Bab 75 - Masih Sama

Waktu telah menunjuk pukul 08.00 pagi, tetapi kedua insan yang terlelap dengan posisi saling memeluk itu tidak juga menunjukkan tanda-tanda akan segera bangun. Teriknya cahaya matahari yang masuk melalui cela gorden pada hari itu pun sama sekali tidak membuat mereka terganggu.

Drrttt ... drrrtttt....

Zhorif mendesah kesal dengan mata yang masih terpejam erat. Hanya dengan menggunakan firasat, Zhorif sudah tahu bahwa dirinya telah tanpa sengaja melewatkan salat subuh. Sebuah tangan lain yang bergerak menyentuh dadanya membuat Zhorif refleks membuka mata dan melupakan kekesalannya. Matanya melotot ketika melihat sebuah kepala telah menyandar di lengan kanannya, parahnya lagi, itu terlihat seperti milik seorang wanita.

Zhorif berniat untuk segera bangkit dari posisinya, tetapi sebelum hal itu benar-benar terjadi, ia lebih dulu menyadari bahwa sosok yang berbaring di dekatnya itu adalah sosok yang telah dicari-carinya selama ini. Pria itu tertegun cukup lama dengan posisi berbaring sembari melirik ke samping, memerhatikan wajah tenang Zhara yang masih enak terlelap.

Puas mengumpulkan nyawa, Zhorif pun menampar wajahnya sendiri, berusaha mengetes apakah yang dilihatnya sekarang ini hanyalah sebuah ilusi atau memang sebuah kenyataan. Walaupun sudah merasakan rasa sakit pada area wajahnya, Zhorif masih tidak percaya dan tetap ingin memastikan penglihatannya kembali. Oleh karena itu, ia mengangkat jari telunjuknya untuk menusuk pipi tembam Zhara.

"Zhara..."

Zhorif melotot ketika Zhara bergerak karena terganggu oleh sentuhannya, kaki wanita itu diangkat untuk menimpa paha Zhorif, sedangkan tangannya menggerayangi dada pria itu secara tak sadar. Zhorif menahan napasnya, tak kuasa menahan rasa menyengat yang diakibatkan oleh ulah Zhara itu. Ketika pertahanannya sudah menyentuh batas limit, pria itu menangkap dan mengangkat tangan Zhara, membawanya mendekat ke bibir, kemudian mengecup jemarinya dengan lembut.

Dia tersenyum lebar seiring ingatan kejadian tadi malam terputar di kepalanya. Rupanya, Zhara yang dilihatnya bukanlah sebuah mimpi indah belaka, bukan juga efek samping dari keberhasilannya akan psikoterapi.

"Hmm..."

Tangan Zhara yang diperangkap oleh Zhorif terlepas begitu saja ketika wanita itu menghentakkan tangannya secara tiba-tiba. Zhara kemudian memeluk leher Zhorif, tetapi dengan begitu erat hingga membuat pemiliknya sedikit kesulitan dalam bernapas.

Drrttt ... drrrtttt....

Zhorif meraih ponselnya yang berada di atas nakas dengan sedikit kesulitan karena keberadaan Zhara, kemudian mengangkat panggilan yang rupanya berasal dari Arsen itu.

"Assalamualai—"

"Zhara masih ada di kamar lo, ya?!"

Zhorif memejamkan matanya sembari meringis mengusap telinganya kesakitan. Ia bersumpah akan memiting leher sahabatnya itu untuk melakukan aksi balas dendam.

"Lo tau dari mana?"

"Zhara hilang dan nggak ada kabar semalem. Tante Hulya dan yang lain pada heboh nyariin dia ke sana kemari, untung gue punya otak brilian! Gue pergi nemuin petugas keamanan untuk cek CCTV dan gue liat dia masuk ke kamar lo."

"Jangan sampe gue liat muka lo, Sen."

Di seberang sana Arsen tampak memejamkan mata dan menelan salivanya gugup. Bagaimana tidak? Saking ingin menyombongkan kemampuannya kepada siapa saja, ia sampai kelupaan untuk mengerem mulutnya. Secara tanpa sengaja, ia telah memberitahu Zhorif bahwa selama ini dirinya dan keluarga Wira Atmadja telah kompak menyembunyikan keberadaan Zhara dari pria itu.

Panggilan itu dimatikan oleh Arsen secara sepihak dengan embel-embel sinyal yang mendadak jadi tidak bagus.

Zhorif meletakkan ponselnya kembali dan memandang wajah tenang Zhara dengan sebuah senyuman lebar. Berbagai pertanyaan mulai mengisi pikirannya, seperti mengapa Zhara bisa sampai terlelap di sini? Apa itu artinya Zhara sudah memaafkannya dan bersedia untuk kembali bersama?

Zhorif refleks memejamkan kedua matanya ketika Zhara memberengut, merenggangkan tubuh, dan perlahan mulai membuka mata. Wanita itu menatap langit-langit sembari berusaha mengumpulkan nyawanya kembali. Kerongkongannya terasa kering seperti dilanda oleh kemarau. Oleh karena itu, ia memiringkan tubuhnya dan mengambil sebotol air mineral dari nakas. Di kala dirinya hendak mengubah posisi menjadi duduk, ia tersadar bahwa ada sosok lain yang berbaring tidur di sebelahnya.

"Mas Zhorif?!"

Zhara terjengit kaget dengan mata yang membulat sempurna. Ia kemudian menampar bibirnya sendiri karena secara tak sengaja telah menjerit dan memungkinkan Zhorif bangun dari tidurnya. Wanita itu mengerjap-ngerjapkan matanya sembari menggelengkan kepala, berharap apa yang terjadi di pagi itu hanyalah sebuah mimpi belaka.

Setelah cukup menyadarkan diri, Zhara pun memutuskan untuk segera pergi dari ruangan tersebut. Ia meletakkan kembali botol air mineral yang gagal diminum dan memposisikan tangannya untuk mengangkat perlahan tangan Zhorif yang melingkar di pinggangnya. Ini parah! Zhara sampai menggigit bibir bawahnya kuat karena merasa gugup luar biasa. Namun beruntung, dewi keberuntungan tengah berpihak padanya. Zhara berhasil melepaskan pelukan Zhorif tanpa membuat pria itu terganggu sedikitpun.

Lantas saja Zhara menggerakkan tubuhnya untuk segera turun dari ranjang dengan hati-hati agar tak mengeluarkan suara decitan. Ia berhasil berdiri dan bersorak lipsync gembira. Namun rupanya, kegembiraan yang ia terima cuma bertahan sesaat sebab di detik selanjutnya, Zhorif sudah membuka mata dan menarik pergelangan tangan Zhara kuat hingga membuat tubuh mungil itu refleks jatuh terbaring kembali ke kasur.

"Mas?!"

Pekikan itu membuat Zhorif meringis, merasa ngilu pada gendang telinganya. Namun, ia tidak pula menghiraukannya.

Kini posisi mereka sangat berbahaya. Zhorif menindih Zhara dan menahan kedua tangan wanita itu agar tetap diam dan menempel ke seprai.

"Mas, lepasin aku!"

Zhara memberontak dan menendang ke sana kemari, menyebabkan selimut yang mereka gunakan tadi malam jatuh ke lantai begitu saja.

"Nggak," sahut pria itu dengan super santai.

Zhara memberengut dan menatap Zhorif kesal. "Mas, kita itu bukan mahram. Jadi, bisa nggak, jangan pegang-pegang?!" Ketusnya.

Zhorif terkekeh geli, hampir saja tertawa terbahak karena pernyataan istrinya yang sangat tidak masuk akal itu. Ah, jadi begini sikap Zhara setelah meninggalkannya selama tiga tahun? Masih kekanak-kanakkan? Tak ada yang berubah selain penampilannya. Ya, ia baru menyadari bahwa Zhara kini memiliki rambut yang panjang.

"Kalau kamu memang berpikir seperti itu, kenapa kamu masuk ke kamar Mas tadi malam?" Zhara bungkam seribu bahasa. "Kenapa juga kamu tidur di samping Mas?"

"Aku cuma khilaf." Jawaban Zhara sukses membuat perut Zhorif terguncang sempurna karena tertawa. Mungkin orang lain tidak bisa langsung memahami perasaannya, tetapi wajah malu-malu kucing yang dikeluarkan Zhara sangatlah menggemaskan.

Zhara memandang wajah penuh tawa suaminya tanpa berkedip seolah tengah dihipnotis. Ia tidak menyangka tangisan pilu dan sendu yang tadi malam pria itu keluarkan kian berganti 180 derajat. Zhorif tidak berubah sedikitpun. Masih tampan dan manis seperti dulu.

Salah satu tangan Zhorif yang awalnya bertugas menahan Zhara kian beralih kerja untuk mengelus rambut wanita itu. "Kalung itu..." Zhara refleks menundukkan kepalanya, mengulurkan salah satu tangannya yang sudah terbebas untuk memasukkan kalung bercincinnya ke dalam baju kembali. "Itu cincin pernikahan kita."

"Bukan!" Tangkas Zhara dengan ekspresi sok meyakinkan yang membuat Zhorif semakin merasa curiga dibuatnya.

"Kalau begitu biar Mas liat sekali lagi." Zhorif menggerakkan tangannya untuk memeriksa ke dalam pakaian Zhara. Namun, wanita itu segera menghadangnya dengan menyilangkan kedua tangan di depan dada.

Zhara pikir Zhorif akan mengalah sebab pria itu dulu selalu begitu. Namun tidak kali ini, Zhorif kembali menahan paksa kedua tangan Zhara ke kasur menggunakan salah satu tangannya, sedangkan tangannya yang lain ia gunakan untuk menarik kalung tersebut hingga terlepas sempurna dari leher wanita itu. "Mas benar ... ini cincin pernikahan kita."

"Balikkin. Itu punya aku, Mas!" Zhara memberontak dalam kekangan suaminya.

"Kenapa kamu masih menyimpan ini?" Zhorif tidak bisa mengelak. Perasaan bahagia itu memang ada. Ia kian merasa percaya diri bahwa selama ini hanya raga Zhara yang pergi meninggalkannya, tidak dengan cintanya. "Kalau kamu berani meletakkan surat cerai di meja kerja Mas, kenapa tidak sekalian juga kamu kembalikan cincin ini?"

"Aku..." Otak Zhara sibuk berputar untuk mencari alasan yang tepat. "Aku butuh sesuatu untuk mengingatkanku akan Boba."

Zhorif mendesah tak puas dengan jawaban yang diberikan wanita itu. "Apa alasan itu masuk akal?" Dengan polosnya Zhara malah menggelengkan kepala. "Apa kamu benar-benar serius saat memutuskan untuk meninggalkan Mas?" Zhara tertegun. "Nggak. Pasti nggak, 'kan?" Pria itu menjawabnya sendiri.

"Liat Mas." Zhorif menarik dagu Zhara yang tiba-tiba tertoleh ke samping, menolak untuk melihat maupun menjawab. "Apa yang ada di pikiran kamu tiap kali melihat cincin ini?" Tanyanya. "Kamu pasti memikirkan Mas, 'kan?" Penekanan Zhorif membuat Zhara merasa sesak dan putus asa. Ia tidak ingin mengiyakannya, tetapi kalaupun ia berbohong pria itu pasti tetap akan mengetahuinya. Ya, itu semua karena Zhorif terlanjur terlalu mengenal istrinya.

Zhorif menghela napasnya dalam. Perasaannya campur aduk antara kesal dengan Zhara yang terus diam dan juga merasa bersalah karena terlalu menekan wanita itu.

"Zhara..." Panggilan yang disertai nada letih itu membuat Zhara mau tak mau harus kembali manik hitam kembar milik suaminya. "Apa kamu benar-benar mengerti apa yang sedang kamu lakukan saat ini?" Zhara tidak berkutik, tetapi raut wajahnya menunjukkan secara jelas bahwa sang pemilik tidak mengerti apa-apa. "Kamu masuk ke kamar Mas, kamu tidur di sebelah Mas, dan kamu menyimpan cincin pernikahan kita. Kamu melakukan itu semua atas kemauan diri sendiri tanpa adanya paksaan." Manik wanita itu bergerak tak nyaman, mulai menebak arah pembicaraan itu.

Zhorif mendesah dengan tatapan kecewa meski hatinya tidak begitu. Ia hanya merasa keheranan akan Zhara yang tidak dapat memahami keinginan hatinya sendiri. "Kenapa tidak akui saja kalau kamu sebenarnya masih mencinta—"

Zhara menarik tengkuk Zhorif dengan mendadak, menempelkan bibir mereka secara paksa agar pria itu tidak lagi bisa berkata apa-apa. Zhara sangat malu dengan situasi ini. Ia tidak ingin mengakuinya. Ia tidak ingin Zhorif tahu yang sesungguhnya. Namun, apa yang tengah dilakukan olehnya saat ini? Mencium Zhorif? Ah, dia pasti sudah gila!

Zhorif yang baru saja menikmati lumatan mereka harus mendesah kecewa kembali ketika Zhara mendorong dadanya menjauh. Wanita itu menatap Zhorif dengan pipi semerah kepiting rebus. "A-aku khilaf," cicitnya.

Zhorif benci alasan itu. Alasan yang jika siapapun mendengarnya pasti akan langsung tahu bahwa itu tidak masuk akal. Satu-satunya keinginan terbesar Zhorif di detik itu adalah menyadarkan Zhara. Oleh karena itu, ia kembali menundukkan wajahnya dan melumat bibir sang istri dengan penuh kelembutan. Ciuman itu berlangsung sangat lama bagai pengganti pelukan hangat atas kerinduan mereka satu sama lain.

Ting-tong!

"Rif, ini Arsen! Buka cepetan, woi!"

Zhara terkejut bukan mainmendengarnya hingga tanpa sadar telah menendang kuat inti sensitif suaminya yang dibalut oleh celana tidur. Zhorif menjatuhkan tubuhnya ke samping dan meringis kesakitan. Namun, Zhara tidak mengacuhkan penderitaan hebatnya. Wanita itu malah sibuk merapikan pakaiannya dan segera melenggang pergi dari kamar itu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top