Bab 66 - Masalah Dimulai

"Mas..."

Zhorif menautkan kedua alisnya ketika perasaan curiga mulai timbul di benaknya. Pasalnya, Zhara tidak pernah berbuat seperti itu sebelumnya. Zhorif mendekati sang istri, kemudian mengambil alih ponselnya untuk memeriksa apa yang tengah dilakukan wanita itu terhadap bendanya. "Kamu ngapain buka hp Mas?" tanyanya masih merasa penasaran karena yang ditemukannya ketika melihat layar ponsel hanyalah halaman utama.

Zhara merasa gugup luar biasa. Oleh karena itu, jemarinya tanpa sadar mulai bergerak untuk memelintir ujung bajunya sendiri. Kepalanya sibuk berpikir keras untuk menemukan alasan yang masuk akal untuk menanggapi pertanyaan suaminya. "Aku cuma liat model hp Mas," ujarnya asal setelah beberapa detik diam. "Aku berencana beli hp baru, soalnya punyaku sering lemot." Untuk membuat prianya yakin, Zhara sengaja mengeluarkan ponsel merek apel tergigitnya dari kantung celana. Perempuan itu kemudian berakting dengan memasang wajah sok kecewanya dan berkata, "Hp Mas matanya udah tiga, sedangkan yang aku masih dua."

Zhorif refleks terkekeh geli mendengar curahan hati Zhara yang sebenarnya tidak didasari oleh kejujuran. Ponsel Zhara masih berfungsi sangat baik dan sebenarnya wanita itu juga belum benar-benar memiliki niat untuk menggantinya dengan yang baru. Namun, itu bukan sesuatu yang penting saat ini. Satu-satunya hal yang ingin Zhara lakukan hanyalah mengusir rasa curiga suaminya.

Zhorif mengusap pucuk kepala Zhara dengan lembut sembari berusaha menahan senyumannya yang terlalu merekah hanya karena melihat ekspresi menggemaskan istrinya. "Yaudah, besok kalau jadwal kerja Mas nggak padat, Mas temenin kamu pergi ke Ibox."

Sontak saja Zhara terbelalak kaget. Ia menengadah dan menatap suaminya dengan ekspresi tidak percaya. Tentu saja karena ia tidak menyangka keinginan asal-asalannya akan dikabulkan oleh Zhorif dengan semudah itu, bahkan Burhan dan Mia yang bernotabene sebagai orang tua kandungnya saja terkadang masih sering merasa berat hati untuk memenuhi keinginan putri semata wayang mereka.

"Gimana kabar Boba hari ini? Masih sering bikin Momanya nggak napsu makan, nggak?" Tangan Zhorif bergerak turun menuju perut Zhara dan memberikan belaian di sana.

Zhara tertegun melihat pemandangan yang berada di depan matanya saat ini. Dalam hati bertanya-tanya, akankah Zhorif tetap berperilaku semanis ini terhadap calon anak mereka apabila pria itu mengetahui yang sebenarnya? Wanita itu refleks menggelengkan kepala seolah sedang menampar diri dengan kenyataan. Tentu saja tidak! Zhorif mana mungkin bisa menerima kenyataan itu, yang ada malah pria itu hanya akan menyalahkan dirinya sendiri karena telah membuat Zhara berada di dalam posisi yang sulit.

"Aku makan banyak kok, hari ini Mas, bahkan tadi sempat minum susu yang dibuatin Aufa. Aku juga nggak tinggal salat." Wanita itu memasang senyuman palsu.

Zhorif ikut tersenyum lega dan menganggukkan kepalanya seolah memuji keterampilan istrinya yang sebenarnya bukanlah apa-apa. "Mas kangen banget sama kamu, tapi sayangnya, kita harus pisah kamar malam ini..." Desahan kecewa yang dikeluarkan oleh suaminya membuat Zhara tak tahan untuk tidak tertawa dan melupakan kesedihannya.

Zhorif menarik tubuh mungil sang istri untuk masuk ke dalam dekapannya. Mereka berpelukan cukup lama seolah salah satunya akan pergi jauh dan keduanya akan tidak bertemu dalam waktu yang lama. Beberapa menit kemudian, Zhara mengurai pelukan mereka, tersenyum geli melihat tingkah Zhorif yang sengaja ingin berlama-lama di kamar. Zhorif menundukkan tubuhnya dan mengecup singkat wajah istrinya yang diawali dari kening, mata, hidung, dagu, lalu bibir.

"Good night, Istri..." Pria itu berbisik sebelum mengecup daun telinga Zhara singkat dan melenggang pergi keluar dari kamar dengan langkah kaki yang berat.

*

*

*

"Sebaiknya, Abang tidur di lantai aj—"

Bugh!

Zhorif tertegun kaget ketika tangan Jhesen sudah menempel di dadanya, menahan paksa dirinya agar tetap berbaring di atas kasur bersamaan dengan Agam juga. Ini yang pertama kalinya bagi Zhorif merasakan situasi secanggung ini sejak masa PDKT-nya dengan Zhara usai. Bagaimana tidak canggung? Saat ini dirinya, Agam, dan Jhesen berbaring berdempetan di kasur yang sama. Parahnya lagi, ia kebagian posisi tengah sehingga ketika menoleh ke kanan, pria itu akan langsung bertatapan dengan Jhesen, sedangkan ketika menoleh ke kiri, ia akan langsung bertatapan dengan Agam.

"Kalau dr. Zhorif ketauan tidur di lantai, bisa-bisa kami berdua diamuk sama Zhara besok pagi." Jhesen berujar.

Alhasil, Zhorif menetap di posisi semulanya, sengaja melipat kedua tangannya di atas dada agar tidak menyentuh tubuh dua teman sekamar barunya. "Panggil saya Kakak atau Abang juga boleh. Kamu adalah teman baik Zhara, tidak usah terlalu formal."

"Dokter bukan kakak atau abang kandung saya, jadi saya nggak mau. Gimana kalau Mas aja? Biar sama kayak Tante Mia pas manggil Om Burhan?" Zhorif refleks tersedak oleh ludahnya sendiri ketika mendengar balasan Jhesen, sedangkan di sebelahnya, Agam sudah tertawa terbahak-bahak. Bagaimana bisa Jhesen mengeluarkan ucapan yang mirip dan hampir sama persis seperti ucapan Zhara di kala mereka berjumpa untuk yang pertama kalinya?

"Gue bercanda, Bang..." Jhesen mengusap tengkuknya tak enak hati karena tidak mendapat tanggapan yang ia harapkan.

"Abang tau." Zhorif sengaja mengeluarkan tawanya meski sedikit dipaksa untuk membuat perasaan Jhesen membaik.

Jhesen secara tiba-tiba mendudukkan dirinya, membuat Zhorif pun refleks mengikuti. Melihat Agam yang masih sungkan untuk bangkit membuat Jhesen harus menarik tangan pria itu secara paksa untuk membuatnya bangun. "Gimana kalau kita main QnA biar nggak canggung?" usulnya yang membuat Zhorif langsung menganggukkan kepala tanpa pikir panjang.

"Ogah, gue—" Baru saja Agam hendak menolak, Jhesen sudah lebih dulu memotong ucapannya.

"Oke, karena semuanya udah setuju, kita mulai permainannya! Dimulai dari gue, ya. Terserah kalian pada mau nanya apaan. Buru, deh!"

Zhorif melirik Agam yang tampaknya sama sekali tidak berniat untuk memberikan Jhesen pertanyaan. Oleh karena itu, mau tak mau, dirinyalah yang harus turun tangan dan bertanya. "Sejak kapan kamu naksir Aufa?"

"Sejak kelas satu SMA!" Jhesen terbelalak kaget usai menjawab cepat pertanyaan yang Zhorif berikan secara asal-asalan itu. "Eh, maksud gue—"

"Seriusan lo naksir Aufa?! Hmpffttt..." Agam tertawa keras sembari memeluk perutnya kegelian, masih tak menyangka akan apa yang didengar olehnya barusan. Di sisi lain, Zhorif ikut mengusap tengkuknya tak enak hati karena secara tak sengaja telah membongkar rahasia besar seorang anak SMA.

Kulit wajah Jhesen merona. Oleh karena itu, ia buru-buru mengganti topik pembicaraan. "Next! Next, deh! Sekarang giliran lo, Gam!" Pria itu menatap Agam dengan rasa dendam yang tersirat. "Lo ada hubungan apa sama Vierra?"

"Kami pacaran." Jawaban tak acuh yang diberikannya tetap saja mampu membuat Jhesen dan Zhorif merasa sangat kaget hingga tak tahu harus berkata apa meski sebenarnya, Zhorif pun belum mengenal perempuan bernama Vierra itu. Ia tiba-tiba saja dilanda rasa bersalah karena telah membuat Fathur merencanakan perjodohan terhadap Agam, padahal pada faktanya, adik sepupunya itu sudah memiliki seorang kekasih.

"Oke, next! Sekarang giliran Bang Zhorif."

Zhorif mengangguk menanti pertanyaan random yang mungkin akan ditanyakan oleh dua remaja itu.

"Seberapa bahayanya penyakit eklamsia untuk ibu hamil?"

Jhesen mengeluarkan pertanyaan yang tak terduga pertama kali, kemudian disusul oleh Agam.

"Dan gimana cara ngatasinnya?"

***

Esok hari, tepatnya pagi-pagi sekali pukul 07.00, Shanzel sudah tiba di rumah sakit. Harapannya untuk bertemu dengan Zhorif sangat besar karena ada banyak hal yang ingin ia sampaikan dan tanyakan. Tentunya, itu semua bersangkutan dengan penyakit yang sedang diidap oleh Zhara, yakni eklamsia.

"Morning, Zel."

Seperti biasa, Shanzel kembali mengabaikan sapaan Arsen karena menduga bahwa pria itu akan mengajaknya berbicara panjang lebar apabila ia menyahut. Shanzel membuka pintu ruangan konsultasi Zhorif dan tidak menemukan sosok yang dicari-carinya sejak kemarin itu.

"Zhorif ada operasi. Baru aja pergi sepuluh menit lalu," jelas Arsen sembari menyeruput sekotak yoghurt instan yang dibelinya di sebuah minimarket dekat dengan rumah sakit Wira Atmadja.

"Ck! Sialan!"

Umpatan yang terlalu tiba-tiba itu membuat Arsen terjengit kaget, mengira bahwa dirinya telah melakukan sebuah kesalahan besar hingga membuat Shanzel bereaksi seperti itu. Shanzel sungguh merasa frustrasi saat ini. Ia benar-benar merasa bersalah karena tidak segera menyadari penyakit yang diidap oleh Zhara, istri dari koleganya sendiri. Oleh karena itu, Shanzel menghampiri Arsen dan bertanya, "Lo ada nomor telepon Zhara?"

"Hah?" Dahi Arsen berkerut, merasa bahwa telinganya telah salah mendengar. "Maksud lo, Zhara istrinya Zhorif, 'kan?" tanyanya berusaha memastikan. Shanzel segera menanggapinya dengan sebuah anggukan. Oleh karena itu, Arsen segera mengeluarkan ponselnya dan mencari kontak Zhara meski belum sempat memahami situasi yang membingungkan itu. "Nih."

Shanzel menyalin nomor itu sebelum melenggang pergi dan berkata, "Thanks."

Pria itu masuk ke dalam ruangannya, duduk di kursi putar dan bersiap untuk menghubungi nomor tersebut. Namun sayangnya, niat itu harus terhenti akibat panggilan mendadak yang berasal dari Aufa, salah satu teman dekat Zhara, perempuan yang selama ini telah diam-diam menarik perhatiannya juga. Buru-buru saja Shanzel mengangkat panggilan yang telah lama dinanti olehnya itu.

"Halo?"

"Kak Shanzel..."

Shanzel refleks bangkit dari posisinya ketika mendengar Aufa menangis sampai sesenggukkan untuk yang pertama kalinya.

"Aufa, kamu kenapa?! Kamu baik-baik aja, 'kan? Kamu dimana? Biar Kakak susul ke sana sekarang."

"Aku nggak papa, ta-tapi temenku yang kenapa-napa. Zhara jatuh pingsan dan mendadak kejang, terus mulutnya juga ngeluarin busa. Aku harus kayak gimana sekarang? Aku takut, Kak."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top