Bab 73 - Jodoh Pasti Bertemu
"Zhorif?"
Fransisca menatap sosok pria yang telah duduk di hadapannya dengan mata berkaca-kaca. Wanita yang dulunya selalu tampil anggun kini terlihat begitu urak-urakkan, rambutnya dipotong super pendek hingga terlihat seperti laki-laki, dan kulit wajahnya sudah tidak lagi putih dan mulus.
"Hei," sapa Zhorif sembari menatapnya dengan ekspresi tenang. Manik pria itu turut turun ketika Fransisca menundukkan kepalanya, memainkan jemari karena merasa canggung. "Ini sudah tiga tahun..." Fransisca menganggukkan kepalanya setuju. "Bagaimana kabar kamu? Maaf, saya baru menyempatkan waktu untuk datang menjenguk." Wanita itu mendongak dengan raut wajah terkejut. Mengapa dari nada dan cara bicaranya, Zhorif terdengar seperti sudah memaafkannya?
Zhorif membungkam mulutnya sejenak, kepalanya sibuk berpikir, apakah dirinya telah melakukan kesalahan hingga membuat Fransisca tidak mau menyahuti ucapannya? Atau, apakah Fransisca masih menyalahkan dirinya sendiri akibat kecelakaan yang pernah menimpa pria itu dan Zhara?
"Mungkin ini bukan waktu yang tepat, kalau begitu saya pamit du—"
"Aku dengar kamu membiayai kuliah Vierra di Jepang."
Zhorif yang sudah hampir berdiri kembali terduduk dan tersenyum tipis karena Fransisca akhirnya mau membuka suara. "Ya," jawabnya jujur. Fransisca kembali menundukkan kepalanya, terlihat malu dan tak enak hati karena telah membuat pria itu kerepotan. "Kamu tidak perlu merasa berhutang. Saya melakukannya itu karena rasa tanggung jawab."
"Tanggung jawab?" Alis Fransisca bertaut karena kebingungan.
"Ya," Zhorif mengusap tengkuknya merasa tak enak hati, "Adik saya, Agam, mempermainkan perasaannya, mereka putus, dan saya sangat tau bahwa Vierra merupakan anak yang baik. Oleh karena itu, saya menawarkannya bantuan."
Fransisca tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanya setuju. "Kamu benar, Vierra memang anak yang baik. Aku tau ini kedengaran nggak tau malu, tapi selama aku terkurung di jeruji ini, aku hanya memikirkan rasa bersalahku terhadap anak itu."
Zhorif menghela napasnya lega. Entah mengapa, menatap manik Fransisca seperti ini membuatnya seperti sudah berdamai dengan masa lalu yang kelam. Ia merasa sebagian beban dan traumanya mulai terangkat perlahan-lahan. "Semua orang pernah melakukan kesalahan, saya ataupun kamu, kita tidak jauh berbeda. Namun, ada baiknya untuk tidak terlalu lama berlarut dalam kesedihan." Itu merupakan pesan terakhir sekaligus ucapan pamit dari Zhorif sebelum pria itu bangkit berdiri dan melenggang pergi dari tempat tersebut.
"Zhorif!" Seruan yang dilakukan Fransisca membuat Zhorif berhenti melangkah dan menoleh. "Maaf dan terima kasih banyak untuk semuanya." Wanita itu bergumam pelan dengan air mata yang menetes. Zhorif tidak bersuara, pria itu hanya tersenyum tipis, menganggukkan kepalanya singkat, kemudian benar-benar pergi.
Tepat ketika pintu tertutup, sebuah tepukan lembut di bahunya langsung menyambut Zhorif. Pria itu menatap Shanzel yang hari ini berpiket untuk menemaninya seharian penuh. Meski terdengar aneh dan berlebihan, Arsen selalu menugaskan satu orang untuk menemani Zhorif pergi, mungkin karena Arsen takut sahabatnya itu akan berbuat macam-macam apabila sedang tidak dalam pengawasan, apalagi masalah kejiwaan pria itu belum benar-benar pulih.
"Habis ini lo ada urusan lain?" Shanzel menggelengkan kepalanya untuk menanggapi pertanyaan Zhorif. "Yaudah, tolong anterin gue ke bandara."
"Bandara? Lo mau kemana?" Shanzel mencekal tangan Zhorif ketika pria itu hendak berjalan mendahuluinya.
"Bali."
***
Arsen dan Jojo menghela napas berat merasa sengsara ketika disuruh membantu mengangkat kardus-kardus yang berisikan berbagai macam aroma sampo dan sabun yang dibuat oleh para wanita dari keluarga Wira Atmadja.
"Dy, come on! Gue dateng ke sini bukan untuk ngumpulin pahala! Gue ke Bali karena pengen cuci mata di pantai, nyari cewek-cewek bule untuk dijadiin bini!" Arsen mendumel sembari menatap Maudy kesal. Namun setelah itu, tepatnya ketika ia menoleh ke samping untuk meminta persetujuan sesama pria, Jeje malah memberikannya tatapan tajam. "Aelah! Salah lagi 'kan, gua!"
Ya. Memang benar bahwasanya Arsen, Jeje, dan Maudy saat ini telah mendarat di Bali, tepatnya di resort milik keluarga besar mereka. Tidak seperti yang dikatakan oleh Hulya sebelumnya, Velove batal pergi karena harus mengantar-jemput putrinya yang manja ke sekolah. Alhasil, sebagai pengganti wanita itu, Maudy membawa Arsen ke Bali dengan embel-embel mengajaknya berlibur singkat untuk menepis rasa jenuh akibat bekerja.
"Kerja dulu yang rajin, nanti aku kasih hadiah sebagai gantinya," ujar Maudy sembari tersenyum lembut.
"Nggak usah senyam-senyum! Gue bukan Jeje yang bakalan luluh semudah itu!" ketusnya, tetapi tetap mengurus pekerjaannya. "Eh, apaan, nih?!" Arsen terjengit kaget ketika beban di punggungnya semakin bertambah karena ulah Jeje yang dengan sengaja meletakkan kardus lainnya di atas kardus yang sudah dibopong oleh punggung pria itu.
Arsen mendumel di sepanjang perjalanannya masuk ke lobi, ketika ia baru saja hendak meletakkan kardus-kardus tersebut ke lantai dengan bantuan para resepsionis perempuan, seorang remaja perempuan berkuncir dua berlari ke arahnya tanpa rem sehingga menyebabkan keduanya jatuh tersungkur ke lantai dengan posisi Arsen sebagai bantalan perempuan itu.
"Najella..." Arsen menggeram frustrasi sekaligus menahan rasa nyeri yang menyerang punggungnya. Arsen berusaha melepaskan tangan mungil Najella yang masih setia memeluk pinggangnya. "Je! Gue dilecehkan sama adek lo! Help! Help!" Pria itu memohon bantuan dari Jeje yang baru saja masuk dengan memeluk satu kardus kecil.
"Jella!" Jeje meringis malu dan segera menarik adiknya untuk berdiri karena menjadi tontonan resepsionis dan beberapa tamu yang sedang duduk di sofa lobi.
"Abang apaan, sih?!" Najella memberontak dalam cekalan Jeje dan berhasil melepaskan diri, kemudian menerjang kembali tubuh Arsen yang baru saja hendak bangkit dari lantai. "Aku lagi kangen-kangenan sama Kak Arsen tau!"
Arsen memejamkan matanya menahan emosi ketika dilihatnya Jeje tidak bisa berbuat apa-apa lagi untuk membantunya. Arsen tidak bisa menyampaikan seberapa besar rasa penyesalannya waktu itu. Singkatnya, ketika dirinya pernah menasihati Najella untuk berhenti mengagumi Zhorif secara berlebihan karena pria itu sudah memiliki Zhara sebagai pengisi hatinya. Ia tidak menyangka bahwa ucapannya waktu itu akan diterjemahkan secara berbeda oleh otak berkapasitas rendah Najella. Pasalnya sampai kini, Najella berpikir bahwa dirinya menyukai gadis itu dan cemburu melihatnya yang terlalu mendambakan Zhorif.
"Zhara?!"
Maudy menutup mulutnya menggunakan telapak tangan dengan raut wajah terkejut. Seruannya itu berhasil membuat Arsen, Jeje, dan Najella gagal fokus dan beralih mengikuti arah pandang Maudy. Di sana, tepatnya di dekat pintu kaca masuk lobi, Zhara telah berdiri bersebelahan dengan Agam dan Hulya.
"Kakak?!" Najella bangkit dari posisinya dan berlari untuk memeluk tubuh Zhara erat. Zhara hampir saja tersungkur ke belakang kalau Agam tidak buru-buru menahan pinggangnya yang kecil dan lemah.
"Bang, adek lo!" Agam memohon bantuan pada Jeje untuk segera menjauhkan Najella dari Zhara. Pasalnya, Zhara terlihat mulai kesulitan untuk bernapas. Jeje memang mendekat. Namun, yang terjadi selanjutnya tidak sesuai perkiraan, pria itu malah ikut-ikutan Najella untuk memeluk tubuh Zhara. Tak lama kemudian, Arsen pun bergabung juga. Ketiganya melompat-lompat kegirangan sembari mengajak Zhara berputar-putar seperti anak kecil.
"Udah sebulan nggak ketemu, tapi tetep aja kangen." Jeje hendak memeluk Zhara kembali, tetapi niatnya itu langsung ditahan oleh Hulya yang sudah buru-buru memukulinya dan Arsen menggunakan tas. "Adaw, Tan! Sakit tau!" Protesnya.
"Salah sendiri! Siapa suruh sentuh-sentuh menantu Tante!" Ketusnya dengan delikan tajam. "Udah, ah! Tante dan Zhara mau ke atas, capek nih, abis nyiram-nyiram bunga." Hulya menarik pergelangan tangan Zhara agar wanita itu segera mengikutinya ke meja resepsionis. "Apa suami saya sudah datang?" Tanyanya kemudian.
Sang resepsionis terdiam sejenak, matanya melirik ke arah koleganya yang menggelengkan kepala pelan. "Maaf, Bu, saya kurang tau, kami baru saja bertukar piket sama yang lain." Kedua wanita itu menundukkan kepala mereka merasa bersalah.
"Bukan masalah. Tolong kasih akses dua kamar untuk saya dan putri saya," pinta Hulya yang membuat kedua resepsionis itu segera mengerjakan tugas mereka.
"Ini, Bu."
Hulya menerima dua kartu dan langsung memberikan salah satunya kepada Zhara. "Kamar Mama berjarak dua pintu dari yang kamu kalau ada apa-apa langsung tekan bel aja, ya?" Zhara mengangguk menuruti perintah Hulya.
Di sepanjang perjalanan mereka hingga masuk ke dalam lift, Zhara tak ada henti-hentinya menatap nomor yang tercetak di kartu kamar miliknya, yakni 812. Jika ingatannya tidak salah, kamar yang akan ditempatinya ini adalah kamar yang sama ketika ia pertama kali berlibur bersama keluarga besar Wira Atmadja. Di kamar itu juga, Zhara dan Zhorif melakukan itu untuk yang pertama kalinya.
"Kamu kenapa, Nak?"
Sentuhan tiba-tiba yang bersarang di pipinya membuat Zhara tersadar dari lamunannya. "Aku nggak kenapa-napa, Ma," sahutnya cepat. Ia kemudian mengibas-ngibaskan tangan di dekat pipinya yang kian merona akibat sempat mengingat hal yang tidak-tidak.
Zhara dan Hulya pun berpisah untuk masuk ke dalam kamar masing-masing. Zhara melepas high heels yang dikenakannya dengan tak sabaran sebelum berlari mendekati kasur dan menghempaskan tubuhnya ke sana. Kasur berukuran king itu terasa sangat nyaman hingga membuat Zhara yang baru sepuluh menit berbaring saja sudah hendak terlelap. Namun, rasa kantuk itu terpaksa ditunda ketika Zhara menangkap suara shower yang menyala di kamar mandi. Wanita itu refleks duduk dan menatap pintu kamar mandi dengan horor. Zhara tidak berani pergi untuk memeriksanya, tetapi juga tidak terlalu takut untuk meninggalkan kamar demi melarikan diri. Alhasil, ia hanya terduduk di atas kasur sembari menanti.
Suara keran air yang mengucur pun tiba-tiba berhenti, menyebabkan seluruh rambut di tubuh wanita itu meremang seketika.
Cklek!
Zhara melotot ketika seorang pria bertubuh proporsional keluar dari dalam sana dengan handuk kecil yang menutupi wajahnya. Wanita itu refleks melompat turun dan bersembunyi di dekat kasur karena tidak punya pilihan lain sebab kasur tersebut sama sekali tidak memiliki kolong di bawahnya. Zhara menggigit bibir bawahnya gugup setengah mati. Ia tidak menyangka—ah, ralat! Sangat tidak menyangka akan kembali bertemu dengan mantan suaminya dengan cara dan waktu yang sangat tak tepat seperti ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top