Bab 77 - Izinkan
"Ketika waktu itu tiba, Mas pastikan kamu akan kembali ke pelukan Mas, tempat dimana kamu memang semestinya berada."
Seharusnya Zhara tidak pernah menganggap remeh kalimat yang keluar dari bibir Zhorif. Pasalnya, sejak hari dimana Zhorif berpura-pura menjadi pengantar paket, pria itu membeli rumah mewah yang letaknya persis di sebelah kontrakan Zhara dan Agam. Entah bagaimana cara Zhorif berhasil melakukannya karena setau Zhara, pemilik rumah yang sebelumnya sama sekali tidak berniat untuk menjual rumah tersebut kepada siapapun.
"Nak, itu disapa lho, sama Nak Zhorif."
Zhara tersadar dari lamunannya. Ia menolehkan kepalanya dan mendapati sosok wanita baya berhijab gamis hitam sedang tersenyum dengan mata menatap lurus ke depan. Di sana, tepatnya di halaman depan masjid yang terletak di komplek perumahan Zhara, Zhorif sedang berdiri di sebelah seorang lelaki tua yang langganan menjadi imam masjid, namanya Ustaz Adjie.
"Ah, iya! Waalaikumussalam."
Zhara melirik tangan Bu Indah yang tiba-tiba melingkar di lengannya. "Ini perempuan yang waktu itu pernah saya ceritakan ke kamu, Nak. Namanya Zhara."
Zhara melotot ketika mendengarnya. Ia tidak tahu bahwa takdir akan mempermainkannya seperti ini, niat menjauh malah semakin didekatkan. Ngomong-ngomong, Bu Indah ini adalah tetangga barunya, sedangkan Ustaz Adjie merupakan kakak kandungnya. Parahnya, Zhara baru tahu bahwasanya Zhorif dan Ustaz Adjie sudah lama saling mengenal.
Zhorif tersenyum penuh arti dan mengulurkan tangannya secara cuma-cuma. "Perkenalkan, saya Zhorif."
Ah! Jadi, pria itu berniat untuk pura-pura tidak mengenalinya? Baik. Kalau begitu, Zhara juga akan melakukan hal yang serupa.
Wanita itu menyatukan kedua tangannya sembari tersenyum manis dan berkata, "Saya tahu. Maaf, bukan mahram." Jika diingat-ingat, itu adalah kalimat yang sama persis ketika keduanya pertama kali bertemu, tapi bedanya kali ini adalah Zhara yang mengatakannya lebih dulu.
Zhara tidak ingin munafik. Dalam hati, ia sungguh berharap Zhorif merasakan malu yang sama seperti dirinya dahulu kala. Namun, bukan Zhorif namanya jika tidak dapat mengatasi hal semudah itu. Zhorif menurunkan tangannya yang tak teracuhkan kemudian menarik pinggang Zhara lumayan kuat hingga membuat pegangan tangan Bu Indah terlepas.
Ustaz Adjie dan Bu Indah tampak sangat terkejut akan tingkah tak terduga Zhorif, tak jauh berbeda dengan Zhara yang sampai lupa bagaimana caranya bernapas.
"Ustaz Adjie, Bu Indah ... Zhara adalah istri yang pernah saya maksudkan." Zhorif menatap Zhara dengan senyuman lembut kemudian tangannya beralih untuk menggenggam tangan sang istri. "Kami masih menikah dan selamanya akan begitu. Jadi, untuk Bu Indah ... saya sangat berharap agar Ibu berhenti memperkenalkan istri saya ke laki-laki lain."
Bu Indah tak berkata apa-apa. Wanita baya itu hanya bisa menatap sepasang insan yang sedang bergandengan tangan itu dengan perasaan campur aduk antara terkejut, senang, dan juga lega.
"Kami izin pulang dulu, Bu, Ustaz. Assalamualaikum..."
"W-waalaikumussalam." Sepasang kakak-adik itu menyahut kikuk secara bersamaan.
Di sepanjang perjalanan pulang Zhara diam saja, masih berusaha menetralisir rasa terkejutnya akan pengakuan Zhorif yang terlalu tiba-tiba. "Mas senang melihat kamu rajin pergi ke masjid untuk salat dan mengaji."
Zhara menolehkan kepalanya dan langsung melepaskan tangan Zhorif dari pinggangnya. "Aku ke sana bukan untuk beribadah aja, sekalian cuci mata untuk liat bujang-bujang ganteng tau!" sahutnya mengundang emosi.
"Bagus."
Jawaban Zhorif membuat Zhara menaikkan salah satu alisnya keheranan. Bagus?! Bukankah seharusnya Zhorif merasa marah karena cemburu? Zhara jadi curiga, apakah pria itu masih benar-benar mencintai dan menginginkan dirinya.
"Itu berarti yang di rumah gagal bikin kamu merasa terpuaskan." Rupanya kata 'bagus' itu masih memiliki lanjutan.
"Aku nggak bilang gitu!" Ketus Zhara terlanjur kesal karena masuk ke perangkap. Wanita itu melenggang pergi lebih dulu, tetapi tertahan ketika Zhorif tiba-tiba saja meringis kesakitan sembari memeluk perutnya. "Mas kenapa?" Tanyanya dengan raut wajah khawatir.
"Maag kambuh," lirihnya dengan wajah yang kian memucat.
Yang terjadi selanjutnya berhasil membuat Zhorif kesulitan menahan tawa. Pasalnya, Zhara tiba-tiba saja melangkah ke depan dan berjongkok membelakanginya. "Naik sini, Mas. Cepetan!" Perintahnya tak masuk akal. Zhara menoleh ke belakang dengan ekspresi keheranan ketika tidak juga merasakan adanya beban di punggung. "Mas kenapa diam aja? Ayo, cepetan naik ke punggung aku!"
Bukannya menurut, Zhorif malah menggapai tangan Zhara dan meminta wanita itu untuk berdiri kembali. "Begini lebih baik." Pria itu menaruh salah satu lengannya di bahu Zhara, sedangkan tangannya yang lain meminta tangan Zhara untuk melingkar di pinggangnya.
Pada akhirnya, sepasang suami-istri itu berjalan dengan posisi tubuh saling menempel hingga sampai tepat di depan pintu rumah kontrakan Zhara. Ketika pintu itu dibuka, Zhara langsung mendudukkan Zhorif di sofanya yang sederhana dan segera mencari kotak obat untuk mendapatkan pereda maag.
"Mas, ini..." Ia menyerahkan sebutir obat yang telah diletakkan di dalam mangkuk kecil dan juga segelas air putih hangat. "Mas belum makan, ya?" Tanyanya ketika Zhorif selesai menguyah obatnya. Pria itu menanggapinya dengan anggukkan lemah. "Aku masakkin bubur mau?"
Bubur? Memikirkannya saja sudah mampu membuat Zhorif merasa amat bahagia. Ia bangga pada istrinya yang sekarang sudah tahu bagaimana caranya memasak. "Mau," jawabnya. Meski sebenarnya tidak sedang mood untuk makan, Zhorif tetap akan memaksakan perutnya, yang terpenting ia bisa lama-lama berduaan dengan sang istri.
"Agam masih di Bandung?" Pertanyaan itu sengaja ia tanyakan agar tidak terlalu hening. Zhorif lihat Zhara menganggukkan kepalanya. Pria itu menyandarkan punggungnya ke sofa sembari tersenyum puas. Puas menatapi punggung sang istri yang sedang sibuk berkutat di dapur.
Zhorif tidak main-main. Ia ingin menarik ucapannya kembali, Zhara sama sekali tidak bisa memasak, dilihat dari caranya bolak-balik kebingungan dalam meracik. Namun Zhorif akan bertingkah masa bodoh saja, biarlah Zhara memasak dalam waktu yang lama agar ia juga bisa berlama-lama di sini. Merasa bosan, Zhorif pun memutuskan untuk berdiri dan mendekati kulkas, membukanya sembari melihat-lihat makanan apa yang dimakan oleh Zhara selama Agam pergi untuk bertanding. Rupanya, di dalam sana hanya diisi oleh beberapa jenis buah dan minuman isotonik rasa lemon.
"Mas, ini udah."
Zhorif buru-buru menggapai sebotol minuman isotonik tersebut dan menyembunyikannya di belakang punggung sebelum duduk kembali di sofa untuk memakan masakan buatan Zhara.
"Ini kamu masak sendiri?" Zhorif mengangkat salah satu alisnya keheranan karena bubur itu terlihat layak untuk dikonsumsi. Namun Zhara tak langsung menjawab, wanita itu malah mengendikkan bahunya sok misterius. Oleh karena itu, Zhorif semakin penasaran, membaca doa sebelum makan, dan langsung memasukkan sesuap bubur ke dalam mulutnya. "Enak," komentarnya semakin kebingungan.
"Yaiyalah, aku 'kan, masak bubur instan," sahut Zhara kemudian.
Ah, sekarang Zhorif jadi mengerti bagaimana cara Zhara makan selama Agam tidak ada. Wanita itu rupanya masih memiliki kebiasaan yang sama, yakni mengonsumsi makanan cepat saji.
Perasaan Zhorif sudah berusaha untuk menghabiskan bubur itu dalam waktu yang amat lama, tetapi kenapa masih terasa cepat juga, ya? Kini, pria itu melirik Zhara yang tampak sudah siap untuk mengusirnya pergi dari rumah tersebut. "Aku nggak perlu nyeret Mas untuk segera keluar dari rumahku, 'kan?" Wanita itu bersedekap dengan salah satu alis yang terangkat.
"Sepertinya perlu," sahut Zhorif sembari tersenyum kikuk.
Zhara menghela napasnya gusar dan menatap suaminya tajam. "Mas, ini udah mau magrib, nggak enak diliat sama tetangga," bujuknya. Melihat Zhara yang terlihat sangat ingin dirinya untuk pergi membuat Zhorif pun hanya bisa mengangguk pasrah. Namun, tak lama kemudian malah membuka sebotol minuman lemon yang berada di balik punggungnya dan menugaknya sampai habis setengah. "Mas?!" Zhara segera menarik botol itu dari bibir Zhorif hingga sisanya tumpah ke pakaian pria itu. "Mas kenapa minum in—" Zhara terdiam ketika Zhorif menjatuhkan kepalanya ke bahu wanita itu.
"Perut Mas sakit," lirihnya terlihat tak main-main.
"Ya, sakitlah! Mas minum air lemon!" Omel Zhara sembari mengusap punggung pria itu khawatir. "Mas tidur di kamar aku dulu, ya? Nanti aku bawain Mas baju ganti," ujarnya sebelum membantu Zhorif berjalan masuk ke dalam kamarnya dan berbaring di kasur.
Ketika Zhara pergi untuk mengambil pakaian ganti di kamar Agam, tampaklah sebuah senyuman licik terbit di bibir Zhorif. Ia memang tidak main-main akan rasa sakit pada perutnya, tetapi perasaan bahagianya mampu menutupi itu semua. Zhorif harus kembali bertingkah seolah kesakitan ketika Zhara datang dengan baju dan sebuah kain yang telah dibasahi air hangat.
"Mas buka dulu bajunya, aku lap biar nggak lengket," perintahnya yang langsung dituruti oleh Zhorif. Zhara tertegun sejenak ketika secara tak sengaja melihat perut kotak-kotak sang suami. Oh, astaga! Bentuk tubuh Zhorif masih sangat bagus meski ia sudah lama tak melihatnya. "Aku izin lap," ujarnya kikuk sebelum menempelkan kain tersebut dan mengusapnya lembut ke kulit tubuh Zhorif. Setelah selesai, ia segera meminta Zhorif memakai pakaian dan berbaring kembali. "Mas istirahat dulu aja, aku di kamar Agam kalau-kalau Mas butuh sesuatu." Zhara sudah bersiap untuk melenggang pergi, tetapi Zhorif malah menarik tangannya dan membuat tubuhnya oleng jatuh tepat berbaring di sebelah pria itu. "Mas..."
"Biarkan seperti ini sebentar saja."
***
"Ada kalanya lo harus tau apa yang dinamakan melewati batas, Gam. Memangnya mau sampai kapan lo terus-terusan begini? Ngebohongin Zhara dan diri lo sendiri?"
Agam menghela napasnya gusar dan membaringkan diri di atas rerumputan yang subur itu. Udara dan langit sore benar-benar mendukung kegalauannya. Beruntung, ia memiliki Jhesen, sahabat yang rela bolos bekerja demi mendengarkan curhatannya. Ngomong-ngomong, ia tidak sedang di Bandung seperti yang Zhara kira. Ia berada di Jakarta bersama dengan Aufa dan Jhesen.
"Coba lo jangan bohongin diri lo sendiri, deh! Alasan lo bohong ke Zhara dan tinggal di sini selama tiga hari adalah supaya dia dan dr. Zhorif ada waktu untuk berduaan, 'kan?" Kini giliran Aufa yang berbicara. Masih sama seperti dulu, Aufa tidak pernah benar-benar mendukung hubungan Agam dan Zhara. Namun, ketika tahu Zhara merasa tersakiti oleh Zhorif, pemikirannya itu sedikit berubah.
Agam menatap Aufa dan Jhesen secara bergantian, kemudian mengeluarkan sebuah beludru dari kantung celananya, melemparkan benda tersebut agar ditangkap oleh Jhesen. "Gue serius cinta sama Zhara. Gue punya kesempatan untuk buat dia kembali dan gue nggak mau nyia-nyiain itu."
"Gam..." Aufa terlihat sangat terkejut ketika melihat cincin yang sama yang waktu itu juga pernah dilihat oleh Jeje, Maudy, dan Najella saat di Bali.
"Kalian pikir gimana perasaan gue tiap kali ngebohongin dia? Gue emang jahat dengan bilang, dia harus ngejauh dari Bang Zhorif untuk kebahagiaan Boba, tapi gue—"
"Tapi apa? Lo sadar dengan nyari-nyari alasan kayak gini, lo sama aja bersikap egois?" Aufa terbelalak kaget mendengar Jhesen menyudutkan Agam untuk pertama kalinya. Ya, itu yang pertama kali karena biasanya Jhesen akan selalu mendukung keputusan Agam dan dialah yang biasa membantahnya. "Selama ini gue diem karena gue berusaha untuk memahami lo, Gam, tapi makin ke sini ... gue malah semakin nggak ngerti." Jhesen menutup kotak beludru yang sebelumnya terbuka itu dan melemparkannya kembali ke Agam. "Cinta bukan masalah memiliki."
"Bullshit."
Tanggapan santai Agam berhasil mengundang emosi Jhesen. "Gue pernah ngalamin hal yang sama. Lo pikir gimana perasaan gue pas ngeliat Aufa sama dr. Shanzel?!"
"But in the end, kalian bakalan nikah, 'kan?" Agam benar-benar keras kepala dan menyebalkan. Rasanya, Jhesen sangat ingin meninju wajahnya kalau saja Aufa tidak menggenggam tangannya. Jhesen dan Aufa saling melempar tatap ketika Agam menutupi matanya dengan salah satu telapak tangan dan melirih, "Gue brengsek karena gue merasa nggak adil. Semesta nyuruh gue untuk ngelepasin Zhara, padahal gue sama sekali belum pernah milikkin dia."
"Lo nangis?!" Hati Jhesen tiba-tiba diliputi oleh rasa bersalah. Jhesen berusaha menarik tangan Agam yang menutupi mata untuk memastikan. Namun, pria itu malah menepis tangannya kasar.
"Biarin gue berhenti dengan sendirinya."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top