar lo ketika lo benar-benar udah dinyatakan pisah dari Bang Zhorif."
"Agam..."
Agam menganggukkan kepalanya, seolah dapat menebak isi pikiran Zhara tentangnya. "Gue memang jahat, tapi ini gue yang sebenarnya. Gue menjadikan Boba sebagai alasan supaya kalian berpisah." Agam mengusap wajahnya kasar dan berdecak. "Ck! Andai lo nggak sepolos itu, Ra, lo pasti udah tau kalau apa yang gue omongin tentang Boba selama ini sangat nggak masuk akal."
Zhara masih diam, memersilakan Agam untuk menjelaskan semua rahasia yang selama ini dipendam oleh pria itu tanpa sepengetahuannya. "Lo nggak perlu bilang seberapa besar rasa cinta lo ke Bang Zhorif karena gue udah lama tau itu." Agam menghela napasnya gusar dan berkata, "Gue sadar gue nggak lagi di posisi dimana gue diperbolehkan untuk marah, tapi gue udah sama nggak tahannya, Ra!"
"Apa waktu tiga tahun ini sama sekali nggak ada maknanya buat lo? Gue kenal lo jauh lebih lama dari dia, Ra, tapi kenapa? Kenapa lo harus memilih gue untuk jadi cinta pertama lo?! Kenapa bukan yang terakhir aja?" Zhara tersadar bahwa untuk yang pertama kalinya dalam sejarah mereka berteman, Agam meneteskan air matanya. Pria itu menunduk dan menutupi wajahnya menggunakan kedua tangan.
"Agam..."
Agam lekas menggelengkan kepalanya kuat, ia mengenal nada itu. Nada yang akan Zhara keluarkan tiap kali ia merasa amat bersalah pada seseorang. Masalahnya, ini sama sekali bukan salah wanita itu, melainkan dirinya. Jadi, Zhara tidak pantas untuk bersikap seperti itu. "Jangan minta maaf, Ra ... kalau lo lakuin itu, gue akan semakin terlihat jahat." Agam menghapus air matanya kasar kemudian duduk menyamping agar dapat menatap Zhara dengan jelas. "Gue yang salah. Gue yang seharusnya berlutut dan minta maaf ke elo. Dengan embel-embel Boba, gue udah menyiksa lo dalam waktu yang lama. Seharusnya gue sadar lebih awal kalau lo emang bahagianya cuma sama Bang Zhorif."
"Jhesen bilang cinta bukan soal memiliki dan gue bilang itu bullshit, yang gue percaya cuma kebahagiaan lo adalah kebahagiaan gue juga, Ra. Sayangnya, kebahagiaan lo itu bukan saat bersama gue, tapi Bang Zhorif. Sorry karena meskipun gue tau gue salah, gue tetap berusaha mencari pembenaran. Sekarang gue setuju sama Aufa, lo emang pantes dapetin cowok yang jauh lebih baik daripada gue."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top